Baca Juga
Filsafat Legal Positivism Menyangkut Hukum Ekonomi
Teori Hukum Positif (Legal Positivism)
Positivisme dalam Teori Hukum (Legal Theory) mengandung arti suatu metode mengamati bagaimana manusia membuat hukum. Positivisme juga mengandung arti studi mengenai hukum sebagaimana adanya (as it is) yang dibedakan dari hukum sebagaimana seharusnya ada (law as it ought to be). Teori Hukum positivis tidak menolak apa yang seharusnya (the ought) dalam kerangka moral sebagai subjek yang tidak layak diperhatikan atau tidak berhubungan dengan hukum. Namun kaum positivis secara eksplesit menolak apa yang seharusnya (the ought) dalam pengertian yang sifatnya metafisik sebagai hasil langsung dari “metaphysical non-positive is.” Apa yang sekarang ada (the is) dari kaum positivis tercapai dengan eksistensi hukum manusia dan metode studinya adalah secara tegas tidak boleh keluar dari lingkup eksistensi. Kita juga menemukan apa yang seharusnya ada (anOught) dalam lingkup ini tetapi ia bukan moral, apa yang seharusnya ada secara normative (Normative Ought), apa yang seharusnya ada menurut hukum berbeda dari kewajiban moral.
Penganut aliran positivis menganggap hukum itu adalah serangkaian peraturanperaturan yang dibuat oleh manusia dalam hal ini badan yang berwenang untuk itu, yang harus ditaati dan jika tidak ditaati akan dikenakan sanksi. Salah seorang penganut positivis, Austin, berpendapat bahwa hukum itu sendiri terdiri dari beberapa unsur, seperti, hukum dibuat oleh pihak yang secara politik berkuasa kepada yang dikuasai, hukum itu bersifat perintah, hukum itu menganut ide sanksi dan status hukum itu dengan adanya perintah pada umumnya harus ditaati.
Pertama, jika ditentukan bahwa manusia itu superior dan ketaatan kepada superior itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Kedua, hukum itu bersifat perintah, yaitu keinginan atau kehendak yang berdasarkan rasionalitas sehingga rasionalitas yang lain akan mengikutinya. Ketiga, ide sanksi timbul karena perintah itu tidak ditaati. Akhirnya, karena hukum itu mengandung perintah, maka ia secara umum harus ditaati.
Apa Fungsi Hukum?
Jika kita bertanya pada diri sendiri, ajaran apa yang dibuat oleh hukum daripada apa yang menjadi hukum. Jawabannya adalah bermacam-macam seperti mengatur hubungan kontraktual, menentukan sistem hak milik dan sebagainya. Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law menyatakan bahwa hidup bersama umat manusia ditandai dengan berdirinya institusi-institusi yang mengatur hidup bersama tersebut.
Institusi tersebut diberi nama “ketertiban” atau “order”. Hidup bersama individu itu sendiri adalah gejala biologis dan menjadi gejala sosial dengan adanya peraturan. Masyarakat diperintahkan untuk hidup bersama, lebih tepat lagi masyarakat adalah tatanan dari hidup bersama dari individu-individu. Fungsi dari tiap tatanan sosial adalah untuk membawa pola tingkah laku bersama tertentu dari individu-individu, mendorong mereka pada tingkah laku positif atau negatif. Bagi individu tatanan tersebut muncul sebagai peraturan-peraturan yang kompleks yang menentukan bagaimana individu harus berlaku. Peraturan ini disebut norma.
Hans Kelsen mengindikasikan perbedaan karakterisktik dari semua tatanan hukum dan menempatkan dalam konteks moral dan agama. Lebih khusus lagi dia mengatakan bahwa dalam setiap waktu dalam semua masyarakat kata “hukum” adalah pencerminan dari konsep yang secara sosial tinggi; karena hal itu ditunjukkan kepada teknik masyarakat yang spesifik yaitu sikap tindak sosial dari masyarakat yang diinginkan dapat diperoleh dengan peraturan yang bersifat memaksa yang diterapkan kepada tingkah laku yang bertentangan.
Hans Kelsen menyatakan, hukum, moral dan agama melarang pembunuhan, tetapi hukum menyatakan bahwa bila seseorang terlibat pembunuhan, maka orang lain direncanakan oleh tatanan hukum, harus menerapkan peraturan memaksa tertentu kepada pembunuhan tersebut, sebagaimana diamanatkan oleh tatanan hukum. Moralitas membatasi dirinya sendiri kepada tuntutan untuk jangan membunuh (“thou shall not kill”). Perbedaan sanksi hukum adalah “tindakan pemaksaan” di mana seseorang ditentukan perintah yang langsung, suatu yang ditentukan oleh tatanan, terhadap orang yang bertanggung jawab terhadap perbuatan yang bertentangan dengan tatanan tersebut.
Hans Kelsen mengakui bahwa norma agama pada umumnya disertai dengan sanksisanksi tersebut berasal dari kekuasaan yang maha kuasa (superhuman authotiry), adalah krusial sebab berasal dari suatu yang bersifat transenden daripada bersifat sosial. Mungkin tentu hal itu lebih efektif dari sanksi hukum tetapi hanya pada mereka yang percaya. Perhatian Kelsen lebih pada organisasi dari sanksi-sanksi tersebut daripada keefektifannya.
Fungsi spesifik dari hukum berbeda menurut masing-masing masyarakat, antara lain mempersatukan keluarga, mendorong kesehatan manusia dan lingkungan, menjaga perdamaian masyarakat, ketentuan-ketentuan untuk menyatakan sesuatu yang salah, fasilitas dari pertukaran hubungan, pengakuan dan pengaturan hak milik, pemeliharaan kebebasan dasar, perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat privat, penyelidikan aktivitas swasta dan pembuat undang-undang.
Teori Austin tentang hukum sebagai perintah mendominasi teori hukum Inggris sampai abad ke 20. Perubahan teori hukum Inggris ini dilakukan oleh H.L.A. Hart dengan bukunya The Concept of Law, diterbitkan pertama kali tahun 1961. Hart menamakan bukunya “an essay in analytical jurisprudence,” yang berusaha untuk mengklarifikasi kerangka umum pemikiran hukum daripada pengkritik hukum atau kebijakan hukum. Hart tidak menawarkan suatu definisi hukum, Hart menolak usaha untuk menetapkan definisi hukum yang berguna.
Hart mulai dengan mengidentifikasikan tiga masalah yang diperbaharui :
1. Bagaimana hukum berbeda dari, dan bagaimana hukum berhubungan dengan perintah yang didukung dengan ancaman?
2. Bagaimana kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana hukum berhubungan dengan kewajiban moral.
3. Apa itu aturan-aturan dan sejauh mana hukum itu menjadi suatu aturan-aturan.
Hart berpendapat, hukum itu terdiri dari sistem aturan-aturan, masing-masing perlu dipahami secara sebelum keterlibatannya dapat dihargai dengan pasti. Hal ini dapat disimpulkan sebagai perbedaan antara kebiasaan perorangan (personal habbits) dan aturanaturan sosial (social rule); perbedaan antara yang seharusnya dipatuhi (being oblige) dan yang harus dipatuhi (being under an obligation); perbedaan antara eksternal dan internal aspek dari aturan-aturan; perbedaan antara aturan-aturan hukum primer dan aturan-aturan hukum sekunder.
Perbedaan antara kebiasaan pribadi dan aturan sosial Walaupun adalah benar bahwa kebiasaan-kebiasaan pribadi tertentu adalah sangat individual, umpamanya selalu memakai “penarik keberuntungan” dengan alasan yang sifatnya tahayul, yang ada kenyataannya banyak digunakan secara luas. Jelas oleh karenanya kita harus membedakan antara kebiasaan-kebiasaan yang meluas dan aturan-aturan sosial.
Umpamanya, adalah menjadi kebiasaan pribadi, saya meminum kopi setelah makan siang. Kemudian, kebiasaan minum kopi setelah makan siang mungkin meluas. Namun demikian, mereka yang lebih suka meminum teh atau tidak meminum apapun, tidak dapat dijadikan objek dari kritik oleh anggota masyarakat lainnya. Dengan perkataan lain walaupun meminum kopi setelah makan siang merupakan contoh pola tingkah laku, bila dianalisis secara tepat hal itu tidak lebih dari sejumlah kebiasaan individu dan karenanya tidak dapat disebut sebagai aturan. Sebaliknya, kebiasaan yang sama untuk berdiri sewaktu mendengar lagu kebangsaan, bukan sekedar selera pribadi, bukan hanya karena lebih dari sebagian besar orang mengikuti, tetapi dan yang penting adalah karena mereka yang tidak mengikuti, tetapi dan yang penting adalah karena mereka tidak mengikuti kebiasaan itu akan menerima kecaman dari anggota masyarakat lainnya. Dengan kata lain, anggota masyarakat merasa diri mereka memiliki kewajiban untuk mengikuti contoh sikap bersama tersebut, dan akibatnya hal itu dapat disebut aturan. Menurut Hart, walaupun sesuatu yang menjadi kewajiban itu mengindikasikan adanya suatu aturan, kadang-kadang tidak selalu menggambarkan keharusan penerapannya. Dengan perkataan lain, aturan, misalnya grammar dan etika, dapat kita katakan bahwa aturan itu sebagai harus atau tidak harus dilakukan (umpamanya selalu memakai huruf besar dipermulaan kalimat atau jangan meletakkan lengan di atas meja makan), hal itu tidak sesuai dengan pemahaman yang normal untuk dapat dikatakan bahwa ada kewajiban untuk tunduk atau patuh pada rumus-rumus tersebut. Hart mengatakan bahwa suatu aturan-aturan mengandung dan berbicara tentang pemaksaan kewajiban bilamana terjadi permintaan umum untuk adanya kesamaan dan tekanan sosial terhadap pelanggarannya mendapat ancaman yang besar.
Perbedaan antara yang dipatuhi dan yang harus dipatuhi Meskipun dua pengertian tersebut biasa dipertukarkan, Hart berpendapat ada hal yang secara prinsip berbeda di antara keduanya. Perbedaan prinsip tersebut dapat diilustrasikan melalui contoh laki-laki bersenjata, A yang meminta uang dari korbannya B, menurut pemahaman yang biasa, B mempunyai kewajiban untuk memberikan uang karena ia takut akan akibat yang timbul kalau tidak melakukannya. Akan tetapi kita tidak mengatakan bahwa B mempunyai kewajiban untuk mengikuti permintaan A. Hanya karena ada ancamanlah maka B merasa wajib mengikutinya. Menurut Hart, ada kemungkinan sesuatu itu menjadi wajib tanpa adanya kewajiban. Tetapi sebaliknya juga ada kemungkinan menjadi kewajiban tanpa adanya diwajibkan. Misalnya jika UU mengharuskan semua laki-laki dalam usia tertentu mengikuti wajib militer, kita mengatakan X mempunyai kewajiban untuk mengikutinya, walaupun dalam kenyataannya ia pergi ke luar negeri dan karenanya tidak akan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Perbedaan antara internal aspek dan eksternal aspek dari suatu aturan Aspek eksternal dari suatu aturan datang dari luar, contohnya pengamatan yang teratur dapat digunakan untuk memperkirakan kapan peminum kopi yang kebiasaannya minum kopi sehabis makan siang akan minum kopi. Sebaliknya, bahwa internal aspek jelas hanya untuk mereka yang menjadi objek dari aturan tersebut. Hart memberikan contoh seseorang yang diamatinya, bagaimana ia memberikan respon terhadap lampu merah lalu lintas. Karena hal ini merupakan fakta yang dapat diamati secara eksternal bahwa kebanyakan pengendara motor berhenti ketika lampu merah, adalah masuk akal untuk memperkirakan siapapun pengemudi motor akan melakukan yang sama. Namun demikian, dari sudut pandang internal (dari sudut pandang pengendara motor itu sendiri), fakta bahwa lampu menyala merah bukanlah bukti yang begitu saja dapat dijadikan prediksi, melainkan sebenarnya diterapkan suatu kewajiban untuk berhenti.
Perbedaan aturan hukum primer dan sekunder Teori Hart menyatakan bahwa aturan primer adalah aturan yang menerapkan kewajiban. Peraturan itu bisa positif atau negatif, dan mencakup baik aturan yang mewajibkan kita untuk membayar pajak pendapatan dan aturan yang mengharuskan kita menjauhkan pembunuhan. Namun demikian dalam kenyataannya aturan yang primer hanya sebagian dari hukum, karena seringkali isi aturan primer itu tidak pasti, mengikuti kebutuhan perubahan dari waktu ke waktu dan kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari penerapan aturan itu dalam kasus-kasus tertentu. Oleh karenanya Hart memformulasikan konsep aturan sekunder yang dibaginya menjadi tiga.
Katagori pertama, rule of recognation, di mana pelaku di dalam sistem hukum dapat mengakui aturan-aturan tersebut sebagai hukum yang membedakan dengan aturan-aturan yang tidak merupakan hukum. Rule of recognation berlaku dengan latar belakang karakteristik umum yang dimiliki oleh aturan primer. Aturan primer ini diundangkan oleh lembaga tertentu atau praktek-praktek kebiasaan yang panjang atau berkenaan dengan putusan pengadilan. Di dalam sistem hukum Inggris, rule of recognation lahir dari undang-undang yang dibuat oleh parlemen dan keputusan-keputusan hakim berdasarkan stare dicisis doktrin.
Katagori kedua dari aturan sekunder yaitu rules of change memiliki dua dimensi.
Pertama, berhubungan dengan kebutuhan untuk merubah aturan primer, di mana dalam konteks sistem hukum Inggris artinya menyimpang dari putusan pengadilan yang terdahulu sebagai putusan yang biasanya diikuti atau mengamandemen suatu UU tertentu. Karenanya aturan-aturan ini berhubungan secara erat dengan rule of recognation karena penerapannya membuat kita dapat memutuskan yang mana dari 2 aturan primer yang berbeda akan berlaku dan mengenyampingkan yang lainnya. Dimensi kedua dari rules of change adalah aturan ini memungkinkan orang dapat mengubah cara bagaimana aturan kewajiban yang primer (primery rule of obligation) dapat diterapkan kepada situasi yang dihadapainya sendiri, melalui suatu cara umpamanya membuat kontrak atau testamen dan hal-hal lain yang sifatnya suka rela menciptakan struktur hak dan kewajiban dalam hukum.
Katagori ketiga dari aturan sekunder berhubungan dengan kebutuhan untuk menyelesaikan penyelesaian sengketa, terdiri dari rule of recognation, yang tidak hanya dijalankan oleh pejabat publik yang mempunyai kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa hukum tetapi juga sebagai pemandu bagaimana kekuasaan menjalankan dan memberikan status hukum yang khusus yang dibuat sebagai konsekuensinya dari ajudikasi.
Positivisme : Pemisahan antara aturan Hukum dan Moral
Tidak diragukan H.L.A. Hart, bilamana Bentham dan Austin menekankan perbedaan antara hukum yang sekarang berlaku (law as it is) dan hukum yang sebaiknya berlaku (law as is as to be), mereka di dalam pikirannya menganggap hukum tertentu memiliki arti yang sudah jelas dan tidak diperselisihkan, dan mereka berdua menganggap hukum yang semacam itu, walaupun jika secara moral memalukan, hal itu tetap dianggap sebagai hukum.
Hart berpendapat hubungan esensial antara hukum dan moral muncul jika kita mengamati bagaimana hukum, yang artinya masih diperselisihkan, ditafsirkan dan diterapkan pada kasus-kasus yang kongkrit. Hubungan ini muncul lagi jika kita memperluas pandangan dan bertanya, bukan apakah tiap aturan hukum tertentu harus memenuhi minimum moral dalam usaha untuk dapat disebut hukum, tetapi apakah sistem dari aturan yang semuanya gagal melakukannya yang dapat dikatakan sebagai sistem hukum.
Sekarang kita akan membicarakan kritik yang berbeda dari Amerika tentang pemisahan apa yang menjadi hukum dari apa yang seharusnya menjadi hukum. Kritik ini datang dari penganut Realist tahun 1930-an. Aliran ini membuka mata kita tentang apa sebenarnya yang terjadi pada saat pengadilan memutuskan kasus, dan perbedaan yang digambarkan antara fakta aktual dari keputusan pengadilan dan terminologi tradisional untuk menerangkannya. Sebagai contoh, aturan hukum melarang kita untuk menggunakan kendaraan di dalam taman umum. Jelas ini larangan untuk mobil, tetapi bagaimana untuk sepeda, sepatu roda dan mobil mainan? Bagaimana dengan pesawat terbang? Apakah semua ini dapat kita katakan “kendaraan”? yang dimaksud oleh aturan itu atau tidak. Jika kita berkomunikasi satu dan lainnya, dalam bentuk hukum yang paling sederhana, kita menyatakan bahwa tingkah laku tertentu harus diatur dengan aturan-aturan, dan dengan demikian kata yang umum kita pergunakan, seperti kendaraan dalam kasus yang pertama tadi, harus mempunyai standar yang mudah dipahami di mana tidak ada keragu-raguan mengenai penerapannya.
Dalam hubungan antara hukum dan moral, setidak-tidaknya ada enam bentuk klaim yang harus kita uraikan.
1. Kekuasaan dan Kewenangan
Selalu dikatakan bahwa sistem hukum harus berdasarkan pada rasa kewajiban moral atau kenyakinan nilai moral dalam sistem tersebut, karena ia tidak dapat dan tidak akan dapat semata-mata berstandar kepada kekuasaan manusia atas manusia lain.
2. Pengaruh moral atas hukum
Hukum setiap negara yang modern memperlihatkan ribuan pangaruh baik dari moral sosial yang diterima dan ide moral. Pengaruh ini masuk kedalam hukum melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan legislatif atau secara diam-diam melalui proses peradilan. Undang-undang mungkin hanya perisai hukum semata-mata dan harus diisi dengan prinsip-prinsip moral. Tingkat pelaksanaan kontrak dapat dibatasi dengan konsepsi moralitas dan keadilan. Tanggung jawab dalam pelanggaran perdata maupun pidana bisa disesuaikan berdasarkan tanggung jawab moral. Tidak ada kaum positivis yang dapat menolak fakta-fakta bahwa stabilitas dari sistem hukum dalam bentuk-bentuk tertentu sebagian berhubungan pada moral.
3. Penafsiran
Hukum memerlukan penafsiran jika ia hendak diterapkan kepada kasus-kasus yang kongkrit. Baik di dalam menafsirkan undang-undang atau keputusan-keputusan hakim maupun keputusan-keputusan pengadilan, hakim tidak dibatasi oleh aternatif-alternatif buta, pilihan yang sewenang-wenang atau deduksi mekanikal dari aturan-aturan yang artinya sebelumnya telah ditetapkan. Pilihan mereka selalu dipandu oleh asumsi bahwa kegunaan dari suatu peraturan yang ditafsirkannya adalah masuk akal, karenanya peraturan tersebut tidak dimaksudkan untuk melahirkan ketidak adilan atau melawan prinsip-prinsip moral yang berlaku.
4. Kritik atas hukum
Kadang-kadang terdapat klaim bahwa ada hubungan yang perlu antara hukum dan moral datang tidak lebih dari bahwa sistem hukum yang baik harus memenuhi rasa adil dan moralitas. Tidak ada keragu-raguan bahwa sistem hukum harus memperlakukan semua makhluk hidup di dalam lingkup yang berhak atas perlindungan dasar tertentu dan kebebasan, sekarang diterima secara umum sebagai pernyataan yang relevan di dalam kritik hukum.
5. Prinsip Legalitas dan Keadilan
Dikatakan perbedaan antara sistem hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hal-hal tertentu dari moral dan keadilan, dan sistem hukum yang tidak, hal ini salah, karena minimum keadilan perlu direalisasikan setiap saat tingkah laku manusia diawasi oleh aturan umum yang dinyatakan secara terbuka dan secara hukum diterapkan.
6. Keabsahan hukum dan hambatan terhadap hukum
Hal yang menjadi perhatian dari kaum positivis adalah bahwa eksistensi hukum adalah suatu hal tersendiri, sedangkan kegunaan atau ketidak gunaannya adalah suatu hal yang lain. Hukum negara bukan sesuatu yang ideal tetapi sesuatu yang secara aktual ada. Ini bukan mengenai apa yang seharusnya ada tetapi apa yang ada sekarang. Norma-norma hukum dapat memiliki bermacam-macam isi. Pemikir-pemikir aliran positivis berkeinginan untuk mendorong apa yang dimaksud dengan kejelasan (clarity) dan kejujuran (honesty) dalam pembentukan teoritis dan masalah-masalah moral yang timbul dari adanya hukum-hukum tertentu yang secara moral tidak adil tetapi diundangkan dalam bentuk yang tepat, jelas dalam artinya, dan memenuhi semua kriteria yang diakui bagi keabsahan suatu sistem. Kita dapat mengatakan ini adalah hukum tetapi terlalu tidak adil untuk diterapkan atau dipatuhi.
Perbedaan Moral dan Hukum Dalam Bisnis
Uraian berikut ini menerangkan tentang perbedaan moral dan hukum di dalam bagaimana seseorang melaksanakan aktifitas bisnisnya. Prinsip moral seperti kebenaran, kebaikan dan keadilan yang menjadi panutan individu sebagai anggota masyarakat, adalah sumber dari standar sikap tindak. Dari norma, kepercayaan, nilai, individu menciptakan etika, sistem dari standar moral, yang melahirkan persoalan dasar dari tingkah laku sosial, seperti kehormatan, loyalitas, perlakuan yang adil terhadap pihak lain, menghormati kehidupan dan martabat manusia. Seperti hukum, etika menjadi sumber standar tingkah laku individu. Namun, tidak seperi hukum, etika tidak ditegakkan atau dipaksakan oleh kekuasaan dari luar seperi pemerintah atau negara. Standar etika berasal dari standar moral dari dalam individu dan ditegakkan oleh individu yang bersangkutan. Melalui hukum masyarakat menegakkan aturan hukum untuk semua anggota masyarakat, sementara melalui etika individu mengembangkan dan menegakkan standar moral bagi diri mereka sendiri.
Dalam penerapannya, tentu berbeda. Berbohong secara moral adalah salah. Namun menurut hukum berbohong itu baru disalahkan bila menimbulkan kerugian pada pihak lain. Tidak etis, umpamanya, melanggar janji. Namun, hukum baru menyatakan salah bila orang melanggar janji yang dituangkan dalam kontrak. Perbedaan antara hukum dan moral adalah penting dalam mempelajari hubungan hukum dan bisnis karena kelompok bisnis sepanjang sejarahnya selalu menggunakan hukum sebagai standar dari tindakan sosial mereka. Sebagai contoh perspektif tersebut, apa yang dikatakan oleh seorang eksekutif yang dituduh memakai bahan murahan dan mungkin membahayakan dalam menghasilkan cairan pembersih mulut :
“We broke no law. We’re in highly competitive industry. If we’re going to stay in business, we have to look for profit wherever the law permits. We don’t make the laws. We obey them. Then why do we have to put up with this “holier than thou” talk about ethics? It’s sheer hypocrisy. We’re not in business to promote ethics. …if the ethics aren’t embodied in the laws by the men who made them, you can’t expect businessman to fill the lack”
Belakangan ini bisnis telah berkembang, baik ukuran maupun pengaruhnya. Banyak orang mengakui bahwa bisnis adalah institusi ekonomi dan institusi sosial. Ini khususnya terbukti dalam kegiatan perusahaan besar, yang melibatkan tidak saja kepentingan pemegang saham, tetapi juga pemasok, konsumen, langganan, para pekerja dan kadang-kadang seluruh masyarakat. Orang kini beranggapan bahwa badan hukum (yang disamakan statusnya dengan orang) mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan manusia, yaitu menegakkan standar etika.
Kenneth E. Goodpaster dan John B. Matthews, Jr, dari Harvard Business School menuangkan pendapatnya sebagai berikut :
“A corporation can should have a conscience. The language of ethics does have a place in the vocabulary of an organization …Organizational agents such as corporations should be no more and no less morally responsible (rational, self-interested altruistic) than ordinary persons … Legal systems of rules and incentives are insufficient, even though they may be necessary, as framework for corporate responsibility. Taking conceptual cies from the features of moral responsibility normally expected of the person in our opinion deserve practicing managers’ serious consideration.”
Kalangan bisnis harus tetap mempertimbangkan di samping aspek hukum, juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, tetapi menemui kesulitan untuk mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwa masalah moral muncul dari aspek kegiatan bisnis. Menurut tradisi, membicarakan etika bisnis terbatas pada topik tertentu seperti iklan yang menyesatkan, itikad baik dalam negosiasi kontrak, larangan penyuapan. Dewasa ini, masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab moral dari bisnis berkembang dari keputusan pemasaran seperti melanggar etika menjual produk yang berbahaya, masalah pemberian upah yang adil, tempat kerja yang melindungi kesehatan dan keselamatan buruh, etika dalam merger dan akuisisi, sampai kepada kerusakan lingkungan. Pendeknya semua keputusan bisnis, khusunya yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekuensi yang berkepanjangan, yang mempengaruhi banyak individu, organisasi lain dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat menghadirkan masalah etika yang serius. Di dalam kenyataannya etika yang ditegakkan atas dasar kesadaran individu-individu tidak dapat berjalan karena tarikan berbagai kepentingan. Terutama untuk mencari keuntungan, tujuan yang paling utama dalam menjalankan bisnis. Oleh karenanya, standar moral harus dituangkan dalam aturan-aturan hukum yang diberi sanksi. Di sinilah letaknya campur tangan negara dalam persaingan bebas dan kebebasan berkontrak, untuk melindungi pihak yang lemah. Oleh karena itu hukum juga sepanjang sejarah bersumber pada dan mengandung nilainilai moral. Dalam hubungan ini menjadi penting pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari Undang-Undang Larangan Monopoli dan Persaingan Curang.
Contoh putusan pengadilan di luar Indonesia yang dianggap berlatar belakang “Legal Positivism”
a. British Colombia v. Imperial Tobacco, 2005 SCC 49, 2005 2 S.C.R 373 The Recovery Act memperbolehkan pemerintah British Colombia di Canada menggugat pabrik produksi tembakau untuk menanggung biaya pengobatan untuk merawat masyarakat yang menderita karena bencana yang ditimbulkan oleh produksi tembakau.
Penafsiran hakim terhadap “rule of law” dalam perkara ini mewakili perkembangan yang penting dari pengertian mengenai hubungan antara kapasitas perlindungan hak-hak tidak tertulis dan tertulis dari Konstitusi Canada. Menurut hakim Mayor, relevansi Konstitusi tertulis tergantung kepada penerimaan “the thin version of the rule of law”.
Hak dan kebebasan secara spesifik termasuk dalam Konstitusi tertulis dan hak-hak hukum bagian dari Charter khususnya menghindari adanya perlindungan yang lebih besar yang mungkin terkait dengan “rule of law” yang tidak tertulis. Analisis dalam perkara ini yang bersandar kepada bentuk teks tertulis adalah karakteristik pendekatan aliran positivis peradilan.
Positivisme baru ini adalah berbeda dengan analisis Hukum Alam. Legal Positivism berbeda terhadap kekuasaan legislatif. Ia melihat keabsahan hukum terutama sebagai persoalan sumber dan bentuk dari legislasi, daripada isinya. Pendekatan aliran positivist membolehkan pengadilan menempatkan persoalan tentang keahlian substantif dari legislasi “at the feet of the legislative branch of government”, dan menghindarkan “criticism for engaging in judicial activism”.
b. Chevron, U.S.A., Inc. v. Natural Resources Defense Council, Inc. 467 U.S. 837 (1984) Dalam perkara ini pengadilan memutuskan bahwa rasa hormat terhadap kontruksi agency adalah tepat apabila undang-undang tidak mengatakan apa-apa atau berarti ganda dalam suatu masalah hukum yang khusus. Pengadilan mengartikulasi aturan baru dalam bentuk penyelidikan dua tahap yang terkenal. Pertama, pengadilan harus memastikan apakah undang-undang langsung dan berarti ganda terhadap masalah penafsiran. Jika iya, adalah jelas dinyatakan bahwa maksud Congress harus diikuti. Jika undang-undang tidak mengatakan apa-apa atau berarti ganda terhadap suatu masalah hukum spesifik maka penafsiran agency dimungkinkan. Lebih penting lagi, putusan pengadilan mengindikasikan bahwa penafsiran agency tentang undang-undang yang mempunyai arti ganda masih berlaku. Dalam banyak pendapat mengenai penafsiran agency yang mengikuti putusan dalam Chevron, pengadilan mengambil konsep kekuasaan legal positivist.
Contoh putusan pengadilan di Indonesia yang dapat dianggap berlatar belakang “Legal Positivism”
a. Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo) cs, v. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No. 44/P/PTS/V/2009/05/P/HUM/2009
Mahkamah Agung R.I. dalam suatu judicial review telah menyatakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. PER.22/MEN/XII/2008, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. Kep.200/MEN/IX/2008, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. Kep.201/MEN/IX/2008 bertentangan dengan UndangUndang No. 39 Tahun 2004 jo. Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006. Oleh karenanya Mahkamah Agung R.I. membatalkan Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri tersebut.
Dengan demikian sesuai dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 BNP2TKI tetap menjalankan fungsinya mengatur penempatan dan perlidungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam waktu 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung R.I. diterima Depnakertrans harus melaksanakan putusan tersebut. Putusan Mahkamah Agung R.I. telah diterima pada tanggal 18 Mei 2009, berarti setelah tanggal 18 Agustus 2009 Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi tidak memperlakukan lagi Peraturan dan Keputusan Menterinya.
Putusan Mahkamah Agung tersebut sesuai dengan pemuka kaum positivist Hans Kelsen.
Hans Kelsen dalam teorinya mengatakan bahwa demi kepastian hukum maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Peraturan Menteri tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (Konstitusi).
b. Mohammad Nasir Maruf cs v. Mochtar Riadi cs, No. 1079 K/SIP/1973 (1979)
Pada tanggal 5 Maret 1971 telah diadakan perjanjian kerjasama antara para Penggugat dan para Tergugat untuk mendirikan sebuah Perseroan Terbatas yang bergerak dibidang perhotelan, bioskop, dan night club. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa para Tergugat memasukkan sebidang tanah Hak Guna Bangunan. Para Tergugat berusaha mengulur waktu dan kemudian menjual tanah tersebut kepada pihak lain. Para Tergugat ingin membatalkan perjanjian tersebut.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan/Barat memutuskan antara lain menghukum para Tergugat Mohammad Nasir Maruf dan kawan-kawan untuk menaati dan melaksanakan perjanjian kerjasama tanggal 5 Maret 1971. Kalau para Tergugat lalai atau alpa para Tergugat harus membayar uang paksa kepada para Penggugat sebanyak Rp. 500.000,- setiap hari para Tergugat melalaikan kewajibannya terhitung mulai tanggal putusan.
Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dalam pertimbangannya antara lain :
a. Seharusnya pasal-pasal yang berhubungan dengan perjanjian ini dalam KUH Perdata (Pasal 1233, 1234, 1235, dan 1236), khususnya dalam hal ini, dapat dibaca Pasal 1236 yang antara lain menyatakan : “Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi, dan bunga kepada si berutang. Apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”;
b. Dalam perkara a quo Penggugat-asal mohon kepada Pengadilan Negeri tersebut agar para Tergugat-asal menepati isi perjanjian tersebut, i.c. menyerahkan sebidang persil hak guna bangunan No. 47 terletak di Jln. Mahakam No. 47, Kebayoran Baru, kepada Penggugat-asal;
c. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Penggugat-asal sendiri dalam surat gugatannya, persil sengketa pada tanggal 2 Februari 1972 secara sepihak telah dijual oleh Tergugatasal ke pihak ke-3;
d. Dengan telah dijualnya persil sengketa kepada pihak ke-3, maka pihak Tergugat-asal telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, sehingga menurut Pasal 1236 BW Tergugat-asal berkewajiban memberikan ganti rugi; bahwa akan tetapi Penggugat-asalnya mohon agar Tergugatasal dihukum untuk memenuhi isi perjanjian kerja tersebut dan tidak mohon agar Pengadilan dengan membatalkan perjanjian kerja tertanggal 5 Maret 1971 tersebut menghukum Tergugat-asal agar membayar ganti kerugian.
Mahkamah Agung kemudian memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan/Barat, dan menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima.
Kaidah hukum dalam perkara ini adalah karena Tergugat telah membawa diri dalam keadaan tidak mampu untuk menyuruh bendanya sesuai dengan isi perjanjiannya dengan Penggugat, berdasarkan Pasal 1236 BW Tergugat wajib memberi ganti rugi kepada Penggugat. Akan tetapi karena dalam hal ini Penggugat hanya mohon agar Tergugat dihukum untuk memenuhi isi perjanjian, dengan tidak mohon agar Pengadilan membatalkan perjanjian menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepadanya, maka gugatan Penggugat tidaklah dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung ini secara tidak disadari telah mengikuti aliran positivisme karena dengan tegas berpedoman dengan pasal-pasal KUH Perdata. Menurut Filsafat Legal Positivism hukum itu adalah apa yang termaktub dalam undang-undang tertulis.
c. PT. Nizwar v. Navigation Maritime Bulgare (NMB), No. ………
Perkara ini mulai timbul ketika Navigation Maritime Bulgare (NMB), suatu perusahaan yang berkedudukan dan tunduk pada hukum Bulgaria, sebagai pemilik kapal, telah mengajukan klaim kepada PT. Nizwar, sebuah perusahaan berkedudukan dan tunduk pada hukum Indonesia, berkenaan dengan kelebihan waktu berlabuh (demurrage). Klaim tersebut menyangkut masing-masing US$ 38,480.55 sehubungan dengan loading demurrage di Split dan US$ 45,762.64 berkenaan dengan discharging demurrage di Surabaya.
Dalam Charterparty yang dibuat pada tanggal 5 Juni 1974, NMB sebagai pemilik kapal telah menyewakan Rakovski kepada Nizwar untuk suatu perjalanan dari Yugoslavia ke Indonesia. Ternyata kemudian timbul sengketa yang menyebabkan NMB mengajukan perkaranya ke badan arbitrase di London sebagaimana ditentukan dalam Charterparty tertanggal 5 Juni 1974. Sampai dengan tanggal yang ditentukan, yaitu 23 Juni 1978, Nizwar tidak memberikan dokumen-dokumen bantahan sehubungan dengan klaim tersebut, sehingga pada tanggal 12 Juli 1978 arbitrator memutuskan bahwa Nizwar harus membayar klaim yang keseluruhannya berjumlah US$ 72,576.39 ditambah dengan bunga 7,5% pertahun, yang dihitung sejak 1 Januari 1975 sampai dengan keputusan arbitrase dilaksanakan.
Pada tanggal 27 Agustus 1979 NMB mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar keputusan arbitrase dapat dilaksanakan, dengan memerintahkan agar Nizwar membayar sejumlah uang tersebut di atas dengan bunganya di tambah biaya arbitrase sebesar 250 poundsterling dan biaya-biaya pelaksanaan keputusan itu, NMB mendalilkan bahwa berdasarkan Staatsblad 1933-131 jo. 133 dan Konvensi Geneva 1927, keputusan arbitrase luar negeri mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu keputusan akhir pengadilan yang dapat dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri di Indonesia, setelah memperoleh fiat executie.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan NMB dan termohon harus membayar ganti rugi tersebut. Termohon naik kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi permohonan kasasi tidak dapat diterima karena Pemohon Kasasi tidak mengajukan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, sebagaimana diharuskan oleh 115 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia. Namun Mahkamah Agung berpendapat antara lain karena peraturan pelaksanaan dari keanggotaan Indonesia dalam Konvensi New York 1958 belum ada, maka putusan arbitrase luar negeri itu tidak dapat dilaksanakan.
Putusan Mahkamah Agung ini jelas menganut aliran legal positivism karena sesuatu itu baru dianggap menjadi hukum bila dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis. Padahal menurut Undang-Undang Mahkamah Agung sendiri hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena undang-undang tidak ada atau tidak jelas. Hakim harus mencipta hukum.