Baca Juga
Studi Ekonomi Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Perkembangan yang menggembirakan di lingkungan sistem pendidikan nasional adalah telah maraknya pembukaan jurusan atau program studi ekonomi Islam di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri berbasis Islam seperti Program Studi D-III Keuangan dan Perbankan Islam (KPI) STAIN Salatiga, Manajemen Syari’ah STAIN Surakarta, Keuangan Islam (KUI) UIN Yogyakarta, Ekonomi Islam UIN Jakarta; dan beberapa perguruan tinggi swasta yang khusus mengkaji disiplin ekonomi Islam seperti SEM Institute, Tazkia Institute, SEBI (Shari’ah Economics and Banking Institute), IMZ (Intitut Manajemen Zakat) di Jakarta, dan STIS (Islamic Business School) di Yogyakarta.
Perkembangan studi ekonomi Islam juga direspon oleh PTU (Perguruan Tinggi Umum) dengan membuka studi-studi yang mengkaji tentang ekonomi Islam seperti Program IIIT on Islamic Economics telah terselenggara di Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, dan Universitas Diponegoro Semarang. Bahkan, Universitas Indonesia telah membuka Program Pascasarjana Ekonomi dengan konsentrasi Ekonomi Syari’ah. Kemudian, dalam komunitas umum muncul telah terbentuk MES (Masyarakat Ekonomi Syari’ah), dan Fossei (Forum Studi Ekonomi Islam), yang banyak diikuti oleh para dosen dan mahasiswa.
Selain kemarakan studi-studi ekonomi Islam di lingkungan perguruan tinggi yang diperkuat dengan berbagai seminar dan lokakarya tentang ekonomi Islam, juga secara politis, terdapat perangkat perundang-undangan yang sangat mendukung perkembangan sistem ekonomi Islam khususnya yang berkaitan dengan lembaga keuangan syariah.
Pertama, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1988 tentang Perbankan, dan UU RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perangkat perudang-undangan tersebut dapat dikatakan sebagai tonggak legalitas dari kemajuan dan berdirinya berbagai lembaga keuangan yang berbasis produk-produk dengan prinsip syariah.
Kedua, PINBUK (Pusat Inkubasi Usaha Kecil) suatu LSM yang dibentuk oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), MUI (Majelis Ulama Indonesia), dan BMI (Bank Muamalat Indonesia), sebagai LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang mendapat pengakuan Bank Indonesia sebagai pendukung PHBK-BI (Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia) dalam Piagam Kerjasama Direktur Bank Indonesia dengan Ketua Umum PINBUK tanggal 27 September 1996, No. 003/MOU-PHBK-PINBUK/VIII/1995. Dari sini kemudian berimplikasi pada perkembangan pesat terhadap pendirian lembaga keuangan non-bank yang berlandaskan sistem syariah di tingkat akar rumput (grassroots), yaitu KSM-BMT (Koperasi Swadaya Masyarakat-Baitul Mal Wa Tamwil).
Pengertian Ekonomi Islam
M. Abdul Mannan mendeskripsikan ilmu ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi Islam bukan ilmu yang mencegah kaum muslimin untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi yang non-muslim (konvensional). Sebaliknya, dengan nilai-nilai Islam yang diletakkan pada dasar-dasar berekonomi akan mengilhami para muslimin dalam kebaikan (mashlahah).
Ekonomi Islam bukan aplikasi ilmu yang tertutup (eksklusif), tetapi sebagai suatu rangkaian kegiatan yang integral dengan ritual ubudiyah yang lainnya, dan sangat menunjang perikehidupan secara umum (inklusif). Ekonomi Islam bukan ekonomi konvensional yang paradigmanya didasarkan pada keduniaan belaka (weltanschauung), tetapi ekonomi Islam berorientasi pada perilaku dunia dan tujuan akhirat (goal of hereafter).
Mazhab-Mazhab Ekonomi Islam
Adiwarman Karim, salah seorang pakar Ekonomi Islam Indonesia, dan penggagas The International Intitute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, menuliskan bahwa ada 3 mazhab ekonomi Islam, sebagai berikut.
Mazhab Bâqir al-Shadr
Mazhab ini dipelopori oleh Bâqir al-Shadr dengan bukunya Iqtishâdunâ, berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang lemah. Ilmu ekonomi (economics) tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Oleh karena itu, al-Shadr menolak statemen bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Hal tersebut sangat tidak relevan karena firman Allah SWT dalam surat QS. al-Qamar (54:49) dinyatakan “Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya”.
Mazhab Mainstream
M. Umer Chapra, M. Abdul Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan para pemikir ekonomi Islam dunia lebih banyak tergolong pada kelompok ini. Berbagai pendapat dari mazhab mainstream tidak begitu berbeda dengan pendapat konvensional, hanya saja yang membedakan adalah cara penyelesaian permasalahan (method of problem solving). Berbeda dengan penentuan skala prioritas dalam ekonomi konvensional yang tergantung pada individu dengan atau tanpa pendekatan agama, tetapi dengan “mempertuhankan nawa nafsu dan materi”, sedangkan mazhab ini berpendapat dalam ekonomi Islam, keputusan pilihan tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk ekonomi, harus merujuk pada ajaran Allah lewat al-Qur’an dan Sunnah.
Mazhab ini juga setuju dengan kemunculan masalah ekonomi karena keterbatasan sumber daya yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Namun, keterbatasan sumber daya tersebut, hanya terjadi pada berbagai tempat dan waktu saja, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah (2:155), yang artinya: “Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”.
Selain keterbatasan merupakan ujian dari Allah SWT, juga sifat manusia yang berkeinginan tidak terbatas dianggap sebagai sifat yang alamiah. Disebutkan dalam al-Qur’an surat at-Takâtsur (102:1-5), yang artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)”.
Mazhab Alternatif-Kritis
Dipelopori oleh Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California). Kuran mengkritisi kedua mazhab di atas. Mazhab ini berpendapat bahwa yang perlu dikritisi tidak saja kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga ekonomi Islam itu sendiri.
Dari sekian literatur dan perkembangan perekonomian Islam di dunia, tampaknya mazhab Mainstream lebih fleksibel dan dominan dalam berkiprah karena seperti yang ditulis oleh Muhammad Muslehuddin bahwa sesungguhnya esensi dari ekonomi Islam adalah perilaku dan sistem ekonomi yang dibangun (established) dan ditegakkan berdasarkan syariah, dan (kemungkinan) menerima unsur ekonomi lainnya selama tidak bertentangan dengannya.
Prinsip-Prinsip Umum Ekonomi Islam
Prinsip-Prinsip umum ekonomi Islam dapat dilihat pada rancang bangun ekonomi Islam didasarkan pada 5 (lima) nilai universal, yaitu at-tauhîd (keamanan), al-‘adl (keadilan), an-nubuwwah (kenabian), al-khilâfah (pemerintahan), dan al-ma’ad (hasil). Kemudian kelima nilai-nilai universal tersebut dibangun tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islam, yaitu multiple ownership, freedom to act, dan social justice. Kelima nilai universal dan tiga prinsip derivatif tersebut semuanya dipayungi konsep akhlak, sesuai dengan penyempurnaan dakwah Nabi. Bahkan, M. Anas Zarqa meyakini filter moral dapat menciptakan efisiensi dan keadilan. Adapun rangkaian rancang bangun dapat dilihat pada skema gambar berikut.
Ekonomi Islam sebagai Suatu Displin Ilmu
Banyak bukti sejarah yang meyakinkan bahwa Ekonomi Islam sebagai suatu disiplin ilmu bukan karena menjadi ekonomi alternatif pada dekade terakhir terhadap ekonomi sosialis yang tidak popular dan ekonomi kapitalis yang sarat ketidakadilan.
Banyak catatan yang membuktikan bahwa ilmu ekonomi Islam telah mempunyai sejarah panjang jauh sebelum ekonomi konvensional (klasik) tercatat. Ali Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M) telah menggagas tentang penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai. Abu Hanifah menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual-beli dengan apa yang dikenal dengan bay’ as-salam dan al-murabâhah. Abdurrahman al-Awza’i penggagas kebolehan peminjaman modal dalam bentuk tunai atau sejenis. Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim (112-182 H/731-798 M) terkenal dengan perhatiannya atas keuangan umum (public finance) serta perhatiannya terhadap peran negara, pekerjaan umum dan perkembangan pertanian. Ia adalah peletak pertama dasar-dasar perpajakan yang terkodifikasi dalam Kitab al-Kharâj dan kemudian “dijiplak” oleh ahli ekonomi sebagai canon of taxation. Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224 H/774-738 M) penulis buku al-Amwâl yang secara garis besar mendeskripsikan tentang persoalan ekonomi yang berkaitan dengan property dan capital.
Dari data-data tersebut di atas, dan masih banyak data-data yang lain, para tokoh ekonomi Islam jauh lebih dahulu jika dibandingkan dengan Adam Smith, lelaki Skotlandia yang didaulat sebagai Father of Classic Economics dengan bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, atau biasa disingkat Wealth of Nations yang hidup pada abad XVIII (1723-1790 M) atau lebih lambat sepuluh abad jika diukur dari Ali Zaid yang hidup pada abad VIII (80-120 H/699-738 M). Bahkan, isi buku Wealth of Nations hampir menyerupai dengan al-Amwâl karya Abu ‘Ubaid, hanya Smith tidak mencantumkan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis. Bahkan, beberapa hal seperti tentang invisible hands (kekuasaan pasar yang tidak terlihat), Smith mencontohkan kepada perekonomian Arab Islam.
Dari data-data tersebut, ilmu ekonomi Islam tidak dapat dipungkiri sebagai suatu studi yang sudah lama berkembang. Namun, menjadi gerakan perekonomian Islam dalam konteks modern (global) baru kira-kira sejak seperempat abad yang lalu, yaitu pasca Perang Dunia II berakhir banyak pemuda mahasiswa Muslim belajar ekonomi di Barat dan mendapat wawasan ekonomi yang luas, kemudian berupaya menghidupkan kembali prinsip, nilai, moral dan hukum ekonomi Islam untuk dapat diaplikasikan.