Baca Juga

Pengertian Peripatetisme, Apa Itu Peripatetisme?
Peripatetisme adalah istilah bagi falsafah yang mengikuti jalan Aristoteles yang tentunya tidak hanya ada dalam Islam tetapi pas setelah wafatnya Aristoteles sudah ada yang menjadi pengikut Aristoteles. Mereka yang mengekor madzhab Aristotelian disebut kaum Peripatetik.[1] Beberapa filsuf yang bisa disebutkan di sini adalah Al-Kindi dan lalu setelah mengalami kemunduran, falsafah Peripatetik kembali bangkit di Andalusia lewat Ibn Bajjah, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd.

Al-Kindi[2]
Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya`qub Al-Kindi (w. 866). Kata Ibn Nadim (w. 995), Al-Kindi melahirkan sampai 242 karya yang mencakup bukan saja filsafat Yunani. Dalam salah satu karyanya yang masih bisa diakses sampai sekarang, Fi Al-Falsafah Al-Ula (Tentang Falsafah Pertama), Al-Kindi mendefinisikan falsafah sebagai “karya manusia yang paling tinggi dan luhur” karena dipakai untuk mencari kebenaran, dan yang paling luhur adalah berfikir tentang Tuhan. Al-Kindi mengacu pada pandangan Aristoteles dalam Protrepticus yaitu “belajar falsafah memang tidak harus, tetapi juga tidak sia-sia”. Mereka yang menyebutnya sia-sia harus membuktikan kesia-siaannya secara sahih dan jika demikian, itu sama dengan berfilsafat.

Mengenai sifat-sifat esensial Sang Maha Esa, Al-Kindi menggarisbawahi mutlaknya keesaan Allah sebagai penyebab bagi semua yang ada (mawjud). Meskipun tampak beragam, semua mawjud pada dasarnya bermula dari kesatuan Sang Maha Esa. Katanya, “Tanpa kesatuan semacam itu, tidak akan ada satu apapun. Akibat kesatuan inilah segala sesuatu menjadi ada. Dan sekiranya Dia berhenti memelihara dan mengatur alam semesta, segala yang ada bakal hancur berantakan.” Namun Al-Kindi meyakini creatio ex nihilo. Alam tidak abadi (qadim) tapi huduts yang artinya tercipta dalam waktu dan karena itu, berarti bermula. Sebelum dia ada, dia pernah tiada.

Ibn Bajjah[3]
Nama lengkapnya Abu Bakr ibn Al-Sayigh (w. 1138) namun lebih dikenal sebagai Ibn Bajjah atau Avempace dalam literatur Latin. Nampaknya Ibn Bajjah banyak terpengaruh Al-Farabi yang suka membahas masalah politik. Karya utama Ibn Bajjah, Tadbir Al-Mutawahhid (Pemerintahan Soliter). Baginya, sabuah rezim haruslah mampu memberikan landasan yang kuat bagi tegaknya kehidupan yang bijak-bestari dan keluhuran yang layak bagi para filsuf meskipun tanpa kehadiran para tabib atau hakim.

Mengenai hubungan manusia dengan Allah, Ibn Bajjah menilai manusia berada pada tataran spiritual yang tinggi apabila ia mampu menyatukan diri dengan bentuk-bentuk spiritual, terutama dengan Akal Aktif. Penyatuan ini atau lebih tepatnya pertalian (conjunction) ini sepenuhnya bersifat intelektual, bukan musyahadah seperti yang banyak dikatakan oleh kaum Sufi. Kalau perlu, para filsuf harus hidup dalam kesendirian (solitude) sebaik mungkin. Bagi Ibn Bajjah, ini tidak bertentangan dengan ajaran Aristoteles bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk politik atau sosial karena hal itu hanya dilakukan dalam kondisi memaksa.

Ibn Thufail[4]
Nama lengkapnya Abu Bakr Ibn Thufail (w. 1185). Ia terkenal dengan karya romannya Hayy ibn Yaqzhan (Kehidupan Anak Kesadaran). Dalam karya itu, Ibn Thufail menyebutkan tiga karakter manusia: pertama, karakter kebinatangan yang mengharuskan manusia memenuhi kebutuhan fisiknya. Kedua, manusia mempunyai watak spiritual atau intelektual yang memungkinkan manusia merenungkan keindahan dan keteraturan alam sekitar; dan ketiga, kesucian jiwa bisa menghantar manusia kepada Wujud Mutlak.

Roman ini ada kelanjutannya yaitu pada pulau yang bersebelahan dengan tempat kelahiran Hayy. Di sana hidup Absal dan Salaman. Absal lebih cenderung pada makna batin dari kebenaran agama, sedangkan Salaman lebih cenderung pada makna lahiriahnya. Suatu hari Hayy dan Absal sempat bercengkrama lama dan lahirlah kesalingpengertian antara keduanya bahwa apa yang nampak di dalam teks-teks agama sekadar representasi kebenaran spiritual, namun itu sangat sesuai dengan pengalaman spiritual yang pernah dialami Hayy. Karena itu, tidak ada beda antara agama dengan falsafah.

Ibn Rusyd[5]
Nama lengkapnya Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (w. 1198) dan lebih dikenal dengan Ibn Rusyd. Ia termasyur dengan karya-karyanya yaitu Tahafut Al-Tahafut (Kerancuan Buku “Kerancuan” karya Al-Ghazali), Fashl Al-Maqal (Pernyataan yang Jelas-Lugas), dan Al-Kasyf `an Manahij Al-Adillah (Uraian tentang Metode-Metode Pembuktian). Dua karya terakhir membahas hal ihwal hubungan antara agama dan falsafah. Bagi Ibn Rusyd, perbedaan agama dan falsafah bisa didamaikan jika kita memahami bahwa Al-Quran juga mempunyai ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Kontroversi antara teolog dan filsuf terjadi pada ayat-ayat mutasyabihat. Karena itu, tidak ada masalah.

Dalam Tahafut, dibahas poin-poin serangan Al-Ghazali terahdap falsafah yaitu tentang keabadian alam, kemustahilan Allah mengetahui hal-hal yang partikular, dan kebangkitan jasmani. Tentang keabadian alam, bagi Ibn Rusyd, kekekalan alam tidak dalam arti sesungguhnya sebagaimana Tuhan dalam arti tidak mempunyai sebab. Namun di sisi lain alam juga tidak bisa disebut temporal (muhdats) dalam arti sesunggunya yaitu bisa rusak binasa (fasid). Karena itu, Allah tidak mencipta dari tiada karena penciptaan adalah tindakan penggabungan materi dengan bentuk, atau mengaktualisasikan potensi. Namun semuanya sepakat pada hal Allah adalah Pencipta alam semesta. Hanya berbeda pada hal bagaimana penciptaan itu terjadi.

Tentang pengetahuan Allah terhadap hal-hal yang partikular, Ibn Rusd menegaskan bahwa pengetahuan (`ilm) kita dengan Allah itu berbeda. Pengetahuan Allah adalah sebab bagi keberadaan objek-objek, sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat keberadaan objek-objek atau bahkan pengetahuan kita ditentukan oleh keberadaan objek-objek itu.

Adapun kontroversi kebangkitan jasmani berawal dari perbedaan pendapat pada apa yang dibangkitkan. Bagi Ibn Rusyd, kebangkitan itu adalah kebangkitan ruhani (ma`ad ruhani), sedangkan para teolog berpihak pada kebangkitan jasmani.

Iluminasionisme
Iluminasionisme adalah nama bagi madzhab falsafah yang lahir pada abad ke-12 yang mengadopsi ajaran Neoplatonisme oleh filsuf Persia Syihab Al-Din Al-Suhrawardi (w. 1191) yang juga terkenal dengan gelar Syaikh Al-Isyraq. Namun sebelum Al-Suhrawardi, telah ada filsuf yang terpengaruh Neoplatonisme yaitu Al-Farabi dan Ibn Sina.

Al-Farabi[6]
Nama lengkapnya Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Uzlagh Al-Farabi (w. 950). Karya yang berisi substansi falsafahnya adalah Mabadi Ara Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (Dasar-Dasar Pandangan Penduduk “Kota Utama”).

Tuhan bagi Al-Farabi, adalah Wujud Pertama yang mestilah bersifat (1) sempurna, (2) abadi, (3) bukan gabungan dari materi dan bentuk, dan (4) tak bergantung. Sedemikian unik Dia sehingga mustahil ada yang menyekutui-Nya. Dia adalah Cinta yang mencintai Diri-Nya sendiri. Sisi Neoplatonisnya muncul ketika mengatakan bahwa kesempurnaan dan kebajikan tiada tara pada Wujud ini meniscayakan tercurah dan terpancar Wujud-Nya melalui hierarki keberadaan yang susul-menyususl di bawah-Nya (emanasi). Emanasi “menurun” terjadi sesuai dengan prinsip penyurutan (regression) dan penyusutan (devolution), yaitu Wujud Paripurna surut menjadi maujud yang kurang sempurna; yang kurang menjadi yang lebih kurang; dan demikian seterusnya.

Manusia adalah puncak prose kejadian fisik dan karenanya, manusia memadukan seluruh elemen primer secara amat kompleks hingga mempunyai kemampuan bertumbuh-kembang (nutritive dan vegetative), berindra (sensitive), berhasrat (desiderative atau appetitive), berkhayal (imaginative atau representative) dan terakhir bernalar (rational). Ada tiga dimensi kemampuan bernalar manusia, yakni teoretis, praktis, dan produktif. Semua kemampuan itu dikendalikan oleh jantung.

Tahap-tahap emanasi ini diisi oleh akal (`aql) atau nalar. Bagi Al-Farabi, nalar memiliki enam istilah (1) nalar yang oleh masyarakat awam dikenakan pada orang cerdas atau cerdik (perceptive) yang juga dipakai untuk mengukur “kemasukakalan”; (2) nalar yang dimaksud para teolog ketika menolak atau membenarkan pendapat tertentu atau kesepakatan umum; (3) nalar yang disebut malakah yang memungkinkan manusia mengetahui mengetahui secara intuitif prinsip-prinsip pembuktian (demonstration/burhan); (4) nalar praktis hasil pergumulan panjang manusia, yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipilih atauh dihindarinya; (5) nalar yang bisa diabstraksikan oleh intelek-capaian (al-`aql al-mustafad) pada tahap tertinggi kognisi manusia untuk “berdekatan” atau “bersentuhan” dengan Intelek Aktif; (6) nalar yang berfikir dan beswacita mengenai dirinya sendiri. Dan inilah yang disebut Tuhan.

Ibn Sina[7]
Nama lengkapnya Abu Ali Husein ibn Abdillah ibn Sina (w. 1037). Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Qanun fi Al-Thibb (Undang-Undang Pengobatan). Sama dengan Al-Farabi, Ibn Sina juga mengajarkan emanasi. Bedanya, Ibnu Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat:
1. sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah (necessary by virtue of the Necessary Being).
2. dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (possible in essence).

Dengan demikian dia mempunyai tiga objek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit. Dari sini, Ibn Sina mengembangkan ajaran tentang jiwa yang baginya ada tiga bagian: jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), dan jiwa manusia (al-nafs al-nathiqah). Jiwa manusia mempunyai dua daya:
1. Praktis (al-`amilah, practical) yang hubungannya dengan badan.
2. Teoretis (al-`alimah atau al-nazhariah, theoretical) yang hubungannya dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
a. Akal materiil (al-`aql al-hayulani, material intellect) yang semata-mata mempunyai potensi berfikir dan belum dilatih.
b. Intellectus in habitu (al- aql bi al-malakah) yang telah dilatih berfikir tentang hal-hal abstrak.
c. Akal Mustafad (al-`aql al-mustafad, acquired intellect) yaitu akal telah terlatih dan mengetahui hal-hal abstrak. Akal seperti inilah yang dilimpahi ilmu oleh Akal Aktif (al-`aql al-fa`al)

Bagi Ibn Sina, akal mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya adalah al-`aql al-hayulani (akal materiil). Adakalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat yang oleh Ibn Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil seperti ini begitu besarnya, sehingga tanpa latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal seperti ini mempunyai daya suci (quwwah qudsiyyah). Inilah akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada nabi-nabi. 

Untuk membuktikan adanya Tuhan dengan logika, Ibn Sina memakai konsep wujud dan esensi. Bagi Ibn Sina, wujud lebih penting daripada esensi karena wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Hingga ada yang mengatakan bahwa Ibn Sina adalah pertama kali memunculkan falsafah wujudiyah atau eksistensialisme. Esensi dan wujud dapat dikombinasikan sebagai berikut.
1. Esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, mumtani`. Sesuatu yang mustahil wujud. Misalnya segala sesuatu yang selain yang ada sekarang ini.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud, contingent being). Seumpama alam ini.
3. Esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud (wajib al-wujub). Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Inilah Tuhan.

Al-Suhrawardi[8]
Nama lengkapnya Syihab Al-Din Abu Al-Futuh Yahya ibn Habsy ibn Amirak Al-Suhrawardi (w. 1191). Dia wafat dihukum mati oleh Shaladin atas tuduhan kafir oleh kaum teolog ataupun fuqaha. Karena itu, terkadang dia disebut Al-Suhrawardi Al-Maqtul atau Suhrawardi Al-Maqtul.[9] Menurut Al-Suhrawardi, Peripatetik konvensional tidak memadai untuk mencapai tujuan para pencari Tuhan yang ingin tiba pada tingkat “pengalaman kebijaksanaan maupun hikmah”, atau bagi yang ingin memadukan metode diskursif dan pengalaman-batin sekaligus. Tugas terakhir ini, katanya, telah dituntaskannya dalam karyanya yang paling terkenal, Hikmah Al-Isyraq (Filsafat Iluminasi).

Al-Suhrawardi mengakui semua pencapaian ini bersumber dari Plato, “Guru Hikmah” dan penghulunya. Dari Plato, hikmah ini mengalir kepada Hermes dan guru mistis lainnya, seperti Empedocles dan Pythagoras. Dalam Islam diwariskan oleh Dzunnun Al-Mishri, Sahl Al-Tustari, Abu Yazid Al-Bisthami, Kharaqani, dan Al-Hallaj dan puncaknya ada pada diri Al-Suhrawardi sendiri. Seyyed Husein Nasr menuliskan garis besar teori-teori Al-Suhrawardi:

Hakikat dari Cahaya Mutlak Pertama, Tuhan, memberi terang terus-menerus, yang merupakan pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada segala sesuatu dengan sinarnya. Segalanya di dunia berasal dari Cahaya hakikat-Nya dan segala keindahan dan kesempurnaan adalah karunia dan kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini sepenuhnya berarti keselamatan.

Bagi Al-Suhrawardi, inti “hikmah iluminasi” adalah “ilmu cahaya”. Cahaya ini, menurutnya, tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas yang paling nyata. Juga karena ia merupakan realitas yang “menampakkan” (to manifest) segala sesuatu. Puncak urutan wujud terdapat cahaya-cahaya murni, yang membentuk anak tangga menaik. Bagian tertingginya adalah Cahaya di atas Cahaya[10] yang menjadi sumber semua cahaya yang berada di bawahnya. 

Status keberadaan suatu ciptaan bergantung kepada kadar terkena atau tidaknya oleh penerangan. Segala sesuatu menjadi ada karena bunyi sayap-sayap Jibril yang meliputi seluruh dunia. Di samping malaikat umum yang melindungi kemanusiaan ini, ada malaikat pelindung sendiri bagi setiap jiwa. Karena jiwa mempunyai praeksistensi di dunia malaikat dan “pada waktu masuk/tubuh/jiwa ….. terbagi dalam dua bagian, sebagian tinggal di surge dan yang lain turun masuk ke penjara atau “benteng tubuh”. Itulah mengapa jiwa tidak bahagia di dunia; jiwa selalu mencari setengah bagiannya yang lain. Karena itu, keadaan jiwa setelah mati bergantung kepada kadar terang dan penyucian yang dicapai sewaktu hidup; hidup adalah proses perjuangan yang terus-menerus untuk mencapai cahaya purba dalam keadaan yang murni. Untuk mencapai cahaya purba itu diperlukan dzawq (rasa) yaitu sebentuk artikulasi yang bagi Al-Suhrawardi merupakan pilihan yang lebih diutamakan daripada artikulasi intelektual, dan itu merupakan pengaruh Neoplatonisme.[11]

Hikmah Transendental
Nama lengkapnya Shadr Al-Din Al-Syirazi (w. 1641) dan lebih terkenal dengan Mulla Shadra. Dia adalah pengulas paling utama terhadap atas karya-karya Al-Suhrawardi. Karyanya yang paling masyhur adalah Al-Asfar Al-Arba`ah (Empat Pengembaraan Jiwa).[12] Keempat perjalanan jiwa itu adalah: (1) perjalanan dari makhluk (khalq) menuju Tuhan; (2) perjalanan menuju Tuhan melalui (bimbingan) Tuhan; (3) perjalanan dari Tuhan menunju makhluk melalui bimbingan Tuhan; dan (4) perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan. Dalam karyanya ini, Mulla Shadra menyuarakan keyakinannya tentang keharmonisan sempurna antara filsafat dan agama. Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaran tunggal yang dibawa oleh Adam. Dari Adam, kebenaran itu diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filsuf Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya para filsuf pada umumnya. Orang Yunani, tulisnya, semual menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya, mereka mengambil falsafah dan teologi dari Ibrahim. Semua yang disebut di atas menerima “cahaya Hikmah” dari “mercusuar kenabian”. Inilah sebabnya para filsuf itu secara keseluruhan bersesuaian dengan para nabi dalam persoalan-persoalan menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam, dan hari kebangkitan.

Terkait dengan Ibn Sina dan Ibn Rusyd, Mulla Shadra berbeda dengan mereka dalam hal keabadian alam dan kebangkitan jasmani. Baginya, para filsuf dan guru kuno, dari Hermes hingga Thales, Pythagoras hingga Aristoteles, sebenarnya menyatakan bahwa alam diciptakan dalam waktu (muhdats). Para pengikut merekalah yang keliru menangkapnya.

Menurut Mulla Shadra, mustahil membuktikan keabadian waktu dan gerak untuk menyatakan keabadian alam. Satu-satunya wujud yang eksistensinya mendahului waktu dan gerak adalah Tuhan—yang menciptakan alam dengan memerintahkannya menjadi. Dan karena waktu merupakan bagian alam, mustahil waktu bisa mendahului perintah kreatif Tuhan (amr) yang mendahului keberadaannya. Sedangkan tentang kebangkitan jasmani, Mulla Shadra meyakini kebangkitan jasmani namun jasmani yang mengikuti bentuk esensinya atau ruhani-nya dalam bahasa Ibn Rusyd. Memang Mulla Shadra tidak menyebutkan bahwa yang bangkit nanti adalah jasmani sebagaimana yang kita pakai sekarang ini, namun akan mengikuti bentuk kebiasaan dan perangai yang dijalani selama hidup di alam yang lebih rendah.

Tasawwuf Falsafi
Pembagian tasawwuf menjadi tasawwuf falsafi dan tasawwuf sunni lebih dimaksudkan sebagai dua aspek dari tasawwuf daripada dua hal yang benar-benar berbeda. Sebenarnya kita telah memasuki tasawwuf falsafi sejak awal pembicaraan dan semakin mengental ketika memasuki Al-Suhrawardi lewat iluminasionismenya dan apalagi pada Mulla Shadra dengan Hikmah Muta`aliyah-nya. Meski demikian, mereka yang disebutkan di atas lebih sering disebut sebagai filsuf daripada mistikus atau sufi. Tokoh-tokoh yang kita akan bahas selayang pandang berikut ini lebih dikenal sebagai sufi daripada filsuf.

Ibn `Arabi[13]
Nama lengkapnya Muhyi Al-Din ibn `Arabi (w. 1240). Ada dua karyanya yang masyhur yaitu Fushush Al-Hikam (Segi-Segi Ilmu Pengetahuan Ilahi) dan Al-Futuhat Al-Makkiyah (Wahyu-Wahyu Makkah). Yang terakhir ini ditulis di Makkah dan diakui oleh Ibn `Arabi didiketekan oleh Allah melalui malaikat pemberi ilham. Inti mistisisme Ibn `Arabi adalah “kesatuan wujud” (wahdah al-wujud) yang berpijak pada hal-hal filosofis pada apa yang disebutnya sebagai logos (kalimah) atau Firman. Bagi Ibn `Arabi, ada aspek tersembunyi Tuhan yang takkan pernah terjangkau, aspek ketunggalan (ahadiyah), dan aspek ketuhanan Tuhan (rububiyah). Kedua aspek yang terakhirlah yang mewadahi penyingkapan (pewahyuan) Diri-Nya pada alam semesta. Sedangkan aspek pertama bebas dari kejamakan (multiplicity) atau keterbatasan (determinateness). Dan aspek Tuhan yang satu ini disebut Cahaya Murni, Kebajikan Murni, atau Kebutaan (Al-`Ama). Multiplisitas Tuhan mewujud lantaran banyaknya sifat dan batasan yang disematkan pada-Nya. Jadi, sebagai Zat, Dia merupakan Realitas Sejati (Al-Haqq), namun sebagai sifat sebagaimana tampak di alam raya dan sebagai ciptaan-Nya Dia bisa saja tampak sebagai penciptaan (Al-Khalq) itu sendiri. Dengan demikian, apakah itu disebut keesaan atau kejamakan, kemutlakan atau kemungkinan, Pencipta atau ciptaan, sesungguhnya satu dan sama. Dan motif penciptaan Tuhan bukanlah “keniscayaan alam” sebagaimana dipahami oleh Al-Farabi dan kaum Neoplatonik lainnya melainkan cinta.

Tahap tertinggi yang bisa dicapai oleh jiwa manusia adalah pengalaman langsung (dzawq). Berbeda dengan Al-Bisthami dan Al-Hallaj yang menginginkan penyatuan-diri (al-ittihad) dengan Tuhan, atau Al-Ghazali dan kaum sufi Islam pada umumnya yang mencita-citakan memandang (musyahadah) dengan Tuhan. Saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan-diri (fana’).

Tasawwuf Sunni
Di awal sudah disebutkan bahwa pembagian tasawwuf kepada tasawwuf falsafi dan tasawwuf sunni menyimpan masalah. Tidak banyak orang yang sepakat dengan itu. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai sekadar aspek dalam tasawwuf; termasuk yang berpendapat seperti ini adalah Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, MA. Bahkan Annemarie Schimmel menyebut Ibn `Arabi sebagai sufi Sunni;[14] mirip dengan Fazlur Rahman yang menyebutkan adanya kaitan erat antara Al-Asy`ariyyah dengan Ibn `Arabi. Mungkin Schimmel memaksudkan Ibn `Arabi sebagai bukan sufi Syi`ah sebagaimana Mulla Shadra; dan memang Sunni sering diperlawankan dengan Syi`ah. Mungkin pula karena itulah Ibn `Arabi masuk dalam golongan sufi bukan filsuf. Karena jika sedikit saja dia menekankan otonomi manusia, maka dia masuk ke dalam golongan filsuf. Di antara yang pernah membagi tasawwuf kepada tasawwuf falsafi dan sunni adalah Al-Kalabdzi dalam bukunya, Sufi dari Zaman ke Zaman.

Namun paling tidak ada lawan tasawwuf yang beraspek sunni itu ada dan sering didukung oleh penguasa. Disebut Sunni karena meraka memang sebagian besar dipengaruhi oleh ajaran Al-Asy`ari dan Imam Hambali yaitu Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama`ah. Penafsiran mereka dalam tasawwuf sama dengan cara baca mereka terhadap teologi yaitu lebih condong kepada makna lahiriah Al-Quran dan Hadits dan karena itulah sering berseberangan dengan tasawwuf falsafi yang menyenangi ta’wil. Perbedaan cara pandang itu yang melahirkan tragedi-tragedi semisal tewasnya Al-Hallaj dan Al-Suhrawardi. Hal lain yang menjadi pertentangan antara tasawwuf falsafi dan tasawwuf sunni adalah celotehan mistis (syathahat). Tasawwuf sunni sangat alergi dengan syathahat yang sering lahir dari bibir pada tasawwuf falsafi. Semisal Al-Bisthami yang kadang berkata: “Mahasuci diriku, mahabesar aku!” atau ungkapan Al-Hallaj berupa: “Akulah Al-Haqq!”

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
[1] Lih. Donald M. Borchert (ed.), Encyclopedia of Philosophy Second Edition, Jilid 2, (Detroit: Thomson Gale, 2006), h. 202.
[2] Tentang Al-Kindi, tulisan ini menyari dari Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 25-34 dan Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), h. 6-11.
[3] Tentang Ibn Bajjah, tulisan ini menyari dari Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 99-103.
[4] Tentang Ibn Thufail, tulisan ini menyari dari Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 103-107.
[5] Tentang Ibn Rusyd, tulisan ini menyari dari Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 107-116 dan Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h. 37-43.
[6] Tentang Al-Farabi, tulisan ini menyari dari Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 45-54 dan Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h. 17-30.
[7] Tentang Ibn Sina, tulisan ini menyari dari Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 54-62 dan Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h. 25-30.
[8] Tentang Al-Suhrawardi, tulisan ini menyari dari Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 129-133 dan Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 329-333.
[9] Annemarie Schimmel menyebutnya meninggal dalam penjara pada umur 38 tahun. Lih. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, h. 329. 
[10] Cahaya di atas Cahaya atau Nur `ala Nur mirip dengan ungkapan dalam buku Al-Gazali, Misykat Al-Anwar yang menurut Schimmel memang ada pengaruhnya tetapi tidak disebutkan oleh Al-Suhrawardi sendiri.
[11] Lih. Ian Richard Netton, “Unsur-Unsur Neoplatonis Filsafat Iluminasi Suhrawardi: Filsafat Sebagai Tasawwuf”, dalam Seyyed Hossein Nasr (eds.), Warisan Sufi: Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 431.
[12] Dalam pengantar karya Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam edisi Indonesia, Musa Kazhim menyebutnya Al-Asfar Al-`Aqliyah Al-Arba`ah fi Al-Hikmah Al-Muta`aliyah (Empat Perjalanan Intelektual dalam Hikmah yang Memuncak).
[13] Tentang Ibn `Arabi, tulisan ini menyari dari Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 92-94.
[14] Lih. Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, (Bandung: Mizan, 1998), h. 168. Adapun Fazlur Rahman tidak menyebutkan Ibn `Arabi sebagai penganut tasawwuf sunni atau falsafi tetapi menegaskan bahwa dalam hal “ketakberdayaan manusia” di hadapan “kemutlakan Tuhan”, Ibn `Arabi lebih parah daripada Al-Asy`ari. Jika Al-Asy`ari menyatakan hanya Tuhan yang dapat berbuat, maka Ibn `Arabi mengajarkan hanya Tuhan yang ada dalam realitas. Jika Asy`ariyyah mengubah konsep perbuatan manusia menjadi sangat hampa, Ibn `Arabisme mengubah konsep wujud manusia menjadi benar-benar tidak berarti. Lih. Fazlur Rahman, Kebangkitan dan Pembaharuan di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), h. 102. Pada bukunya yang lain, Fazlur Rahman menyebutkan bahwa metoda penulisan Ibn `Arabi tidak filosofis karena lebih banyak menulis dengan analogi dan imaji ketimbang dengan bukti-bukti filosofis, sedangkan Shadra benar-benar bersifat rasional fan filosofis. Lih. Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, (Bandung: Pustaka, 2000), h. 7.