Baca Juga

Pengertian Sektor Informal
Konsep sektor informal pertama kali di pergunakan oleh Keirt Hard dari University of Manchester pada tahun 1973 yang menggambarkan bahwa sektor informal adalah bagian angkatan kerja di kota yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisir. Kemudian konsep informal di kembangkan oleh ILO dalam berbagai penelitian di Dunia Ketiga. Konsep itu digunakan sebagai salah satu alternatif dalam menangani masalah kemiskinan di Dunia Ketiga dalam hubungannya dengan pengangguran, migrasi dan urbanisasi.

Sejak Hart (dalam Effendi, 1994:127) memperkenalkan konsep sektor informal, konsep itu sering digunakan untuk menjelaskan bahwa sektor informal dapat mengurangi pengangguran di kota Negara sedang berkembang. Bahkan beberapa pengamat pembangunan di Negara sedang berkembang memandang sektor informal sebagai strategi alternatif pemecahan masalah keterbatasan peluang kerja. Sektor informal berfungsi sebagai “katup pengaman” yang dapat meredam ledakan sosial akibat meningkatnya pencari kerja, baik dalam kota maupun pendatang dari desa.

Breman (dalam Manning, 1991:138) menyatakan bahwa sektor informal meliputi massa pekerja kaum miskin yang tingkat produktifitasnya jauh lebih rendah dari pada pekerja di sektor modern di kota yang tertutup bagi kaum miskin. Sedangkan menurut Hidayat (1979), sektor informal adalah lawan dari sektor formal yang yang diartikan sebagai suatu sektor yang terdiri dari unit usaha yang telah memperoleh proteksi ekonomi di pemerintah, sedangkan sektor informal adalah unit usaha yang
tidak memperoleh proteksi ekonomi dari pemerintah.

Sementara itu Breman (dalam Manning, 1991) menyatakan bahwa:
“sektor informal adalah kumpulan pedagang dan penjual jasa kecil yang dan segi produksi secara ekonomi telah begitu menguntungkan, meskipun mereka menunjang kehidupan bagi penduduk yang terbelenggu kemiskinan”

Mengenai struktur informal ini Breman (dalam Manning, 1991) menambahkan bahwa sektor informal merupakan suatu istilah yang mencakup dalam istilah “usaha sendiri”, merupakan jenis kesempatan kerja yan kurang terorganisir, sulit di cacah, sering dilupakan dalam sensus resmi, persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturanaturan hukum. Mereka adalah kumpulan pedagang, pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil, serta golongan-golongan lain dengan pendapatan rendah dan tidak tetap, hidupnya serba susah dan semi kriminal dalam batas-batas perekonomian kota.

Kata sosial dalam pengertian umum berarti segala sesuatu mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Soejono Soekamto (1983:464) mengemukakan bahwa, “sosial adalah berkenan dengan perilaku atau yang berkaitan dengan proses sosial”. Jadi sosial berarti mengenai keadaan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial berarti suatu fenomena atau gejala akan bentuk hubungan seseorang atau segolongan orang dalam menciptakan hidup bermasyarakat.

Sedangkan kata ekonomi dalam pengertian umum berarti mengtur rumah tangga.  Rumah tangga yang dimaksud disini bukan berarti rumah tangga dalam pengertian sehari-hari, tetapi mempunyai arti yang cukup luas. Dimana pengertian rumah tangga secara luas yaitu bentuk kerja sama antar manusia yang ditujukan untuk mencapai kemakmuran, yaitu segala kemampuan manusia untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya dan sebaik-baiknya dengan mempergunakan alat pemuas kebutuhan itu sendiri yang secara terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan ekonomi lebih menitik beratkan pada hubungan antara kenyataan hidup seseorang dengan tingkat kehidupannya yang pada umumnya ditentukan oleh jumlah dan mutu barang dan jasa yang dipergunakan oleh seseorang sebagai suatu kebutuhan.

Terwujudnya kehidupan sosial ekonomi seseorang tidak terlepas dari usahausaha manusia itu sendiri dengan segala daya dan upaya yang ada serta dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong antara lain dorongan untuk mempertahankan diri dalam hidupnya dari berbagai pengaruh akan dorongan untuk mengembangan diri dari kelompok. Semuanya terlihat dalam bentuk hasrat, kehendak, kemauan, baik secara pribadi maupun yang sifatnya kelompok sosial.

Kehidupan sosial ekonomi dalam pengertian umum menyangkut beberapa aspek yaitu pendidikan, kepercayaan, status perkawinan, keadaan perumahan, kesehatan, status pekerjaan dan penghasilan. Sedangkan Melly G. Tang mengemukakan bahwa kehidupan sosial ekonomi dalam ilmu kemasyarakatan sudah lazim mencakup tiga unsur, yaitu pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Ilmu ekonomi yang saling bertumpang-tindih dengan ilmu-ilmu sosial dan perilaku lain, seperti psikologi, sosiologi, dan sejarah, menggunakan metode-metode deduktif yang logika dan geometri, serta metode induktif yaitu statistik dan empiris.

Oleh karena pakar ekonomi tidak melakukan eksperimen yang terkendali seperti halnya pakar ilmu fisik, maka setiap pakar ekonomi harus memecahkan masalah-masalah metodologi yang mendasar, yaitu berusaha memisahkan dengan tegas deskripsi dari pertimbangan nilai, menghindari kekeliruan post hoc dan kekeliruan komposisi, mengakui adanya subyektivitas yang tidak terelakkan dalam teori observasi. 

Aktivitas ekonomi secara sosial didefinisikan sebagai aktivitas ekonomi yang dipengaruhi oleh interaksi sosial dan sebaliknya mereka mempengaruhinya. Prespektif ini digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam menganalisis nilai pekerja manusia, dalam arti mata pencaharian dan stratifikasi ekonomi sosial.

Pendapat dari Soeratmo (dalam Dahriani, 1995:11-12) mengemukakan bahwa aspek kehidupan sosial ekonomi meliputi antara lain:
  1. Aspek sosial demografi meliputi antara lain: pembaharuan sosial, tingkah laku, motivasi masyarakat, serta kependudukan dan migrasi.
  2. Aspek ekonomi meliputi antara lain: kesempatan kerja, tingkat pendapatan dan pemilikan barang.
  3. Aspek pelayanan sosial meliputi antara lain: sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana olahraga dan sarana transportasi.
Memahami tindakan ekonomi sebagai bentuk dari tindakan sosial dapat dirujuk pada konsep tindakan sosial yang di ajukan oleh Weber (dalam Damsar, 2009:31), tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai suatu tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain. Memberi perhatian ini dilakukan secara sosial dalam berbagai cara misalnya memperhatikan orang lain, berbicara dengan mereka, dan memberi senyuman kepada mereka. Lebih jauh Weber menjelaskan bahwa aktor selalu mengarahkan tindakannya kepada perilaku orang lain melalui makna-makna yang terstruktur. Ini berarti bahwa aktor menginterpretasikan (verstehen) kebiasaan-kebiasaan, adat dan norma-norma yang dimiliki dalam sistem hubungan sosial yang sedang berlangsung.

Unsur kehidupan sosial yang dikemukakan oleh Koelle, yaitu aspek kesejahteraan sosial. Dimana ukuran-ukuran yang di nyatakan bahwa adanya kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut:
  1. Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi seperti: keadaan rumah, bahan rumah tangga, bahan pangan, dan sebagainya.
  2. Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik seperti: kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya.
  3. Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual seperti: moral, etika, keserasian, penyesuaian, dan sebagainya.
Dalam Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahtraan Sosial bahwa:
“Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dari penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan keterampilan lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah dan sosialnya yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sesuai dengan pancasila.”

Ciri-ciri Sektor Informal
Menurut Sethurama (dalam Latief, 1988:2), seorang pejabat Internasional Labour Organisation (ILO) di Jenewa menjelaskan bahwa:
“Ciri-ciri sektor informal yang umum diterima adalah 
  1. Mudah memasuki perusahaan baru tanpa adanya syarat-syarat yang membatasi; 
  2. (b) menggunakan tekhnologi bersifat lokal; 
  3. Pada umumnya dimiliki satu keluarga dan juga memanfaatkan tenaga kerja dari lingkungan kekeluargaan;
  4. Para tenaga kerja yang rata-rata tidak banyak memperoleh pendidikan formal; 
  5. Menggunakan teknologi yang lebih padat karya; 
  6. Melakukan produksi dalam skala/ukuran terbatas; 
  7. Melakukan operasi pada pasar dengan persaingan tajam dan tanpa adanya perlindungan melalui peraturan pengendalian”
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Hidayah (dalam Dahriani, 1995:22) yang mengemukakan beberapa faktor pelengkap dari cirri-ciri sektor informal tersebut, yaitu:

“faktor pelengkap tersebut adalah modal sukar diperoleh; kredit bila tersedia terutama dari lembaga keuangan tidak resmi. Selain itu, tidak ada peranan serikat buruh (trade union), hubungan kerja berdasarkan saling mempercayai antar majikan dan karyawan/pekerja, hasil produksi tersedia dalam persediaan terbatas serta mulut berbeda-beda dan tidak ada atau hanya sedikit diperoleh bantuan pemerintah”

Sedangkan menurut Wirosardjono (1985) sektor informal mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
  1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam waktu, permodalan maupun permintaan.
  2. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga kegiatannya bisa sering dikatakan liar.
  3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian.
  4. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha besar.
  5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapat rendah.
  6. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja.
  7. Umumnya tiap suatu usaha memperkerjakan tenaga sedikit dan dari hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama.
  8. Tidak mengenal suatu perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya.
Urip Soewarno dan Hidayat mengemukakan 11 ciri dari sektor informal yang garis besarnya hampir sama seperti yang dikemukakan oleh Wirosarjono. Kesebelas ciri tersebut adalah:
  1. Aktifitas pada sektor ini tidak terorganisir secara baik karena tidak melalui institusi yang ada;
  2. Kebijaksananan pemerintah tidak sampai pada sektor ini, maka sektor informal tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah;
  3. Pada umumnya setiap unit usaha tidak mempunyai izin usaha dari pemerintah;
  4. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam arti tempay ataupun jam kerja;
  5. Unit usaha pada sektor ini mudah keluar masuk dan masuk dari sub sektor ke lain sub sektor;
  6. Teknologi yang digunakan termasuk ke dalam tekhnologi yang sederhana;
  7. Modal dan perpustakaan usaha relatif kecil, maka skala operasi unit usaha ini kecil pula;
  8. Skala operasinya kecil dan tingkat tekhnologinya sangat sederhana, maka untuk mengelola usaha tidak diperlukan tingkat pendidikan tertentu, bahkan keahliannya didapat dari sistem pendidikan non formal dan pengalaman;
  9. Kebanyakan unit usaha ini termasuk dalam one-man enterprise atau kalau mempunyai buruh, maka buruh tersebut berasal dari lingkungan keluarganya dan unit tersebut dinamakan family enterprise;
  10. Sumber dana untuk modal tetap atau modal kerja kebanyakan berasal dari tabungan sendiri dan dari sumber keuangan tidak resmi;
  11. Hasil produksi dan jasa di sektor ini dikonsumsikan oleh golongan berpenghasilan rendah dan kadang-kadang oleh golongan menengah ke atas (Urip, 1978:425-427).
Diantara kedua konsep pendirian sektor informal yang telah dikemukakan oleh Wirosardjono dan Urip Soewarnolah yang agak mendekati ketegasan. Dengan ciri-ciri seperti yang dipaparkan di atas, maka pendapat diatas semakin jelas bahwa pedagang kaki lima menjadi salah satu bagian dari sektor informal.

Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh sektor informal, maka pencari kerja serta
pendatang baru dengan mudah dapat memasukinya. Sektor informal benar-benar
merupakan sumber penghidup baru yang tidak menuntut persyaratan terlalu berat dari
pada peminatnya.

Sektor Informal di Indonesia
Derasnya arus migrasi dari desa ke kota telah menyebabkan penyerapan tenaga kerja dalam kegiatan jasa-jasa dan produktivitas rendah. Gejala ini telah menjadi suatu ciri yang sangat menonjol di kebanyakan kota di Indonesia. Kenyataan seperti ini justru menimbulkan keprihatinan bahwa pengangguran di pedesaan sedang diekspor ke sektor informal yang berproduktivitas rendah di daerah perkotaan. Perkembangan pesat yang dialami oleh sektor tersier atau sektor jasa nampaknya merupakan cirri umum di Indonesia seperti di banyak negara sedang berkembang lainnya. Dalam disertasi dari hasil penelitian Graeme Hugo (Manning, 1991:291) membahas partisipasi migran di kota Jakarta dan Bandung yang berasal dari desa-desa di Jawa Barat, yang menemukan :

“Hubungan informasi antar pribadi dengan keluarga dan teman-teman yang telah berpengalaman di kota memegang peranan penting dalam mendapatkan pekerjaan di kota.”

Hubungan itulah yang mendorong perpindahan ke kota dan pengelompokan dalam pekerjaan yang sama di kota. Pola mobilitas sirkuler memungkinkan banyak penduduk Jawa Barat mengkombinasikan partisipasinya dalam angkatan kerja kota dengan pekerjaan di sektor pertanian di desa. Pekerja migran yang terlibat dalam sektor informal kebanyakan terlibat dalam distribusi komoditi berskala kecil.

Dari beberapa studi tentang partisipasi migran di beberapa kota di Indonesia, dapat dibuktikan bahwa sektor informal dalam ekonomi kota banyak menyerap kaum migran juga kehadiran sektor informal di Indonesia tampaknya berkaitan erat dengan besarnya populasi penduduk dan angkatan kerja serta ketidakseimbangan pembangunan antara kota dan desa.

Penduduk-penduduk kota di Indonesia tidak seluruhnya tergolong kelompok berpendapatan tinggi, melainkan sebagian tergolong kelompok berpendapatan rendah dan menengah. Dengan demikian dapat dikatakan daya beli sebagian besar penduduk kota masih termasuk rendah, sehingga permintaan terhadap jasa-jasa yang relatif murah harganya meningkat.

Besarnya persentase pekerja yang masuk sektor informal dan meningkatnya persentase tersebut mungkin merupakan pencerminan ketidakmampuan sektor formal menampung pertambahan angkatan kerja. Pendapat ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa kalau dapat, orang akan berusaha kerja di sektor formal. Hanya bila tidak ada lowongan di sektor formal, maka seseorang mencari atau menciptakan kesempatan kerja di sektor informal. Namun mungkin pula bahwa orang bekerja di sektor informal bukan karena mereka tidak dapat bekerja di sektor formal, mereka memilih sektor informal karena ini lebih mempunyai daya tarik.

Disampin itu karena adanya krisis ekonomi 1998 yang telah menyebabkan ambruknya sektor ekonomi formal yang menyebabkan terjadinya rasionalisasi pekerja (PHK) di sektor industri kota yang tinggi dan menuntut mereka memilih sektor informal untuk bertahan hidup.

Sektor Informal di Kota Makassar
Mayoritas penduduk Kota Makassar bekerja pada sektor Industri, perdagangan, jasa dan sektor-sektor informal lain. Kota-kota provinsi seperti Makassar merupakan pusat bagi daerah belakangnya, dengan demikian kota Makassar mempunyai daya tarik bagi migran dari desa yang berusaha membebaskan diri dari kemiskinan sebagai petani. 

Forbes (dalam Manning, 1991:292) mengamati sektor informal di kota Makassar dengan menitikberatkan kehidupan marginal pedagang kecil, hubungan sosial ekonomi antara pedagang dan pengaruh perkembangan kota terhadap kehidupan ekonomi mereka. Hubungan antara punggawa yang menguasai bahan baku dan permodalan, dan pedagang kecil.

Kajian Dean Forbes tentang penjaja di Makassar bahwa kebanyakan pekerja sektor informal adalah pengendara becak dan pedagang. Selanjutnya Forbes menggolongkan para pedagang di dalam tiga kategori untuk melihat struktur perdagangan sektor informal yaitu penjual borongan (punggawa), pengecer besar, dan pengecer kecil. 

Mengenai karakteristik pekerja sektor informal di kota Makassar, seperti yang dikemukakan oleh sosiolog Hasan Mangunrai pada hasil penelitiannya:

“Pada umumya adalah pekerja laki-laki yang berstatus kawin dengan rata-rata umur produktif dan semangat kerja yang cukup tinggi rata-rata pendidikan mereka adalah Sekolah Dasar (SD), jenis usaha sektor informal di kota Makassar meliputi 4 kelompok usaha, yaitu kelontong, makanan, buah-buahan dan usaha jasa, yang paling menonjol jenis usaha lapangan hidup sektor informal di kota Makassar adalah penjual makanan ini berasal dari luar Sulawesi Selatan, terutama dari pulau Jawa.” (Abu Hamid, 1992:1)

Sektor informal di kota Makassar cukup berperan dalam menyerap tenaga kerja
yang tidak tertampung dalam sektor formal dan juga erat kaitannya dengan para
pendatang dari daerah asal. Idrus Abustam mengemukakan tentang pemilihan lapangan
kerja bagi para pendatang dari desa, dalam simpulannya tentang peran sektor informal
bagi pendatang dari desa, adalah :

“Di kota Makassar terdapat banyak spesialisasi pekerjaan menurut daerah asal pendatang dan jenis atau status gerak penduduk, mereka yang datang dengan sedikit keterampilan atau berbakat cenderung memilih lapangan pekerjaan di sektor industri pengolahan sebagai tukang-tukang, dan kebanyakan berstatus permanen, sebaliknya yang datang tanpa keterampilan yang kebanyakan berstatus sementara (sirkuler), memilih lapangan pekerjaan di bidang angkutan seperti penarik becak dan di bidang perdagangan produksi kecil-kecilan.” (Idrus Abustam, 1989:290)

Penduduk yang berkaitan dengan daerah asal, biasanya mereka adalah pendatang dari daerah-daerah terdekat, setelah menanam padi berduyun ke kota mencari uang kontan. Sektor informal yang mudah diperoleh adalah sebagai tukang becak, penjaja dan berjualan di pinggir jalan. Bila tiba musim panen, mereka kembali ke desanya. Dalan Peraturan Daerah kota Ujung Pandang/Makassar No. 10 Tahun 1990 (Tgl. 17 Desember 1990) tentang Pembinaan Pedagang Kaki Lima Dalam Daerah Kotamadya
Daerah TK II Ujung Pandang bahwa:

“keberadaan pengusaha golongan ekonomilemah dan khusus pedagang kaki lima termasukpedagang kelana dan pedagang asongan di di daerah,merupakan salah satu potensi/sosial ekonomi masyarakatyang telah memberikan peranan yang cukup berarti dalam Pembangunan Daerah”

Sebagian dari kebutuhan masyarakat dapatdisediakan oleh para pedagang kaki lima dengan hargayang relatif murah dan terjangkau oleh kemampuandaya beli masyarakat kecil. Bahwa kehadiran para pedagang kaki lima telah menciptakan lapangan kerja yang dapat menyerap tenagakerja, sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Namun demikian kegiatan usaha mereka padaumumnya belum tertata dan terarah dengan baik, sehingga kehidupannya masih penuh ketidak pastian serta terkadang menimbulkan pula gangguan keamananlalu lintas, kebersihan dan keindahan lingkungan dan sebagainya.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas denganmemperhatikan pula arah kebijaksanaan Pemerintahdibidang ekonomi, khususnya pengusaha ekonomi lemah,maka kegiatan usaha pedagang kaki lima didaerah, perludibina dan diarahkan agar dapat berkembang semakinmeningkat serta tidak lagi menimbulkan dibidangkeamanan lalu lintas, kebersihan dan keindahan lingkungan dan sebagainya.