Baca Juga

Pengertian Pengukuran (measurement) 
Tidak ada satupun aktifitas di dunia ini yang bisa dipisahkan dari kegiatan pengukuran. Keberhasilan suatu program dapat diketahui melalui suatu pengukuran. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa lepas dari kegiatan pengukuran. Penelitian-penelitian yang dilakukan dalam semua bidang selalu melibatkan kegiatan pengukuran, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu, pengukuran memegang peranan penting, baik untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun untuk penyajian informasi bagi pembuat kebijakan.


Pada dasarnya pengukuran merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk menggambarkan karakteristik suatu objek. Kemampuan seseorang dalam bidang tertentu dinyatakan dengan angka. Dalam menentukan karakteristik individu, pengukuran yang dilakukan harus sedapat mungkin mengandung kesalahan yang kecil. Kesalahan yang terjadi pada pengukuran ilmu-ilmu alam lebih sederhana dibandingkan dengan kesalahan pengukuran pada ilmu-ilmu sosial. Kesalahan pada ilmu-ilmu alam sebagian besar disebabkan oleh alat ukurnya, sedangkan kesalahan pengukuran dalam ilmu-ilmu sosial bisa disebabkan oleh alat ukur, cara mengukur, dan keadaan objek yang diukur (Djemari Mardapi, 2008).

Pengukuran yang bersifat kuantitatif itu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) Pengukuran yang dilakukan bukan untuk menguji sesuatu, seperti pengukuran yang dilakukan oleh seorang penjahit mengenai panjang lengan, kaki, lebar bahu, ukuran pinggang dan lain-lain. (2) Pengukuran yang dilakukan untuk menguji sesuatu, seperti pengukuran untuk menguji daya tahan mesin sepeda motor, pengukuran untuk menguji daya tahan lampu pijar, dan lain-lain. (3) Pengukuran untuk menilai yang dilakukan dengan menguji sesuatu, seperti pengukuran kemajuan belajar peserta didik dalam rangka mengisi nilai rapor yang dilakukan dengan menguji mereka dalam bentuk tes hasil belajar. Pengukuran jenis ketiga inilah yang dikenal dalam dunia pendidikan (Anas Sudiyono, 1996).

Hal-hal yang termasuk evaluasi hasil belajar meliputi alat ukur yang digunakan, cara menggunakan, cara penilaian, dan evaluasinya. Alat ukur yang digunakan bisa berupa tugas-tugas rumah, kuis, ujian tengah semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Pada prinsipnya, alat ukur yang digunakan harus memiliki bukti kesahihan (validitas) dan kehandalan (reliabilitas) yang tinggi.


Kesahihan atau validitas alat ukur dapat dilihat dari konstruk alat ukur, yaitu mengukur sesuatu yang direncanakan akan diukur. Menurut teori pengukuran, substansi yang diukur harus satu dimensi. Aspek bahasa, kerapian tulisan tidak diskor atau diperhitungkan bila tujuan pengukuran adalah untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam mata pelajaran tertentu. Konstruksi alat ukur dapat ditelaah pada aspek materi, teknik penulisan soal, dan bahasa yang digunakan. Pakar di bidangnya atau teman sejawat merupakan penelaah yang baik untuk memberikan masukan tentang kualitas alat ukur yang digunakan termasuk tes.

Kesahihan alat ukur juga bisa dilihat dari kisi-kisi alat ukur. Kisi-kisi ini berisi materi yang diujikan, bentuk dan jumlah soal, tingkat berpikir yang terlibat, bobot soal, dan cara penskoran. Kisi-kisi yang baik adalah yang mewakili bahan ajar. Untuk itu pokok bahasan yang diujikan dipilih berdasarkan kriteria: (1) pokok bahasan yang esensial, (2) memiliki nilai aplikasi, (3) berkelanjutan, (4) dibutuhkan untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Hal lain yang penting adalah lamanya waktu yang disediakan untuk mengerjakan soal ujian. Ada yang berpendapat, kisi-kisi ini sebaiknya disampaikan kepada peserta didik.


Hasil pengukuran harus memiliki kesalahan yang sekecil mungkin. Tingkat kesalahan ini berkaitan dengan kehandalan alat ukur. Alat ukur yang baik memberi hasil konstan bila digunakan berulang-ulang, asalkan kemampuan yang diukur tidak berubah. Kesalahan pengukuran ada yang bersifat acak dan ada yang bersifat sistematik. Kesalahan acak disebabkan situasi saat ujian, kondisi fisik-mental yang diukur dan yang mengukur bervariasi. Kondisi mental termasuk emosi seseorang bisa bersifat variatif, dan variasinya diasumsikan acak. Hal ini untuk memudahkan melakukan estimasi kemampuan seseorang.


Kesalahan yang sistematik disebabkan oleh alat ukurnya, yang diukur, dan yang mengukur. Ada guru yang cenderung membuat soal tes yang terlalu mudah atau sulit, sehingga hasil pengukuran bisa underestimate atau overestimate dari kemampuan yang sebenarnya. Setiap orang yang dites, teramsuk peserta didik, tentu memiliki rasa kecemasan walau besarnya bervariasi. Apabila ada peserta didik yang selalu memiliki tingkat kecemasan tinggi ketika dites, hasil pengukurannya cenderung underestimate dari kemampuan yang sebenarnya.


Dalam melakukan pengukuran, guru bisa membuat kesalahan yang sistematik. Kesalahan ini bisa terjadi pada saat penskoran, ada guru yang "pemurah" dan ada guru yang "mahal" dalam memberi skor. Bila murah dan mahal ini berlaku pada semua peserta didik, maka akan terjadi kesalahan yang sistematik. Sebalikya, bila hanya berlaku kepada peserta didik tertentu, maka akan terjadi bias dalam pengukuran.


Demikian kompleksnya masalah pengukuran sehingga dibutuhkan teori pengukuran. Saat ini ada dua teori pengukuran yang digunakan secara luas, yaitu teori tes klasik dan teori modern. Teori tes klasik berasumsi bahwa skor yang didapatkan seseorang dari hasil suatu pengukuran dapat diuraikan menjadi skor yang sebenarnya dan skor kesalahan. Asumsi lainnya adalah bahwa tidak ada hubungan antara skor yang sebenarnya dengan skor kesalahan. Dari kedua asumsi dasar ini, selanjutnya dikembangkan formula-formula atau rumus-rumus untuk mengetahui indeks kesahihan (validitas) dan indeks kehandalan (reliabilitas).


Ada beberapa kelamahan teori tes klasik, dan yang paling menonjol adalah ketergantungan statistik butir pada karakteristik kelompok yang diukur. Dengan demikian, besarnya statistik butir bervariasi dari satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Akibatnya, sulit membandingkan kemampuan kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, apalagi antar individu. Kelemahan ini sudah lama disadari, yaitu sejak dikembangkannya alat ukur yang digunakan pada bidang ilmu-ilmu alam atau teknologi. Alat ukur yang digunakan pada bidang ini tidak tergantung pada objek yang diukur, karena karakteristiknya tidak berubah-ubah selama objek yang diukur sama. Hal ini mudah difahami karena yang diukur adalah benda atau objek yang mati. Berbeda dengan objek pada bidang pendidikan, yaitu manusia. Keadaan manusia seperti kondisi senang dan susah, selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga hasil pengukuran yang diperoleh belum tentu menunjukkan karakteristik individu yang sebenarnya. Oleh karena itu, dikembangkan teori pengukuran yang dapat mengatasi kelemahan teori klasik.


Teori klasik yang berkembang pada saat ini –yang disebut dengan teori modern- menggunakan beberapa asumsi dasar. Asumsi utamanya adalah peluang seseorang menjawab benar suatu butir tidak ditentuka oleh peluang menjawab butir yang lain, yang dikenal dengan asumsi independen. Teori modern ini berusaha untuk mengembangkan suatu analisis yang menghasilkan estimasi kemampuan seseorang tanpa dipengaruhi oleh alat ukur yang digunakan. Demikian juga statistik butir diusahakan agar tidak tergantung pada karakteristik individu yang diukur. Berdasarkan sifat-sifat ini, teori tes modern dikembangkan oleh banyak pakar pengukuran di dunia ini. 


Pengertian Penilaian (assessment)
Penilaian merupakan komponen penting dalam proses dan penyelenggaraan pendidikan. Upaya menigkatkan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaiannya. Keduanya saling terkait. Sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas yang baik. Kualitas pembelajaran ini dapat dilihat dari hasil penilaiannya. Selanjutnya, sistem penilaian yang baik akan mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi peserta didik untuk belajar dengan lebih baik. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan diperlukan perbaikan sistem penilaian yang diterapkan. 

Menurut TGAT (1987), penilaian atau asesmen mencakup semua cara yang digunakan untuk unjuk kerja individu. Proses asesmen meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian belajar peserta didik. Bukti ini tidak melalui tes saja, tetapi juga dikumpulkan melalui pengamatan atau laporan diri (self report). Definisi penilaian berkaitan dengan semua proses pendidikan, seperti karakteristik peserta didik, karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas, dan administrasi.


Seperti yang telah diuraikan di atas, penilaian mencakup cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja individu. Penilaian berfokus pada individu, yaitu prestasi belajar yang dicapai oleh individu. Proses penilaian meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian kemajuan belajar peserta didik. Bukti ini tidak selalu diperoleh melalaui tes saja, tetapi juga bisa dikumpulkan melalui pengamatan atau laporan diri. Penilaian memerlukan data yang baik mutunya sehingga perlu didukung oleh proses pengukuran yang baik.

Paradigma penilaian sebagai suatu pembelajaran peserta didik telah dirintis lebih dari 20 tahun yang lalu, yaitu sebagai contoh cara mengubah lembaga melalui proses penilaian (Berno,1994). Pendekatan yang digunakan ini merupakan penegasan bahwa penilaian merupakan bagian dari cara membelajarkan seseorang. Evaluasi hasil belajar yang dalam pelaksanaannya didahului penilaian harus mampu mendorong peserta didik belajar lebih baik dan juga mendorong guru untuk mengajar lebih baik.


Menurut (Chittenden, 1991), kegiatan penilaian dalam proses pembelajaran perlu diarahkan pada empat hal:
· Penelusuran: yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menelusuri apakah proses pembelajaran telah berlangsung sesuai dengan yang direncanakan atau tidak. Untuk kepentingan ini, guru mengumpulkan berbagai informasi sepanjang semester atau tahun pelajaran melalui berbagai bentuk pengukuran untuk memperoleh gambaran tentang pencapaian kemajuan belajar anak.
· Pengecekan: yaitu untuk mencari informasi apakah terdapat kekurangan-kekurangan pada peserta didik selama proses pembelajaran. Dengan melakukan berbagai bentuk pengukuran, guru berusaha untuk memperoleh gambaran menyangkut kemampuan peserta didiknya, apa yang telah berhasil dikuasai dan apa yang belum dikuasai.
· Pencarian: yaitu untuk mencari dan menemukan penyebab kekurangan yang muncul selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan jalan ini, guru dapat segera mencari solusi untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul selamaproses belajar berlangsung.
· Penyimpulan: yaitu untuk menyimpulkan tentang tingkat pencapaian belajar yang telah dimiliki peserta didik. Hal ini sangat penting bagi guru untuk mengetahui tingkat pencapaian yang diperoleh peserta didik. Selain itu, hasil penyimpulan ini dapat digunakan sebagai laporan hasil tentang kemajuan belajar peserta didik, baik untuk peserta didik itu sendiri, sekolah, orang tua, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan.


Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah untuk meningkakan kinerja individu atau lembaga. Usaha peningkatan kinerja harus didasarkan pada kondisi saat ini yang diperoleh melalui kegiatan penilaian atau asessmen. Data untuk kepentingan penilaian diperoleh dengan menggunakan alat ukur. Alat ukur yang banyak digunakan dalam penilaian pendidikan adalah tes. Agar diperoleh data yang akurat, tes yang digunakan harus memiliki bukti-bukti tentang kesahihan dan kehandalannya. Dengan demikian, peningkatan kualitas pendidikan memerlukan alat ukur yang sahih dan handal. 


Pengertian Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja, atau produktifitas suatu lembaga dalam melaksanakan programnya. Fokus evaluasi adalah individu, yaitu prestasi belajar yang dicapai kelompok atau kelas. Melalui evaluasi akan diperoleh informasi tentang apa yang telah dicapai dan apa yang belum dicapai. Selanjutnya, informasi ini digunakan untuk perbaikan suatu program.


Evaluasi menurut Griffin & Nix (1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari hasil pengukuran. Menurut definisi ini selalu didahului dengan kegiatan pengukuran dan penilaian. Menurut Tyler (1950), evaluasi adalah proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai. Masih banyak lagi definisi tentang evaluasi, namun semuanya selalu memuat masalah informasi dan kebijakan, yaitu informasi tentang pelaksanaan dan keberhasilan suatu program yang selanjutnya digunakan untuk menentukan kebijakan berikutnya.

Evaluasi secara singkat juga dapat didefinisikan sebagai proses mengumpulkan informasi untuk mengetahui pencapaian belajar kelas atau kelompok. Hasil evaluasi diharapkan dapat mendorong guru untuk mengajar lebih baik dan mendorong peserta didik untuk belajar lebih baik. Jadi, evaluasi memberikan informasi bagi kelas dan guru untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Informasi yang digunakan untuk mengevaluasi program pembelajaran harus memiliki kesalahan sekecil mungkin. Evaluasi pada dasarnya adalah melakukan judgment terhadap hasil penilaian, maka kesalahan pada penilaian dan pengukuran harus sekecil mungkin. 

Stark dan Thomas (1994) menyatakan bahwa evaluasi yang hanya melihat kesesuaian antara unjuk kerja dan tujuan telah dikritik karena menyempitkan fokcus dalam banyak situasi pendidikan. Hasil yang diperoleh dari suatu program pembelajaran bisa banyak dan multi dimensi. Ada yang terkait dengan tujuan ada yang tidak. Yang tidak terkait dengan tujuan bisa bersifat positif dan bisa negatif. Oleh karena itu, pendekatan goal free dalam melakukan evaluasi layak untuk digunakan. Walaupun tujuan suatu program adalah untuk meningkatkan prestasi belajar, namun bisa diperoleh hasil lain yang berupa rasa percaya diri, kreatifitas, kemandirian, dan lain-lain.

Astin (1993) mengajukan tiga butir yang harus dievaluasi agar hasilnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Ketiga butir tersebut adalah masukan, lingkungan sekolah, dan keluarannya. Selama ini yang dievaluasi adalah prestasi belajar peserta didik, khususnya pada ranah kognitif saja. Ranah afektif jarang diperhatikan lembaga pendidikan, walau semua menganggap hal ini penting, tetapi sulit untuk mengukurnya.


Kondisi lingkungan sekolah ikut menentukan kualitas pendidikan, namun jarang dievaluasi kemungkinan karena datanya tidak bisa dijaring melalui tes tertulis. Kondisi lingkungan sekolah dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu iklim akademik dan iklim sosial. Iklim akademik berupa kegiatan akademik yang terjadi di luar kelas di dalam sekolah, sedangkan iklim sosial merupakan hubungan antara pendidik (guru), peserta didik, kepala sekolah, dan staf pendukung atau karyawan. Penanaman iklim akademik dan iklim sosial yang baik ditentukan oleh pimpinan dengan dukungan dari semua warga sekolah bersama karyawan


Hasil evaluasi pendidikan merupakan informasi yang sangat berguna bagi pengelola pendidikan, baik yang berada pada tingkat pusat maupun di wilayah. Salah satu tujuan evaluasi pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tampaknya belum berhasil. Hal ini dapat terlihat dari perkembangan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun yang tidak berubah, walau berfluktuasi namun masih dalam kategori rendah. Keadaan ini menunjukkan bahwa hasil evaluasi kemungkinan belum memberikan informasi yang akurat dan rinci untuk perbaikan kualitas pendidikan.


Hasil evaluasi pendidikan yang bersifat nasional dapat dianalisis untuk memperoleh informasi yang akurat untuk perbaikan kualitas pendidikan nasional. Namun hal ini belum banyak dilakukan, sehingga tiap sekolah tidak menerima kekurangannya secara rinci. Akibatnya, proses pembelajaran yang dilakukan di kelas dari tahun ke tahun tidak banyak mengalami perubahan. Evaluasi pendidikan yang bersifat nasional yang diselenggarakan setiap tahun seperti program rutin saja, karena hasilnya belum memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kualitas pendidikan.


Ditinjau dari cakupannya, evaluasi ada yang bersifat makro dan ada yang mikro. Evaluasi makro cenderung menggunakan sampel dalam menelaah suatu program dan dampaknya. Sasaran evaluasi yang bersifat makro adalah program pendidikan, yaitu program yang direncanakan untuk memperbaiki program pendidikan. Evaluasi mikro sering digunakan di tingkat kelas, khususnya untuk mengetahui pencapaian kemajuan belajar peserta didik. Pencapaian belajar ini bukan hanya yang bersifat kognitif saja, tetapi juga mencakup semua potensi yang ada pada peserta didik. Jadi. Sasaran evaluasi mikro adalah program pembelajaran di kelas dan yang menjadi penanggungjawabnya adalah guru untuk tingkat sekolah, dan dosen untuk tingkat perguruan tinggi.


Evaluasi pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hasil tes seperti kuis misalnya, dianalisis untuk mengetahui konsep mana yang belum difahami sebagian besar peserta didik. Kemudian diikuti dengan kegiatan remedial, yaitu menjelaskan kembali konsep-konsep tersebut. Evaluasi untuk perbaikan bisa dilakukan dengan membuat angket untuk peserta didik. Angket ini berisi tentang pertanyaan mengenai pelaksanaan pembelajaran menurut perspektif peserta didik. Hasilnya dianalisis untuk mengetahui aspek mana yang harus diperbaiki.


Evaluasi sumatif bertujuan untuk menetapkan tingkat keberhasilan peserta didik. Nilai yang dicapai peserta didik ditetapkan lulus atau belum. Evaluasi sumatif bisa terdiri dari beberapa kegiatan pengukuran dan penilaian. Hal ini harus dijelaskan kepada peserta didik di awal pelajaran, yaitu tentang penentuan nilai akhir. Bobot dari tugas, ujian tengah semester, dan ujian akhir semester harus dijelaskan kepada peserta didik.


Dampak hasil evaluasi terhadap motivasi belajar peserta didik adalah yang meningkat, tetap, bahkan ada yang turun. Setiap peserta didik mempunyai harapan terhadap hasil ujian (ulangan) pelajaran, yaitu besarnya prestasi yang dinyatakan dengan dalam skor hasil tes. Harapan ini ada yang terpenuhi dan ada yang tidak terpenuhi. Sesuai dengan karakteristik peserta didik, ada yang motivasi belajarnya naik, ada yang tetap, dan kemungkinan ada yang turun. 


Masalah yang sering timbul dalam melakukan evaluasi terletak pada tujuannya, pendekatan yang digunakan, manfaatnya dan dampaknya, baik yang berskala makro maupun mikro. Selain itu evaluasi pendidikan juga harus memberi manfaat kepada peserta didik, lembaga, dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila evaluasi pendidikan yang digunakan tidak membawa peningkatan kualitas pendidikan pada suatu sekolah dan tidak memberi manfaat, berarti sistem evaluasi yang digunakan atau yang dilaksanakan belum berfungsi seperti yang diharapkan.

Evaluasi pendidikan yang dilaksanakan selama ini belum memberikan sumbangan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan oleh sistem evaluasi yang digunakan belum tepat seperti yang diharapkan. Usaha untuk memantau perkembangan kualitas pendidikan, pelaksanaan kurikulum, da pembakuan kualitas pendidikan selama ini dilakukan melalui penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Ujian Akhir Sekolah (UAS). Nilai rata-rata UAN secara nasional belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Hal ini berarti UAN belum berfungsi seperti yang diharapkan. Akibatnya timbul berbagai pendapat di masyarakat, ada yang menyarankan untuk dihapus dan ada yang menyarankan untuk disempurnakan. Namun semua berpendapat bahwa pemantauan, hanya cara yang digunakan harus tepat sehingga diperoleh hasil yang objektif (Mardapi, 1998).

Apabila kita ingin meningkatkan kualitas pendidikan maka informasi yang dibutuhkan adalah termasuk tentang keadaan kualitas lembaga pendidikan atau sekolah. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem evaluasi yang lebih mampu digunakan sebagai pendorong peningkatan kualitas pendidikan nasional. Untuk itu perlu ada evaluasi yang sifatnya nasional, namun pesertanya tidak perlu semua peserta didik, cukup dipilih sampel yang mewakili sekolah. Tes ini menggunakan acyan criteria, karena yang penting adalah informasi tentang tingkat kemampuan peserta didik dibandingkan dengan criteria. Hasilnya dianalisis dan ditindaklanjuti untuk perbaikan kualitas sekolah. Pelaksanaannya tidak harus di akhir tahun pelajaran suatu jenjang pendidikan, bisa saja di kelas 4 atau 5 SD/MI, di kelas 8 SMP/MTs, atau di kelas 11 SMA/MA. 


Sementara itu, sebagian besar negara maju sangat mengembangkan sejumlah tes baku, termasuk non tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan non akademik. Tes ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan kualitas pendidikan. Sekolah di Amerika cenderung memiliki kebebasan dalam menentukan kurikulum yang digunakan, namun tagihannya sama, yaitu prestasi yang diukur dengan tes baku, sehingga hasilnya bisa dibandingkan antar tempat dan antar tahun. Di Jepang dan Inggris, digunakan kurikulum nasional yang diturunkan berdasarkan kompetensi yang ingin dicapai. Walau ada variasi dalam penggunaan kurikulum, namun sebagian besar menggunakan tes yang bersifat nasional untuk memantau perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini perlu dicermati dan dipertimbangkan dalam upaya memperbaiki pelaksanaan evaluasi pendidikan.

Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara pengukuran (measurement), penilaian (assessment), dan evaluasi (evaluation) bersifat hirarkis. Pengukuran membandingkan hasil pengamatan dengan Kriteria, penilaian menjelaskan dan menafsirkan hasil pengukuran, sedangkan evaluasi adalah penetapan nilai atau implikasi suatu perilaku, bisa perilaku individu atau lembaga. Sifat yang hirarkis ini menunjukkan bahwa setiap kegiatan evaluasi melibatkan penilaian dan pengukuran. Penilaian berarti menilai sesuatu, sedangkan menilai itu mengandung arti mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri pada ukuran atau criteria tertentu, seperti menilai seseorang sebagai orang yang pandai karena memiliki skor tes inteligensi lebih dari 120, sedangkan evaluasi menacakup baik kegiatan pengukuran maupun penilaian.





Tujuan Evaluasi
Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

a. Tujuan Umum
Secara umum, tujuan evaluasi adalah:
· Untuk menghimpun data dan informasi yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau kemajuan yang dialami peserta didik setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, tujuan umum evaluasi adalah untuk memperoleh data pembuktian yang akan menjadi petunjuk sampai dimana tingkat pencapaian kemajuan peserta didik terhadap tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
· Untuk mengetahui tingkat efektifitas proses pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru dan peserta didik.


b. Tujuan Khusus
· Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa ada evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing.
· Untuk mencari dan menemukan factor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.


Fungsi Evaluasi
Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok yaitu (a) mengukur kemajuan, (b) menunjang penyusunan rencana, dan (c) memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali. Adapun secara khusus, fungsi evaluasi di bidang pendidikan dapat dilihat dari tiga segi, yaitu (a) segi psikologis, (b) segi pedagogis-didaktik, dan (c) segi administratif.


Secara psikologis, evaluasi dalam bidang pendidikan di sekolah dapat ditilik dari dua sisi, yaitu dari sisi peserta didik dan dari sisi pendidik. Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan batin kepada mereka untuk mengenal kapasitas dan status dirinya masing-masing di tengah-tengah kelompoknya atau kelasnya. Masing-masing mereka akan mengetahui apakan dia termasuk siswa yang pandai, rata-rata, atau berkemampuan rendah.


Bagi guru atau pendidik, evaluasi pendidikan akan memberikan kepastian atau ketetapan hati kepada dirinya tentang sejauh manakah usaha pendidikan-pengajaran yang telah dilakukannya selama ini telah membawa hasil, sehingga dia secara psikologis memiliki pedoman atau pegangan batin yang berguna untuk menentukan langkah-langkah apa saja yang dipandang perlu dilakukan selanjutnya. Misalnya, dengan menggunakan metode-metode mengajar tertentu, hasil belajar para peserta didik telah menunjukkan adanya peningkatan daya serap terhadap materi yang diajarkan, maka atas dasar evaluasi, penggunaan metode-metode tersebut perlu dipertahankan. Sebaliknya, apabila hasil belajar para peserta didik ternyata tidak menggembirakan, maka guru akan berusaha melakukan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan sgar hasil belajar peserta didiknya menjadi lebih baik.


Bagi peserta didik, secara didaktik, evaluasi pendidikan akan dapat memberikan dorongan atau motivasi kepada mereka untuk dapat memperbaiki, meningkatkan, dan mempertahankan prestasinya. Evaluasi belajar misalnya akan menghasilkan nilai-nilai hasil belajar untuk masing-masing individu peserta didik. Ada peserta didik yang nilainya jelek, karena itu dia terdorong untuk memperbaikinya, agar di waktu mendatang nilai hasil belajarnya tidak sejelek sekarang. Ada peserta didik yang yang nilainya tidak jelek tetapi belum dikatakan baik atau memuaskan, maka dia akan memperoleh dorongan untuk meningkatkan prestasi belajarnya di waktu mendatang. Ada juga peserta didik yang sudah mendapatkan nilai yang baik, dan dia tentu akan termotivasi untuk dapat mempertahankan prestasinya pada waktu mendatang.


Secara didakti, bagi guru, evaluasi pendidikan setidaknya memiliki lima macam fungsi, yaitu:
a. Fungsi diagnostik: Memberikan landasan untuk menilai hasil usaha atau prestasi yang telah dicapai oleh peserta didiknya.
b. Fungsi penempatan: Memberikan informasi yang sangat berguna untuk mengetahui posisi masing-masing peserta didik di tengah-tengah kelompoknya.
c. Fungsi selektif: Memberikan bahan yang sangat penting untuk memilih dan menetapkan status peserta didik.
d. Fungsi bimbingan: Memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik yang memang memerlukannya.
e. Fungsi intruksional: Memberikan petunjuk tentang sejauh mana program pengajaran (kompetensi yang telah ditentukan) bisa tercapai.


Adapun secara administratif, evaluasi pendidikan memiliki tiga macam fungsi, yaitu:

a. Memberikan laporan
Dengan melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan disajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Laporan ini pada umumnya tertuang dalam bentuk rapor (untuk siswa) dan Kartu Hasil Studi (KHS) untuk mahasiswa. Baik rapor maupun KHS sebaiknya dikirimkan kepada orang tua/wali pada akhir semester.


b. Memberikan informasi atau data
Setiap keputusan pendidikan harus didasarkan kepada data yang lengkap dan akurat. Dalam hubungan ini, nilai-niliah hasil belajar para peserta didik yang diperoleh melalui kegiatan evaluasi merupakan data yang sangat penting untuk keperluan pengambilan keputusan pendidikan. Keputusan untuk meluluskan atau menaikkan peserta didik harus dilakukan berdasarkan data dari kegiatan evaluasi.


c. Memberikan gambaran
Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai dalam proses pembelajaran tercermin antara lain dari hasil-hasil belajar para peserta didik setelah dilakukan kegiatan evaluasi hasil belajar. Dari kegiatan evaluasi ini akan tergambar dalam matapelajaran apa saja kemampuan para peserta didik masih memprihatinkan, dan dalam matapelajaran apa saja prestasi mereka sudah baik.

Agar diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang fungsi evaluasi pendidikan ini, bisa dilihat dalam bagan berikut ini:



Aspek Sasaran Evaluasi 
Aspek atau sasaran evaluasi adalah sesuatu yang sesuatu yang dijadikan titik pusat perhatian yang akan diketahui statusnya berdasarkan pengukuran. Dalam dunia pendidikan, ada tiga aspek yang menjadi sasaran evaluasi pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

a. Ranah Kognitif
Aspek atau domain kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang dmaksud adalah (1) pengetahuan, hafalan, ingatan (knowledge), (2) pemahaman (comprehension), (3) penerapan (application), (4) analisis (analysis), (5) sintesis (synthesis), dan (6) penilaian (evaluation).


Pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus, dan lain-lain tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan atau ingatan ini merupakan tingkat berpikir yang paling rendah. Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah peserta didik dapat menghafal surat al-'Ashr, menerjemahkan dan menuliskannya kembali secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan guru Pendidikan Agama Islam di sekolah. Contoh lainnya, peserta didik dapat mengingat kembali peristiwa kelahiran Rasulullah saw. 

Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang peserta didik dapat dikatakan memahami sesuatu apabila dia dapat memberikan penjelasan yang rinci tentang sesuatu tersebut dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan tingkat berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan. Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman adalah peserta didik dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-'Ashr secara lancer dan jelas.


Penerapan atau aplikasi adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus, teori dan lain-lain dalam situasi yang baru dan kongkrit. Aplikasi atau penerapan ini adalah tingkat berpikir yang setingkat lebih tinggi daripada pemahaman. Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang aplikasi adalah peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan oleh Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun di masyarakat.


Analisis adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian tersebut. Taraf berpikir analisis adalah setingkat lebih tinggi daripada taraf berpikir aplikasi. Contoh hasil belajar analisis adalah peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata kedisiplinan seorang siswa sehari-hari di rumah, di sekolah, dan di masyarakat sebagai bagian dari ajaran Islam.


Sintesis adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu proses berpikir yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Taraf berpikir sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada taraf berpikir analisis. Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada taraf sintesis adalah peserta didik mampu menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagaimana telah diajarkan oleh Islam. Dalam karangannya itu, peserta didik juga dapat mengemukakan secara jelas gagasan-gagasannya sendiri atau orang lain, data-data atau informasi lain yang mendukung pentingnya kedisiplinan.

Penilaian atau penghargaan atau evaluasi merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif menurut taksonomi Bloom. Penilaian atau evaluasi merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai, atau ide. Misalnya, jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan maka dia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau criteria yang ada. Contoh hasil belajar kognitif taraf evaluasi adalah peserta didik mampu mengidentifikasi manfaat kedisiplinan dan mudharat kemalasan sehingga pada akhirnya dia berkesimpulan dan menilai bahwa kedisiplinan di samping merupakan perintah Allah swt juga merupakan kebutuhan manusia itu sendiri.

Keenam jenjang taraf berpikir kognitif ini bersifat kontinum dan overlap atau tumpang tindih, di mana taraf berpikir yang lebih tinggi meliputi taraf berpikir yang ada di bawahnya. 

b. Ranah afektif 
Taksonomi untuk ranah afektif dikembangkan pertama kali oleh David R. Krathwohl dan kawan-kawan (1974) dalam bukunya yang berjudul Taxonomy of Educational Objectives: Affective Domain. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif yang tinggi. Cirri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap mata pelajaran PAI, kedisiplinan dalam mengikuti pembelajaran PAI, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak tentang materi PAI, penghargaan dan rasa hormat terhadap guru PAI, dan lain-lain.


Ranah afektif ini oleh Krathwohl dan kawan-kawan dirinci ke dalam beberapa jenjang atau taraf afektif, yaitu (1) penerimaan (receiving), (2) penanggapan (responding), (3) menilai (valuing), (4) mengorganisasikan (organization), dan (5) karakterisasi dengan nilai atau kompleks nilai (characterization by a value orang value complex).

Receiving atau attending adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan atau stimulus dari luar yang dating kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini adalah kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang dating. Receiving atau attending juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini, peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu, atau mengidentikkan diri dengan nilai itu. Contoh hasil belajar afektif taraf receiving adalah peserta didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak berdsiplin harus disingkirkan jauh-jauh.


Responding atau menanggapi mengandung arti "adanya partisipasi aktif". Jadi, kemampuan responding adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Jenjang ini setingkat lebih tinggi daripada receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif jenjang responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan.

Valuing artinya memberikan nilai atau penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan taraf afektif yang setingkat lebih tinggi daripada responding. Terkait dengan proses pembelajaran, peserta didik tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi telah mampu untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik-buruk. Apabila peserta didik telah mampu untuk mengatakan bahwa "itu baik atau itu buruk" maka dia sudah mampu untuk melakukan penilaian. Nilai itu sudah mulai diinternalisasikan ke dalam dirinya, yang selanjutnya bersifat stabil dan menetap dalam dirinya. Contoh hasil belajar afektif taraf valuing adalah tumbuhnya kemauan yang kuat dalam diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat karena didasari keyakinan dan penilaian bahwa hidup disiplin adalah baik.

Organization artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai yang lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh hasil belajar afektif taraf organization adalah peserta didik mendukung penegakkan disiplin nasional yang dicanangkan oleh pemerintah. Mengatur atau mengorganisasikan ini merupakan taraf afektif yang setingkat lebih tinggi daripada valuing.


Characterization by a value orang value complex yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat yang tinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten dalam sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah tingkatan afektif tertinggi karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Dia telah memiliki filsafat hidup yang mapan. Jadi pada taraf afektif ini, peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mapan dan mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik "pola hidup". Tingkah lakunya menetap, konsisten, dan dapat diramalkan. Contoh hasil belajar afektif ranah terakhir ini adalah peserta didik telah memiliki kebulatan sikap. Wujudnya, peserta didik menjadikan perintah Allah swt dalam surat al-'Ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat. 


c. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan afektifnya.

Sebagai contoh wujud nyata hasil belajar psikomotor untuk tema kedisiplinan dapat berupa:
· Peserta didik bertanya kepada guru PAI tentang contoh-contoh kedisiplinan yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw, para sahabat, dan ulama.
· Peserta didik mencari dan membaca buku, majalah, dan sumber informasi lain yang memuat tentang tema kedisiplinan.
· Peserta didik dapat memberikan penjelasan kepada siapapun tentang pentingnya kedisiplinan dalam kehidupan.
· Peserta didik menganjurkan kepada siapapun untuk berperilaku hidup disiplin.
· Peserta didik dapat memberikan contoh perilaku kedisiplinan dalam bentuk mentaati peraturan, beribadah, belajar dan lain-lain di manapun dia berada.
· Dan lain-lain