Baca Juga
Bagi anak-anak Jawa sekarang, mungkin sudah sangat jarang yang mengenal siwur, bahkan mendengar namanya pun mungkin belum pernah. Namun generasi tua Jawa atau leluhur masyarakat Jawa, sudah sangat familier dengan siwur. Ini adalah salah satu alat dapur yang berfungsi untuk mengambil air dari gentong atau tempat penampungan air lainnya. Siwur sama dengan gayung dalam bahasa Indonesia.
Siwur biasanya dibuat dari bahan tempurung kelapa yang diberi pegangan bambu. Tempurung kelapa yang digunakan setidaknya separuh lebih. Di salah satu bagian atas berlubang. Lalu pada bagian tengah dilubangi sebagai tempat untuk memasukkan dan mengikatkan bambu pegangan. Bentuknya memang sangat sederhana. Namun keberadaannya begitu penting di dapur.
Berdasarkan rekaman kamus bahasa Jawa bernama “Baoesastra Djawa” karangan WJS Poerwadarminta terbitan tahun 1939, pada halaman 566 kolom 2 disebutkan, siwur adalah “cidhuk sing digawe saka bathok lsp digarani” (dalam bahasa Jawa). Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti ‘gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan sejenisnya yang diberi tangkai/pegangan’.
Siwur di atas lincak
Pencatatan siwur di kamus tersebut menandakan bahwa jauh sebelum tahun itu, siwur memang sudah lama dipakai oleh masyarakat Jawa sebagai gayung pengambil air, bagian dari peralatan dapur. Hingga saat ini sebagian masyarakat Jawa, terutama yang berada di pedesaan, masih menggunakan siwur sebagai alat dapur.
Namun begitu, seperti alat dapur tradisional lainnya, siwur juga telah mengalami perkembangan, terutama dalam bahan pembuatannya. Akibat perubahan dan perkembangan zaman, siwur tidak hanya terbuat dari tempurung kelapa, tetapi juga terbuat dari bahan lain.
Pada dewasa ini, siwur memang masih bisa dijumpai, terutama di pedesaan dan di pasar tradisional. Namun keberadaannya mulai terdesak oleh siwur modern atau gayung berbahan baku lebih kuat, seperti plastik, stenlis dan jenis logam lainnya. Selain karena perkembangan teknologi, gayung modern dianggap lebih praktis dan awet.
Siwur dibentuk menjadi boneka Nini Thowong, koleksi Museum Tani Jawa Indonesia, Imogiri, Bantul, Yogyakarta
Pada umumnya para ibu rumah tangga menggunakan siwur sampai alat ini mengalami kerusakan. Kerusakan pada umumnya terjadi pada “sindik” atau pengancing siwur. Jika sindiknya rusak atau hilang, biasanya mudah diganti sendiri. Namun apabila kerusakan terjadi pada tempurung kelapa, misalnya pecah atau retak, terpaksa harus diganti dengan siwur baru.
Fungsi siwur yang utama memang sebagai alat untuk mengambil air. Namun pada masyarakat Jawa tempo dulu, siwur juga bisa berfungsi lain, yakni sebagai properti untuk membuat nini thowong. Nini thowong adalah sebuah pertunjukan tradisional Jawa yang menggunakan boneka untuk dimasuki roh. Boneka yang kemasukan roh tersebut bisa menari sesuai dengan iringan gamelan.
Sumber: Tembi 1 dan Tembi 2