Baca Juga

Budidaya Jagung Dengan Konsep Pengelolaan Tanaman Terpadu 
Jagung sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis kedua setelah padi karena di beberapa daerah, jagung masih merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Jagung juga mempunyai arti penting dalam pengembangan industri di Indonesia karena merupakan bahan baku untuk industri pangan maupun industri pakan ternak khusus pakan ayam. Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan pangan di Indonesia maka kebutuhan akan jagung akan semakin meningkat pula. 

Usaha peningkatan produksi jagung di Indonesia telah digalakan melalui dua program utama yakni: 
(1) Ekstensifikasi (perluasan areal) dan 
(2) intensifikasi (peningkatan produktivitas). 

Program peluasan areal tanaman jagung selain memanfaatkan lahan kering juga lahan sawah, baik sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan melalui pengaturan pola tanam. 

Usaha peningkatan produksi jagung melalui program intensifikasi adalah dengan melakukan perbaikan teknologi dan manajemen pengelolaan. Usahausaha tersebut nyata meningkatkan produktivitas jagung terutama dengan penerapan teknologi inovatif yang lebih berdaya saing (produktif, efisien dan berkualitas) telah dapat menghasilkan jagung sebesar 7 – 9 ton/ha seperti ditem ukannya varietas ungul baru dengan tingkat produktvitas tinggi dan metode manajemen pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu. 

KONSEP DAN PENDEKATAN PTT 
Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu yang disingkat dengan PTT pada dasarnya merupakan kiat atau metodologi dalam peningkatan produksi tanaman melalui pengelolaan tanaman dan sumber daya secara terintegrasi dengan meramu teknologi yang memiliki efek sinergis sehingga pendekatan PTT mampu meningkatkan produktivtas tanaman jagung secara berkelanjutan (sustainable). Adapun ciri dari konsep pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya secara terpadu adalah sebagai berikut: 

1. Keterpaduan/ Integrasi 
Keterpaduan yang dimaksud dalam PTT, tidak hanya terbatas pada keterpaduan tanaman dan sumber daya input, namun melibatkan keterpaduan yang luas, meliputi keterpaduan institusi (pemerintah ataupun swasta), sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan Teknologi, serta keterpaduan analisis. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan jagung yang didasarkan pada konsep PTT tidak hanya mempertimbangkan subsistem produksi tetapi sudah merencanakan sampai kepada subsistem pemasaran, termasuk kelembagaan pendukung sehingga kegiatan usahatani dapat berjalan secara berkesinambungan. 

2. Sinergisme 
Efek sinergisme adalah efek yang saling mendukung/menguatkan antara komponen teknologi yang satu dengan komponen teknologi lainnya. 

Pemanfaatan sinergiesme antara komponen-komponen teknologi produksi yang akan diterapkan bertujuan untuk mendapatkan output hasil yang lebih tinggi. Misalnya penggunaan alat pembuat alur irigasi (alat PAI-MI), alur yang dibuat selain dapat digunakan untuk menyalurkan air irigasi sehingga akan meningkatkan aktifitas dan efisiensi pemanfaatan air serta dapat menaikkan unsur hara yang ada di bawah lapisan olah di samping membentuk guludan sehingga pertumbuhan tanaman dapat lebih optimal yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi secara lebih efisien dibanding pengairan tanpa alur seperti yang dipraktekkan petani selama ini. Penggunaan Varietas unggul baik Unggul nasional maupun multi nasiaonal akan lebih bersinergi dengan kualitas benih yang prima (baik kualitas genetik, fisik ataupun kualitas fisiologi) dengan kriteria daya tumbuh benih yang lebih seragam (minimal 90%). Benih dengan kualitas yang lebih prima dapat tumbuh lebih cepat, perakarannya akan tumbuh lebih kuat dengan distribusi akar yang lebih baik sehingga dapat memanfaatkan air dan unsur hara secara optimal. Pengendalian gulma dengan alsin tipe IRRI-M6 selain dapat mengendalikan gulma secara efektif dan efisien , juga dapat menggemburkan tanah dan mengembalikan bahan organik (dari gulma) ke dalam tanah yang dapat menekan erosi dan memperbaiki kondisi fisik tanah sehingga dapat memperbaiki serapan hara. 

3. Partisipatif 
Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan dengan cara melibatkan semua pihak yang berkepentingan mulai dari petani, swasta, penyuluh serta instansi terkait mulai dari identifikasi, pelaksanaan sampai kepada evaluasi kegiatan. Dengan demikian komponen teknologi utama yang akan di integrasikan dalam pendekatan PTT dapat berjalan secara lumintu (berkelanjutan) karena telah mengakomodasikan dan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan petani yang pada umumnya kekurangan modal untuk mengelola usaha taninya secara optimal. Dalam penerapan PTT jagung, pertisipasi petani dan swasta sangat diperlukan untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan di lahannya. Misalnya introduksi pembuat alur, alat penyiang, mesin pemipil dan penyediaan benih unggul berkualitas serta penyediaan pupuk perlu partisipasi swasta yang dapat bermitra dengan petani dalam penyediaan sarana, penyediaan jasa alsintan serta dapat menampung hasil usahataninya dengan harga yang layak. 

Dengan cara tersebut akan tercipta suatu pola kemitraan dengan asas saling membutuhkan dan saling menguntungkan sehingga baik petani maupun swasta memiliki posisi tawar yang kuat. Oleh sebab itu, dalam implementasinya, PTT perlu di awali dengan identifikasi permasalahan baik masalah teknis, maupun sosial-ekonomi dan budaya, mengetahui potensi sumberdaya, baik sumberdaya lahan ataupun buatan yang dapat menunjang implementasi PTT melalui Studi pemahaman pedesaan partisivatif (PRA/Participartory Rural Appraisal). 

4. Dinamis 
Kondisi lingkungan pengembangan jagung cukup beragam baik di lahan kering ataupun di lahan sawah terutama sawah tadah hujan, mengindikasikan bahwa penentuan komponen teknologi utama yang akan digunakan dalam pendekatan PTT harus dinamis, seiring dengan variasi lingkungan tumbuh tanaman, termaksud sosial-ekonomi dan budaya masyarakat tani sendiri. Dengan partisipasi aktif petani pada tahap akhir PTT ini, para petani seharusnya sudah dapat mengetahui dan mengelola dinamika yang ada dalam usaha taninya, namun bimbingan masih harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan. 

KOMPONEN TEKNOLOGI SEBAGAI PILAR PTT JAGUNG 
Pemilihan komponen teknologi yang tepat dalam menyusun paket teknologi yang akan diterapkam dalam pelaksanaan PTT jagung merupakan hal yang penting untuk mendapatkan sinergisme komponen teknologi yang optimal . Namun demikian beberapa komponen teknologi budidaya jagung yang telah diuji dan mempunyai sifat sinergisme yang tinggi sebagai pilar utama dalam penerapan konsep PTT. Komponen teknologi tersebut adalah sebagai berikut: 

Penggunaan Varietas Unggul Berdaya Hasil Tinggi dan Stabil Respon varietas unggul berdaya hasil tinggi dan stabil sangat diperlukan sebagai komponen utama PTT jagung, baik dalam bentuk varietas unggul bersari bebas ataupun hibrida. Jenis Varietas unggul yang akan di gunakan di setiap wilayah pengembangan dipilih berdasarkan kesesuaian varietas dengan lingkungan pertumbuhan setempat (spesifik lokasi) serta dukungan swasta sebagai pemasok sarana teknologi untuk kebutuhan petani. Dalam banyak kasus, petani pada umumnya kekurangan modal untuk menerapkan usahataninya secara optimal. Karena itu, banyak petani menggunakan benih dari penanamannya sendiri tanpa seleksi lapangan 2-3 generasi untuk hibrida dan beberapa siklus untuk jenis bersari bebas, kecuali pada wilayah pengembangan yang telah terbentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha benih. Dalam priode 3 (tiga) tahun terakhir (1999 sampai 2001), sejumlah 8(delapan) varietas unggul telah dilepas yang terdiri dari 4 jenis bersari bebas dan 4 hibrida. Potensi hasil, umur panen dan reaksi terhadap penyakit bulai dapat dilihat pada tabel 1. Ditinjau dari segi hasil biji (hibrida) semar 10 memiliki hasil biji tertinggi dari seluruh varietas hasil persilangan BALITSEREAL yaitu pada MK.II di Maros dapat mencapai 9,56 t/ha pada kadar air 14%, sementara C-7 10,24 t/ha dan Bisi-2 8,06 t/ha, sedangkan (bersari bebas) hasil tertinggi diperoleh pada Varietas Bisma 8,25 t/ha 

Benih Berkualitas 
Benih dengan kualitas yang prima (daya tumbuh dan Vigornya cukup tinggi) diperlukan untuk memacu keseragaman dan kecepatan pertumbuhan. 

Benih dengan kualitas fisiologi yang tinggi (daya tumbuh minimal 90%) juga lebih toleran pada kondisi lingkungan tumbuh yang kurang optimal dibanding benih dengan kualitas fisiologi yang lebih rendah, serta lebih efektif memanfaatkan pupuk dan hara lain yang ada di dalam tanah. Pada lingkungan pertumbuhan yang sama dengan menipulasi hara yang sama, benih dengan vigor yang tinggi akan tumbuh lebih baik dibanding dengan pertumbuhan tanaman dari benih yang kurang vigor. 

Penyiapan Lahan dan Pengendalian Gulma 
Untuk menekan biaya produksi pada usaha tani jagung, salah satu cara yang perlu dilakukan adalah penyiapan lahan secara Tanpa Olah Tanah (TOT) atau Tanam dengan Olah Tanah Minimum (TOM), baik di lahan kering ataupun dilahan sawah sesudah hujan dapat diterapkan tergantung dari kondisi fisik lahan. Lahan yang ditumbuhi sisa-sisa tanaman atau gulma dapat disemprot dengan herbisida golongan paraquat ataupun jenis Glyphosat, tergantung dari kondisi gulma di lokasi tersebut. Satu minggu sesudah disemprot, benih sudah dapat ditugal dengan menggunakan alat tanam tipe MVL1 dan selanjutnya diikuti dengan penyiangan dengan menggunakan alat penyiang IRRI-M6. Alsin IRRI-M6 yang dihasilkan oleh Balitsereal hanya membutuhkan waktu 9 jam /ha (Abidin et al., 2000) sedang dengan penyiangan secara konservasional diperlukan tenaga kerja 20 HOK (Balittan Malang dalam Suibandi et al., 1998) 

Populasi Tanaman 
Populasi tanaman sangat tergantung dengan Varietas, lingkungan pertumbuhan tingkat kesuburan tanah dan distribusi curah hujan / ketersediaan air. Untuk jagung hibrida pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 75 X 25 cm (satu tanaman / lubang) pada musim hujan dan 75 X 20 (satu tanaman / lubang) pada musim kemarau , untuk memudahkan oprasi alat penyiang ataupun alsin pembuat alur. Pada MK 2 dengan priode tumbuh yang relative singkat, yang lebih banyak ditanam adalah jagung bersari bebas dengan umur genjah (Gumarang). Untuk itu jarak tanam dapat   lebih ditingkatkan dengan pengaturan jarak tanam yang lebih rapat, yaitu 70 X 20 cm, satu tanaman/lubang. 

Rasionalisasi Penggunaan Pupuk 
Dengan berkembangnya jagung hibrida, petani cenderung menggunakan pupuk urea lebih banyak dari yang direkomendasi. Karena itu sudah selakyaknya jumlah pupuk yang digunakan oleh para petani harus berdasarkan jumlah pupuk yang diperlukan tanaman untuk mencapai hasil sesuai potensi hasil varietas yang digunakan. Varietas dengan potensi hasil yang rendah (berumur genjah) kebutuhan pupuknya akan lebih sedikit dibanding dengan jenis hibrida ataupun bersari bebas dengan potensi hasil yang tinggi. Dengan demikian diperlukan uji tanah baik ditinjau dari kondisi fisik (physical properties) dan dari segi kesuburan kimia (chemical properties). 

Demikian pula penggunaan pupuk organik pada tanaman jagung sudah perlu mendapatkan perhatian, dan biomas tanaman jagungpun dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak bagi petani yang memelihara ternak. 

Pembuatan Alur Irigasi dengan Alsin PAI-M2 
Apabila populasi gulma tidak terlalu banyak dapat langsung dilakukan pembuatan alur drainase/irigasi dengan Alsin PAI M-2 pada saat tanaman berumur 30 hari sesudah tanaman tumbuh (segera setelah pemupukan susulan pertama). Kedalaman alur 21-25 cm dan lebar 32-34 cm(Tabel 2).. 

Dengan pembuatan alur tersebut pada musim kemarau tanaman hanya perlu diberi air 6-7 kali tanpa bantuan hujan dan dapat berkurang apabila masih ada hujan selama pertumbuhan tanaman. Pada lahan kering dengan curah hujan yang tinggi, alsin tersebut juga dapat digunakan untuk mendrainase kelebihan air hujan agar pertumbuhan tanaman tidak terganggu serta dapat mencegah kemungkinan gangguan jazad pengganggu karena kelembaban mikro tinggi. 

Pemupukan susulan kedua dilakukan pada saat awal keluarnya bunga betina (early silking stage). Adanya alur irigasi juga memudahkan para petani untuk melaksanakan pemupukan yang biasanya dilakukan di sepanjang alur irigasi tersebut, sehingga pemberian pupuk lebih efektif. 

Pada saat tanaman telah mencapai masak fisiologis (estimasi fisual), maka bagian tanaman diatas tongkol sudah dapat dipangkas bila cuaca memungkinkan dan jagung dibiarkan beberapa hari di lapangan agar kadar airnya dapat berkurang dilapangan sehingga dapat mengurangi biaya pengeringan surya ataupun dengan alat pengering. Pangkasan tanaman tersebut dapat dimanfaatkan untuk hijauan pakan ternak sehingga pada saatnya nanti akan tercipta usahatani integrasi jagung dengan ternak ruminansia

Pengelolaan Hama dan Penyakit Tanaman Secara Terpadu 
Hama dan penyakit merupakan kendala utama dalam produksi jagung. 
Sekitar 70 jenis serangga (ortega, 1987) dan 100 jenis penyakit (Surtleff, 1980) yang dapat menyerang tanaman jagung. Namun hanya beberapa yang secara ekonomi sering menimbulkan kerusakan berat (Sumartini dan Hardaningsih, 1995). Beberapa jenis hama yang dilaporkan sering menimbulkan kerusakan ekonomis yaiut: lalat bibit (Atherigona sp.), ulat grayak (Spodoptera sp.), kumbang landak (Dactylispa sp), kutu daun (Rhopalosiphum maydis), penggerek batang (Ostrinia furmacalis), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera) dan kumbang bubuk (Sitophillus sp.). Penyakit utama tanaman jagung adalah : penyakit bulai (Peronosclerospora sp.), penyakit karat (Puccinia sp.). bercak daun (Drechslera/Helminthosporium sp.), hawar upih (Rhizoctonia sp.), busuk tongkol/batang (Fusarium sp.), busuk biji (Aspergillus sp.). Untuk mengendalikan hama dan penyakit jagung tersebut maka direkomendasikan menggunakan komponen pengendalian yang meliputi: varietas tahan, kultur tekni, musuh alami dan pertisida. 

Penggunaan alat Pemipil PJ-MI 
Dalam proses pemipilan jagung, kehilangan hasil dapat mencapai 8%. 
Kalau kehilangan hasil dapat ditekan menjadi 5%, maka akan diperoleh tambahan produksi jagung nasional sekitar 290.000 ton/tahun. Dengan bantuan mesin pemipil, selain dapat menekan kehilangan hasil secara fisik, penurunan kualitas hasil juga dapat ditekan karena kapasitas pemipilan dapat mencapai 1.4 ton/jam jauh lebih tinggi dibanding cara manual yang kapasitasnya hanya sebesar 20 kg/jam/orang, serta biaya pemipilan jauh lebih murah. Persentase biji pecah, biji yang tidak terpipil serta kotoran masih jauh dibawah standar kualitas mutu-1 SNI, sehingga masih layak untuk dikembangkan (tabel 3)

Sumber : Sinuseng et al. (2002)