Baca Juga







Muh. Sudirman Sesse
(Dosen STAIN Parepare)

Abstract

This article analyzes the factors at work in changing law, particularly Islamic law. Reformation of law in Islam is a need as well as a necessity. Nonetheless, to prevent from arbitrary interpretation of law, the reformation must be operated in a system of methodology (ushul al-fiqh). The result of this study, based on benefit (mashlahah) approach, shows that the reformation of law is a reality and a fundamental need, because determining a ruling always involves an interpretation, although in different levels. In addition, social, cultural, economic, political, and historical aspects are the external factors that stimulate the reformation of law, either as a means of social control or social engineering. Islamic law, whose in principles are bound to syari’ah, will be applied in a complex reality. Therefore, it needs to be interpreted so that it can solve legal cases by referring to the basic principles as its main goals. 

Keywords: Perubahan Hukum, Problema Hukum, Islam
I. PENDAHULUAN
Suatu krisis yang terjadi dalam masyarakat barangkali merupakan tantangan langsung terhadap hukum ketimbang aktivitas sosial lainnya.  Profesi ahli hukum dan nilai-nilai yang melekat dalam hukum diancam oleh pergolakan yang terjadi pada sendi-sendi masyarakat, walaupun hukum jelas berkaitan dengan politik, ekonomi, kehidupan sosial serta etika, dan fungsi hukum itu sendiri adalah untuk memberi bentuk dan ketertiban terhadap bidang-bidang tersebut.
Hubungan hukum dan soal-soal yang diaturnya, dalam pandangan Friedmann, menyiratkan tidak kurang dari tiga hal penting, yaitu:
1.    Karakteristik stabilitas. Hukum merupakan aturan yang ditujukan dalam menciptakan kemantapan dan harmoni dalam relasi-relasi sosial.
2.    Karakteristik formalism. Hukum merupakan suatu metode untuk mengatur hubungan-hubungan sosial dengan cara yang khas, bentuk menjadi sangat penting bagi sistem dan pendidikan hukum.
3.    Karakteristik perlindungan dan pendidikan hukum.1
Ketiga karakteristik di atas menjadi ciri penting bagi penandaan relasi hukum dengan bidang-bidang aturannya yang menjadi fokus (tempat) lahirnya persoalan kepentingan perubahan hukum.
Teori dan filsafat hukum yang tumbuh dan berkembang sejak zaman Yunani sampai zaman modern sekarang, dalam berbagai variasinya, mengakui dan menetapkan perlunya perubahan hukum baik secara teori maupun praktik. Hal ini tidak menjadi persoalan karena perundang-undangan mereka, kecuali pandangan hukum alam dan idealistik yang diilhami dari canun gereja, menempatkan hukum itu sendiri sebagai bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Hukum berasal dan ditemukan dalam masyarakat. Berlainan dengan hukum Islam yang diklaim bersumber dari Tuhan (devine law), seringkali diskursus perubahan berhadapan dengan persoalan wibawa teks. Anderson, sebagaimana dikutip al-Naim menyatakan bahwa; Bagi orang Islam lebih baik jauh dari dosa yang mengerikan untuk menolak atau mempermasalahkan wahyu Ilahiyah daripada gagal untuk mentaatinya.  Maka tampaknya umat Islam lebih baik terus-menerus berpura-pura tidak melanggar syari’ah sebagai satu-satunya hukum yang mempunyai otoritas fundamental dan menghindar untum mempraktikannya dengan menarik keramik arah doktrin keterpaksaan (darurat), daripada mencoba untuk menyelesaikan hukum tersebut dengan berbagai problem dan kehidupan kontemporer.2
Dengan demikian perubahan hukum dalam Islam, bukan sekedar keterpaksaan melainkan sebuah kebutuhan dan kenyataan sesungguhnya, meskipun demikian perubahan tersebut tidak dapat dilakukan secara semena-mena melainkan tetap tunduk pada sistem metodologi (usul fiqh) yang diformulasikan untuk menjaga kesewenangan interpretasi hukum.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah ini adalah “Sejauhmana faktor Internal dan eksternal berpengaruh terhadap perubahan hukum”.Kemudian dijabarkan pada beberapa sub masalah sebagai berikut; (1) Bagaiaman pengaruh faktor Internal dan eksternal terhadap perubahan hukum?, (2) Bagaimana Proses perubahan hukum dalam Islam?
II. PEMBAHASAN
A.     Stabilitas dan Perubahan dalam Hukum
Roscoe Pound menyatakan  bahwa: “Hukum harus tetap dan hukum tidak dapat tinggal diam. Karena itu selalu pemikiran tentang hukum harus berusaha keras menertibkan tuntutan-tuntutan yang bertentangan dengan kebutuhan terhadap stabilitas dan kebutuhan akan perubahan”3
Dengan pernyataan ini Roscoe Pound telah menyatakan secara singkat hal lain dalam otonomi-otonomi yang kekal sebagai akibat ketegangan antara hukum dan kehidupan. Teori hukum merefleksikan perjuangan hukum diantara tradisi dan kemajuan, stabilitas dan perubahan, kepastian dan keleluasaan. Sepanjang objek hukum adalah menciptakan ketertiban, maka penekanannya diletakkan pada kebutuhan terhadap stabilitas dan kepastian. Pada umumnya teori-teori hukum dan para ahli hukum cenderung untuk lebih menekankan pada stabilitas daripada perubahan. Ini terutama sekali didominasi oleh para pemikir teori hukum alam dan idealisme. Kecenderungan mempertahankan stabilitas oleh para teoritis hukum alam dituduh Kelsen sebagai upaya memperkuat kekuasaan yang ada dan menekan setiap perubahan.
Dalam kenyataannya hukum mengalami pertumbuhan dan perkembangan, tanpa dapat dihindari, karena secara internal hukum menuntut dirinya untuk diinterpretasi walau dengan varian-varian dan tingkat yang berbeda. Bagir S. Manan menyebutkan bahwa interpretasi terhadap kaidah-kaidah hukum dapat dilakukan oleh kekuasaan kehakiman, legislatif dan eksekutif.4
Interpretasi hukum yang dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (Judical interpretation) dapat dilihat pada doktrin judicial review di Amerika Serikat. Menurut ketentuan tersebut pengadilan mempunyai kekuasaan untuk menyatakan batal (null and void) suatu hukum perundang-undangan atau tindakan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan mengenai judical review ini tidak tercantum dalam hukum perundang-undangan Amerika Serikat. Oleh karena itu, John Marshall sebagai ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Marbury V Madison pada tahun 1803 menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan hukum perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum konstitusi. Kewenangan tersebut didasarkan kepada interpretasi atas ketentuan undang-undang yang menyatakan bahwa setiap hakim sebelum memangku jabatannya harus mengucapkan sumpah dan menjunjung tinggi Undang-undang dasar kecuali: Undang-undang tersebut dinyatakan the supreme low of land. Oleh karena itu tidak boleh ada suatu peraturan atau tindakan yang bertentangan dengan Undang-undang dasar. Bila terdapat peraturan atau tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang-undang dasar tersebut, maka peraturan atau tindakan pemerintah itu, dinyatakan batal. Dengan demikian apabila ada dua ketentuan yang bertentangan, maka hakim harus memilih salah satu ketentuan tersebut sebab hakim berkewajiban untuk memutuskan perkara yang dihadapkan kepadanya.  Dan jika ketentuan dengan Undang-undang Dasar maka sudah barang tentu Undang-undang Dasar itu harus dimenangkan.
Selain kehakiman, legislatif berperan besar dalam menginterpretasikan hukum, bahkan banyak hal yang diserahkan oleh Undang-undang dasar sebagai kekuasaan legislatif ini, misalnya menyangkut dengan syarat-syarat wakil presiden. Dalam UUD 1945 tidak mengharuskan wakil presiden itu orang Indonesia asli, tetapi ketetapan MPR. No. II/MPR/1973 mensyaratkan presiden adalah orang Indonesia asli. Hal ini didasarkan kepada penafsiran yang menghubungkan pasal 6 dengan pasal 8 UUD 1945.
Disamping itu pemegang kekuasaan Eksekutif juga berhak melakukan interpretasi hukum. Di Amerika misalnya, Undang-undang Dasar memberi wewenang kepada presiden untuk membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan senat. Namun dalam kenyataannya banyak sekali presiden membuat perjanjian dengan negara lain tanpa persetujuan senat yang lazim disebut Executive agreements. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dianggap mempunyai kekuasaan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan negara lain.  Praktek semacam ini terjadi di semua negara termasuk Indonesia.
Disamping faktor perubahan internal terhadap hukum, yang tidak bisa diabaikan adalah bahwa sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan hukum tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor: Politik, ekonomi, sosial, sejarah dan budaya. Kelima faktor ini merupakan faktor luaran paling penting bagi perubahan-perubahan hukum.
Dari kelima faktor eksternal tersebut di atas sebagian analis, secara berlebihan menempatkan faktor politik sebagai yang paling fundamental bahkan terkadang mensimilarkan hukum dengan politik. Hukum merupakan produk politik.  Pada sisi lain, asumsi ini benar sebab pada suatu kondisi tertentu kekuasaan politik (negara) ditempatkan pada puncak tertinggi dari aturan, bahkan ia sendiri merupakan jelmaan hukum itu sendiri. Konfigurasi politik suatu negara akan sangat menentukan bagaimana corak hukum yang dihasilkannya.  Konfigurasi politik yang otoriter cenderung menghasilkan hukum yang responsif dan populistik. Mahfyud MD secara cermat berhasil menemukan signifikansi penting hubungan kausa antara konfigurasi politik dengan produk hukum. Dalam pandangannya hukum-hukum yang resfonsif-resfonsif dan populistik-elitis sangat ditentukan oleh ada tidaknya demokratisasi dalam politik.5 Akan tetapi kajian-kajian lain oleh para ahli melahirkan suatu teori interest jurisprudence yang menempatkan persoalan kepentingan individu dan masyarakat sebagai dasar bagi interpretasi dan aplikasi hukum. Menurut pendukung teori ini keseimbangan berbagai kepentingan merupakan tugas dan fungsi hukum. Sehingga menurut teori ini sesungguhnya hukum merupakan cerminan dari kebutuhan sosial masyarakat.
B.     Perubahan Hukum dalam  Islam
Asumsi pusat para Islamisis dalam beberapa dekade menunjukkan bahwa bagi mereka hukum Islam merepresentasikan sebuah sistem pemikiran keagamaan yang spekulatif dengan disandarkan pada norma-norma idealistik. N.J. Coulson menulis bahwa elaborasi hukum Islam merupakan hasil dari upaya-upaya spekulatif oleh sarjana-sarjana terkemuka, bekerjasama tiga abad pertama Islam, untuk mendefinisikan kehendak Allah dalam dirinya sendiri mengisolasi dari kebutuhan-kebutuhan praktis dan lingkungan-lingkungan yang menghasilkan sebuah sistem aturan komprehensif, secara umum dalam oposisi terhadap keberadaan praktik hukum, yang mengekspresikan ideal keagamaan.6 Akan tetapi konstatasi Coulson tidak bisa dipertahankan terlebih dengan adanya penelitian mutakhir dari Josep Schacht yang didalamnya ditemukan bahwa ada interkoneksi dari praktik-praktik sosial dan administrasi yang muncul pada abad II - IV H. dengan hukum yang muncul dari praktik-praktik tersebut.  Akan tetapi Schatch sendiri selanjutnya menyatakan bahwa hukum Islam pasca formativ mengalami kebekuan. Menurutnya perubahan-perubahan yang terjadi lebih berkaitan dengan teori hukum dan suprastruktur sistemik daripada persoalan hukum positif. Asumsi-asumsi Coulson dan Schatch akan kami buktikan tidak seluruhnya benar.
Benar, hukum Islam sebagai devine law memiliki keterikatan interpretatif dengan teks-teks sakral dari kitab suci dan sunnah. Keterikatan ini didasarkan pada pra-asumsi umat Islam bahwa sesungguhnya seluruh aturan-aturan dalam kitab suci dan sunnah merupakan pesan dan titah Tuhan yang secara inhern didalamnya telah terkandung keadilan dan kemaslahatan sebagai tujuan utama pensyari’atan. Karena apabila dicermati literatur-literatur hukum yang ditulis didalamnya alasan-alasan dari penalaran hukum seringkali ditujukan pada dalil-dalil normatif atau pada otoritas-otoritas berwenang daripada sahabat.  Akan tetapi para ahli hukum sepakat bahwa banyak kasus hukum yang tidak ditangani secara langsung oleh kitab suci dan sunnah. Nasir Hamid Abu Zaid dengan tegas membedakan antar Islam sebagai Diendan sebagai pemikiran atas dien. Menurut dia, pemikiran atas dien merupakan upaya elaborasi ilmiah dengan perangkat-perangkat metodis melalui pengerahan daya intelek. sehingga pemecahannya mestilah didasarkan pada penalaran ijtihad ini oleh umat Islam, sebagai sebuah kenyataan yang tidak mungkin dihindari dalam upaya pemahaman dan penetapan syari’at. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kualifikasi hakim (qadhi) harus seorang mujtahid dalam literatur-literatur fiqh, walaupun dalam literatur-literatur mutakhir tampaknya ditolelir ketidakharusan hakim sebagai mujtahid akan tetapi ia diharuskan mengetahui doktrin-doktrin, hukum dalam mazhab atau harus senantiasa berhubungan dengan mufti.  Karena itu sesungguhnya materi-materi hukum Islam sangat memuat nilai-nilai sosiologis, didalamnya terdapat berbagai “kompromi sosiologis”, yang dapat dibuktikan dengan varian-varian hukum yang sangat banyak. Diantara varian-varian hukum tersebut banyak perbedaan bahkan pertentangan.  Perbedaan dan pertentangan tersebut diakui oleh para ahli hukum Islam sebagai sebuah kenyataan yang tidak naif bahkan seringkali dianggap sebagai “rahmat” bagi masyarakat Islam. Dengan demikian, walaupun para ahli hukum berbeda pandangan terhadap beberapa metode tertentu dalam ijtihad, mereka tampaknya sepakat dalam penerimaan prinsip kebertahapan (tadrij) dan pembatalan (nasakh) hukum dalam syari’ah. Prinsip ini sesungguhnya menunjukkan secara jelas adanya pengakuan para ahli hukum Islam bahwa hukum dalam Islam diterapkan secara berangsur-angsur dan mengalami perubahan dengan penggantian hukum baru yang disesuaikan dengan kebutuhan situasional. Mahmud Thaha, dengan pengembangan teori nashk, merumuskan teori evolusi legeslasi hukum, menurut dia hukum-hukum dalam fiqh tidak akan sesuai dan memadai apabila diterapkan  sebagai aturan dalam zaman modern, karena menurut dia hukum-hukum tersebut banyak memuat aturan-aturan deskriminatif. Aturan-aturan tersebut sesungguhnya diturunkan dari ayat-ayat madani yang muatannya pada dasarnya versi aturan-aturan situasional masyarakat saat konsolidasi komunitas muslim. Karena tidak mengherankan apabila aturan-aturan deskriminatif. Aturan-aturan tersebut sesungguhnya diturunkan dari ayat-ayat madani yang muatannya pada dasarnya versi aturan-aturan situasional masyarakat saat konsolidasi komunitas muslim. Karena tidak mengherankan apabila aturan-aturan didalamnya banyak memuat aturan-aturan yang ditujukan bagi pengesahan identitas komunitas muslim. Yang seringkali mengorbankan pesan fundamental yang terdapat dalam ayat-ayat makkiyah. Adanya perbedaan muatan huum antara kedua ayat itu oleh para ahli diselesaikan dengan prinsip nasakh yang bersifat final dan permanen. Menurutnya demi penyesuaian dengan konstitusional modern dan hak asasi manusia interpretasi terhadap hukum publik syari’ah seharusnya didasarkan pada ayat-ayat makki yang egaliter dan humanis. Hukum-hukum kebebasan sipil, hak asasi manusia dan hubungan internasional dalam Islam.7
Perbedaan dan pertentangan itu muncul sebagai akibat perbedaan pendekatan metodologis maupun teoritis yang dipergunakan para mujtahid dalam lingkup sosio politik tertentu ketika dengan terpaksa mereka harus melakukan “kompromi”. Bahkan Coulson mengkonstatir perbedaan yang terjadi di kalangan para ahli hukum dapat dengan mudah diidentifikasi berdasarkan lingkup regional. Disamping bahwa sesungguhnya perubahan hukum terjadi diakibatkan pula oleh faktor internal teks-teks Alqur’an yang didalamnya lebih banyak memuat teks-teks zanniy yang memancing penafsiran spekulatif. Ini ditandai dengan term-term teknis kebahasaan yang dikembangkan para usuliyyinseperti: Hakikat/majaz, naszahir/khafiy mutasyabihat, mafhum/mantuq, lafzy/ma’nawiy, dan ta’wil/tafwid. Dalam terapannya terhadap interpretasi teks-teks hukum, seringkali terjadi perbedaan di kalangan mereka.
Metode qiyas dan istihsanyang dipergunakan oleh mayoritas ahli hukum merupakan suatu cara penafsiran atas hukum berdasarkan penalaran logis atau suatu illat hukum, ratio logis. Metode ini, secara faktual efektif, akan tetapi ia juga melahirkan perbedaan sangat besar dikalangan para ahli hukum karena perbedaan pandangan dalam menentukan dan menguji illat hukum yang sesungguhnya. Dan dalam banyak kasus penalaran (terutama qiyas) melahirkan varian-varian hukum yang idealistik dan tidak sosiologis. Problem metodologis ini berupaya dipecahkan oleh ahli-ahli hukum lainnya, seperti al-Gazali, dengan penawaran metode istislahi yang lebih etis dan pragmatis. Kemudian metode ini dikembangkan oleh al-Syathibi. Melalui karya monumentalnya (al-Muwafaqat), ia secara genial berupaya merumuskan sebuah pendekatan metodologis yang didasarkan pada tujuan-tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah).
Fiqh, dengan demikian, sesungguhnya merupakan hukum substantif Islam yang terus berkembang dan mengalami perubahan. Disamping fiqh sebagai produk mujtahidin pada periode formatif (I-IV H), fatwa yang dihasilkan para multi pada periode pasca formative yang dituding oleh Schatch sebagai masa kebekuan pemikiran hukum Islam, membawa andil besar bagi pertumbuhan dan perubahan dalam hukum substantive Islam. Apabila furu dalam fiqh merupakan hasil pemikiran independent para mujtahid, maka fatwa-fatwa sebagaimana dinyatakan Wael B. Hallaq dengan beberapa indikator muncul dari realitas konkrit dan khusus bukan dari pikiran para ahli hukum sebagai salah satu respon terhadap persoalan konkrit dan aktual yang dihadapi oleh masyarakat.  Fatwa-fatwa tersebut kemudian secara tajrid dan talkhis (to make abstract) masuk menjadi bagian dari substantive law (furu’) dalam karya-karya fiqh. Fatwa-fatwa yang terserap dalam karya-karya fiqh  biasanya merupakan fatwa-fatwa yang banyak dibutuhkan dan yang paling sering muncul, yang kemudian fatwa-fatwa yang telah diserap dalam fiqh diharapkan dapat memberikan solusi madzabnya, sekaligus untuk mensejajarkan kasus hukum yang paling baru sama dengan kasus purba yang muncul dalam mazhab. Berdasarkan hasil penelitiannya atas sejumlah literatur yang memuat fatwa-fatwa, ia menyimpulkan bahwa.
1.    kebanyakan fatwa bukan merupakan hasil spekulasi yuristik, teoritik, maupun hipotikal melainkan muncul dari realisasi aktual yang dihadapi oleh masyarakat muslim.
2.    fatwa-fatwa (primer maupun sekunder) disesuaikan dengan doktrin-doktrin yang telah mapan dalam mazhab yang secara kontinue dimasukkan keramik dalam karya-karya furu’ (fiqh) dengan melalui suatu proses pengeditan, abstraksi, dan penyeleksian.
3.    fatwa-fatwa yang dimasukkan keramik dalam karya-karya furu’merefleksikan pertumbuhan dan perubahan dalam doktrin-doktrin mazhab, yang mencerminkan perubahan sosial dimana hukum dituntut harus memberikan jawaban.  Dalam istilah lain fatwa, yang merefleksikan penafsiran atas tatanan sosial, merupakan suatu instrumen dalam mengikuti proses yang terjadi dengan tetap mengacu pada doktrin hukum baku yang diekspresikan dalam furu’.
4.    walaupun fatwa-fatwa secara umum diasimilasikan dengan karya-karya terdahulu, akan tetapi para komentatir memberikan kekhasan komentar sebagai hal penting bagi kajian perkembangan hukum dan dari sistem hukum Islam sebagai beberapa kekhasan hukum lainnya, dan
5.    Instrumentalitas fatwa telah menuntut para mufti suatu tugas berat, bukan hanya menemukan hukum Tuhan melainkan pula memverifikasi bahwa hukum baru yang diformulasikan dalam bentuk fatwa sesungguhnya konsisten dengan doktrin-doktrin baku dalam mazhabnya.
III. KESIMPULAN
Dari bebera uraian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Perubahan atas hukum sesungguhnya merupakan kenyataan sekaligus kebutuhan mendasar karena penetapan hukum pada dasarnya senantiasa melibatkan penafsiran walaupun dengan tingkat literitas yang berbeda. Disamping itu, faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah merupakan faktor eksternal yang mendorong timbulnya perubahan hukum, baik dari segi pertimbangan hukum sebagai alat kontrol sosial maupun sebagai alat rekayasa sosial.
2.    Hukum Islam, yang dalam prinsip-prinsip dasarnya terikat pada syari’at, maka pada tingkat aplikasi dia berhadapan dengan kenyataan dunia (real world) yang komplek sehingga syari’at perlu diinterpretasi sedemikian rupa sehingga mampu memecahkan dan menyelesaikan kasus-kasus hukum yang timbul dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang menjadi tujuan seharusnya.  Atas dasar pemikiran ini, tidaklah sukar untuk memahami mengapa hukum Islam yang diterapkan di negara-negara Islam/muslim hampir seluruhnya mengalami perubahan-perubahan walaupun dengan tingkatannya yang berbeda. 

Catatan Kaki dan Rujukan:
[1]Friedmann, W., Teori dan filsafat Hukum. Susunan l-lll, pen. Muhammad Arifin, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 17-18.
2Naim,Abdullah ahmad, 1990, Dekontruksi Syari’ah: wacana kebebasan sipil, Hak Asasi Manusia dan hubungan Internasional dengan Iislam, Pen. Ahmad Suaedy, Cet.I Pustaka Pelajar, Yokyakarta. h. 169-189
3 Friedmann, Op-cit. h. 37
4 Bagir S. Manan, 1995.Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara ,Mandar Maju, Bandung, h. 10.
5 Mahfyud MD, 1998,  Politik hukum di indonesia, Pustaka LP3ES, Yokyakarta.
6 Hallaq, Wael B., 1996. From Fatwas to Furu’ ; Growth and Change in islamic Substantiv Law’, dalam howard W. Federsipiel (ed), An Anthology of islamic Studies, Volume ll, Mc Gill Institut of islamic Studies ; Kanada. h.169
7Hassan, Ahmad, 1990. The Early Depelopmen of islamic Yurisprudence Kitab Bhavan, New Delhi.

Daftar Pustaka
Basri, Cik Hasan, (penyunting), 1997. Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I, Ulul Albab Press, Bandung.
C oulson ,N.J., 1991. A Histori of islabic law. The University Press, Edinburg.
Friedmann, W., 1996. Teori dan filsafat Hukum.. Susunan l-lll,pen. Muhammad Arifin, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hallaq, Wael B., 1996. ’From Fatwas to Furu’; Growth and Change in islamic Substantiv Law’, dalam howard W. Federsipiel (ed), An Anthology of islamic Studies, Volume ll, Mc Gill Institut of islamic Studies ;Kanada.
Hassan,Ahmad, The Early Depelopmen of islamic Yurisprudence, Kitab Bhavan, New Delhi.
Mahfud MD,Moh., 1998.Politik hukum di indonesia, Pustaka LP3ES, Yokyakarta.
Naim,Abdullah ahmad, 1990, Dekontruksi Syari’ah: wacana kebebasan sipil, Hak Asasi Manusia dan hubungan Internasional dengan Islam, Pen. Ahmad Suaedy , Cet. Pustaka Pelajar , Yokyakarta.
Mana, Bagir, 1995.Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara ,Mandar Maju, Bandung.