Baca Juga

Ilmu Arkeologi dan Perkembangannya 
Masalah yang dihadapi oleh arkeologi adalah hakekatnya sebagai ilmu yang memiliki obyek yang berkenaan dengan fenomena yang berkembang untuk masa tertentu atau bersifat historis. Seperti halnya dengan ilmu astro fisika, biologi evolusioner, tektonik lempengan dalam geologi, ilmu yang demikian ini tidak dapat diingkari berhadapan dengan obyek studi yang sangat fragmentaris. Hal itu disebabkan oleh karena obyek studinya hanya merupakan peninggalan fisik yang tidak sengaja ditinggalkan. Tambahan pula, peninggalan itu pun hanyalah merupakan peninggalan yang tahan terhadap proses pelapukan alami, sehigga dapat sampai kepada peneliti masa kini. Dengan demikian maka apa yang sampai pada kita sesungguhnya adalah materi tanpa makna. Adapun makna yang dimaksudkan di sini adalah makna penyebab terjadinya atau dalam hal arkeologi makna sebagai yang dimaksudkan oleh pembuat ataupun pemakainya dahulu.

Menghadapi keadaan obyek studi yang demikian itu maka tidaklah mengherankan apabila tujuan arkeologi pada pertamanya adalah rekonstruksi. Tujuan arkeologi tidak bisa lain dari rekonstruksi oleh karena di samping jarak waktu, ahli arkeologi juga dipisahkan oleh perbedaan kebudayaan dengan obyek studinya. Peninggalan fisik kebudayaan yang diteliti oleh peneliti sangat berlainan dari kebudavaan ahli arkeologi itu sendiri. Sebagai akibat dari tujuan ilmu ini adalah timbulnya permasalahan epistemologis. Masalah pertama adalah sejauh mana makna tadi dapat direkonstruksikan dari peninggalan kebudayaan fisiknya. Adapun masalah keduanya adalah bagaimana ahli arkeologi dapat melakukan rekonstruksi itu. Dengan lain perkataan, dengan metode apa rekonstruksi itu dapat dilaksanakan.

Makalah ini akan berupaya mengemukakan berbagai usaha yang telah dilaksanakan untuk menjawab permasalahan yang bersifat epistemologis tadi. Pendekatan ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa ulasan yang dikemukakan merupakan pengungkapan upaya arkeologi untuk memantapkan dirinya sebagai ilmu. Masalah ini dianggap penting terutama agar para ahli arkeologi dapat ikut secara sadar menjaga wibawa keilmuannya dalam melakukan rekonstruksi. Kesadaran yang dimaksudkan adalah menyadari bahwa, sebagaimana yang telah diutarakan di atas, ditinjau dari hakekat data, ditinjau dari sudut keilmuan serta dengan demikian juga metodenya, arkeologi memiliki berbagai keterbatasan. Dengan demikian maka sebagai akibat dari kesadaran akan keterbatasan metodenya, maka ahli arkeologi kemudian akan dapat mengupayakan cara untuk menanggulanginya. Melalui upaya yang demikian ini maka peninggalan kebudayaan fisik yang terkumpul berkat berbagai penggalian yang telah dilaksanakan dapat direkonstruksikan, sehingga pengetahuan kita tentang kebudayaan masa lalu akan dapat bertambah dengan cepat. Pada gilirannya dari sudut arkeologi itu sendiri, kesadaran ini akan dapat mengembangkan arkeologi sebagai ilmu.

Hakekat Data Arkeologi
Sebagaimana yang telah diutarakan di atas, obyek arkeologi adalah peninggalan kebudayaan fisik. Melalui kebudayaan fisik ini ahli arkeologi memperoleh informasi tentang kebudayaan masa lalu. Selanjutnya, berdasarkan atas informasi ini ahli arkeologi melakukan rekonstruksi kebudayaan yang meninggalkan informasi itu. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa rekonstruksi sesuatu kebudayaan yang telah musnah dilaksanakan melalui peninggalan informasinya yang kebetulan sampai kepada kita. Kiranya perlu ditekankan di sini dua hal. Hal pertama adalah bahwa tiap kebudayaan memiliki ciri masing-masing yang berbeda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Demikian pula halnya, kebudayaan yang telah musnah yang menjadi obyek penelitian arkeologi berbeda dengan kebudayaan ahli arkeologi yang meneliti kebudayaan itu. Hal kedua adalah penggunaan kata kebetulan oleh karena memang informasi tentang kebudayaan yang sampai kepada ahli arkeologi untuk diteliti itu tidak diciptakan sebagai informasi yang dengan sengaja ditinggalkan oleh para pendukungnya. Kita semua mengetahui bahwa peninggalan fisik itu sampai kepada kita dalam bentuk artefak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ahh arkeologi menghadapi artefak dari sebuah kebudayaan yang sama sekali asing dari kebudayaannya sendiri.

Kondisi data arkeologi sebagaimana yang diutarakan di atas menimbulkan dua permasalahan, yaitu masalah epistemologis dan masalah metodologis. Masalah epistemologis yang dihadapi oleh ahli arkeologi adalah bahwa di dalam menghadapi informasi tentang kebudayaan yang telah punah dan yang tercipta di masa lalu, tanpa dapat ia hindari, haruslah ia perlakukan melalui pengetahuan dan berdasarkan sudut pandang kebudayaannya sendiri dari masa kini. Proses berpikir yang demikian inilah yang kemudian disebut sebagai archaeological reasoning.

Sebagai akibat dari data yang demikian ini maka archaeological reasoning terhadap data terjadi seperti berikut. Kebudayaan yang telah punah itu dapat dianggap sebagai fakta yang bersifat historis atau fakta yang telah tiada lagi (sebuah historical facts). Pada hakekatnya fakta atau kebudayaan yang telah punah inilah yang oleh ahli arrkeologi itu hendak direkonstruksikan. Namun demikian fakta historis ini meninggalkan records dalam hal ini archaeological records, dalam wujud artefak. Selanjutnya ahli arkeologi, sesuai dengan pengetahuan pengalaman dan kemampuannya, melakukan observasi dan analisis terhadap records ini. Observasi dan analisis itu dilakukannya berdasarkan kebudayaannya sendiri serta bukan berdasarkan kebudayaan yang meninggalkan records tadi. Mengapa hal ini terjadi demikian, oleh karena ahli arkeologi tidak dapat meneliti kebudayaan yang telah menjadi sebuah historical fact. Dengan demikian maka ahli arkeologi hanya dapat mengkajinya melalui archaeological records tadi. Konsekuensi lebih lanjut adalah bahwa hasil observasi dan analisis ahlli arkeologi itu, yang secara teknis dikenal sebagai data sesungguhnya merupakan ciptaan peneliti. Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh karena observasi dan analisis terhadap records itu dilaksanakan pada masa kini, berdasarkan kebudayaan peneliti dan ilmu arkeologi mutakhir, walaupun records itu sendiri berasal dari kebudayaan masa lalu. Keadaan inilah yang seringkali terlupakan oleh para peneliti dan yang sejak dekade 80-an diingatkan kembali berkat timbulnya perhatian pada masalah teori dan yang pada gilirannya mengangkat permasalahan yang bersifat epistemologis. Dengan demikian maka data arkeologi itu berupa deskripsi tentang pola-pola yang ditampakkan dari teknik tipologi, klasifikasi dan diperlakukan sebagai contemporary fact. Akhirnya ahli arkeologi melakukan rekonstruksi melalui data ini. Atau dengan lain perkataan merekonstruksikan historical fact melalui contemporary fact.

Aspek lain dari hakekat data arkeologi, masih dalam kaitan dengan rekonstruksi, adalah dari namanya sebagai kebudayaan materi atau fisk Nama ini mengandung dua unsur yaitu materi dan kebudayaan. Unsur materi jelas menunjukkan kaitannya dengan alam, yaitu menyangkut bahan dengan apa artefak itu dibuat. Melalui materi ini arkeologi berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam, seperti masalah penentuan waktu, analisis dan sebagainya. Makalah ini tidak akan membahas hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang demikian ini. Adapun masalah yang akan menjadi perhatian adalah aspek yang kedua yaitu masalah kebudayaan. Sebagaimana diketahui, kebudayaan materi terciptakan sebagai akibat perbuatan manusia. Namun demikian perbuatan ini bukanlah merupakan perbuatan yang asal-asalan tanpa tujuan dan maksud tertentu, melainkan perbuatan yang dilandasi oleh konsep dan makna tertentu. Sebagai akibatnya maka perbuatan itu pun dilaksanakan dalam pola-pola yang baku oleh pendukung suatu kebudayaan. Dengan sendirinya kebudayaan materi yang dihasilkan oleh perbuatan berpola itu pun tercermin dalam wujudnya sebagai kebudayaan materi. Walaupun kebudayaan yang menghasilkannya telah musnah, dan dengan demikian ikut pula hilang konsep-konsep dan makna yang menghasilkannya, namun pola-pola tersebut tetap membayang dalam kebudayaan materi. Kaitan antar artefak dari berbagai tipe apakah yang diketemukan dalam lapisan dan pit, dalam situs maupun wilayah, dalam pekuburan maupun landscapes, tanpa terkecuali masih mempertahankan sisa.-sisa pola perbuatan budaya yang menciptakannya. Kenyataan di atas juga tetap berlaku walaupun kebudayaan materi, atau yang lebih tepat artefak itu, pada waktu sampai kepada ahli arkeologi telah mengalami banyak pengaruh perubahan, baik sebagai akibat alam maupun olah manusia dan bahkan oleh ahli arkeologi sendiri pada waktu melakukan pengggalian atau ekskavasi. Selanjutnya tergantung kepada kemampuan ahli arkeologi sendiri dalam menemukan dan mendeskripsikan pola-pola tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pola-pola tersebut pada waktu penciptaannya dikendalikan oleh konsep-konsep tertentu. Namun demikian perlu diingat bahwa konsep yang abstrak ini tidak dapat dilihat, baik pada waktu kebudayaan itu masih hidup, apalagi pada waktu telah musnah dan menjadi peninggalan kebudayaan materi. Dengan demikian maka, melalui kebudayaan materi, ahli arkeologi hanya dapat menemukan kembali pola-pola tersebut. Selanjutnya rekonstruksi konsep yang mendasari pelaksanaan dan pewujudannya didasarkan atas interpretasi terhadap pola-pola tersebut. Apabila kita boleh meminjarn istilah antropologi, maka penemuan kembali pola-pola itu adalah etik, sedangkan yang dicoba untuk direkonstruksikan itu adalah emik-nya.

Mengingat bahwa konsep yang diupayakan untuk direkonstruksi itu bersifat abstrak sehingga tidak dapat diamati melalui peninggalan kebudayaan materi, maka ada sementara ahli arkeologi yang berpendapat bahwa rekonstruksi sebagaimana yang dimaksudkan itu tidaklah mungkin dilaksanakan. Rekonstruksi ahli arkeologi hanyalah mungkin dicapai sampai tingkat etik saja. Atas dasar ini maka dalam makalah ini akan disampaikan pengembangan dan penerapan teori dalam arkeologi yang mencoba mengatasi kemandegan metodologi tadi. Teori itu adalah hermeneutik dan semiotik.

Hermeneutik
Dasar dari pengembangan teori hermeneutik ini adalah bahwa kebudayaan materi merupakan bagian dari perwujudan budaya dan makna konseptual. Dengan demikian maka dimungkinkan bagi ahli arkeologi untuk menjangkau pengertian yang lebih jauh dari sekedar tentang penggunaan fisik dan terbatas pada obyek penelitian saja, melainkan sampai kepada makna simbolisnya yang lebih bersifat abstrak. Dalam hal ini upaya untuk menggali makna konseptual dad kebudayaan materi dapat dibandingkan dengan interpretasi terhadap suatu bahasa, karena proses mengerti itu berkaitan dengan penggalian makna dari bahasa yang berwujud fisik atau materi. Sebagaimana halnya bahasa perwujudan makna simbolis ini diatur oleh peraturan-peraturan dan kesepakatan khusus, serta berdasarkan sebuah sistem tertentu. Sistem itulah yang membedakan satu kebudayaan satu dari kebudayaan lainnya. Walaupun sistem itu membedakan kebudayaan yang satu dari yang lain, namun tidak ditentukan oleh masalah-masalah yang bersifat ekonomis, biologis dan fisik. Atas dasar inilah maka perbandingan dengan masalah penerjemahan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dengan interpretasi dari kebudayaan yang satu dari kebudayaan yang lain dilaksanakan. Ahli arkeologi bekerja dalam kerangka makna yang dimilikinya dan dengan demikian berhadapan dengan kebudayaan yang ditelitinya yang memiliki kerangka makna berbeda bahkan mungkin sama sekali berlainan oleh karena diwujudkan melalui ketentuan dan pengaturan yang berbeda pula. Atas dasar itu maka upaya untuk mengungkapkan makna simbolis itu dapat dibandingkan dengan proses penerjemahan, hanya dalam hal ini penerjemahan itu dilakukan dari kebudayaan yang diteliti ke kebudayaan peneliti. Perlu pula dicatat bahwa ahli arkeologi sesungguhnya memiliki dua kerangka makna, yaitu kerangka makna yang diperoleh dari ilmunya dan kerangka makna yang terwujud dari kebudayaannya.

Bagaimana penerjemahan itu dapat dilaksanakan didasari atas tiga pengertian. Pertama perlakuan bahwa kebudayaan materi diciptakan dengan maksud tertentu dalam sebuah kerangka makna konseptual. Walaupun Kebudayaan materi itu diciptakan dan penggunannya diatur dalam satu kerangka makna konseptual tertentu, namun kebudayaan materi yang sama dapat pula diberi makna konseptual lain melalui berbagai cara. Atas dasar ini maka di dalam memperlakukan kebudayaan materi kita harus membedakan antara makna dari fungsi. Adapun yang dimaksudkan dengan fungsi adalah jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh ahli arkeologi seperti “apa maksud pemberian bentuk benda seperti itu?” “Mengapa bangunan tempat tinggal, istana misalnya, dibuat dari bahan yang mudah rusak sedangkan candi dibangun dengan mempergunakan bahan yang tahan lama dari batu kali”.

Mudah dimengerti bahwa fungsi-fungsi tersebut tidak dapat mengungkapkan makna konseptualnya, oleh karena mungkin ada makna-makna konseptual yang tidak diketahui oleh pembuat atau penggunanya. Makna ini, misalnya, menjawab pertanyaan apa konsep yang melatar belakangi wujud sebuah candi. Makna konseptual yang demikian ini pun mungkin tidak dikenali oleh pendiri maupun pengguna candi. Dengan demikian maka terhadap makna ini pun perlu dibedakan makna yang tidak dikenali dan makna yang tidak dimaksudkan. Makna yang tidak dikenali menyangkut makna yang tidak dikenali atau secara samar-samar disadari seperti misalnya kebiasaan menata dan membersihkan kamar tidur atas dasar ketentuan kebudayaan Jawa yang “melarang” orang lain memasuki kamar tidur, misalnya. Makna yang tidak dimaksudkan. Makna yang demikian adalah ketidakpastian dari pihak pencipta atau pengguna suatu obyek bahwa orang lain akan memberikan makna yang sama dengannya terhadap obyek yang sama. Kemungkinan yang demikian ini dapat terjadi oleh karena orang lain dapat menghubungkan obyek tersebut dengan kerangka makna yang lain sehingga memberikan makna yang berbeda. Dalam, kaitannya dengan kebudayaan materi, obvek itu telah terpisah dari pencipta atau penggunanya. Hal ini terlebih-lebih lagi dapat terjadi sebagai akibat dari pemisahan oleh waktu yang lebih lama atau tempat yang lebih jauh, sehingga obyek itu dapat diberi berbagai makn tergantung dari penempatannya dalam berbagai konteks. Sebagai contoh sebuah candi, misalnya, yang maksud pendirian sesungguhnya belum diketahui, namun sekarang diberi makna sebagai makam, bukan makam dan seterusnya.

Kedua pengertian bahwa kebudayaan materi harus dipelajari dalam konteks. Hal ini berarti bahwa makna simbolis artefak-artefak tertentukan dalam konteksnya. Dengan demikian maka ahli arkeologi haruslah terlebih dahulu merumuskan konteks itu terlebih dahulu di dala mana obyek penelitiannya memiliki hubungan yang mempengaruhi pemberian maknanya agar ia dapat mengetahui makna pada waktu obyek itu diciptakan. Adapun yang dimaksudkan dengan konteks adalah keseluruhan lingkungan yang relevan. Konteks sebuah obyek arkeologi (apakah itu sebuah situs atau kebudayaan) adalah semua hubungan yang relevan dengan maknanya. Hubungan yang dimaksudkan adalah hubungan dinamis antara obyek dengan konteksnya. Sebagai akibat dari penempatan obyek ke dalam konteks, maka konteks itu sendiri akan mengalami perubahan. Dengan demikian terdapat hubungan dialektis antara obyek dengan konteks dan teks dengan konteks. Sebagai akibat dari hubungan dialektis ini maka konteks memberi makna kepada obyek dan sekaligus juga mendapatkan makna dari obyek.

Ketiga adalah bahwa kebudayaan materi merupakan sesuatu yang aktif dan tidak pasif. Apa yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa kebudayaan materi tidaklah tercipta sebagai produk sampingan perilaku manusia. Hal ini disebabkan oleh karena semua tindakan manusia merupakan tindakan yang kreatif dan interpretatif. Sebagai akibatnya maka makna tidak tampak dengan sendirinya, demikian pula tidak dapat secara pasif dimengerti, melainkan harus secara aktif dibangun pengertiannya.

Pada dasarnya cara para ahli arkeologi melakukan interpretasi terhadap makna konseptual adalah melalui konsep yang ada di kepalanya. Apabila seorang ahli menemukan sebuah pola, yang menyerupai sebuah bangunan, maka ia akan memulai analisisnya dengan konsep yang ada di kepalanya. Selanjutnya, konsep bangunan yang masih dapat dikatakan netral ini akan dikembangkan lebih lanjut, karena konsep netral itu dapat diarahkan sebagai bangunan suci, rumah, atau gudang dan seterusnya. Pengembangan ini akan menentukan analisis selanjutnya.

Apabila kita dapat menerima kenyataan ini, maka tugas ahli arkeologi adalah bagaimana ia dapat mencapai pengertian yang sedekat mungkin dengan makna konseptual tadi. Untuk ini ia harus tetap berangkat dari konsep bahwa kebudayaan materi selalu harus ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek materi dan aspek kebudayaan.

Semiotik
Teori semiotik diterapkan dalam arkeologi, juga didasarkan atas anggapan bahwa sepanjang sejarahnya, manusia menciptakan perkakas bagi keperluan hidupnya tetapi juga sistem simbol. Semiotik, kadang-kadang juga disebut semiologi, sesungguhnya merupakan ilmu tentang tanda. Atas dasar itu, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksudkan dengan tanda dalam semiotik. Konsep tentang tanda ini dapat dibagi dalam tiga unsur.

Sebuah tanda adalah sesuatu yang memiliki arti tentang sesuatu bagi seseorang, di setiap kesempatan atau tindakan. Dengan demikian tanda ini memiliki arti dalam hubungannya dengan orang atau tanda lain- Setiap obyek atau fenomena hanya dapat diungkapkan melalui tanda lain yang merupakan “interpretan” dari tanda yang pertama. Tanda mewakili obyeknya, mengacu pada obyeknya namun hanya berarti melalui “interpretan”.

Fungsi tanda dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu semiologi komunikasi dan semiologi representasi. Fungsi tanda dalam semiologi komunikasi adalah sebagai sarana atau wahana komunikasi. Pada fungsi yang kedua tanda merupakan pengganti dan berfungsi sebagai kognitif. Contoh dari kedua fungsi ini adalah bahasa. Menurut semiologi bahasa dan instrumen, dalam sejarah manusia, berkembang tidak saja sejajar melainkan juga saling berhubungan, karena keduanya merupakan ekspresi dari ungkapan peradaban yang sama.

Semua wujud tanda memiliki ciri-ciri modus perwujudannya masing-masing: tanda yang mewujud sebagai materi, sebagai produksi, dan sebagai resepsi. Dalam pengertian ini tanda merupakan produksi, sesuatu yang dengan sengaja diciptakan. Sebagai akibatnya, maka tanda memiliki wujud materi dan menjadi obyek, antara lain ilmu pengetahuan, sehingga dapat dianalisa.

Aspek lain dari obyek yang diakibatkan oleh hakekatnya yang demikian itu adalah bahwa walaupun obyek itu dengan sengaja diciptakan, namun arti obyek itu terbuka lebar bagi “interpretan”nya. Kenyataan ini tidak menutup kemungkinan bahwa arti yang diberikan oleh “interpretan” menjadi berbeda, dari apa yang dimaksudkan oleh penciptanya.

Bagaimana teori tentang tanda itu, dapat dikembangkan dalam arkeologi. Untuk ini dapat memasukinya melalui pernyataan Leslie A. White, ahli antropologi, yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia merupakan mahluk simbolis dan bukan mahluk rasional, yang menciptakan simbol dan sekaligus juga alat-alat. Simbol menjadi sama mandiri dan sama produktifnya dengan alat-alat. Atas dasar ini dapat dibentuk teori tentang proses-proses simbolik. Sejarah peradaban manusia telah menujukkan, bahwa manusia melalui penciptaan alat-alat secara berhasil telah menaklukkan dunianya. Keadaan yang sama berlaku pula pada simbol. Berbekal simbol-simbol yang diciptakannya, peradaban manusia manata pengalamannya dan kemudian menghadapi dunianya di dalam dan melalui simbol tersebut. Atas dasar ini maka manusia, melalui fungsi simbol sebagai mediasi dan sekaligus juga wahana untuk menjaga jarak antara dirinya dengan dunianya seperti halnya dengan alat-alat, dapat tidak saja membuat proyeksi ke masa lalu melainkan juga ke masa depan.

Sebagaimana yang telah berulangkali dikemukakan di muka, penerapan dan pengkaitan semiotik dengan arkeologi secara teoretis adalah juga dimulai dari hakekat data. Ditinjau dari sudut semiotik, data dapat dikaji dari dua sisi, yaitu dari data itu sendiri dan dari ahli arkeologi. Ilmu pengetahuan pada umumnya sesungguhnya tidak mengenal adanya data empiris yang betul-betul murni. Setiap datum senantiasa terkait dengan hipotesa teoretis, oleh karena data itu sebagian merupakan hasil observasi dan sebagian reproduksi sebagaimana yang telah diutarakan. Sementara itu, dari fihak ahli arkeologi yang melakukan observasi juga dipengaruhi oleh kebudayaannya, termasuk di dalamnya ilmunya. Pengaruh yang demikian ini juga dapat diamati pada ilmu pengetahuan kemanusiaan, yang dihadapkan pada masalah yang timbul sebagai akibat dari peranan peneliti sebagai observer dan analis yang menciptakan data kemanusiaan. Arkeologi sebagaimana halnya dengan ilmu kamanusiaan yang bekerja berdasarkan bekas atau jejak yang ditinggalkan oleh pencipta atau penggunanya sebagai obyek penelitiannya. Selanjutnya dalam melaksanakan pengkajian terhadap bukti-bukti kemanusiaan, ia berhadapan dengan data yang homogen dengan persepsinya. Ia mencoba untuk mengerti dan kemudian mereproduksi data yang telah ia olah sesuai dengan pengetahuannya. Dengan demikian maka dalam banyak hal, pada, dasarnya pengertian tentang obyek berkaitan erat dan sangat tergantung pada pengetahuan subyek.

Sebagaimana yang telah berulangkali disampaikan, di dalam menghadapi obyek kultural, subyek yang juga kultural secara jelas sangat berperan dalam penciptaan data, serta dalam pemilihan fakta. Masalah yang timbul adalah seberapa besar pengaruh peran tersebut terhadap arkeologi sebagai ilmu. Adapun yang menjadi permasalahan adalah yang bersifat ontologis dan yang bersifat metodologis. Permasalahan pertama berkenaan dengan pertanyaan apakah ada sebuah obyek penelitian arkeologi yang dapat dipisahkan dari subyek kultural yang mempelajarinya. Ditinjau dari permasalahan ontologis ini, maka obyek arkeologi, yang sebagaimana dikatakan di atas terutama berwujud jejak atau bekas, tidaklah mengandung permasalahan yang bersifat epistemologis dalam arti apakah obyek kultural yang tercipta tadi obyektif atau tidak. Dalam ilmu budaya, khususnya dalam perspektif semiologi tentang bentuk-bentuk simbolik, maka kedudukannya menjadi jelas, bahwa jejak dan bekas itu benar-benar ada dalam arti pada kedudukannya yang netral dan sebagai apa adanya. Kedudukan ontologis yang demikian ini memberikan kesempatan bahwa obyek dapat dianalisis tidak hanya berdasarkan persepsi dan pengetahuan subyek kultural saja. Secara metodologis kesempatan untuk melakukan analisis secara tidak terbatas ini dimungkinkan oleh faktor-faktor yang berkenaan dengan “keberadaan secara berlapis” bekas dan jejak. Adapun yang dimaksudkan dengan lapis di sini adalah lapisan analisis, yaitu jejak sebagai lapisan pertama yang bersifat materi, diperlakukan sebagai obyek bagi berbagai analisis awal yang tergantung pada model-model yang dipergunakan. Walaupun demikian, perlu kiranya diingat bahwa jejak pada tingkat material sesungguhnya telah merupakan hasil dari aktivitas dan reproduksi dari subyek kultural. Adapun yang dimaksudkan di sini adalah bahwa jejak tadi mungkin diketemukan melalui ekskavasi dan direproduksi dalam bentuk deskripsi. Peringatan yang lain adalah bahwa konfigurasi yang diungkapkan sebagai hasil analisis pada jejak lapis materi tidak dengan sendirinya mencerminkan konfigurasi dari kegiatan sosial atau budaya dari mereka yang meninggalkan jejak-jejak itu. Pada gilirannya, konfigurasi tadi juga memberikan kesempatan untuk melakukan dimensi analisis yang baru.

Dengan demikian maka kemungkinan penerapan teori semiotik dalam arkeologi adalah kira-kira sebagai berikut. Pertama pada lapis pertama, ahli arkeologi menghadapi data untuk mencoba mengerti dan kemudian merekonstruksikan fenomena. Kedua adalah analisis terhadap lapis netral. Dari records ini ahli arkeologi melakukan identifikasi, klasifikasi, dan mengungkapkan pola atau konfigurasi, untuk kemudian menyajikannya dalam bentuk model simbolis. Terakhir adalah pengungkapan makna terhadap berbagai konfigurasi itu. Jejak-jejak itu dapat diungkapkan maknanya hanya dalam hubungannya dengan kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang meninggalkan jejak-jejak itu.