Baca Juga

Pengertian dan Definisi Jejak Ekologis
Wackernagel dan Rees (1992) mendefinisikan Jejak Ekologis atau Appropriated Carrying Capacity suatu wilayah sebagai luas lahan dan air dalam berbagai katagori yang diperlukan secara eksklusif oleh penduduk di dalam wilayah tersebut, untuk : 
  • Menyediakan secara kontinyu seluruh sumberdaya yang dikonsumsi saat ini, dan 
  • Menyediakan kemampuan secara kontinyu dalam menyerap seluruh limbah yang dihasilkan. 
Lahan tersebut saat ini berada di muka bumi, walaupun sebagian dapat dipinjam dari masa lalu (misalnya : energi fosil) dan sebagian lagi dialokasikan pada masa yang akan datang (yakni dalam bentuk kontaminasi, pohon yang pertumbuhannya terganggu karena peningkatan radiasi ultra violet, dan degradasi lahan, Wackernagel dan Rees, 1992). Sejalan dengan pendapat tersebut, Galli, et al; (2012) menyatakan bahwa jejak ekologis dan biokapasitas adalah nilai-nilai yang dinyatakan dalam satuan yang saling terpisah dari suatu daerah yang diperlukan untuk menyediakan (atau regenerasi) layanan ekosistem setiap tahun seperti: lahan pertanian untuk penyediaan makanan nabati dan produk serat; tanah penggembalaan dan lahan pertanian untuk produk hewan; lahan perikanan (laut dan darat) ; hutan untuk kayu dan hasil hutan lainnya; tanah serapan untuk mengakomodasi penyerapan karbon dioksida antropogenik (jejak karbon), dan wilayah terbangun (built-up area) untuk tempat tinggal dan infrastruktur lainnya. 

Sesuai definisi tersebut, Wada (1993) merumuskan jejak ekologis/appropriated carrying capacity dari kegiatan pertanian (hidroponik di rumah kaca dibandingkan dengan mekanisasi pertanian konvensional) sebagai berikut: “Luas lahan pertanian dan ekivalen lahan dari input pertanian lainnya (seperti energi dan material) yang dibutuhkan untuk memproduksi unit tanaman tertentu per tahun, menggunakan teknologi pertanian tertentu.” Kyushik, et al. (2004) memberikan konsep daya dukung kota di dalam penelitiannya yang didefinisikan sebagai level maksimum dari kegiatan manusia seperti pertumbuhan penduduk, penggunaan lahan, serta pembangunan fisik lainnya, yang dapat didukung oleh lingkungan perkotaan tanpa menyebabkan kerusakan yang serius dan kerusakan yang tak terpulihkan pada lingkungan alam. 

Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa terdapat‘ambang batas tertentu’ pada lingkungan yang apabila dilampaui, akan dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius dan tak terpulihkan pada lingkungan alam (Kozlowski, 1997). Ketika pembahasan difokuskan pada dampak terhadap destinasi pariwisata, biasanya didasarkan pada suatu bentuk konsep daya dukung wisatawan. Daya dukung turisme seringkali didefinisikan sebagai berikut: “Jumlah turis yang berpotensi  merusak sebuah tempat yang dapat diasimilasi tanpa kerusakan jangka panjang dan dapat diukur dengan jumlah turis yang menggunakan tempat tersebut untuk menentukan apakah daya dukung sosial telah terlampaui dan lokasi dimaksud telah digunakan melampaui kapasitasnya (over utilized)” (Patterson, 2005). 

Analisis Jejak Ekologis berawal dari analisis daya dukung penduduk yang ditentukan di dalam suatu wilayah tertentu. Analisis Jejak Ekologis telah digunakan untuk mendefinisikan daya dukung ekologis untuk destinasi turis di New Zealand. Zhao, et al; (2005) mengatakan bahwa jejak ekologis memiliki akar yang kuat di dalam konsep daya dukung lingkungan. Sebagaimana telah didefinisikan oleh ahli-ahli biologi, daya dukung adalah sejumlah individu dari species tertentu yang dapat didukung dalam suatu habitat tertentu tanpa merusak ekosistem secara permanen (Odum, 1989; Rees, 1992). 

Apabila populasi dari species tersebut telah melebihi daya dukung habitatnya, maka yang terjadi adalah sumberdaya yang dibutuhkan oleh spesies tersebut bagi kelangsungan hidupnya akan mengalami deplesi, atau limbah yang diproduksi species tersebut menumpuk dan meracuni anggota species, atau akan terjadi keduanya, dan populasi pun akan punah. Daya dukung ekologis adalah beban maksimum yang dapat didukung secara terus menerus oleh lingkungan (Catton, 1986). Daya dukung tidak akan berkelanjutan kecuali bila didasarkan pada penggunaan sumberdaya dalam cara yang bisa terbarukan (renewable way). 

Sintesis dari berbagai definisi tentang jejak ekologis dan dayadukung tersebut, maka peneliti mendefinisikan jejak ekologis zona industri sebagai berikut : “Jejak Ekologis/  Appropriated Carrying Capacity sebuah zona industri adalah jumlah luas lahan yang dipakai dan ekivalen (lahan, air, daya tampung limbah) yang diperlukan untuk mendukung kegiatan zona industri tersebut, tanpa menyebabkan kerusakan yang serius dan tak terpulihkan pada lingkungan alam di zona industri dimaksud. Konsep daya dukung industri didefinisikan sebagai level/tingkat maksimum dari kegiatan industri Genuk, yang dapat didukung oleh lingkungan di Kecamatan Genuk tanpa menyebabkan kerusakan serius dan tak terpulihkan pada lingkungan alam. Konsep jejak ekologis sangat berhubungan erat dengan konsep daya dukung ekologis. 

Jejak ekologis diekspresikan dalam ha/kapita, sedangkan dayadukung ekologis biasanya diekspresikan dalam unit kapita/ha, sehingga membuat konsep tersebut seolah-olah saling berlawanan satu sama lain (Bicknell, Ball, Cullen, Bigsby, 1998). Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep dayadukung lingkungan adalah analisis lingkungan yang dilakukan di dalam zona industri secara ‘on-site/in-situ’ (luas lahan, kesesuaian lahan, sumberdaya alam dan energi yang dipakai oleh aktivitas industri serta asimilasi limbahnya), sedangkan konsep jejak ekologis merupakan analisis ‘off-site/ex-situ’ yang meliputi ekivalen luas lahan (appropriated) yang diperlukan akibat dari aktivitas industri dimaksud, dengan kategori : lahan pertanian, padang rumput, hutan, area terbangun (built up area), lautan dan lahan energi fosil (CO2- sink land). 

Perspektif Teoritis Analisis Jejak Ekologis 
Penelitian Wada (1999) mengemukakan implikasi penting dari teori termodinamika bagi ilmu ekonomi, yang merupakan alasan mengapa ekonomi neoklasik konvensional 40 tidak bisa menjadi alat yang efektif untuk mengukur keberlanjutan ekologis, dan mengapa konsep ‘jejak ekologis' merupakan alternatif yang amat berguna untuk analisis ekonomi ekologi (economic mainstream). Hukum Pertama Termodinamika yang dikenal juga sebagai Hukum Konservasi Materi dan Energi (Georgescu-Roegen 1971 dalam Wada, 1999)), menyatakan bahwa dalam sistem tertutup jumlah total massa atau energi akan tetap sama, meskipun salah satu massa atau energi tersebut mungkin telah berubah menjadi bentuk lain. Lebih lanjut Ehrlich (1993) menyatakan : “Jika energi di dalam suatu bentuk atau suatu tempat menghilang, jumlah yang sama harus muncul dalam bentuk lain atau di tempat lain. Dengan kata lain, meskipun transformasi dapat mengubah distribusi jumlah energi di antara berbagai bentuknya, namun jumlah total energi, ketika semua bentuk diperhitungkan, akan tetap sama. Dengan kata lain "materi dan energi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan." 

Hukum pertama telah memberikan dasar teoritis, yaitu prinsip keseimbangan energi untuk perhitungan penggunaan sumber daya. Ayres (1978) menyatakan: “Apa yang disebut prinsip keseimbangan energi, adalah bagian nilai total bahan dan energi yang diambil dari lingkungan alam sebagai bahan baku harus seimbang dengan jumlah total bahan dan energi yang kembali ke lingkungan sebagai arus limbah, dikurangi akumulasi dalam bentuk saham/ modal sumberdaya alam dan produk persediaan”. Hukum Kedua Termodinamika (Hukum Entropi) yang ditemukan oleh Rudolf Clausius pada tahun 1865, seorang ahli fisika Jerman, memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan hukum Termodinamika dan menemukan konsep entropi, mendasarkan  pada para ilmuwan terdahulu (Wada, 1999). 

Hukum Kedua Termodinamika disebut sebagai Hukum Entropi atau Hukum Peningkatan Entropi. Entropi adalah ukuran penyebaran panas atau bahan (pada tingkat molekuler). Sebuah entropi s dari panas misalnya, dinyatakan oleh persamaan sebagai berikut: s = q / T (kilokalori / Kelvin).................................................................................. (1) dengan nilai panas q kilokalori dan pada T ° K (Kelvin, yang merupakan skala absolut suhu) (Murota, 1989 dalam Wada, 1999). Lebih lanjut William Rees (1992) menjelaskan interpretasi moderen dari hukum kedua termodinamika sebagai berikut. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa ‘entropi’ dari setiap sistem yang terisolasi secara spontan akan meningkat. Artinya, konsentrasi materi tersebar, energi yang tersedia tidak teratur, gradien menghilang, dan urutan yang struktural dan integritas akan rusak. Akhirnya, ada suatu titik di dalam sistem yang dapat dibedakan dari yang lain (Rees, 1997). 

Implikasi Hukum Kedua Termodinamika bagi Aktivitas Manusia 
Wada (1999) mengatakan, aktivitas (ekonomi) manusia sangat kompleks, jauh dari ekuilibrium, dan mengorganisir sistem sendiri, sama seperti sistem kehidupan yang lain. Dengan demikian, perekonomian manusia (human economy) juga "tunduk pada hukum kedua termodinamika "(Rees 1998). Perbedaan utama antara ekonomi manusia dan sistem hidup lainnya adalah bahwa ekonomi manusia tidak hanya melakukan metabolisme biologis, tetapi juga 'metabolisme industri' (Ayres dan Simonis, 1994 dalam Wada, 1999). 42 Meskipun ada perbedaan, ekonomi manusia masih diatur oleh hukum peningkatan entropi. Implikasi umum dari hukum kedua termodinamika untuk ekonomi manusia pertama kali diperkenalkan oleh Soddy (1912, 1926, 1934) yang dikutip oleh Wada (1999). Energi memasuki proses ekonomi dalam keadaan entropi rendah dan keluar dari sistem itu dalam keadaan entropi tinggi. 

Tsuchida dan Murota (1987) dalam Wada (1999) juga menjelaskan implikasi hukum entropi sebagai berikut : "Konsumsi pada umumnya setara dengan timbulnya entropi dan produksi selalu diikuti dengan konsumsi yang menyebabkan terjadinya peningkatan entropi pada sistem tertentu secara keseluruhan."Penting untuk dicatat bahwa "gambaran positif" selalu disertai oleh sesuatu yang "negatif". Artinya, sepanjang sisi proses pembuatan yang diinginkan, penciptaan produk limbah atau emisi entropi tinggi ke lingkungan selalu terjadi (Gambar). Setelah energi /bahan bakar dibakar, entropi tinggi limbah panas dan asap akan dipancarkan ke lingkungan. Kita tidak dapat dengan mudah mengubah mereka kembali ke bentuk asli entropi rendah (walaupun masih mungkin untuk melakukannya, namun perlu adanya tambahan entropi energi rendah dan materi yang akan secara bersamaan menyebabkan peningkatan lebih lanjut entropi secara total). Terlepas dari kenyataan bahwa gambaran negatif selalu muncul setiap kali gambar positif berlangsung, kelangsungan hidup manusia dapat dipertahankan (Gambar). 
Gambaran Termodinamika dari Sebuah Proses Produksi (Wada, 1999) dengan modifikasi 

Hal ini menurut Wada (1999) hanya mungkin bila ekosfer memiliki sistem satu tingkat lebih tinggi dari pada sistem kehidupan manusia dan menyediakan pendukung kehidupan dan layanan yang sangat diperlukan bagi manusia. Layanan tersebut meliputi penyediaan energi dengan entropi rendah, dan penyerapan limbah dengan entropi tinggi. 

Seperti yang dikatakan Rees (1998), melalui interpretasi hukum entropi, bahwa ekonomi hanyalah satu tingkat di dalam hirarki sistem di mana kelangsungan hidup setiap sub sistem tergantung pada produktivitas sistem di atasnya. Hubungan ini tidak mengalami masalah baik bagi ekonomi atau ekosfer, selama konsumsi bahan dan limbah yang dihasilkan tidak secara signifikan melebihi produksi sumber daya dan asimilasi limbahnya (Rees 1998). 

Namun, ketika keseimbangan ini hilang, maka muncullah masalah lingkungan. Daly (1991) dikutip oleh Wada (1999) menjelaskan bahwa limbah dengan entropi tinggi sering mengganggu fungsi modal alam dan menghambat layanan pendukung kehidupan yang diberikan oleh udara, air, dan tanah. Polusi juga menghambat kemampuan modal buatan manusia untuk memberikan pelayanannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wada (1999), bahwa prinsip keseimbangan tersebut didasarkan pada pengakuan terhadap hukum kedua termodinamika, dan merupakan keharusan yang sangat penting bagi aspek keberlanjutan. Jika tidak, kegiatan manusia tidak akan dapat bertahan akibat berkurangnya kemampuan ekosfer dalam penyediaan jasa pendukung kehidupan.

Analisis Jejak Ekologis sebagai Instrumen untuk Menghitung Daya dukung Lingkungan
 Menurut Wackernagel dan Rees (1996), Jejak Ekologis adalah “A tool for Planning Toward Sustainability”. Jejak ekologis adalah instrumen untuk menghitung (accounting tool), yang memungkinkan bagi kita untuk mengestimasikan kebutuhan manusia terhadap konsumsi sumberdaya dan asimilasi limbah pada sejumlah populasi manusia atau ekonomi, berkenaan dengan lahan produktif yang sesuai (Wackernagel & Rees, 1996). 

Jadi Jejak Ekologis merupakan ukuran “beban/muatan” dari sejumlah populasi tertentu terhadap lingkungan alam. Hal ini mencerminkan luas lahan yang diperlukan untuk mendukung tingkat konsumsi sumberdaya serta pembuangan limbah yang dilakukan oleh populasi tersebut. Jejak Ekologis dan Biocapacity adalah nilai-nilai yang dinyatakan dalam satuan yang saling terpisah dari suatu daerah yang diperlukan untuk menyediakan layanan ekosistem setiap tahun seperti lahan pertanian untuk penyediaan bahan makanan nabati dan produk serat; tanah penggembalaan dan lahan pertanian untuk produk hewan; area perikanan (laut dan darat) untuk produk ikan; hutan untuk kayu dan hasil hutan lainnya; lahan untuk mengakomodasi penyerapan karbon dioksida antropogenik (jejak karbon), dan wilayah terbangun (built-up area) untuk tempat tinggal dan infrastruktur lainnya (Galli et al; 2012).

Sebagai hasil dari teknologi maju dan perdagangan dunia, lokasi ekologi bagi populasi manusia tidak lagi berkaitan dengan lokasi geografisnya. Pada kondisi saat ini, kota dan wilayah tergantung pada produktivitas ekologis dan fungsi penunjang kehidupan dari tempat yang jauh di seluruh dunia. Namun demikian, bagi seluruh aliran material dan energi, harus ada ekosistem dan wadah penerima limbah (sinks) yang berkaitan, dan harus tersedia sumber air dan lahan produktif yang menyokong aliran material dan energi tersebut.

Konsep jejak ekologis merupakan estimasi berdasarkan sumber daya alam pada wilayah tertentu serta aliran pelayanan yang dibutuhkan guna menyangga pola konsumsi suatu populasi, jumlah sumber daya yang digunakan beserta limbah yang dihasilkannya. Konsep ini merupakan alat untuk menghitung seberapa besar penggunaan sumber daya alam oleh manusia, agar supaya dapat dihemat/dikurangi. 

Menurut Kajian Jejak Ekologis di Indonesia (2010), perhitungan jejak ekologis didasarkan pada asumsi sebagai berikut. 
  1. Memungkinkan untuk merunut seluruh sumber daya yang dikonsumsi dan limbah yang dihasilkan ;
  2. Sebagian besar arus sumber daya dan limbah dapat diukur dari segi wilayah produktif biologisnya yang diperlukan untuk mempertahankan arus sumberdaya (flow). Sumberdaya dan arus limbah yang tidak dapat diukur dikecualikan dari penilaian. 
  3. Dengan membobot bioproduktivitas setiap daerah secara proporsional, berbagai jenis daerah dapat dikonversi ke dalam unit umum hektar global (gha) yaitu hektar dengan rata-rata bioproduktivitas dunia. 
  4. Luasan bioproduktif yang berbeda dapat dikonversi menjadi satu ukuran tunggal, yaitu hektar global (gha). Setiap hektar global pada satu tahun mencerminkan bioproduktif yang sama dan dapat dijumlahkan untuk memperoleh suatu agregat indikator jejak ekologis atau biokapasitas. 
  5. Permintaan manusia terhadap sumberdaya alam yang dinyatakan sebagai Jejak Ekologis, bisa langsung dibandingkan dengan pasokan alam dan biokapasitasnya (biocapacity/supply), ketika keduanya dinyatakan dalam satuan hektar global (gha). 
  6. Luas wilayah yang dibutuhkan (human demand) dapat melebihi wilayah pasokannya (nature’s supply), jika permintaan terhadap suatu ekosistem melebihi kapasitas regeneratif ekosistem tersebut (misalnya, masyarakat menuntut biokapasitas yang lebih besar terhadap areal hutan, atau perikanan).  
Jejak ekologis menunjukkan daerah dengan air dan lahan produktif yang diperlukan untuk memproduksi sumber daya yang dikonsumsi, dan menjerap limbah yang dihasilkan, pada populasi tertentu, menggunakan teknologi yang tersedia. Luasan jejak tergantung dari besaran populasi, standar kehidupan, teknologi yang dipakai, serta produktivitas lingkungan. Untuk kebanyakan negara industri, jejak ekologis nasional melebihi apa yang disediakan secara lokal. Artinya mereka mengalami “defisit lingkungan”. Namun, jejak ekologis tidak akan sama besarnya dan oleh karenanya daya dukung secara global yang cocok untuk negara industri maju, belum tentu pas bagi negara lain (Wackernagel, 1999). Jadi, bagi setiap orang yang mengkonsumsi 3 kali lipat dari jumlah yang tersedia, maka terdapat 3 orang lainnya yang hanya menggunakan sepertiga dari rata-rata konsumsi mereka.

Terdapat 6 kategori utama dalam menghitung produktivitas lahan, yaitu : 
  1. Lahan subur – lahan produktif yang digunakan untuk pembudidayaan; 
  2. Padang rumput – lahan penggembalaan untuk ternak lembu dan susu, yang kurang begitu subur; 
  3. Hutan – perkebunan atau hutan alami yang menghasilkan kayu; 
  4. Lahan energi fosil – wilayah hutan yang dilindungi untuk absorpsi CO2; 
  5. Daerah terbangun (built up area) – penggunaan lahan bagi permukiman, jalan, yang biasanya berlokasi di lahan subur; 
  6. Laut – menyediakan produksi laut guna menambah kebutuhan pangan manusia. 
Konsep jejak ekologis telah dikritisi karena metodologi yang dipakai kurang lengkap (Cox, 2000, 2004 dan Pearce 2005). Dasar perhitungan jejak ekologis adalah menggunakan lahan atau laut yang secara biologis produktif, yang diperlukan untuk menopang kehidupan sejumlah populasi tertentu. Namun pada kenyataannya, kondisi populasi manusia dan sumber daya alam tidaklah konstan, dan perhitungan lahan produktif cukup sulit karena harus membuat penilaian terhadap tingkat produktivitasnya. Selanjutnya, penggunaan teknologi secara signifikan dapat meningkatkan produktivitas lahan, sebaliknya aktivitas manusia dan teknologi juga dapat memberikan dampak negatif terhadap produktivitas lahan. Formula Jejak Ekologis dapat dilihat pada Gambar.

Kegiatan manusia tergantung pada biosfer, yang menyediakan terus menerus sejumlah besar sumber daya untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kehidupan sehari-hari serta tempat untuk menampung bahan limbah yang dihasilkan (Ouyang, 1999). Konsumsi sumber daya alam yang berdampak pada ekosistem alam didefinisikan sebagai "jejak ekologis".
Gambar  Formula Jejak Ekologis (Rees & Wackernagel, 1996) 
 
Jejak ekologis adalah jejak "kaki besar" yang merupakan beban sejumlah penduduk di kota-kota dan pabrik-pabrik yang diciptakan manusia (Rees, 1996). Ide analisis jejak ekologis adalah bahwa manusia mengkonsumsi berbagai produk, sumber daya dan pelayanan untuk bertahan hidup, sehingga jumlah konsumsi setiap materinya dapat dirunut ke belakang sebagai lahan ekologis produktif yang menyediakan substansi primer dan energi. Dengan teknologi yang digunakan, secara ekologis lahan produktif wilayah yang mempertahankan populasi tertentu di bawah gaya hidup tertentu disebut sebagai jejak ekologis permintaan (EF demand). Jejak ekologis pasokan (juga dinamakan sebagai daya dukung ekologis) adalah ekologis luas lahan produktif yang tersedia. Jika JE permintaan kurang dari JE pasokan, itu berarti bahwa pola pembangunan ekonomi dan sosial berkelanjutan, sebaliknya, jika JE permintaan lebih besar dari JE penyediaan, pola pembangunan menjadi tidak berkelanjutan.

Zona industri adalah wilayah di mana aktivitas manusia terkonsentrasi secara intensif dan ekosistem alam menerima banyak tekanan. Jejak ekologis zona industri dapat didefinisikan sebagai lahan produktif secara ekologis, yang mendukung aktivitas zona industri. Ekosistem adalah sistem terbuka dan pertukaran zat, energi dan informasi dengan sistem eksternal untuk mempertahankan taraf hidup dan kualitas kehidupan manusia. Dengan kata lain, lahan produktif secara ekologis untuk mempertahankan pengembangan zona industri termasuk pasokan yang tidak hanya dari sistem perindustrian itu sendiri, tetapi juga dari sistem eksternal. Akibatnya, umumnya, jejak ekologis permintaan dari zona industri lebih besar dari penyediaan lahan produktif secara ekologis. Dari sudut pandang ini,  sebuah zona ekologi industri dapat didefinisikan sebagai zona di mana jejak ekologis lebih kecil daripada zona yang lain dengan fungsi perindustrian normal dan kualitas hidup yang baik bagi warganya. Oleh karena itu, perhitungan dan analisis jejak ekologis zona industri dapat digunakan untuk menilai tingkat tekanan terhadap ekosistem alam akibat aktivitas manusia di zona industri tersebut (Shen, 2001). 

a) Jejak ekologis Permintaan (EF Demand) 
Perhitungan jejak ekologis didasarkan pada dua hipotesis: 
  1. Diketahuinya jumlah sumber daya yang dikonsumsi dan limbah yang dihasilkan; 
  2. Sumber daya yang dikonsumsi dan limbah yang dihasilkan dapat dikonversi menjadi lahan produktif secara ekologis. 
Oleh karena itu, Jejak ekologis dari zona industri, kota, orang atau bangsa adalah luas lahan yang menyediakan berbagai sumber yang memberikan dukungan kehidupan dan menyerap limbah manusia. 

Rumus perhitungan JE demand adalah sebagai berikut.  
EF adalah jejak ekologis total, N merupakan populasi, ef adalah jejak ekologis per kapita, ci adalah konsumsi quatity per kapita untuk i produk, pi adalah produktivitas rata-rata untuk i produk, AAI adalah luas tanah bio-fisik per kapita untuk i produk, rj merupakan faktor setara. Karena produktivitas lahan yang subur, energi fosil, padang rumput dan hutan berbeda secara signifikan, diperlukan untuk memperbanyak faktor kesetaraan (berat) dengan luas lahan bio-produktif untuk mengubahnya menjadi lahan seragam dan sebanding bio-produktif, j merupakan jenis ekologis lahan produktif. Untuk perhitungan EF, terdapat 6 jenis lahan produktif secara ekologis, yang merupakan energi fosil tanah, lahan pertanian, hutan, padang, daerah built-up, dan laut.