Baca Juga

Konstalalsi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif Modern 
Ibn Khaldun (1332 – 1406) sosiolog dan filsuf sejarah yang juga berkecimpung dalam bidang pengajaran telah menciptakan konsep-konsep dan teori yang bermanfaat untuk dikembangkan. Berdasarkan pengamatannya yang jeli dan pengalamannya yang luas, ia telah menghasilkan pokok-pokok pikiran tentang pengajaran yang menarik perhatian sejumlah pakar pendidikan.

Di samping pengalaman dalam bidang politik, dia juga melibatkan diri dalam majelis ilmu pengetahuan, mengajar, serta tekun mengadakan halaqah di Tunisia, Fez, dan Andalusia. Bahkan ketika menetap di Mesir tradisi pengajaran halaqahnya mendapat sambutan luas di sana. Ibn Khaldun secara formal memberi kuliah di universitas terkemuka al-Azhar, dan beberapa sekolah tinggi lainnya di Mesir.[1] Di universitas al-Azhar dia memberi kuliah tentang hadis dan fiqh Maliki. Di samping itu dia menerangkan teori-teori kemasyarakatan termasuk teori pengajaran yang dia tulis dalam Muqaddimah.

Melalui pengalaman yang luas sebagai pengamat yang jeli terhadap realitas pengajaran di zamannya, dia membangun teori-teori tentang pengajaran bahasa Arab yang dia tuangkan dalam kitabnya yang terkenal Muqaddimah. Ulasannya dalam bidang ini mendapat tempat yang luas dalam kitab tersebut, yaitu muqaddimah keenam dari bab pertama sepuluh pasal pada akhir bab kelima serta sebagian besar bab keenam dari karyanya.

Dengan menelusuri pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun tentang pengajaran bahasa Arab yang relatif orisinal ini, akan diperoleh bekal yang sangat berharga dalam usaha untuk memahami implikasi penggunaan teori-teori dewasa ini yang didominasi oleh teori modern yang belum tentu cocok untuk diterapkan, mengingat bahasa Arab memiliki karakteristik, dan peran yang berbeda dari bahasa-bahasa lain. 

Kiranya sudah saatnya dalam kurun kebangkitan kembali dunia Muslim dewasa ini mengkaji pandangan-pandangan dan pemikiran filsof muslim. Menghidupkan kembali warisan pengajaran Islam.

Konsep pengajaran Ibn Khaldun, khususnya pengajaran bahasa Arab, menurut hemat kami belum dikaji secara komprehensif. Dengan kata lain masih langka studi dalam bidang ini yang dapat menguak nilai ilmiah dari aspek-aspek pemikiran Ibn Khaldun yang menyangkut pengajaran bagasa Arab. Kenyataan dalam dunia Muslim menunjukkan belum begitu populer teori-teori yang dikemukakannya, khususnya di kalangan para pengajar. Nashruddin Thaha menjelaskan ”Ibn Khaldun sebagai ulama besar, filosof dan negarawan telah banyak ditutur dan dibahas, tetapi sebagai ahli pengajaran, khususnya pengajaran bahasa Arab kurang disebut-sebut”.

Ibn Khaldun –sebagaimana kebanyakan ahli sebelum dan semasanya- menggunakan istilah al-Ta’li>m (pengajaran) dengan pengertian mirip (muradif) dengan pendidikan. [2] Ibn Khaldun sebagaimana Pearsons (1902 -1979) tertarik pada skema yang holistik, suatu kerangka teoritik yang melihat objek (gejala) dalam suatu struktur yang berhubungan dengan gejala umum lainnya. Realitas sebagai keseluruhan, tidaklah timbul dari tumpukan yang bercerai berai. Akan tetapi, dia adalah kumpulan fenomena yang sejenis dan satu sama lainnya berhubungan serta mempunyai pengaruh timbal balik.[3] Sebagai kaonsekuensi skema dasar ini Ibn Khaldun memandang realitas manusia merupakan bagian integral dari realitas yang lain. Atas dasar skema itu dia menempatkan pengajaran sebagai aktualisasi potensi-potensi manusia dalam kerangka umum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Salah satu aksioma tentang pengajaran adalah teori fitrah. Manusia dilahirkan membawa bakat (potensi-potensi dasar) dan dia akan menjadi aktual serta berkembang setelah mendapat rangsangan dan pengaruh yang diterimanya. Manusia secara fitrah adalah baik. Ia menjadi jahat disebabkan faktor luar dari proses aktualisasinya. Karena itu, pengajaran menjadi keharusan alami untuk mengoptimalkan potensi ”baik” yang bersifat inhern tersebut.[4]

Pandangan Ibn Khaldun tentang potensialitas dan aktualitas ini sebenarnya telah mendahului bukan saja teori empirisme (John Locke 1632 – 1704) dan nativisme (Schopenhauer 1788 - 1860), tetapi juga teori konvergensi (William Stern 1871 – 1938). Empirisme berpandangan bahwa jiwa adalah kosong yang menunggu isinya, berupa pengalaman, bagaikan kertas kosong yang menunggu isinya berupa tulisan dan perkembangan jiwa tidak ada batasnya.[5] Berbeda dengan empirisne, nativisme berpandangan bahwa anak lahir membawa bakat kesanggupan dan sifat-sifat, serta ketentuan-ketentuan. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh apa-apa dan sesekali tidak berkuasa.[6]

Kedua pandangan yang saling bertentangan tersebut melahirkan teori konvergensi William Stern. Sambil mengakui adanya nativus (faktor pembawaan), juga mengakui adanya pengaruh (pengalaman luar).[7]

Pandangan Nativisme menutup kemungkinan adanya peranan faktor aktualitas (latihan atau pendidikan). Empirisme semata-mata mengandalkan faktor aktualitas. Ibn Khaldun sejalan dengan nativisme yang mengakui faktor potensialitas. Tetapi Ibn Khaldun memandangnya tanpa aktualisasi, potensi-potensi itu tidak akan berkembang secara nyata. Demikian juga aktualisasi tidak akan berfungsi apa-apa tanpa potensialitas, yang berarti sesuai dengan empirisme.

Secara umum, teori fitrah lebih mirip dengan teori konvergensi yaitu memadukan antara faktor potensialitas dengan aktualitas dalam perkembangan anak. Akan tetapi kalau dilacak lebih jauh, terdapat perbedaan yang essensial yaitu terletak pada pandangan tentang hakekat potensialitas itu sendiri. Pada dasarnya, potensialitas menurut Ibn Khaldun adalah baik (berakidah Tauhid), bukan sama sekali kosong.

Teori Fitrah ini merupakan titik tolak utama pemikiran Ibn Khaldun dalam menerangkan perkembangan. Dia mendasarkan pada hadis ”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah”.[8] Bertolak dari teori fitrah ini, ia memandang belajar (al-ta’allum) sebagai suatu fenomena sosial yang alami dalam mengaktualisasikan potesialitas-potensialitas manusia.

Proses aktualisasi belajar itu sendiri diterangkan oleh Ibn Khaldun dengan menggunakan konsep ”malakah” sebagai teori sentral. Inti belajar menurut dia adalah optimalisasi pencapaian malakah. Konsep malakah tersebut adalah sifat (hasil perolehan) yang menancap (mengakar) kokoh dalam jiwa, disebabkan belajar atau mengerjakan sesuatu berulang kali.[9] Malakah berbeda dengan pemahaman (al-fahm) dan hapalan tanpa pemahaman. Malakah secara eksklusif dimiliki oleh mereka yang bersungguh-sungguh mendalami (al-syadd) disiplin ilmu tertentu. Malakah seluruhnya bersifat psiko-fisik, baik yang berhubungan dengan badan, maupun otak (al-dima’), hasil kemampuan fikir dan lain-lain seperti rasa.[10] Dengan kata lain, malakah adalah pemilikan dan penguasaan yang mengakar, baik fisik (psikomotor), maupun psikis (kognitif dan afektif), sehingga mampu memproduksi kembali, serta mencerap dan menambah berbendaharaannya.

Sehubungan dengan teori malakah tersebut, Ibn Khaldun menampilkan pula hukum-hukum dasar dan prinsip umum yang menyertainya. Hukum-hukum tersebut, antara lain, belajar bertahap (al-tadriji), pengulangan (al-tikrar), kebiasaan (al-’adah), kausalitas, trial and error, prinsip kualitas individual, peniruan dan kontinuitas. Menurut hukum tadrij belajar yang efektif dalam arti mencapai malakah seoptimal mungkin, adalah dilakukan berangsur-angsur, setahap demi setahap.[11] Adapun hukum al-tikrar dan al-’adah, belajar yang efektif adalah dengan pengulangan dan pembiasaan, yaitu memasukkan sesering mungkin rangsangan.[12] Belajar menurut hukum kausalitas terjadi melalui mengetahui sebab akibat. Dengan kata lain, hukum tersebut berusaha mengetahui rentetan kausal dalam cara-cara yang benar dan sistematis akan memperkuat malakah itu sendiri.[13] Lebih lanjut, menurut hukum trial and error, belajar terjadi dengan seleksi benar dan salah. Dengan cara ini subjek belajar akan semakin bijak dalam aktivitasnya. Belajar juga dilakukan dengan proses appersepsi, yaitu proses menemukan bermacam-macam variabel.[14] Menurut prinsip kualitas individual, intensitas belajar sangat bergantung pada perbedaan kualitas individu.[15] Proses belajar menurut hukum peniruan terwujud melalui visualisasi dan contoh-contoh konkrit.[16] Prinsip kontinuitas menegaskan, belajar yang sistematis dan berkesinambungan akan memperkuat malakah. Apabila subjek belajar telah mencapai suatu malakah tertentu, maka akan mempunyai kesiapan untuk mencapai malakah dalam materi lainnya.[17]

Hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang diutarakan Ibnu Khaldun dijumpai pula dalam ajaran-ajaran Pestalozzi (1746-1827), Herbart, (1778-1841), Thorndike (1874-1949) dan Maria Montesori (1870-1952). Pestalozzi seorang ahli didik berkebangsaan Swiss mengatakan, bahwa pengajaran hendaknya dilakukan secara bertahap dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang terindera kepada yang rasional (abstrak), dan dari yang parsial kepada yang general. Pestalozzi pernah disebut-sebut sebagai penerus konsep Ibnu Khaldun.[18] Sebagaimana Ibnu Khaldun, Herbart mengatakan, jiwa berisi tanggapan-tanggapan. Dalam belajar ada dua hal yang harus ditempuh, yaitu (1) memberikan tanggapan sejelas-jelasnya; dan (2) memasukkan tanggapan sesering mungkin ke dalam kesadaran.[19] Menurut teori tanggapan Herbart, inti belajar disamping pemberian tanggapan yang jelas ialah ulangan; ulangan untuk memasukkan tanggapan sesering mungkin ke dalam kesadaran.[20]

Thorndike dengan teori koneksionismenya menegaskan, belajar adalah proses pembentukan hukum asosiasi antara yang sudah dengan yang baru diketahui. Proses belajar menurut teori ini mengikuti tiga hukum, yaitu hukum kesiapan, latihan, dan hukum effek.[21] Menurut hukum kesiapan, aktifitas belajar dapat berlangsung efektif dan efisien bila subjek telah memiliki kesiapan belajar. Menurut hukum latihan, koneksi antara kondisi dan tindakan akan menjadi lebih kuat bila ada latihan. Hukum effek menyatakan, aktifitas belajar yang memberikan efek menyenangkan cenderung akan diulang atau ditingkatkan. Namun jika efeknya tidak menyenangkan akan terjadi sebaliknya.[22]

Sejalan dengan hukum peniruan, bahwa belajar perlu diperkaya dengan visualisasi dan contoh-contoh, dikembangkan kemudian oleh Maria Montessori. Alat peraga sangat penting dalam belajar. Alat-alat peraga ialah alat-alat pelajaran secara penginderaan yang tampak dan dapat diamati.[23]

Melalui pengkajian terhadap teori-teori Ibnu Khaldun dengan teori-teori pengajaran kontemporer, khususnya pengajaran bahasa Arab diharapkan menemukan sikap eklektik yang proporsional. Kenyataan memang belum ada kesatuan pendapat mengenai proses transformasi dari potensialitas ke aktualitas dalam hubungannya dengan pengajaran bahasa Arab. Karena itu masing-masing teori diharapkan dapat saling melengkapi.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun Riwayat dan Karyanya, alih bahasa Ahmadie Thaha, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), h. 50.
[2] Warul Walidin, Konstalalsi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif Modern, (Nanggroe Aceh Darussalam: Yayasan Nadiya. 2003), h. 6-7.
[3] Al-Khudhairi, op. cit., h. 70 – 80.
[4] Ibn Khaldun, Muqaddimah, (ttp.:Da>r al Baya>n, t)t., h. 125.
[5] A. G. Soejono, Aliran-Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung: Penerbit Ilmu, t.t.), h. 19.
[6] Amir Hamzah Nasution dan Oeyeng S. Gana, Ilmu Jiwa Kanak-kanak, Jil. I, (Bandung: Ganaco, 1956), h. 50.
[7] Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 146.
[8] Ibn Khaldun, op. cit., h. 123.
[9] Ibid., h. 400.
[10] Ibid., h. 430.
[11] Ibid., h. 533.
[12] Ibid., h. 430.
[13] Ibid., h. 330.
[14] Ibid., h. 450.
[15] Ibid., h. 433.
[16] Frans Rosenthal, et. al., The Muqaddimah and Introduction to History, (New York: Bellington Series XLIII NY, 1958), h. 337. 
[17] Ibn Khaldun, op. cit., h. 534.
[18] Fathiyyah, b op. cit, h. 60-61.
[19] Sumadi Sryabrata, h. 264.
[20] Ibid.
[21] Noeng Muhadjir, h. 67.
[22] Ibid. Lihat pula Bigge, h. 53-54.
[23] Nasharuddin Thaha, op. cit., h. 98.