Baca Juga

Ketika membahas tentang manusia, kita tidak bisa dari esensinya. Begitu pula eksistensinya. Dari sekilas, yang terlihat dari manusia adalah hanya fisiknya. Namun tidak bisa di pungkiri, bahwa fisik manusia tidak bisa di pisahkan dari keberadaan jiwa di dalamnya. Jiwa dan tubuh akan saling berkolaborasi dalam eksistensinya. Apa bilah salah satu dari keduanya dipisahkan ataupun di hilangkan maka hilanglah eksistensinya. Seperti contoh, apabila tubuh tanpa jiwa, maka tubuh akan kosong dan tak bisa berbuat apa-apa. Begitu pula  apabila jiwa tanpa tubuh, maka jiwa tak akan bisa berbuat apa-apa. Karena tubuh merupakan sarana bagi jiwa untuk bereksistensi.

Jiwa merupakan pemegang kendali atas tubuh dalam bereksistensi. Hal tersebut bisa kita analogikan terhadap sebuah kompiuter. Kompiuter dapat di operasikan apabila ada software dan hardware. Dengan software sebagai perangkat lunak (program) yang di anggap sebagai jiwa dari kompiuter tersebut, dan hardware sebagai perangkat keras (bentuk nyata dari kopiuter) yang di ibaratkan sebagai tubuh dari koompiuter itu sendiri. Apabila salah satu dari perangkat dipisahkan (hanya softwarenya saja atau hardwarenya saja) maka kompiuter tersebut tidak dapat di operasikan.

Di dalam jiwa tersebutlah terdapat yangnamanya kesadara, dan dari kesadaran tersebut, menurut para tokoh eksistensi beranggapan bahwa semua esensi berawal. Kesadaran itu sendiri merupakan inti dari kehidupan. Semakin sadar manusia maka logikanya dia akan semakin mengetahui tentang hidupnya. Meski kesadaran manusia tidak bisa penuh secara eksistensial.

Bicara kesadaran, kesadaran apakah yang di maksudkan? Kesadaran yang di maksudkan ialah ketika rasio mengawal setiap eksistensi dan tindakan yang manusia lakukan. Jadi kiita benar-benar mengontrol tindakan kita. Namun karena kesadaran manusia yang tidakpenuh secara eksistensian (cara sebuah keberadaan), sehingga dalam bereksistensi manusia tidak bisa terkawal secara penuh oleh rasio. Bisa dikatakan manusia tidak berada dalam kesadaran yang penuh.

Jiwa
Berdasarkan konsep aristotelin tentang jiwa. Jiwa dianggap sebagai prinsip yang member kehidupan kepada mahluq hidup. Semua organism yang ada termasuk tumbuh-tumbuhan dianggap memiliki jiwa, yakni jiwa vegetative. Dengan jiwa vegetative semua organisme mampu menyerap makanan dan bereproduksi. Akantetapi, pada hewan terdapat jiwa tambahan, yakni jiwa sensitive. Sehongga semua hewan memunya kemampuan yang lebih kompleks, misalnya bergerak, sensasi, ingatan, dan imajinasi.  Satu-satunya mahluq hidup yang di anggap sempurna dan paling tinggi drajatnya adalah manusia. Manusia di anggap memiliki jiwa rasional. Dengan jiwa rasionalnya, manusia mampu berfikir secara sadar, membuat nborma social, serta menyusun kebijakan-kebijakan moral.

Secara tidak langsung konsep aristotelin beranggapan bahwa pada manusia terdapat tiga jiwa. Yaitu, jiwa vegetative, jiwa sensitive, dan jiwa rasio. Dimana manusia juga mengkosumsi makanan, bereproduksi, bergerak menanggapi rangsangan serta berfikir. Namun akanakah dalam satu tubuh terdapat tiga jiwa?

Imam ghozali menerangkan dalam karyanya ihyak “ulumuddin, bahwa dalam diri manusia tedapat beberapa sifat. Salah satu di antara sifat-sifat tersebut adalah sifat hewani. Sedangkan sifat hewani tersebut masih terpilah lagi. Di dalamnya di terangkan ad sifat yang seperti anjing. Sifat anjing merupakan gambaran dari nafsu manusia dalam berhubungan seks. Karerna anjing merupakan hewan yang sering berhubungan seks dengan pasangannya. Sifat anjing tersebut juga ada dalam manusia. Tak bisa di pungkiri bahwa manusia pada dasarnya juga gemar melakukan hubungan seks. Sehingga ghozali menarik kesimpulan bahwa manusia yang sangat gemar melakukan seks adalah sama sifatnya dengan anjing. Ada pula yang di gambarkan seperti hewan ternak (sapi, kambing. Kerbau) dimana hewan ternak kegiatannya hanyalah makan dan tidur. Sehingga manusia yang gemar makan ataupun gemar tidur di ibaratkan sebagai hewan-hewan ternak.

Dari kajian ghozali tersebut. Dapt di tarik sebuah kesimpulan bahwa pada diri manusia tidak terdapat tiga jiwa seperti yang di sampaikan oleh konsep aristotelin. Melainkan hanya satu jiwa yang ada pada diri manusia yakni jiwa rasio. Sedangkan hewan itu sendiri memiliki jiwa tersendiri, begitu pila dengan tumbuhan. Dan sangat berbeda antara jiwa tumbuhan, jiwa hewan. Dan jiwa manusia. Namun satu hal yang bisa di ambil dari konsep aristotelin tersebut. Yakni, bahwa jiwa adalah prinsip yang memberi kehidupan bagi mahluq hidup.

Tubuh
Tubuh merupakan sarana bagi jiwa dalam ber eksistensi. Tubuh merupakan sebuah bentuk res extensa (suatu ha yang memiliki keluasan) sebagai bentuk nyata bagi jiwa yang sebagai res cogitan (alam fikiran) dalam diri manusia. Tanpa adanya tubuh jiwa tidak mampu mengekspresikan dirinya kedalam bentuk nyata, karena jiwa sendiri merupakan rasi atau bisa di katakana sebagai alam fikiran.

Secrara fisiologis tubuh tersusun dari oragan-oragan seperti, tangan, kaki, kepala, mata, dan masih banyak lainya, dimana semua itu merupakan sarana bagi jiwa dalam mengekspresikan keberadaanya. Tubuh bergerak sesuai perintah jiwa. Tubuh juga sebagai perespon rangsangan sensasi dari luar dirinya. Sartre menuturkan bahwa “ Fungssi utama tubuh adalah sebagai titik pandang kita dalam hubunganya  dengan dunia. Berkat tubuh kita dapat merubah prespektif kita tentang dunia (misalnya, taman yang tadi saya jadikan sebagai tempat ber istirahat, kini saya pandang dari seberang jalan, setelah tubuh saya pindah ke seberang jalan); padahal perubahan demikian tidak mungkin terjadi dalam hubungan kita dengan tubuh kita sendiri”(zaenal abiding ; filsafat manusia). Sehingga tubuh adalah alat bagi kita dalam melihat dunia dan suatu kenyataan, dimana hal tersebut bisa berubah-ubah sesuai dengan sudut pandang kita.

Kontak Tubuh Dengan Jiwa
Dalam bereksistensi, dalam dir manusia akan terjadi interaksi atara jiwa dengan tubuh. Karena sumber perintah dalam melakukan segala hal adalah berasal dari jiwa (alam fikiran). Hal ini hamper serupa dengan apa yang di ungkapkan oleh Arthur Schopenhauer tentang kehendak buta. Namun hal ini berbeda subjeknya (pelaku), bila dalam teori Arthur pelakunya adalah inteleh dengan kehendak, disini pelakunya adalah alam fikiran dengan tubuh. Alam fikiran di ibaratkan sebagai orang lumpuh yang melek, sedangkan tubuh di ibaratkan sebagai orang buta yang bisa berjalan. Sehingga alam fikiran berperan sebagai penunjuk arah bagi tubuh, sedangkan tubuh berperan sebagai pelayan dari alam fikiran. Tubuh akan melakukan apa saja yang di perintahkan oleh alam fikiran.


Sebagai penentu arah, alam fikiran (jiwa) memiliki kuasa penuh atas tubuh. Dan mau tidak mau tubuh harus mengikuti apa yang di perintahkan oleh jiwa, karena tubuh tidak bisa menentukan arahnya sendiri. Namun keberadaan tubuh itu sendiri sangat penting bagi jiwa, karena tanpa adanya tubuh jiwa akan lumpuh dan tidak bisa bergerak menuju arah yang ia inginkan. (Untitle)


Terimakasih Sobat,, sudah berkunjung, jangan lupa di like yah atau tinggalkan pesan anda di kolom facebook paling bawah.