Baca Juga
Islamisasi Sains Dan Makna Strategis Da’wah Di Kampus
Dalam artikelnya yang berjudul A Struktural Theory of Imperialism, Johan Galtung yang terkenal dengan teori dependensi medianya. Teori dependensi media menjelaskan bahwa dunia terdiri dari negara maju yang disebut pusat, dan negara terbelakang yang disebut pinggiran (periferal). Hubungan keduanya menciptakan struktur dominasi dan melalui hubungan terjadi alih teknologi sekaligus transfer kultural.
Dalam dunia media massa, baik cetak maupun elektronik, hubungan semacam itu tampak kasat mata, misalnya ketika Barat memberikan cap “fundamentalis” kepada Kaum Muslim Afghanistan yang meruntuhkan rezim boneka komunis di negerinya, dan dengan serta-merta pers di negara berkembang yang umumnya negeri muslim melansir serta mengikuti pula klaim Barat tersebut. Maka istilah yang semula sehat dan netral itu menjadi kotor disebabkan proses pencitraan yang tidak obyektif dari Barat, yang akhirnya fundamentalis berkonotasi “sejumlah orang Islam yang berjenggot, berkaffiyeh (berjilbab bagi wanitanya) dan sering menteror masyarakat Non-Muslim”.
Ilustrasi di atas paling tidak dapat memberikan kesahihan teori Galtung di muka tentang hubungan antara pusat dan pinggiran. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apa sebabnya negeri-negeri Muslim sebagai negara berkembang mempunyai kecenderungan demikian? Apakah mereka merasa rendah diri ketika dihadapkan dengan peradaban Barat? Kalau ya, apa yang menjadi akar dari persoalan tersebut, sedangkan peradaban Barat pada dekade terakhir ini mengalami masa krisis? Apakah tidak salah, kita sebagai bagian dari umat Islam dunia menggambarkan Barat sebagai patron yang ideal dalam tata kehidupan di saat mereka sendiri sedang “sakit”?
KRISIS DI BARAT
Apa yang dimaksud dengan krisis dalam paragraf di atas secara pasti akan mengarah pada peradaban. Berbicara mengenai krisis peradaban, artinya berbicara mengenai krisis sains modern (Barat) dan penerapannya (teknologi). Karena sekalipun mungkin agak berlebihan, sains dan teknologi merupakan komponen dari sebuah peradaban. Ini berarti secara inheren sains dan penerapannya sendiri telah menjelaskan krisis yang melanda “dirinya”. Krisis global di negara modern telah menerpa kepada negara berkembang seperti pembangunan yang tidak berorientasi kepada lingkungan sehingga menyebabkan polusi, musim yang tidak menentu, berkembangnya fenomena anomie dalam masyarakat, dan fenomena destruktif lainnya yang merupakan representasi krisis peradaban.
Kalau kita mencoba mendaftar berbagai krisis tersebut maka akan didapatkan daftar yang cukup panjang. Sebagai ilustrasi adalah krisis lingkungan. Ekosistem alam kini berada dalam keadaan yang amat labil, karena banyak campur tangan manusia di dalamnya baik yang direncanakan ataupun tidak. Dampak umum rumah kaca akibat makin banyaknya gas CO2 hasil pembakaran bahan kabar fosil yang tidak hanya mengancam sebagian dunia tapi seluruh dunia. Belum lagi ditemukannya fakta bahwa lubang ozon bumi semakin memperlihatkan derajat ketipisannya yang mempengaruhi terhadap kesehatan masyarakat manusia di dunia termasuk di dalam hal ini semakin cepatnya pencairan es di wilayah kutub. (Gulsyani, 8-9).
Hal ini barangkali hanya sebagian kecil fakta yang dapat kita jadikan sampel, dalam dunia bioteknologi telah ditemukan teknik kloning, suatu teknik terbaru dalam mewujudkan obsesi manusia kontemporer untuk menciptakan manusia unggulan melalui benih unggulan pula. Mencermati realitas sosial semacam tadi, barangkali suatu hal yang relevan jika kita merenungkan pandangan Naquib Al-Attas bahwa: “... telah dan sedang terjadi semacam dominasi pemahaman kita tentang realitas oleh Barat yang sekular, karena itu pemahaman kita tentang realitas yang bersandar pada atau berangkat dari teori Barat sekular merupakan wujud nyata dari penjajahan intelektual”.
Pandangan semacam itu menunjukkan bahwa Naquib Al-Attas sebagai salah seorang penggagas Islamisasi Sains yang berkeinginan untuk membebaskan realitas dari penjajahan intelentual dan subyektivitas Barat, terutama yang menjelma dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dehumanistik, misalnya menjadikan masyarakat sebagai obyek rekayasa ekoomi politik kaum elit, eksploitasi alam yang tidak terkendali bahkan menjadikan manusia sebagai kelinci percobaan bagi studi-studi psiko-biologis.
TEKNOLOGI NEGARA BERKEMBANG SEBAGAI CONTOH AKTUAL
Teknologi yang secara sederhana merupakan penerapan sains adalah contoh aktual betapa masyarakat Muslim di Dunia Ketiga amat bergantung pada masyarakat Barat. Padahal teknologi yang diterapkan itu sendiri bukanlah merupakan kebutuhan utama dari masyarakat muslim seperti tadi.
Sebagaimana halnya sains, teknologi yang diimpor-pun tidaklah bebas nilai (netral). Hal ini sangat bertentangan dengan asumsi yang populer diterima masyarakat bahwa teknologi bersifat netral. Barangkali dari asumsi tersebutlah mengapa masyarakat Muslim dalam beberapa dasawarsa terakhir mengabaikan kebutuhan teknologis masyarakat Muslim yang sesuai dengan kebutuhan pasti mereka.
Keyakinan sifat baik teknologi ini begitu mendalam dan berpengaruh sehingga pengalaman selama tiga dasawarsa dalam kegagalan program bantuan teknologi dan akibat-akibat proyek alih teknologi yang merusakpun, tidak mampu meruntuhkannya. Dalam kasus alih teknologi misalnya tidak hanya menyebabkan negeri-negeri Muslim semakin tergantung pada negeri-negeri industri tetapi juga menimbulkan pengaruh yang merusak terhadap kebudayaan dan lingkungan Muslim. Perhatikan misalnya, pengaruh teknologi yang diterapkan di kota suci Makkah, Madinah, dan kawasan lain yang dipakai untuk ibadah haji. Pada dekade terakhir ini, lingkungan haji telah dirombak tanpa ampun, diputus dari akar-akar sejarahnya oleh semacam teknologi brutal yang didasarkan pada perusakan dan kekerasan lingkungan, suatu kenyataan yang memperlihatkan kurangnya perhatian akan nilai-nilai kultural dan concern spiritual. Alih teknologi yang sensitif pada lingkungan haji telah melahirkan situasi di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam kita menghadapi destruksi fisik secara total salah satu bangunan yang paling dimuliakan, simbol dari nilai yang tak tergoyahkan. (Sardar, Ulumul Quran 1991 No. 8 Vol. II).
Dengan demikian tidak ada sesuatupun yang bebas nilai (netral) dalam sains dan teknologi. Mereka yang masih setia pada gagasan ini sesungguhnya hidup di dunia lain. Sains dan teknologi modern adalah produk sejarah dan kebudayaan yang khas Barat, dan senantiasa membawa nilai-nilai asli kebudayaannya kemanapun ia disebarkan. Bila kita mencoba merunut kembali sejarah keilmuan, maka akan didapatkan bahwa krisis yang terjadi hari ini di Barat pada hakikatnya bermuara pada pandangan dunia mengenai relasi antara Tuhan, manusia dan alam, Humanisme Barat misalnya yang berakar dari filsafat Yunani Kuno menganggap bahwa alam adalah entitas yang mesti dikuasai.
Filsafat Yunani Kuno menampilkan konsep tarik-menarik antara manusia dan dewa. Dewa yang dipersonifikasikan dengan fenomena alam, seperti: banjir, petir, hujan dan sebagainya mengalami kekalahan. Manusia bisa mengatasi segala rintangan alam (dewa). Dari sinilah keilmuan Barat diarahkan kepada upaya penaklukan alam, lebih ekstrim lagi karena merasa mampu menaklukan alam, akhirnya tidak percaya kepada Tuhan dan lahirlah konsep keunggulan ras, dalam hal ini ras kulit putih.
ISLAMISASI SAINS
Berdasarkan kerangka pikir tersebut, sangat wajar ketika banyak pemikir Muslim sejak dekade 1970-an yang mencoba menggagas Islamisasi Sains. Dalam perspektif mereka, sains dan teknologi yang ada hari ini sudah terkontaminasi oleh peradaban Barat yang sekular. Definisi yang jelas mengenai Islamisasi sains sebetulnya masih belum baku, bahkan menimbulkan kontroversi mengingat belum adanya kesepakatan pandangan terhadap terminologi tersebut. Untuk iti, istilah Islamisasi sains dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaitkan kembali sains dengan agama, yang berarti mengaitkan kembali hukum alam (sunatullah) dengan Al-Quran yang keduanya pada hakikatnya merupakan ayat-ayat keagungan Tuhan. (Bastaman, Ulumul Quran 1991 No. 8 Vo. II).
Menurut Hanna Djumhana Bastaman dalam artikelnya yang berjudul Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai Ilustrasi, ada beberapa bentuk pola pemikiran Islamisasi sains, yaitu seabagi berikut:
1. Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal dari agama, padahal belum tentu sama. Misalnya menganggap konsep ruh sama dengan jiwa, nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, dan nafs al-muthmainnah yang identik dengan id, ego, dan super ego dalam psikoanalisisnya Sigmund Freud. Penyamaan ini sebenarnya lebih tepat disebut similarisasi semu, yang dapat mengakibatkan biasnya sains dengan direduksinya agama ke taraf sains.
2. Paralelisasi yang menganggap adalanya kesejalanan antara konsep yang berasal dari Al-Quran dengan konsep yang dari sains karena kemiripan konotasinya. Misalnya menggap Perang Dunia III sejalan dengan kiamat, atau menjelaskan perjalanan Isra Mi’raj paralel dengan perjalanan ke ruang angkasa dengan menggunakan rumus fisika S=v,t. Paralelisasi sering digunakan sebagai scientific explanation atas kebenaran ayat-ayat Al-Quran dalam rangka menyiarkan Islam kepada komunitas tertentu.
3. Komplementasi yang menyatakan antara sains dan agama saling mengisi dan memperkuat satu sama lain tetapi masing-masing tetap mempertahankan eksistensinya tersendiri. Misalnya manfaat puasa Ramadhan untuk kesehatan yang dijelaskan dengan prinsip-prinsip dietary dalam ilmu medis.
4. Komparasi yang membandingkan konsep atau teori sains dengan konsep atau teori agama mengenai gejala-gejala yang sama, misalnya teori motivasi dari ilmu jiwa diperbandingkan dengan konsep motivasi yang dijabarkan dari aya-ayat Al-Quran.
5. Induktivikasi yang memiliki asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empiris dilanjutkan pemikirannya secara teoretis-abstrak ke arah pemikiran metafisik, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama (Al-Quran) mengenai hal tersebut. Contohnya, adanya keteraturan dan keseimbangan yang menakjubkan di alam semesta ini menyimpulkan adanya Hukum Maha Besar yang mengatur.
6. Verifikasi yang mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran Al-Quran. Misalnya penelitian mengenai efek dzikir kepada Allah terhadap ketenangan perasaan.
Keenam pola pemikiran tersebut tetap memberikan impresi adanya semacam pengkotakan antara sains dan agama atau ada semacam ikatan yang terputus (missing link) dalam pola pemikiran tersebut. Agama yang pada dasarnya bertolak dari iman dan wahyu serta bercorak metafisis tidak bisa secara tergesa-gesa disatukan dengan sains yang bertolak dari akal manusia serta coraknya yang empiris. Untuk itu, perlu “sesuatu” yang mampu memperantarai sains dan agama sehingga missing link itu dapat ditiadakan, paling tidak dapat dieliminasi.
Mengingat sains dan agama memiliki karakter yang khas, maka sesuatu yang diperlukan itu berupa pandangan filosofis atau metafisis. Bila itu dimasukkan dalam figura Islamisasi sains, maka pandangan filosofis tersebut bermakna Islamisasi terhadap ilmuwannya sendiri. Jadi bukan ilmunya sendiri yang di-Islamkan tetapi lebih utamanya “meng-Islamkan” dulu pandangan dunia (world-view) dari ilmuwannya.
MAKNA STRATEGIS DA’WAH DI KAMPUS
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana “meng-Islamkan” pandangan ilmuwan dan sangat disadari bahwa ilmuwan, cendekiawan, pakar, dan juga calon-calonnya yang ada di kampus, maka dengan kenyataan tersebut usaha “men-Islamkan” kampus merupakan upaya awal yang strategis untuk menyiapkan Islamisasi sains. Bagaimana melakukan usaha tersebut? Telah banyak usaha yang dilakukan oleh para muballigh, ustadz atau bahkan aktivis da’wah kampus untuk melakukan usaha “meng-Islamkan” atau da’wah di kampus. Namun berbagai upaya tersebut belum cukup karena masih dilakukan secara sporadis, volunteer dan kurang terorganisasi.
Kalau usaha da’wah hanya dilakukan dengan mentoring, halaqah ataupun ceramah-ceramah yang sifatnya sekilas sehingga hasilnyapun tidak optimal, apalagi jika masih digarap secara individual. Untuk itu ada beberapa upaya yang dapat dilakukan secara bersama dan bersinergi, yaitu:
1. Melakukan koordinasi dan penyamaan persepsi antar-aktivis da’wah di kampus sehingga memiliki pandangan yang positif terhadap sains dan teknologi serta memiliki landasan agama yang kuat.
2. Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang besar semacam Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, ICMI, PERSIS dan sebagainya harus mulai memiliki concern dan perhatian khusus terhadap da’wah di kampus. Idealnya ormas-ormas tersebut mampu memfasilitasi sarana dan prasarana untuk pembinaan mahasiswa dalam bentuk pesantren mahasiswa dan lembaga lainnya yang mampu menjadi kawah candradimukanya kader-kader cendekiawan berwawasan ilmu keislaman dan kader-kader ulama yang cendekia.
3. Para cendekiawan dan ulama dituntut agar memberikan landasan-landasan agama yang kuat dan tepat untuk komunitas kampus dan juga dituntut untuk mulai menyebarkan ide-ide dan metodologi sains dan teknologi yang Islami.
Dengan ketiga solusi di atas maka kampus sebagai gudangnya cendekiawan dan calon cendekiawan akan memiliki nuansa Islami sehingga ilmu pengetahuan dan teknologinyapun akan bermanfaat bagi sekalian alam (rahmatan lil-‘alamien). Insya-Allah.