Baca Juga



Apa yang akan terjadi ketika cowok romantis bertemu dengan cewek nggak romantis? jawabannya adalah: MATI KUTU!!!

Aku adalah cowok romantis dengan sejuta kata manis di bibir. Setiap kali aku menjalani hubungan dengan seorang cewek, pastilah harus berlebay-lebay ria dan pastinya nggak bisa kalau mulut ini hanya diam dan membisu.

Aku pikir, semua kelebay-an ini berlaku untuk semua cewek. Secara, cewek itu, kan, mahluk Tuhan yang paling suka kalau diromantis-romantisin. Tapi ternyata ini nggak berlaku kepada Nia. Cewek paling jutek yang pernah aku kenal. Dia adalah temen sekelasku di sekolah dulu. Pertama kali aku ketemu dia setelah kelulusan adalah pada saat aku menghadiri pernikahan teman.

Sejak saat itu, tali pertemanan antara aku dan Nia yang sempat terputus selama beberapa tahun, akhirnya mulai terjalin kembali. Tiap hari, dia suka cememes aku. Dia suka cerita tentang keadaannya sekarang. Tapi sayangnya, Nia cuma mau curhat tanpa mau diberi saran apalagi kritikan.

Dan curhat satu arah pun terus berlanjut.

Pernah suatu hari, dia cerita kalau mantannya mau nikah. Terus morang maring nggak jelas padaku. Aku suruh dia buat lupain, eh dia malah ngamuk. Trus, Nia memintaku mencarikan cowok buat dia, pas aku tawarin dia seorang cowok yang tampan nan rupawan (aku), dia malah muntah.

Nia emang tipikal cewek egois. Selain pengen menang sendiri. Nia juga gampang ngambek. Salah kata dikit di ceumemes aja bisa mengakibatkan dia murka.

Hampir 90% dari ceumemes yang aku terima dari Nia adalah keluhan. Terakhir, dia mengeluh kalau dia lagi ngerasa sendiri. Dia bilang kalau keluarganya sudah nggak peduli lagi padanya. Di tempat kerja juga, Nia lagi punya masalah. Beberapa barang di konternya hilang dan dia harus menggantinya.

“Orang-orang udah nggak peduli lagi sama aku,” keluh Nia di ceumemes.

“Jangan gitu donk Ni.. kamu, kan masih punya aku,” balasku menghibur.

“Sudah lah Ris.. Kamu nggak akan ngerti gimana perasaan aku...”

Salah satu sifat buruk Nia yang lain, dia nggak pernah mau membuka hatinya untuk menerima semua perhatian orang.

“Aku mau pergi ke suatu tempat.”

“Kemana? Aku temenin, ya..”

“Nggak usah!!”

Dia bilang mau pergi dan nggak ngasih tau aku mau pergi kemana. Sebenernya aku nggak akan kawatir kalau saja orang lain yang ngomong kayak gitu. Tapi ini Nia. Setahuku, Nia punya sifat aneh. Masalah yang menurut orang lain sepele, bisa membuat dia histeris kayak orang kesurupan.

Beberapa jam sejak Nia bilang mau pergi ke suatu tempat, aku ceumemes dia lagi.

“Ni.. Ada di mana? Aku kawatir tau..”

Setengah jam kemudian, dia baru balas. “Aku ada di tempat yang bikin aku tenang. Nyaman banget disini. Tenang.”

Hmmm.. Tempat yang tenang ya? secara nggak langsung Nia sudah ngasih petunjuk. Hanya butuh sedikit pancingan supaya dia ngasih tau posisinya sekarang.

“Oh.. Kamu lagi ada di taman ya?” kataku sok tahu.

Mengingat Nia adalah cewek yang gampang menghakimi orang lain yang menurut dia salah. Jurus ‘Sok Tahu’ ini seharusnya berhasil memancingnya ngomong.

“Sotoy ahk!!! aku lagi di Katumiri, tau!!!!”

Tuh, kan... bener kan, yang aku omongin. Nia langsung menghakimi aku. Tapi nggak apa-apa, yang penting sekarang aku sudah tau dia lagi ada dimana.

“Oh di Katumiri.. Hehe...”

Katumiri adalah nama sebuah bukit yang ada di pinggiran kota. Beberapa ratus meter dari sana, ada sebuah air terjun yang bernama ‘Curug Panganten’ yang dalam bahasa Indonesia-nya adalah ‘Air Terjun Pengantin’. Di akhir pekan tempat itu selalu ramai di datangi para remaja yang ingin merasakan suasana perbukitan, Tapi kalau hari biasa seperti sekarang, tempat itu cukup tenang untuk orang yang sedang mengalami depresi karena putus cinta atau lagi ada masalah keluarga kayak Nia.

“Ni, mau sampai kapan diem disana? Bentar lagi magrib loh.. cepetan pulang...” rayuku.

“Aku nggak akan pulang!” balas Nia.

Spontan (uhuy..) aku terkejut.

“Nggak akan pulang? Emang mau kemana lagi?”

“Terserah aku donk mau kemana juga, itu urusan aku.”

“Ni, kalau kamu nggak mau pulang, aku bakal susulin kamu kesana sekarang juga!” ancamku.

“Hah! Ngapain?! Nggak usah!!!”

“Pokoknya aku mau kesana kalau kamu nggak mau pulang!”

“Terserah! Tapi aku nggak akan nanya kalau kamu datang! Dan aku nggak bakal mau temenan sama kamu lagi!!” Nia balas mengancam.

“Bodo!!” aku mengacuhkan ancamannya. “Kita sama-sama keras kepala, Ni!”

***

Aku langsung bergegas mengambil kunci motor. Kali ini si Bulao (motorku) dapat job lagi sebagai peran pembantu dalam komedi situasi yang berjudul: Kejar Daku, Kau Kuabok. Nia jadi pemeran utama dan aku jadi objek derita. Ribuan ekor nyamuk menjadi pemain piguran.

Si Bulao tumben-tumbennya ‘GRENG’’ biasanya juga kan, loyo? Tau aja kalau tuan-nya mau nyamperin cewek cantik. Jiwa si Bulao emang sudah menyatu dengan jiwaku. Apa yang tuan-nya suka, pasti dia juga suka. Kayak kemaren, aku ngiler liat Honda Jazz yang melintas di depanku. Eh taunya si Bulao ikutan ngiler. Bedanya, cara aku menyukai mobil yang aku sukai adalah dengan memandangnya sampai puas dan cara si Bulao menyukai mobil yang dia sukai adalah dengan menabraknya sampe bonyok. Jelas banget ngerugiin aku!

Si Bulao di hadapkan lagi pada sebuah rintangan. Di depannya sudah terbentang sebuah tanjakan jalan pegunungan. Sebenarnya ini nggak seberapa nanjak kalau kita menaiki motor sehat. Tapi untuk motor penyakitan kayak si Bulao, tanjakan dengan sudut kemiringan 50 derajat bisa menjadi 90 derajat. Alias nggak bisa maju sama sekali. Jalan satu-satunya adalah dengan mengoplos bensinya dengan campuran ‘daya dorong’. Sebuah penemuan terbaru untuk menghemat bahan bakar dan mengurangi dampak dari global warming. Selain itu, ‘bensin campur daya dorong’ juga bisa menambah daya tahan tubuh pemakainya. Aku berencana untuk mematenkan penemuanku ini dan mendaftarkannya ke UNESCO PBB. Supaya nggak keburu di akuin sama negara tetangga. Hehehe...

Akhirnya dengan nafas tersenggal-senggal, aku sampai di Katumiri. Mengendarai si Bulao nggak jauh beda dengan lari marathon sejauh 500 KM. Bahkan lebih parah!

Nia duduk di atas motornya yang diparkir di bawah pohon. Wajahnya ditekuk ke depan. Tatapan matanya yang kosong membuat aku ragu untuk menyapanya. Akhirnya setelah limabelas menit menunggu, aku beranikan diri untuk menegurnya.

“Ni..”

Nia diam nggak merespon. Waduh.. Gaswat, nih. Rupanya masalah Nia emang berat banget! Sampe-sampe suara kayak Justine Timberlake gini nggak digubris!

Bingung cari solusi, akhirnya aku telpon si Gober. Aku mundur beberapa langkah supaya Nia nggak bisa dengar.

“Ber! Ente lagi dimana, uy?”

“Lagi di rumah si Neng” jawabnya. “Ada apa, lur?”

“Bisa kesini bentar nggak? Anė lagi sama si Nia di Katumiri.”

“Katumiri? Ngapain?”

“Penyakit lama si Nia kambuh! Tadinya aku mau bujuk dia pulang. Eh, taunya malah dicuekin.”

“Wah.. Cari masalah ente, mah..”

“Ente bisa kemari, nggak?”

“Wah gimana yah.. Entar deh, anė berunding dulu sama si Neng. Hasil sidangnya aku sms-in ajah.”

“Okeh. buruan, Ber!”

Lima belas menit kemudian Gober ceumemes.

“HASIL SIDANG: ANE NGGAK DIIJININ KE SANA DAN DI FONIS HARUS MEMBAYAR DENDA SEBESAR HARGA BAJU BARU DI RAMAYANA..”

Aku balas: “Turut Berdukacinta..”

Sekarang nggak ada harapan lagi untuk mendapatkan bala bantuan. Memang harus aku yang melakukannya sendiri. Walau berat, aku mencoba menyapanya lagi.

“Ni..”

“Apa?!” jawab Nia sinis.

Bujuuug.. ni cewek jetek amat, ya??

Lama nggak ketemu dia, membuat aku lupa kalau dia emang cewek paling jutek se-alam raya.

“Kamu nggak apa-apa, kan?”

“Nggak!”

“Dah makan, belom?”

Nia nggak jawab.

“Dah mandi, belom?”

Nia nggak jawab.

“Dah mimi, belom?”

“Idih! kamu bawel amat, siiih?!” bentak Nia.

Hahaha! Baru tau dia, kalau aku bawel. Kemana aja, bu? Sebenarnya, sikap Nia yang kaya gini ini nih, yang membuat aku yakin kalau yang nggak peduli itu bukan keluarganya, tapi dia sendiri yang menutup diri dari orang lain.

“Ngapain kesini?!!!” tanya Nia dengan mimik judes. Ekspresinya mengindikasikan kalau ia 90% nggak menginginkan kehadiranku.

“Ya, kan, aku dah bilang mau jemput kamu..”

“Buat apa?! Aku bisa pulang sendiri!”

Ya sapa tau, dia mau aku gendong (ngarep) hahaha..

“Ya kan, sebagai temen aku wajib donk jagain kamu.. Lindungin kamu.. Tolongin kamu..”

Hati kecilku yang paling mungil dan imut berkata: ‘Gombal banget sih, gue..’

“Aku geli kalau ada cowok yang ngomong kayak gitu!” Potong Nia jutek “Lebay banget, tau, nggak?!!!”

“Iyah maaf..” kataku kikuk. “Dah makan belom, Ni?”

“Ariiissss!!!!” bentak Nia. “Tadi kan, kamu udah nanyain itu!”

“Tapi, kan, nggak dijawab..” aku membela diri.

“Emang kalau aku belom makan, mau apa?!”

“Kalau kamu belom makan, kita makan bareng..” rayuku. “Tapi kamu yang bayar, yah. Coz dompetku ketinggalan di rumah, hehehe...”

“Maksud Loooo??!!!” Nia tambah ngambek.



Cewek Jutek


***

Nia diem lagi dan nggak mau aku ajak ngobrol setelah tadi aku keceplosan ngomong kata-kata yang ‘tidak beradab’ (minta ditraktir).

Seharusnya aku sadar, Nia dalam kondisi sehat wal afiat aja sungkan buat neraktir cowok, apalagi dalam kondisi sekarang. Harus ada alasan yang masuk akal (akal Nia), buat dia neraktir cowok. Misalnya, si cowok itu sudah melakukan jasa besar dalam kehidupannya, seperti mendonorkan satu ginjalnya buat Nia atau mengabdikan dirinya seumur hidup untuk menjadi pembokatnya.

Dari pada bete ngeliatin Nia yang entah kapan mau di ajak ngomong, aku mengeluarkan hape, lalu photo-photo.

Orang Narsis lagi photo-photo di bawah pohon. Orang-orang yang lewat pada liatin aku. Peduli amat! Setelah puas mengekspose diri sendiri, aku kepikiran buat motoin Nia, diam-diam.

Jeprreeett prreeett prreeeeeett..

Terdengar suara jepretan dari kamera-ku yang aku bidikan ke arah Nia. Lumayan.. Dapet sepuluh kali jepretan photo Nia, tapi sayang, ekspresinya lagi manyun semua.

“Nie, daripada bete, mendingan dengerin aku cerita,” usulku mencoba mencairkan suasana.

Nia tetap mematung. Sepertinya ia tak peduli sekalipun orang yang di sebelahnya itu adalah Vidi Aldiano.

“Yaudah kalau nggak mau denger juga nggak apa-apa, aku cerita buat sendiri aja deh,” gerutuku sambil mencari mata Nia yang tersembunyi di balik poni-nya yang panjang.

Aku mulai bercerita.

“Ini cerita seram, Ni. Jadi kalau nanti kamu ketakutan, kamu boleh kok, langsung rangkul aku.” Saranku penuh harap. Berharap Nia ketakutan dan langsung memelukku erat (huhuhu, NGAREEEP).

“Suatu hari, ada dua orang pemuda yang pergi ke danau di tengah hutan untuk memancing. Sebut saja namanya si Gendut dan si Kurus. Konon katanya, ikan-ikan di sana banyak dan besar-besar. Selain itu, konon danau itu dihuni oleh beberapa mahluk halus berwujud manusia berkepala ikan dan seluruh kulitnya dipenuhi sisik,” aku berhenti sesaat untuk membangunkan suasana. Sepertinya Nia mulai terbawa suasana horor. Ia mendelikkan matanya kearahku.

“Tanpa memperdulikan mitos masyarakat sekitar hutan. Kedua pemuda itu nekad menerobos hutan dan mencari danau tersebut. Setelah pencarian yang cukup melelahkan itu, akhirnya mereka sampai di danau angker. Tanpa menunggu lama, mereka langsung memasang umpan dan segera memancing..” Aku kembali berhenti bercerita. Kali ini bukan untuk membangunkan suasana horor, tapi untuk mencari tukang Aqua. Tenggorokan aku terasa kering gara-gara ngoceh terus dari tadi.

“Mang! Aqua gelas dua..” aku membeli dua Aqua gelas pada seorang penjual asongan yang kebetulan sedang mangkal di bawah pohon cemara. Aku langsung meminum kedua gelas Aqua itu sampai habis. Padahal niatnya yang satu mau aku kasihin ke Nia. Lupa.

Setelah dahagaku hilang. Aku balik lagi duduk di posisi semula: Duduk menyamping di belakang punggung Nia, di atas motor Vario-nya yang masih baru.

Aku langsung bersiap untuk melanjutkan cerita, (ada ya orang nyerita kepotong gara-gara haus trus sibuk nyari-nyari tukang Aqua) bodo amat ah! LANJUT!

“Singkat kata, kedua pemuda itu memancing dengan semangatnya. Nggak terasa hari sudah mulai gelap. Udara pun mulai dingin munusuk tulang. Kelelawar mulai keluar dari peraduaannya, mencari mangsa untuk dimakan. Burung hantu turut menguatkan suasana seram di sekitar danau.” Aku menarik napas panjang untuk menambah efek seram.

“Kedua pemuda itu mengeluarkan perbekalan dari tas ransel yang mereka bawa. Satu kresek gorengan mereka keluarkan dari dalam tas. Mereka langsung menyantapnya. Tapi karena gorengan yang mereka bawa itu udah kelamaan disimpen, akhirnya tuh gorengan jadi keras dan susah untuk dimakan. ‘SIAL! Ini gorengan apa sendal jepit?!’ Umpat si Kurus sambil melempar gorengan itu ke tengah danau dengan penuh emosi. Wajar aja si Kurus emosi, soalnya dari tadi dia belum dapat satu pun ikan, sedangkan si Gendut sudah dapat sepuluh ekor, gede-gede lagi.”

Nia mulai tertarik dengan ceritaku, terlihat dari raut wajahnya. Hanya saja ia enggan untuk memperlihatkannya. Tatap matanya seolah berkata: Jangan-jangan hantunya bakalan muncul dan mencekik mereka.

Aku melanjutkan cerita “Tiba-tiba saja, dari dalam danau, muncul gelembung-gelembung udara. Bau amis tak sedap bertiup sangat menyengat kencang menusuk indra penciuman mereka. Gelembung udara itu semakin membesar. Setelah itu, meunculah sesosok tubuh tinggi besar. Sosok mahluk itu sama persis dengan apa yang sering dibirakan orang-orang: Bertubuh manusia, berkepala ikan, matanya merah, melotot, giginya tonggos dan bertaring. Tangan kanan mahluk itu menggenggam sesuatu seperti hendak melemparkannya ke arah kedua pemuda tersebut. Kedua pemuda itu shock. Mereka saling berangkulan sambil komat kamit. Bahkan si kurus sampe kencing di celana karena merasa mahluk siluman itu marah gara-gara tadi ia melempar gorengan ke tengah danau..”

Fuuuuihhhh.. aku membuang napas panjang. Sedangkan Nia masih penasaran dengan kelanjutan ceritanya.

“Trus udah itu, si kedua pemuda itu diapain?” tanya Nia penuh cemas.

“Setelah itu... mahluk siluman itu terus mendekat dan mendekat. Jarak mereka kini hanya sekitar satu meter dari mahluk siluman blesteran masusia dan ikan. Mahluk itu mengulurkan tangan kanannya yang ternyata menggenggam gorengan yang tadi dilempar oleh si kurus. Siluman itu lalu berkata ‘MANA SAOSNYA??? MASA NGASIH GORENGAN NGGAK PAKE SAOS! NGGAK ENAK DONK..’ ”

“Whahaha.. kirain siluman itu bakal nyekik mereka, ternyata cuma mau minta saos,.. hahaha..” Nia tertawa terbahak-bahak. Sesaat dia telah melupakan beban pikiran yang telah mengganggunya selama ini.

“Yes! Berhasil!!!” teriakku dalam hati. Memang itu tujuanku. Membuatnya tertawa dan melupakan semuanya.

***

Hari mulai gelap ketika aku memandang wajah Nia. Hatiku penuh tanya: apakah cewek yang ada di depanku ini akan termenung terus disini?

Kekawatiranku mulai hilang ketika Nia bilang, “Kita pulang!”

“Pulang???”

“Iya!” balasnya, “Kalo kamu mau di sini terus, ya silahkan aja.”

Ngapain juga disini malem-malem? Kalau bukan gara-gara dia, udah dari tadi deh, aku pulang.

“Ya aku juga ikut, lah..”

Nia, menyuruhku jalan duluan. Tapi aku menolaknya. Aku takut pas aku jalan, Nia malah diem disini terus.

“Ladies first...” kataku.

“Udah kamu ajah yang di depan!”

Percuma ngajak debat Nia, yang menang udah pasti dia. Akhirnya aku jalan duluan dan Nia menyusul di belakang dengan motornya. Aku sengaja melambatkan laju si Bulao di kecepatan 20 km/jam. Eh, bukan disengaja denk, kecepatan maksimal si Bulao emang segitu-gitunya, huhuhu payah. Tiba-tiba Nia menyalipku di tikungan. Kecepatan larinya cukup membuat aku melongo.

Gilaaaa!!!

Nia menyangka kalau aku sengaja melambatkan laju motor. Sampe-sampe dia mengemudikan motornya kayak orang gila. Niatnya sih aku pengen nyusul dia, tapi apa daya. Kecanggihan teknologi motorku yang terpaut dua abad dari motor-nya Nia, nggak berhasil menyusulnya. Yang ada si Bulao malah mogok di tengah jalan. Brengsek!

Dengan mengandalkan geravitasi bumi (jalanan menurun), akhirnya aku dan si Durjana Bulao sampai di depan tukang nasi goreng.
Pemirsa! Apakah yang akan Aris lakukan di depan tukang nasi goreng?

Memesan nasi goreng atau nongkrong istirahat?
Pilihlah jawaban yang menurut anda paling benar, dan kumpulkan sebelum cerita ini selesai.

Semua pilihan di atas adalah salah, karena aku nggak pengen nongkrong, istirahat apalagi beli nasi goreng (nggak bawa duit). Alasan aku berhenti di depan tukang nasi goreng adalah, karena aku melihat motor Vario punya Nia disana. Rupanya rasa lapar bisa menyerang siapa saja. Nia yang lagi frustasi aja bisa kelaparan, apalagi aku yang udah tiga Rebo kagak nemu nasi. Hiks..

Nia melihatku. Tatapan matanya seperti memberikan sebuah isyarat: Ngapain ngikutin aku kesini? Pulang!!!

Aku yang dari awal berniat mengawal Nia sampe ke rumahnya, nggak memperdulikan apa yang dia isyaratkan. Aku malah pura-pura nggak liat dia sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas di atas motor.

Kesal dengan tingkahku, Nia berteriak.

“Cepet pulang!!!” seru Nia.

“Nggak mau..” jawabku.

“Pulang!!!”

“Aku baru mau pulang kalau aku udah liat kamu nyampe di depan rumah.”

“Iyah! Ini juga aku mau pulang..!”

Melihat Nia yang begitu gigih menyuruhku pulang, aku menyerah. Aku pun pergi. Hatiku hancur. Semua perhatian yang kutujukan untuknya terasa sia-sia.

“Pulang! Atau aku nggak mau temenan sama kamu lagi!” ancam Nia.

“Iya aku pulang!” balasku ketus.

Aku tancap gas. Dan berhenti di depan gang rumah Nia. Aku bersembunyi di balik pohon palem. Aku masih ragu Nia jadi pulang atau enggak. Lima menit kemudian Nia melintas di depan gang dan berhenti di sana. Rupanya dia tau kalau aku bersembunyi di balik pohon.

“Ya ampun! Kamu belum pulang juga?!” tanya Nia penasaran.

“Iya aku pulang!!!” aku buru-buru menyalakan mesin dan pergi.

Kabuuuurrrrr!

***

Singkat kata, setelah melarikan diri dari kemarahan Nia, aku berhenti di pelataran toko yang sudah tutup. Aku mencoba berlindung dari hujan yang tiba-tiba saja turun tanpa memberi tanda sebelumnya.

Badanku menggigil kedinginan. Hujan yang disertai angin itu tidak sungkan-sungkannya menerpa tubuhkuku yang hanya dilindungi sehelai kaos oblong. Huh! Dimana rembulan yang selalu menemaniku di setiap malam? Saat ini aku benar-benar merasakan kegelapan telah menyelimutiku.

Beep.. Beep.. Beep..

Suara pesan masuk seakan menyadarkanku dari lamunan panjang. Sebuah pesan datang dari seseorang yang sama sekali tak kuduga. Nia.

Nia: Makasih ya udah buat aku ketawa tadi, walaupun sekarang aku sedih lagi.

Aku: Sama-sama Ni. Kan, sesama teman harus saling menghibur..

Nia : Udah nyampe rumah belum?

Aku : Belum, masih di jalan, nungguin ujan.

Nia : Jalan mana? Aku bawain jas ujan ya...

Aku : Nggak usah Ni. Aku nggak apa-apa kok..

Nia : Beneran.. Sebelah mana, ih?!! Aku anterin jas ujan.

Aku : Nggak usah Ni. Nanti kamu sakit, lagian ujannya juga udah mau reda kok.

Nia : Yawdah...

‘Yawdah??’ Cuma gitu aja? Aku kira bakal ada kata lanjutannya lagi. Hiks. Padahal tadi aku udah berharap ujan nggak berenti-berenti sampe pagi. Trus Nia dengan cantiknya datang membawakanku jas hujan. Huh! Cuma mimpi.
*****
Editor: Zuki Rama