Baca Juga

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Tanaman jagung sudah lama diusahakan petani Indonesia dan merupakan tanaman pokok kedua setelah padi. Penduduk kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Madura, sebagian Maluku, dan Irian Jaya sudah biasa menggunakan jagung sebagai makanan pokok sehari-hari. Produksi jagung Indonesia sebagian besar berasal dari pulau Jawa (± 66%) dan sisanya barasal dari di propinsi luar Jawa terutama Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Jagung memiliki peranan penting dalam industri berbasis agribisnis. Untuk tahun 2009, Deptan melalui Direktorat Jendral Tanaman Pangan mengklaim produksi jagung mencapai 18 juta ton. Jagung dimanfaatkan untuk konsumsi, bahan baku industri pangan, industri pakan dan bahan bakar. Kebutuhan jagung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring berkembangnya industri pakan dan pangan.
Kendala dalam budidaya jagung yang menyebabkan rendahnya produktivitas jagung antara lain adalah serangan hama dan penyakit. Hama yang sering dijumpai menyerang pertanaman jagung adalah ulat Penggerek batang jagung, Kutu daun, ulat Penggerek tongkol, dan Thrips. Bulai, Hawar daun, dan Karat adalah penyakit yang sering muncul di pertanaman jagung dan dapat menurunkan produksi jagung.
Upaya pengendalian oleh petani pada saat ini adalah dengan menggunakan pestisida atau bahan kimia lainnya yang tidak ramah lingkungan. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang mengintegrasikan komponen pengendalian yang selaras terbukti tidak hanya meningkatkan produksi jagung tetapi juga pendapatan petani. Sistim PHT melibatkan semua komponen yang berpeluang untuk menekan atau mencegah hama untuk mencapai ambang batas populasi merusak secara ekonomi (economic injury level/ economic threshold) (Willson, 1990). Sistim PHT yang bertujuan mengupayakan agar OPT tidak menimbulkan kerugian melalui cara-cara pengendalian yang efektif, ekonomis, dan aman bagi khalayak, produsen, dan lingkungan menjadi acuan dasar dalam pengendalain OPT agar petani tidak bergantung pada pestisida atau bahan kimia lainnya.
1.2.    Tujuan Dan Kegunaan                                          
A.    Tujuan Penelitian
1.    Menganalisis faktor-faktor yang membedakan dan dapat            mempengaruhi perilaku petani dalam menentukan pilihan benih padi unggul (antara varietas inbrida dan hibrida)
2.    Mengetahui atribut-atribut benih padi unggul varietas inbrida dan hibrida yang diinginkan      oleh petani

B.    Kegunaan Penelitian

1.    Informasi bagi produsen benih dalam pengembangan produk benih padi varietas unggul yang dapat memenuhi keinginan petani.
2.    Informasi bagi pemasar benih dalam merancang dan menerapkan strategi pemasaran produk benih padi.
3.    Masukan bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
4.    Tambahan perbendaharaan pustaka bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.    Komoditas Jagung
Berdasarkan bukti genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan). Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru pada 4000 tahun yang lalu. Kajian filogenetik menunjukkan bahwa jagung (Zea mays ssp. mays) merupakan keturunan langsung dari teosinte (Zea mays ssp. parviglumis). Dalam proses domestikasinya, yang berlangsung paling tidak 7000 tahun oleh penduduk asli setempat, masuk gen-gen dari subspesies lain, terutama Zea mays ssp. mexicana. Istilah teosinte sebenarnya digunakan untuk menggambarkan semua spesies dalam genus Zea, kecuali Zea mays ssp. mays. Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Hingga kini dikenal 50.000 varietas jagung, baik ras lokal maupun kultivar.
Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecious), yaitu letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina dalam satu tanaman. Dalam taksonominya jagung termasuk dalam ordo Tripsaceae, famili Poaceae, sub famili Panicoideae, genus Zea, dan spesies Zea mays L, (Muhadjir, 1988).
2.2.    Organisme Pengganggu Tanaman Penting pada Jagung
a.    Bulai
Gejala. Gejala penyakit ini terjadi pada permukaan daun jagung berwarna putih sampai kekuningan diikuti dengan garis-garis klorotik dan ciri lainnya adalah pada pagi hari di sisi bawah daun jagung terdapat lapisan beledu putih yang terdiri dari konidiofor dan konidium jamur. Penyakit bulai pada tanaman jagung menyebabkan gejala sistemik yang meluas keseluruh bagian tanaman dan menimbulkan gejala lokal (setempat). Gejala sistemik terjadi bila infeksi cendawan mencapai titik tumbuh sehingga semua daun yang dibentuk terinfeksi. Tanaman yang terinfeksi penyakit bulai pada umur masih muda biasanya tidak membentuk buah, tetapi bila infeksinya pada tanaman yang lebih tua masih terbentuk buah dan umumnya pertumbuhannya kerdil.
b.    Hawar daun
Gejala. Pada awal infeksi gejala berupa bercak kecil, berbentuk oval kemudian bercak semakin memanjang berbentuk ellips dan berkembang menjadi nekrotik dan disebut hawar, warnanya hijau keabu-abuan atau coklat. Panjang hawar 2,5_15 Cm, bercak muncul awal pada daun yang terbawah kemudian berkembang menuju daun atas. Infeksi berat dapat mengakibatkan tanaman cepat mati atau mengering dan cendawan ini tidak menginfeksi tongkol atau klobot. Cendawan ini dapat bertahan hidup dalam bentuk miselium dorman pada daun atau pada sisa sisa tanaman di lapang. Penyebab penyakit hawar daun adalah : Helminthosporium turcicum
Cara pengendalian. Menanam varietas tahan Bisma, Pioner2, pioner 14, Semar 2 dan 5. Eradikasi tanaman yang terinfeksi bercak daun. Penggunaan fungisida dengan bahan aktif mankozeb dan dithiocarbamate.
c.     Karat
Gejala. Bercak-bercak kecil (uredinia) berbentuk bulat sampai oval terdapat pada permukaan daun jagung di bagian atas dan bawah, uredinia menghasilkan uredospora yang berbentuk bulat atau oval dan berperan penting sebagai sumber inokulum dalam menginfeksi tanaman jagung yang lain dan sebarannya melalui angin. Penyakit karat dapat terjadi di dataran rendah sampai tinggi dan infeksinya berkembang baik pada musim penghujan atau musim kemarau. Penyebab penyakit karat adalah Puccinia polysora
d.    Ostrinia furnacalis
Penggerek batang, Ostrinia furnacalis Guenee, merupakan salah satu hama utama pada tanaman jagung sehingga keberadaannya perlu diwaspadai. Kehilangan hasil akibat hama tersebut mencapai 20−80%. Besarnya kehilangan hasil dipengaruhi oleh padat populasi larva O. furnacalis serta umur tanaman saat terserang. Telur O. Furnacalis diletakkan secara berkelompok pada bagian bawah daun, bentuknya menyerupai sisik ikan dengan ukuran yang berbeda-beda. Periode telur berlangsung 3−4 hari. Larva terdiri atas lima instar, setiap instar lamanya 3−7 hari. Stadium pupa berlangsung 7−9 hari. Lama hidup ngengat adalah 2−7 hari sehingga siklus hidup dari telur hingga ngengat adalah 27−46 hari dengan rata-rata 37,50 hari.
BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan tempat
    Waktu dan tempat penelitian berlangsung di desa sidera kec.biromaru
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah pertanaman Jagung milik salah satu petani di kelurahan Sidera kec.biromaru. Selain itu alat-alat yang digunakan antara lain: (jaring serangga, alat tulis berupa buku catatan dan pensil.
3.3.Metode
Langsung turun ke lapangan dan mewaancarai beberapa petani yang ada didesa sidera kec.biromaru


BAB IV
          HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Pengamatan HPT
Pengamatan PHT yang dilakukan di lahan Bapak Basri,DI DESA SIDERA KEC.BIROMARU. Luas areal yang diamati adalah sekitar 2500 m2. Komoditas yang diamati adalah tanaman jagung yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman singkong. Tanaman yang ditanam ataupun tumbuh disekitar lahan yang diamati adalah jagung, kacang panjang, Oxalis sp., Panicum sp., Digitaria sp., dan beberapa gulma yang lain. Lahan ini sebelumnya ditanam  singkong dan jagung. Hama dan penyakit yang ditemukan dilahan pada waktu pengamatan antara lain hamanya adalah kutu daun, penggerek batang, hama putih palsu, thrips, belalang, dan kumbang. Sedangkan penyakitnya adalah Bulai, Karat, dan Hawar daun. Pengamatan awal yang dilakukan pada pertanaman jagung dilakukan pada saat jagung berumur sekitar 40 hari setelah tanam (HST).
Kutu daun (Rhopalosiphum maidis) menyerang pertanaman jagung terutama pada bagian pucuk daun yang masih muda. Hama ini menyerang mulai dari awal pertanaman. Hama ini ditemukan sangat banyak di pertanaman. Gejela kerusakan yang disebabkan oleh hama ini adalah nekrotik, daun mengkriting dan warna daun berubah. Musuh alami yang ditemukan menyerang kutu daun tersebut antara lain larva Syrphidae dan Coccinellidae predator. Namun dari pengamatan yang dilakukan jumlah hama ini masih belum bisa ditekan populasinya oleh musuh alami. Hal ini dipengaruhi oleh perlakuan pestisida yang juga mematikan musuh alami sehingga jumlah populasinya sedikit.
Penggerek batang (Ostrinia furnacalis) menyerang bagian batang, daun, dan tongkol. Larva penggerek batang dapat merusak daun, batang, serta bunga jantan dan betina atau tongkol muda. Larva instar I-III merusak daun dan bunga jantan, sedangkan larva instar IV-V merusak batang dan tongkol (Nafus dan Schreiner, 1987). Namun dalam pengamatan di lapang hama ini hanya menyerang pangkal batang saja. Gejala yang ditunjukkan berupa gerekan di bagian dalam batang. Hama ini menyerang tanaman pada kisaran 6 MST. Kehilangan hasil jagung, selain dipengaruhi oleh padat populasi larva O. Furnacalis, juga ditentukan oleh umur tanaman saat terserang (Nonci dan Baco, 1987).
Musuh alami hama penggerek batang adalah laba-laba, semut, cocopet, Syirphidae, Coccinellidae. Tetapi yang banyak ditemukan di lapang adalah Syirphidae dan Coccinellidae.
putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) merupakan salah satu hama pertanaman jagung yang menyerang daun. Fase hama yang merusak adalah pada fase larva. Kerusakan yang diakibatkan oleh larva hama putih palsu adalah adanya warna putih pada daun. Larva memakan jaringan hijau daun dari dalam lipata daun sehingga meninggalkan warna putih pada permukaan bawah daun. Musuh alami untuk hama ini adalah Coccinellidae.
Penyakit karat disebabkan oleh Puccinia sp. dengan gejala serangan pada permukaan atas dan bawah daun jagung terlihat bercak karat berwarna oranye kecoklatan. Dari 40 sampel tanaman yang diambil setengahnya terserang oleh karat. Karat mulai terlihat saat tanaman berumur sekitar 6 MST dan serangannya terus meningkat dipengamatan selanjutnya. Pada saat tanaman berumur sekitar 8 MST serangan karat mencapai 50% dari sampel tanaman yang diamati.
Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Helminthosporium turcicum merupakan salah satu penyakit utama pada jagung setelah bulai. Gejala visual yang menunjukkan ciri khas serangan H. turcicum adalah bercak agak memanjang, bagian tengah agak melebar, makin ke pinggir makin kecil, berwarna cokelat keabuan, dikelilingi oleh warna kekuningan sejajar tulang daun. Patogen ini menular melalui udara sehingga mudah menyebar. Kehilangan hasil akibat bercak daun mencapai 59%, terutama bila penyakit menginfeksi tanaman sebelum bunga betina keluar (Poy 1970). Cendawan ini dapat bertahan hidup pada tanaman jagung yang masih hidup, beberapa jenis rumput-rumputan termasuk sorgum, pada sisa-sisa tanaman jagung sakit, dan pada biji jagung. Konidium jamur ini disebarkan melalui angin. Di udara, konidium yang terbanyak terdapat menjelang tengah hari. Konidium berkecambah dan pembuluh kecambah mengadakan infeksi melalui mulut kulit atau dengan mengadakan penetrasi secara langsung, yang didahului dengan pembentukan apresorium (Semangun,1991). Tanaman jagung yang terinfeksi penyakit hawar daun pada fase vegetatif menyebabkan tingkat penularan yang lebih berat dibanding bila penularan terjadi pada tanaman yang lebih tua dan ini akan berpengaruh terhadap kehilangan hasil (Sumartini dan Sri Hardaningsih 1995).
4.2. Musuh Alami
Musuh alami yang banyak ditemukan adalah predator. Sedangkan parasitoid sangat jarang ditemukan. Populasi Coccinellidae larva dan imago banyak ditemukan pada pertanaman jagung. Populasi Coccinellidae mulai meningkat pada umur  47 HST seiring dengan mulai berkembangnya mangsanya yang berupa kutu daun, penggerek batang, dll. Populasi Coccinellidae paling tinggi pada saat saat 54 HST. Hal ini dapat dilihat juga dari populasi kutu daun dan penggerek batang yang tinggi juga pada waktu 54 HST. Dimana Coccinellidae merupakan musuh alami dari hama-hama tersebut. Predator Syrphidae dan Formicidae juga terdapat pada pertanaman jagung walaupun fluktuasi musuh alami ini tidak terlalu tinggi. Namun musuh alami yang ditemukan  tersebut cukup membantu dalam menekan populasi hama pertanaman jagung.
Wawancara kepada empat petani jagung di daerah sekitar Sidera dilakukan secara acak. Dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa mereka tidak memiliki lahan yang mereka garap, atau kurang lebih bekerja pada hanya sebagai petani penggarap. Asal benih yang digunakan untuk ditanam menggunakan benih musim tanam sebelumnya. Proses pengolahan tanah dilakukan menggunakan cangkul pada saat sebelum proses tanam. Penggunaan pupuk rata-rata menggunakan pupuk kandang dan menggunakan Urea, ZA , dan KCL dengan frekuensi pemberian pupuk sebanyak  2x selama musim tanam. Proses penyiangan dilakukan oleh para petani selama proses tanam. Untuk proses pengairan hanya menggunakan air hujan yang turun. Proses pemanenan dilakukan pada saat umur tanaman kurang lebih 75 hari dengan cara ditebas langsung. Pengolahan lanjutan dengan menjual hasil panmen kepada tengkulak dan ada pula yang menjual langsung ke pasar tradisional.
Pengendalian yang sudah pernah dilakukan adalah dengan penggunaan pestisida. Pestisida sintetik menggunakan Matador 25 EC (bahan aktif lamda sihalotrin 25 g/l) dan Decis 25 EC (bahan aktif deltametrin 25%) dengan cara aplikasi disemprot. Pestisida sintetik tersebut digunakan petani untuk membasmi hama yang terdapat di lahan. Ada pula petani yang menggunakan pestisida nabati dengan menggunakan akar tuba yang disemprot dan jengkol yang dibakar kemudian ditaburkan abunya pada pertanaman. Waktu aplikasi pemberian pestisida dilakukan pada pagi hari dengan frekuensi pemberiannya minimal sebanyak 2x selama musim tanam. Dasar pengendalian petani adalah penyemprotan dilakukan sebelum muncul hama agar mencegah hama merusak dan berkembang biak pada pertanaman. Petani tidak menerapkan salah satu prinsip PHT yaitu penggunaan musuh alami dalam pengendalian hama dan penyakit. Dalam pengaplikasian pestisida, petani melakukan secara efikasi dimana dengan cara tersebut bisa meningkatkan resistensi hama. Proses monitoring sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum pengaplikasian pestisida karena selain dapat menghemat biaya juga dapat menghambat proses resistensi hama tersebut.


BAB V
                         KESIMPULAN

Tingkat pemahaman dan aplikasi PHT bagi petani di SIDERA sangatlah kurang. Pengendalian hama dan penyakit pada pertanaman jagung dilahan petani sebagian besar masih menggunakan pestisida sintetik dengan cara penyemprotan tanpa melihat adanya musuh alami. Presentase penyakit yang ditemukan dilapang (Bulai, Karat, dan Hawar) sangat kecil, sehingga kurang mempengaruhi hasil panen bagi petani. Populasi hama kutu daun dilapang paling tinggi diantara populasi hama yang lain, hal yang dilakukan petani untuk pengendalian untuk menurunkan populasinya dengan menggunakan pestisida sintetik Matador 25 EC (bahan aktif lamda sihalotrin 25 g/l) dan Decis 25 EC (bahan aktif deltametrin 25%) dengan cara aplikasi disemprot.  Jenis musuh alami yang melimpah dilahan adalah larva Coccinelidae dan Formicidae, tetapi kurang efektif dalam mengendalikan hama yang terdapat di lahan, hal ini juga dipengaruhi oleh penggunaan pestisida sintetik, sehingga juga mematikan musuh alami yang terdapat dilahan.


BAB VI
             DAFTAR PUSTAKA

Holling, C. S., 1961. Principles of Insect Predation. Ann. Rev. Entomol. 6 : 163-182.
Kalshoven LGE. 1981. The pest of crop in Indonesia. Revised and translated by Van der Lann PA. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve.731p.
Muhadjir, F. 1998. Karakteristik Tanaman Jagung dalam Subandi, M. Syam, A. Wijiono. Jagung. Hal : 33-38. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.