Baca Juga

 Non Muslim Dalam Waris

 1.      Pengertian Waris, Rukun, Syarat, dan Yang Menghalangi Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab “ Warosa-yarisu” yang berarti  berpindah  harta seorang fulan kepada seorang setelah meninggal sehingga dapat dikatakan waris/pewaris  adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seorang  yang  telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam nash – nash baik Al-Qur’an dan Hadist. Sebab-sebab waris
yaitu :
  1. Adanya hubungan nasab atau kekerabatan, seperti ayah, ibu, anak,cucu, saudara-saudara kandung seayah, dan sebagainya.
  2. Adanya perkawinan yaitu suami istri meskipun belum pernah berkumpul, atau telah bercerai, tetapi dalam masa iddah talak roj’i.
  3. Adanya hubungan wala’ yaitu hubungan antara bekas budak dengan orang yang memerdekannya, apabila bekas budak itu tidak memiliki ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh harta warisannya.
  4. Tujuan Islam, yaitu baitul mall yang menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali.
Sedangkan rukun –rukun waris meliputi :
  1. Mawaris
  2. Muwaris (orang yang meninggal dunia baik mati secara hakiki atau mati secara hukmi)
  3. Waris ( orang yang akan menerima harta waris dari pewaris lantaran sebab untuk mewarisi )
Adapun syarat-syarat waris yaitu :
  1. Pewaris harus sudah bisa dipastikan kalau ia telah benar-benar meninggal
  2. Hidupnya ahli waris disaat kematian muwaris
  3. Dipastikan tidak ada penghalang mewarisi
Selain itu adapun yang ,menyebabkan terhalangnya waris diantarannya:
  1. Budak,
Pembahasan tentang budak kirany tidak perlu lagi dibahas karena perbudakan telah lama dihpus.
  1. Talak
  2. Pembunuhan
Seorang ahli waris yang telah membunuh pewaris tidak berhak menerima harta warisan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi : “ Orang yang membunuh tidak berhak atas harta peninggalan orang yang dibunuh sedikitpun.”
Perbedaan pembunuhan ini menurut golongan Malikiyah dibgi menjadi 2 yitu pembunuhan yang sengaja dan tidak sengaja. Jika pembunuhan itu sengaja maka yang membunuh tersebut tidak medaptkan hak waris dan berlaku hukum qishos. Sedangkan yang tidak sengaja ahli waris tetap mendapatkan haknya mendapatkan waorrisan dari pewaris.
  1. Perbedaan agama
Bagi orang Islam dengan orang kafir tidak ada hubungan saling mewarisi hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW: “ Orang Islam tidak boleh mewarisi (harta) orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi (harta) orang Islam.” (HR. Bukhori Muslim)

Berdasarkan pemaparan  diatas dapat kita simpulkan bahwa waris itu dapat diwariskan dengan adanya hubungan nasab, perkawinan, wala’, dan berdasarkan Tujuan Isalam. Dan sedangkan yang menyebabkan gugurnya waris itu dikarenakan, jikalau ahli waris adalah seorang budak, talak, ahli waris membunuh pewaris, dan perbedaan agama. Akan tetapi bagaimana jika dalam sebuah keluarga itu ada anak yang keluar dari agama Islam kemudian ketika ayahnya meninggal ia mununtut hak warisnya?
2.      Konsepsi Tentang Non Muslim
Menurut Fazlulr Rahman, Al- Qur’an merupakan dokumen yang diperuntukan umat manusia, bahkan didalamnya beberapa kali menegaskan bahwa kitab ini merupakn petunjuk bagi umat manusia. Nabi Muhammad SAW adalah pemegang otoritas tertinggi sebagai penafsir al-Qur’n, lebihnya beliau sebagai rosul dan penerima langsung wahyu dari Allah sehingga kebenaran tafsirnya tidak diragukan. Tetapi sayangnya beliau telah meninggal sehingga pada abad-abad sesudahnya, para ulama bersepakat bahwa setiap orang berhak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an selama mereka memiliki syarat-syarat seperti pengetahuan tentang nahwu, sharraf, balagh, ilmu ushuludin, ilmu qiro’ah, asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan lain sebagainya.
Pada saat ini konsepsi tentang non muslim sering dikaitkan dengan term kafir. Sedangkan jika kita membaca Al-Qur’an, maka didalamnya kita akan banyak menjumpai kata kafir atau kufr. Dalam Al-Qur’an kafir diartikan sebagai segala kejahatan dan lawan dari  kata “Iman” yang menjadi sumber dari kata iman. Karena posisinya yang cukup sentral dalam Al-Qur’an maka sampai sekarang pemikiran terminologi kafir samapai sekarang ini masih terus berkembang, bahkan keberadaanya penting untuk dikaji secara sistematis dan mendalam guna memperoleh pemahaman yang utuh dan komprehensif. Pemikiran kafir dari beberapa kaum intelektual Islam diantaranya yaitu :
  1. Menurut Buyu Hamka berdasarkan tafsir Al-Azhar menafsirkan kafir dengan mengutip surat Qs. Al-Baqoroh:254, beliau mengatakan, “ kafir itu ada yang kafir ingkar sama Tuhan sama sekali, kafir kepada akhirat. Tetapi ada lagi kafir dalam pengakuan Iman. Dia sembahnyang juga , puasa juga tetapi dia menolak ajakan membelanjakan harta kepada Allah. Dia bakhil, saku-saku dijahitnya, peti uang ditutupnya, diajak korban kepada Allah dia pun tidak berdiri,  bahkan dia takut.
  2. Menurut Iman Nawawi dia menjelaskan kufr itu ada tiga macam, yaitu :pertama, menyakini sesuatu yang  dengannya ia menjadi kafir, kedua, berkata dengan apa yang dikatakan oleh orang – orang kafir.  Ketiga, kufr karena perbuatannya seperti melakukan penyembahan  berhala. Tafsir Imam Nawawi ini berdasarkan pada surat Qs. Al-Baqoroh :6

Disisi lain Abdullah Ahmad An- Naim mengatakan secara implisit jika ada beberapa ajaran Islam yang bertentangan dengan nash-nash lain yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka yang bersifat praksis mesti dinaskh oleh nash lain yang mengandung nilai kemanusiaan ( yang berupa keadilan, persamaan derajat, kebebasan beragama, tolong- menolong, dan lainnya), sebab ayat–ayat tersebut bersifat universal dan masdar Farid menyebutnya sebagai nash mahkamat yang berarti qat’iyyu ad-adalalah. Jadi secara implisit menurut Abdullah Ahmad An-Naim dan Masdar Mas’udi itu mengatakan kalau konsepesi kufr/kafir untuk saat ini tidak relevan diterapkan jika didalamnya mengandung unsur diskriminatif, ketidakadilan, dan menciderai hak asasi manusia. Konsepsi kafir/kufr dalam konsep fiqh Islam yang disebutkan sebagai penyebab penghalangnya hak waris semestinya dihapus karena “ Penghalang atas nama kafir ataupu murtad “ jelas diskriminasi terhadap ahli waris yang berbeda agama. Kafir dalam bahasa mereka tidak seperti termonologi para ulama’ klasik yang terjebak pada terminologi yang tidak adil. Demikian juga pendapat dari Asghor Ali Engineer, menurutnya kafir itu tidak selalu dan tidak identik dengan non muslil, tapi yang disebut kafir  adalah orang-orang yang menyembunyikan kebenaran siapapun orangnya atau komunitasnya. Asghor juga mengatakan yang termasuk kafir adalah orang – orang yang tidak berjuang menegakan keadilan, melawan kedzaliman dan penindasan meskipun ia percaya pada Tuhan. Termasuk orang kafir adalah orang yang memupuk kekayaan, melakukan kedzaliman serta membiarkan kedzaliman. Konsepsi kafir dalam pemikiran Ali Asghor Engineer tidaklah semata transendental spekulatif tetapi juga bernuansa sosial dan reflektif kemanusiaan kontemporer.
3.      Pendapat Para Pemikir Islam Tentang Hak Non Muslim Terhadap Hak Waris
Dalam pembahasaan terkait dengan waris diatas tadi sudah dijelaskan bahwa salah satu penyebab penghalangnya waris adalah perbedaan agama, antaralain perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yaitu pewaris beragama Islam sedangkan ahli warisnya beragama non muslim atau sebaliknya.posisi perbedaan agama keduanya menjadi penghalang yang serius dari keberadaan hak-hak waris, sebagaimana hadis riwayat bukhori disebutkan: “ Tidak mewariskan seorang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewariskan orang kafir terhadap muslim”. Demikian juga hadist yang mengatakan, “ laa yatawaa rasu Ahlu Millataini Syattaa”.
Didalam konteks hukum waris para ulama klasik dan kontemporer berbeda pendapat, para ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang muslim berhak mewarisi non muslim. Sedangkan menurut 4 mahzab yaitu Imam Syafi’i, Hambali. Maliki, dan hanafi mereka sepakat bahwa orang Islam tidak saling mewarisi dengan non muslim, mereka berpegangan pada dhohir hadit.
Dalam konteks penghalang kewarisan karena perbedaan agama juga termasuk yang dalam ajaran Islam dikategorikan sebagai orang murtad. Murtad didifinisikan oleh ulama klasik sebagai orang yang semula memeluk agam Islam kemudian keluar dari agama Islam. Terkait dengan kewarisan status orang murtad disamakan dengan orang kafir asli. Karena orang murtad maka tidak dapat menjadi ahli waris bagi muwaris atau sebaliknya. Dasar hukum dalam hadist ini mengambil dalil rujukan dari Usamah Bin zaid.
Robia’ah Ibnu Abdul Aziz dan Ibnu Abi Al-Lail mengatakan bahwa “ jika seseorang muslim telah murtad maka hartanya tidak bisa diwariskan oleh ahli warisnya orang muslimin, oleh karena itu hartanya menjadi hak umat Islam yang ditempatkan di baitul Mal.” Bahkan Al-Zarqoni mengatakan bahwa hadist Usamah Bin Zaid ini telah menjadi kesepakatan para ulama’terdahulu dan diikuti oleh ulama’-ulama’ yang datang kemudian, dan  tidak ada perselisihan diantara mereka.
Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa orang murtad dengan orang kafir sama, hal tui berdampak juga pada persamaan pewarisan keduanya. Semua harta yang telah diperoleh setelah murtad otomatis menjadi hak umat Islam dan diserahkan kepada baitul mal baik ia meninggal dalam keadaan murtad, dibunuh atau bergabung di negara musuh.
Sedangkan Al-Qurtubi dan Al-Kiya Al-Harrasi berpendapat tidak jauh beda dengan pendapat umumnya para ulama’ diatas. Menurutnya status orang murtad dengan orang kafir dalam masalah kewarisan yaitu bahwa mereka terhalang untuk saling mewarisi dengan ahli warisnya yang muslim. Mereka melandaskan pendapatnya pada hadist Usamah Bin Zaid Ibanu Kahab yang menerangkan tentang cakupan hadisnya bersifat orang kafir secara umum, baik karena sebab murtad dan ataupun bukan karena murtad.
Pendapat ulama klasik diatas yang secara umum mengatakan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang pewarisan ditentang oleh beberapa pemikir kontemporer. Abdullah Ahmad An- Na’im mengatakan bahwa salah satu dikriminasi hukum keluarga dan hukum perdata syari’ah ialah berkaitan dengan perbedaan agama. Perbedaan agama adalah penghalang dari seluruh pewarisan,sehingga seorang muslim tidak akan dapat mewarisi dari maupun wariskan non muslim. Abdullah Ahmad Al-Na’im juga mengatakan bahwa diskriminasi atas nama agama dan gender di bawah Syari’ah juga telah melanggar penegakan hak asasi manusia. Dan oleh karena itu An- Na’im menegaskan bahwa ketentuan Syari’ah yang mengajarkan diskriminasi tersebut harusla di mansukh oleh ketentuan Syari’ah yang lebih universal.
Begitu juga Ali Asghor Engineer yang  pendapatnya senada dengan Abdullah Ahmad An- Na’im. Menurut Asghor, sebuah masyarakat Islami tidak akan mengakuai adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, apakah berdasar ras, suku, agama, dan kelas. Menurut Asghor, tauhid tidak sebatas monoteisme murni tetapi meluas mencangkup untuk kesatuan sosiologis. Harus diingat bahwa kesatuan manusia tidak boleh diriduksi hanya untuk kepentingan antar imam saja. Karena pada dasarnya kesatuan manusia yang sesungguhnya melintasi garis-garis keyakinan.
Asghor mengatakan bahwa semangat Al-Qur’an adalah merupakan satu hal yang lebih penting dari pada pendapat –pendapat para ahli hukum abad pertengahan dan karenanya dalam hal ini seluruh kitab-kitab hukum Syari’ah sebgaimana yang diformulasikan oleh para fuqoha awal haruslah ditinjau kembali secara mendalam karena sentralitas keadilan itu lebih ditekankan. Seharusnya pembentuksn hukum Islam dikaitkan dengan konteks yang ada, situasi dan kondisi dimana hukum tersebut dilahirkan yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia. Konteks maslahah di zaman modern mesti perumusannya identik dengan kebebasanm persamaan hak dan derajat. Dalam konteks perbedaan agama menurut Asghor melihatnya tidak maslahah dalam situasi kekinian. Konsepsi kafir (non muslim) sebagaimana dirumuskan para Ulama’ Klasik dianggapnya tidak relevan diterapkan dalam kondisi kekinian.

  1. 4.      Kesimpulan
Sebagai seorang generasi penerus, tidak seharusnya kita harus taqlid kepada ulama’- ulama’ yang telah  lebih dahulu merumuskan hukum. Akan tetapi alangkah baiknya jika kita mengkaji hukum tersebut sebelum kita menerapkannya. Karena hukum yang telah dirumuskan pada jaman dahulu itu memiliki latar belakang yang berbeda dan hal itu tidak bisa kita konstektualisasikan pada zaman sekarang, saya sebagai penulis lebih setuju kalu perbedaan agama itu tidak menjadi sebab yang memutus hubungan waris. Hal ini dikarenakan jika kita menghendaki perbedaan agama sebagai penghalang hak atas waris maka hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam seperti ta’adul (keadilan), al musawa (persamaan), tasamuh (toleransi), al huriyah (keadilan), dan yang lainnya. Sekian dari saya selaku penulis semoga tulisan ini bermanfaat dan jangan lupa komentnya.
Wassalam…….

Sumber : http://alkoer.wordpress.com/