Baca Juga
Konsep Batas Wilayah Negara Di Nusantara, Kajian Historis
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak 17 Agustus 1945 Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka. Namun demikian pada waktu itu kemerdekan tersebut lebih bersifat politis. Secara politis sejak saat itu bangsa Indonesia telah menyatakan dirinya bebas dari belenggu kolonialisme bangsa lain, namun di bidang kehidupan yang lain seperti ekonomi dan hukum, Indonesia masih belum dapat lepas sepenuhnya dari bekas kolonialis Belanda. Di bidang ekonomi, hampir semua perusahaan besar dan menengah masih dimiliki oleh orang-orang Belanda ataupun orang asing lainnya. Bahkan Indonesia pada saat belum mampu untuk segera melakukan dekolonisasi sistem ekonomi. Cita-cita untuk mengganti sistem ekonomi kolonial yang bersifat kapitalistik ke sistem ekonomi nasional yang berbasiskan keadilan sosial membutuhkan waktu yang sangat panjang dari yang diperkirakan sebelumnya. Bahkan gagasan untuk membangun ekonomi berdikari (mandiri) yang diproyeksikan menjadi sistem ekonomi nasional juga kandas sejalan dengan runtuhnya kepemimpinan presiden yang pertama (Soekarno).
Dekolonisasi di bidang hukum bahkan menjadi persoalan yang sangat pelik yang hingga saat ini jauh dari tuntas. Di samping masih banyak materi hukum dan produk undang-undang yang dipakai begitu saja oleh pemerintah Indonesia, juga paradigma atau ideologi hukum kolonial Belanda itu sendiri masih belum banyak mengalami perubahan meskipun telah merdeka 65 tahun lebih. Seorang pengamat hukum dan konstitusi mengatakan:
’Sampai sekarang pun reformasi hukum belum menampakkan hasilnya. Bahkan boleh dibilang berjalan di tempat untuk tidak mengatakan mengalami kegagalan. Sebab sekalipun selama ini kita telah menghasilkan begitu banyak perundang-undangan, namun secara substansial belum ada artinya karena bagian terbesar dari hukum pokok yang berlaku sekarang masih merupakan peninggalan kolonial Belanda. Itu berarti secara ideologi hukum sebenarnya kita belum beranjak dari paradigma hukum kolonial. Ideologi hukum kolonial sudah jelas tidak mengakui adanya kesamaan derajat di depan hukum di antara sesama warga (diskriminatif), bersifat represif, otoriter dan feodalistik’.
Salah satu contoh warisan hukum kolonial Belanda yang lebih berpihak pada penguasa yang sering menjadi bahan perdebatan adalah haatzaai artikelen (pasal-pasal penyebarluasan perasaan permusuhan dan kebencian dalam masyarakat terhadap pemerintah yang sah) dalam KUHPidana (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Dalam Pasal 154 dikatakan, barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah RI, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. Dalam hal ini penafsiran terhadap ''perasaan permusuhan'', ''kebencian'' dan ''penghinaan'' menjadi monopoli penguasa.
Suatu hal yang sangat menarik adalah bahwa dekolonisasi yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia di bidang hukum laut (maritime law) berhasil dengan sangat gemilang. Di tengah-tengah kondisi perekonomian yang masih bergantung kepada Belanda dan negara-negara Barat lainnya, Indonesia sangat berani melakukan dekolonisasi hukum laut meskipun mendapat tentangan dari Belanda dan Amerika, yaitu dengan keluarnya Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957. Dekolonisasi hukum laut ini pada akhirnya bukan hanya berdimensi nasional tetapi juga memiliki implikasi pada tataran internasional. Artikel ini akan mengkaji sejarah perjalanan proses dekolonisasi di bidang hukum laut Indonesia dan mengapa munculnya konsep batas laut negara begitu cepat berkembang sebagai wacana publik yang bukan hanya berskala nasional, tetapi juga internasional. Selain itu artikel ini juga akan menelusuri perkembangan konsep mengenai batas wilayah negara khususnya wilayah laut dalam sejarah Nusantara.
Negara Bahari: Geografis dan Historis
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas yaitu tanah sekitar 1,937 juta km2, luas laut kedaulatan 3,1 juta km2, dan luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta km2. Jarak dari barat ke timur lebih panjang dari pada jarak antara London dan Siberia sebagaimana yang pernah digambarkan oleh Multatuli. Indonesia merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 18.108 pulau besar dan kecil. Termasuk dalam kawasan kepulauan ini adalah pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, sekitar tiga perempat Borneo, Sulawesi, kepulauan Maluku dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, dan separoh bagian barat dari pulau Papua dan dihuni oleh ratusan suku bangsa. Pulau-pulau ini terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81,000 km dan sekitar 80 persen dari kawasan ini adalah laut. Jadi di dalam daerah yang demikian luas ini terkandung keanekaragaman baik secara geografis, ras maupun kultural yang seringkali menjadi kendala bagi proses integrasi nasional. Dengan konstruksi kewilayahan yang semacam itu laut merupakan unsur yang dominan dalam sejarah Indonesia.
Sebagai kawasan bahari (insular region), Indonesia tidak hanya memiliki satu "laut utama" atau heartsea tetapi paling tidak ada tiga laut utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda. Di antara kawasan-kawasan laut yang disebutkan di atas, kawasan Laut Jawa merupakan kawasan jantung perdagangan laut kepulauan Indonesia. Kawasan Laut Jawa telah terintegrasi oleh jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum datangnya bangsa Barat. Bahkan menurut Houben, Laut Jawa bukan hanya sebagai laut utama bagi Indonesia, tetapi juga merupakan laut inti bagi Asia Tenggara. Peranan kawasan Laut Jawa dan jaringan Laut Jawa masih dapat dilihat sampai saat ini. Jadi dapat dikatakan bahwa Laut Jawa merupakan Mediterranean Sea bagi Indonesia, bahkan bagi Asia Tenggara. Sebagai “Laut Tengah” kepulauan Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, sudah barang tentu Laut Jawa menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai komunitas yang berada di sekitarnya baik dalam kegiatan budaya, politik, maupun ekonomi. Kondisi geografis dan ekologis yang lebih bercorak kebaharian itulah yang menempa bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari di dalam perjalanan sejarahnya.
Sejak awal abad masehi telah memprekondisikan penduduk kepulauan Indonesia terlibat secara aktif dalam pelayaran dan perdagangan internasional antara dunia Barat (Eropa) dengan dinia Timur (Cina) yang melewati selat Malaka. Dalam hal ini penduduk Nusantara tidak menjadi objek aktivitas perdagangan itu, tetapi telah mampu menjadi subjek yang menentukan. Bukan merupakan suatu kebetulan jika berbagai daerah di Nusantara memproduksi berbagai komoditi dagang yang khas agar bisa ambil bagian aktif dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan itu. Bahkan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit telah menguasai pintu gerbang pelayaran dunia yaitu Selat Malaka. Dari kegiatan perdagangan itulah kemudian muncul berbagai kerajaan maritim besar di Indonesia pada periode berkembangnya agama Hindu dan Budha seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang berhasil menguasai Selat Malaka dan perdagangan Nusantara selama beberapa abad lamanya.
Pada masa selanjutnya, yaitu pada jaman kerajaan-kerajaan Islam, ketika perdagangan rempah-rempah sangat ramai, jalur-jalur perdagangan antar pulau di Nusantara misalnya antara Sumatera-Jawa, Jawa-Kalimantan, Jawa-Maluku, Jawa-Sulawesi, Sulawesi-Maluku, Sulawesi-Nusa Tenggara, dan sebagainya, menjadi bagian yang inheren dalam konteks perdagangan internasional. Bahkan mungkin negeri Cina bukan satu-satunya tujuan utama perdagangan internasional, tetapi juga kepulauan Indonesia. Selama periode penyebaran Islam ini telah muncul berbagai kerajaan maritim yang bercorak Islam di kawasan Nusantara seperti kerajaan Samudera Pasai, Aceh, dan Palembang di pulau Sumatra; Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten di pulau Jawa; Kerajaan Banjarmasin di pulau Kalimantan; Kerajaan Makassar di Sulawesi; Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku, dan sebagainya. Selama abad ke-15 hingga abad ke-17 mereka-lah yang menguasai perdagangan di kepulauan Nusantara.
Hal ini berkembang lebih pesat lagi ketika orang-orang Eropa mulai datang sendiri ke Nusantara untuk mencari komoditi rempah-rempah. Indonesia mampu bertindak sebagai besi semberani yang menarik para pedagang dari seluruh penjuru dunia. Sebagai konsekuensinya jalur perdagangan dunia yang menuju ke Nusantara bukan hanya route tradisional lewat selat Malaka saja tetapi juga route yang mengelilingi benua Afrika kemudian menyeberangi Samudera Hindia langsung menuju kepulauan Indonesia. Di samping itu bangsa Spanyol dengan gigihnya juga berusaha mencapai Indonesia dengan menyeberangi Samudera Atlantik dan Pasifik.
Pada saat pertama kali bangsa-bangsa Barat datang di perairan Nusantara batas wilayah laut belum merupakan persoalan yang penting di antara kekuatan-kekuatan lokal di Nusantara sebab mereka menggunakan prinsip perairan bebas. Namun demikian persoalan batas wilayah ini menjadi persoalan yang serius ketika bangsa-bangsa Barat mulai memperoleh kemenangan-kemenangan dalam konflik dengan kekuatan lokal. Mereka kemudian menentukan batas-batas wilayah laut tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masyarakat lokal baik di bidang ekonomi maupun politik.
Pada saat datangnya bangsa-bangsa Barat, perdagangan Nusantara sudah memiliki supply and demand yang relatif teratur baik dari segi perdagangan internasional maupun perdagangan antardaerah. Sistem perdagangan laut yang relatif sudah mapan mengalami penyesuaian-penyesuaian setelah banga-bangsa Barat bisa menanamkan dominasinya di Nusantara. Sistem perdagangan yang dipersenjatai (armed-trading system) yang telah dikembangkan oleh bangsa-bangsa Barat menyebabkan para pelaut lokal semakin tersingkir.
O.W. Wolters mengatakan bahwa laut di Asia Tenggara merupakan area yang netral di mana para penguasa baik penduduk asli maupun para pendatang berusaha untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka. Hingga datangnya bangsa-bangsa Barat, para penguasa lokal di Nusantara cenderung telah menerapkan kebijakan laut bebas (free ocean policy) yang dalam istilah Barat disebut sebagai mare liberum. Contoh menarik dari persoalan ini dapat dilihat dari kasus hubungan yang penuh ketegangan antara Makassar dengan VOC pada awal abad XVII. Pada tahun 1616, VOC di Ambon mengirim delegas1i ke Makassar. Mereka melarang orang Makassar untuk melakukan perdagangan dengan kepulauan Maluku tetapi penguasa Makassar menentang larangan ini. Pada tahun 1607, jauh sebelum penaklukan Belanda atas Makassar, Sultas Ala’uddin mendeklarasikan kepada Belanda bahwa negerinya tebuka kepada semua bangsa termasuk Belanda dan Portugis. Oleh karena itu jika Belanda memaksakan untuk melarang orang-orang Makassar berlayar ke Maluku maka itu berarti Belanda telah mengibarkan bendera perang.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa datangnya banyak bangsa Barat di perairan Nusantara menyebabkan kawasan ini menjadi battle field di antara kekuatan-kekuatan yang bersaing. Tidak mengherankan jika periode ini selalu diwarnai dengan persaingan, konflik dan peperangan laut yang tak terhitung jumlahnya. Pada prinsipnya perang yang terjadi pada periode ini merupakan perang memperebutkan monopoli perdagangan.
Dalam hubungan itu akhirnya VOC memperoleh kemenangan yang gemilang di beberapa daerah di Nusantara termasuk Malaka. Ada beberapa kunci kemenangan VOC antara lain: penerapan politik devide at impera, memecah belah dan menguasainya. Taktik ini memang tidak selalu disengaja, tetapi kadang-kadang hanya memanfaatkan dan memperbesar konflik yang telah ada sebelumnya. Dengan cara demikian akhirnya VOC dapat menguasai titik-titik penting ekonomi Nusantara. Setelah perusahaan dagang ini bangkrut tahun 1799, segala asetnya diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda yang melanjutkan dan memperluas kolonisasi di kepulauan Indonesia hingga tahun 1942 ketika bala tentara Jepang mengusirnya dari Indonesia.
Konsep Batas Laut pada Masa Akhir Pemerintah Kolonial Belanda
Seperti diketahui bahwa pada abad ke-17 seorang tokoh hukum Belanda yang bernama Grotius (1609) mengemukakan bahwa ’laut tidak dapat dijadikan milik suatu negara karena tidak dapat dikuasai dengan tindakan okupasi , dengan demikian menurut sifatnya, lautan adalah bebas dari kedaulatan negara manapun’. Jadi pada waktu itu Belanda tampaknya menganut paham ’mare liberum’ (laut bebas). Hampir bisa dipastikan bahwa pendapat itu mncerminkan kepentingan dan posisi Belanda pada waktu itu dalam penjelajahan samudera. Seperti diketahui bahwa pada tahun-tahun itu pelayaran orang-orang Belanda masih di bawah bayang-bayang Portugis dan Spanyol yang sedang dalam kondisi konflik dengan negeri Belanda. Selain itu Belanda juga sedang membutuhkan legalitas untuk berlayar dan mendatangi pelabuhan manapun yang diinginkannya.
Namun demikian ketika VOC sudah mulai berhasil merebut berbagai pelabuhan dan menguasai jaringan pelayaran di Nusantara, mereka justru mnunjukkan prilaku yang sebaliknya. Mereka menegakkan monopoli perdagangan dan melarang suku bangsa tertentu untuk melakukan pelayaran di perairan tertentu. Contoh menarik dari persoalan ini dapat dilihat dari kasus hubungan yang penuh ketegangan antara Makassar dengan VOC pada awal abad XVII. Pada tahun 1616, VOC di Ambon mengirim delegasi ke Makassar. Mereka melarang orang Makassar untuk melakukan perdagangan dengan kepulauan Maluku, tetapi penguasa Makassar menentang larangan ini. Menurut kepercayaan mereka, Tuhan telah membagi bumi secara adil kepada semua bangsa, tetapi laut diberikan kepada semua manusia tanpa membedakan kebangsaan mereka. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima oleh orang Makassar jika Belanda melarangnya untuk berlayar ke Maluku yang sudah dilakukannya sejak berabad-abad sebelumnya. Jika VOC melakukan hal itu maka berarti VOC telah merampas penghidupan orang-orang Makassar. Oleh karena itu jika Belanda memaksakan untuk melarang orang-orang Makassar berlayar ke Maluku maka itu berarti Belanda telah mengibarkan bendera perang.
Kontrol yang ketat dan berbagai aturan yang membatasi dan melarang aktivitas pelyaran dan perdagangan juga diterapkan di daerah-daerah lain yang telah ditaklukkannya seperti yang dilaksanakan di Jawa. Dengan cara demikian akhirnya VOC berhasil melumpuhkan kekuatan pelayaran dan perdagangan pribumi di Nusantara. Memang kemudian ada pedagang-pedagang dari kelompok etnik tertentu yang ’melarikan diri’ ke daerah lain untuk menghindari kontrol Belanda seperti orang Bugis dan Makassar yang menegakkan hegemoni di Semenanjung Melayu.
Sementara itu untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Eropa lainnya, VOC melakukan monopoli pembelian produk-produk dari penduduk pribumi sehingga kapal-kapal non-VOC menghadapi kesulitan untuk memperoleh muatan. Selain itu VOC juga melarang kapal-kapal asing untuk singgah di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai VOC kecuali di beberapa pelabuhan yang telah ditetapkan secara khusus untuk pelayaran internasional. Di pelabuhan-pelabuhan ini biasanya Belanda sudah memiliki kontrol yang sangat ketat. Dengan sistem penegakan hukum laut seperti itu VOC mampu mendominsi dunia maritim Nusantara selama kurang lebih dua abad.
Setelah menerima penyerahan dari VOC pda tahun 1799, pemerintah kolonial Belanda rupanya tetap mempertahankan konservatifisme kebijakan sebagaimana yang dilakukan oleh VOC, yaitu melakukan tekanan dan monopoli yang sangat ketat terhadap kekuatan pribumi serta melakukan pembatasan-pembatasan terhadap kapal-kapal asing untuk berlabuh hanya di beberapa pelabuhan di bawah administrasi yang ketat dari pemerintah kolonial Belanda. Sistem yang demikian menjadi semakin sempurna ketika Belanda mampu mengembangkan jaringan pelayaran domestik dengan kapal uap yang tergabung dalam perusahaan pelayaran paket KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij/ Perusahaan Pelayaran Paket Kerajaan) sejak tahun 1888.
Dalam konteks hukum laut, sebetulnya hingga tahun 1936 pemerintah kolonial Belanda hanya mengatur hal-hal yang lebih bersifat teknis dan terutama yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi seperti pengaturan tentang pelabuhan-pelabuhan pantai dan pelabuhan internasional, ijin prkapalan, peraturan tentang pemanduan kapal di pelabuhan, bea cukai, angkutan minyak, perikanan dan sebagainya. Baru pada tahun 1939 pemerintah kolonial Belanda menerbitkan undang-undang yang mengatur hukum laut yang lebih komprehensif denga keluarnya Staatblad tahun 1939 No. 442 mengenai ’Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie’ (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim). Dapat diduga dengan kuat bahwa keluarnya undang-udang ini berhubungan dengan perkembangan perang di Eropa di mana Jerman telah menunjukkan kemenangan-kemenangannya. Pada waktu itu negeri belanda menjadi salah satu sasaran empuk agresi Jerman. Salah satu upaya untuk mngamankan Hindia Belanda adalah dengan mnerbitkan undang-undang kelautan. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa laut teritorial Hindia Belanda adalah tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulau (termasuk batu karang dan gosong) atau bagian-bagian pulau yang termasuk wilayah Hindia Belanda. Di luar jarak tiga mil itu merupakan laut internasional atau laut bebas. Jadi dengan demikian pada waktu itu Hindia Belanda menggunakan konsep ’pulau demi pulau’ sehingga fungsi laut dalam negara kepulauan sebagai pemisah. Jarak tiga mil dihitung dari jangkauan jarak tembak meriam kapal pada waktu itu. Dengan demikian kapal-kapal musuh dpat mengintai atau bahkan memblokade pulau-pulau di Hindia Belanda di perairan di luar jarak tiga mil.
Ordonansi tersebut berlaku hingga tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 ordonansi tersebut berlaku kembali sebab semua produk hukum kolonial Belanda yang belum dinyatakan tidak berlaku oleh pemerintah Republik Indonesia masih tetap berlaku. Hal ini diatur dalam Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 pasal 2. Pada waktu itu Republik Indonesia belum sempat membuat produk-produk hukum untuk mengganti hukum kolonial.
Konsep Batas Laut dalam Kemelut Konflik pada Masa Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata juga belum menyelesaikan masalah mengenai hubungan-hubungan kolonial antara Indonesia dan Belanda. Bahkan pernyataan kemerdekaan itu merupakan awal dari sebuah konflik berkepanjangan antara kekuatan bekas kolonialis Belanda yang ingin berkuasa kembali dan bekas bangsa terjajah yang ingin tetap mempertahankan kemerdekaannya. Konflik dan peperangan antara Indonesia dan Belanda itu terutama bersumber dari ketidakmauan Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda tidak mau mengakui perubahan-perubahan yang telah terjadi di Indonesia selama Perang Dunia II. Mereka menginginkan agar tentara pendudukan Jepang melalui tentara Sekutu (Allied Forces) menyerahkan Indonesia kepada Belanda sebagaimana status quo sebelum direbut oleh Jepang pada tahun 1942. Belanda tidak mau menyadari bahwa telah terjadi perubahan-perubahan psikologis yang luar biasa dari bangsa Indonesia selama pendudukan Jepang yang tidak mungkin dikembalikan lagi seperti keadaan sebelum perang. Perubahan psikologis itu terutama menyangkut pertumbuhan semangat nasionalisme yang tidak hanya dimiliki oleh sekelompok elite intelektual tetapi sudah merambah di kalangan rakyat jelata. Mereka tidak ingin lagi dijajah oleh kekuatan kolonial. Mereka ingin hidup sebagai bangsa merdeka meskipun harus berjuang hingga titik darah yang pengabisan.
Dalam konteks semangat yang seperti itulah dapat dipahami jika peperangan demi peperangan segera meletus di berbagai daerah di Indonesia setelah para kolonialis Belanda yang tergabung dalam NICA (Netherlands Indies Civil Admistration) datang di Indonesia dengan cara membonceng pasukan Sekutu yang akan mengurus tawanan perang Jepang. Oleh karena pengalaman tempur pasukan Belanda yang didukung dengan persenjataan yang lebih canggih akhirnya Belanda menguasai berbagai wilayah khususnya kota-kota pelabuhan dan daerah-daerah perkebunan yang sebelum Perang Dunia menjadi sumber ekonomi utama pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan para tentara dan sukarelawan Indonesia menguasai daerah pedalaman dan melaksanakan taktik perang gerilya.
Untuk melumpuhkan kekuatan Indonesia di wilayah-wilayah yang dikuasainya, di samping melakukan blokade darat NICA juga melakukan blokade laut. Dengan demikian daerah-daerah yang diduduki oleh RI tidak dapat melakukan perdagangan guna membiayai perang gerilya melawan Belanda. Blokade laut oleh Belanda ini sangat dimungkinkan sebab mereka memiliki kapal-kapal perang yang memadai untuk melakukan patroli di perairan Indonesia, sedangkan armada RI sangat minim. Bahkan para pedagang hanya menggunakan kapal-kapal kayu yang tersisa dari masa pendudukan Jepang. Di samping itu blokade laut oleh balenda ini juga sangat dimungkinkan karena sistem hukum laut Indonesia pada waktu itu masih menggunakan asas ’pulau demi pulau’ dengan perairan teritorial sepanjang 3 mil laut. Dengan demikian kekuatan angkatan laut Belanda dapat dapat mengepung daerah-daerah RI dari jarak di luar 3 mil. Tentu saja hukum laut yang demikian ini dirasakan sangat merugikan perlawanan gerilyawan RI. Namun demikian RI tidask dapat berbuat banyak. Jangankan untuk mengubah asas hukum laut, mempertahankan eksistensinya saja masih harus berjuang mati-matian. Pada akhirnya hanya dengan mengandalkan dukungan rakyat dan semangat perjuangan untuk merdeka serta dukungan dari mediasi internasional peperangan Indonesia – Belanda selama periode 1945-1949 dapat diakhiri dengan tercapainya Konperensi Meja Bundar (KMB) di mana Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949.
Namun demikian ternyata KMB juga masih menyisakan bibit-bibit konflik yang baru. Meskipun dalam KMB itu Belanda mengakui kedaulatan RI namun tidak termasuk Papua Barat. Belanda berjanji akan menyelesaikan masalah Papua Barat selambat-lambatnya satu tahun setelah pengakuan kedaulatan. Dengan demikian seharusnya masalah Papua Barat sudah harus selesai paling lambat tanggal 27 Desember 1950. Pada kenyataannya persoalan Papua Barat menjadi berlarut-larut karena Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja daerah ini kepada Indonesia, sedangkan Indonesia menuntut harga mati bahwa Papua harus menjadi bagian dari wilayah RI. Oleh sebab itu hubungan antara dua negara ini selanjutnya selalu diwarnai dengan ketegangan dan saling mencurigai. Dalam pada itu Belanda selalu berusaha untuk mencari hati kepada penduduk setempat dan berusaha membuka Papua Barat untuk komunikasi dengan dunia luar serta ingin menunjukkan bahwa Belanda menangani dengan serius pengelolaan Papua Barat.
Hubungan itu menjadi semakin tegang setelah terbukti bahwa Belanda membantu gerakan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku untuk memisahkan diri dari RI. Dalam hubungan inilah KPM yang merupakan perusahaan pelayaran Belanda yang dipandang sebagai simbol dari kekuasaan kolonial yang pada waktu itu masih beroperasi di Indonesia kembali disorot secara tajam terutama di kawasan Indonesia bagian timur. Selama periode ini KPM benar-benar diawasi oleh pemerintah RI. Diduga kuat bahwa suplai senjata para pemberontak RMS dilakukan oleh KPM. Apabila dicurigai, tentara Indonesia tidak segan-segan untuk menggeledah kapal-kapal KPM yang akan menuju ke Indonesia Timur. Untuk itu pada tahun 1950 trayek KPM No. 4 jurusan Jakarta - Sorong via Makassar dan Ambon ditutup sementara karena adanya ketegangan dan krisis tentang RMS.
Kesulitan yang lebih berat juga dialami oleh kapal KPM “van Riemsdijk” pada bulan Juni 1950. Di Jakarta kapal yang berlayar teratur dari Singapura ke Sorong ini dirampok di Tanjung Priok karena dituduh sebagai pengangkut para kolonialis ke Papua Barat. Tragisnya kapal ini di Surabaya juga mengalami hal yang sama. Bagasi di ruang tenaga kerja dan milik penumpang lainnya diambil-alih oleh perampok. Polisi baru datang setelah peristiwa itu selesai. Namun demikian para penumpang dikumpulkan di embarkasi dan tidak boleh keluar karena tidak memiliki ijin. Baru setelah perundingan yang panjang akhirnya penumpang yang ingin naik pesawat udara diperbolehkan sedangkan sisanya diharuskan tetap tinggal di embarkasi. Bahkan kedatangan kapal “van Reimsdijk” di Makassar juga menimbulkan kerusuhan.
1Isu-isu juga muncul bahwa penyelundupan senjata ke Papua Barat dilakukan lewat Filipina yang dilakukan oleh petualang Amerika Myer Schartzt sehingga pemerintah Sukarno harus mengirimkan utusan ke Manila untuk melakukan investigasi. Namun demikian pihak pemerintah Amerika tidak mengakui bahwa ada laporan inteligen mengenai penyelundupan senjata ke Papua Barat.
Jadi tergambar dengan jelas bahwa sudah masanya bagi KPM untuk menyadari bahwa tidak seperti dulu lagi ketika pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa. Dalam situasi konflik antara Belanda dan Indonesia mengenai Papua Barat, KPM benar-benar berada dalam posisi yang sulit yaitu antara memihak kepada Belanda sebagai satu bangsa dan bekas patronnya dan memihak kepada Indonesia yang kurang memberikan kepastian akan masa depannya. Namun akhirnya pada puncak konflik itu KPM mendukung Belanda untuk membantu mengangkut tentara dan peralatan perang di daerah Papua Barat.
Sejalan dengan semakin memburuknya situasi politik yang berkaitan dengan sengketa masalah Papua Barat pada akhir 1957, para direktur lokal KPM mulai pesimis. Kelompok sayap kiri mulai melakukan aksi pemogokan termasuk di kalangan karyawan KPM yang berasal dari orang Indonesia. Bahkan pada tanggal 3 Desember 1957 para serikat buruh kiri melakukan pengambilalihan kantor pusat KPM di Jakarta. Meskipun pada mulanya pemerintah menyangkal bahwa pihaknya mendukung aksi sepihak ini, namun pemerintah juga sama sekali tidak melakukan tindakan untuk mencegah aksi itu. Bahkan pada tanggal 6 Desember 1957 Menteri Perhubungan mengumumkan persetujuannya atas pengambilalihan KPM. Namun demikian berbeda dengan perusahaan-perusahaan lain, KPM tidak bisa dinasionalisasi dalam arti yang sesungguhnya sebab dalam waktu singkat direksi KPM di Jakarta sudah dapat memberi kabar mengenai pengambilalihan tersebut kepada semua kapal yang sedang berlayar sehingga kapal-kapal itu dapat menghindar dari gerakan pengambialihan tersebut. Meskipun memang benar bahwa kantor-kantor KPM diambilalih oleh kekuatan gabungan buruh dan tentara namun yang terjadi bukanlah nasionalisasi tetapi pengusiran KPM.
Keputusan pengusiran terhadap KPM tidak bisa dipisahkan dengan perkem-bangan-perkembangan politik nasional pada waktu, terutama dalam hubungannya dengan ketegangan hubungan antara Indonesia dan Belanda dalam masalah Papua Barat. Meskipun menimbulkan kelompok yang pro dan kontra terhadap nasionalisasi dan ekspulsi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, namun karena agresifitas kelompok-kelompok politik di tengah-tengah masyarakat menyebabkan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda menjadi tidak terkontrol. Demikian juga pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa meskipun akhirnya menyetujuinya pada saat proses itu sudah berjalan. Dengan adanya pengusiran ini maka dominasi KPM selama setngah abad lebih di perairan Indonesia tamatlah sudah.
Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan ketegangan dan konflik antara Indonesia dan Belanda itu telah mendorong pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali sistem hukum laut yang masih dipakai oleh Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda yang dalam konflik itu sangat merugikan pihak Indonesia. Seperti diketahui bahwa Ordonansi tahun 1939 menetapkan laut teritorial bagi tiap-tiap pulau selebar 3 mil sehingga memunculkan ’kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah negara, di mna kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas. Ordonansi ini juga berlaku bagi kapal-kapal perang Belanda yang tidak mungkin dilarang oleh Indonesia. Dengan demikian konflik antara Indonesia dan Belanda mengenai Papua Barat berlarut-larut apalagi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga tidak mampu berbuat banyak untuk menghentikan konflik ini. Oleh karena itu Indonesia segera mengmbil ’jalan lain’ dengan melakukan konfrontasi dengan Belanda di segala bidang. Target pertama adalah menghancurkan kepentingan monopoli ekonomi Belanda di Indonesia dengan cara melakukan nasionalisasi dan pengusiran perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia yang secara formal dilakukan sejak 3 Desember 1957.
Tindakan pemerintah RI ini jelas menimbulkan reaksi keras dari Belanda. Oleh sebab itu Belanda segera mengirimkan kapal-kapal perang di perairan Indonesia terutama untuk menjaga Papua Barat agar tidak direbut oleh Indonesia secara paksa. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi laut-laut di antara pulau-pulau di Indonesia karena memang hukum laut internasional yang dianut oleh Indonesia masih memungkinkannya. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya apalagi kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih jauh ketinggalan dengan Belanda. Kondisi yang demikian itu jelas menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit pada saat RI ingin melakukan konfrontasi di segala bidang dengan Belanda. Oleh sebab itu di tengah-tengah konflik dengan Belanda tersebut mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia yang sangat menguntungkan agresor asing.
Pemikiran untuk mengubah Ordinansi tahun 1939 ciptaan pemerintah kolonial Belanda tersebut sebetulnya sudah dimulai pada tahun 1956. Pada tahun itu pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia. Desakan ini juga didukung oleh departemen-departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Perlanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya pada tanggal 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956. Panitia ini di bawah pimpinan Kolonel Laut R.M.S. Pirngadi.
Setelah bekerja selama 14 bulan akhirnya ’panitia Pirngadi’ berhasil menyelesaikan konsep ’RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim’. Pada prinsipnya RUU ini masih mengikuti konsep Ordonansi tahun 1939 hanya bedanya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari 3 mil menjadi 12 mil. Panitia ini belum berani mengambil berbagai kemungkinan resiko untuk menetapkan asas straight base line atau asas ’from point to point’ mengingat kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih belum memadai. Sebelum RUU ini disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan dengan Kabinet Djuanda. Sejalan dengan ketegangan-ketegangan yang terjadi antara Belanda dengan RI maka Pemerintah Djuanda lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda yang lebih unggul dalam pengalaman perang dan persenjataannya. Untuk itu sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI. Akhirnya ia memberikan gambaran ’Asas Archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya namun tidak berani untuk menerapkannya dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap RUU itu maka dibuatlah konsep ’Asas Negara Kepulauan’.
Dengan menggunakan ’Asas Archipelago’ sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’Archipelagic State’ yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia. Dalam sidangnya tanggal 13 Desember 1957 akhirnya Dewan Menteri memutuskan penggunaan ’Archipelagic state Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’. Dalam pengumuman ini pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan dan/ atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dri wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
Dengan keluarnya pengumuman tersebut maka wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau dan laut-laut yang menghubungkan antara pulau-pulau itu. Dengan demikian wilayah Indonesia tidak terpisah-pisah lagi oleh laut antara satu pulau dengan pulau yang lainnya. Hal ini sesuai dengan bunyi Pengumuman Pemerintah tersebut yang menyatakan:
’Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri. Bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat’.
Demikian juga dengan dikeluarkannya pengumuman tersebut berarti Ordinansi tahun 1939 yang merupakan warisan kolonial tidak berlaku lagi:
’Penentuan batas lautan territorial seperti termaktub dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie1939 (Stbl. 1939 N0. 422 Artikel 1 Ayat (1) tidak berlaku lagi sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri’.
Dengan demikian tonggak penting dalam proses dekolonissi hukum Belanda telah terjadi pada tahun 1957, yaitu 12 tahun stelah Indonesia merdeka.
Reaksi Internasional
Setelah Dewan Menteri pada malam tanggal 13 Desember 1957 bersidang untuk memutuskan Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia, maka pada esok harinya pengumuman tersebut disebarluaskan melalui pers dan radio baik di dalam maupun di luar negeri. Reaksi yang keras bisa diduga terutama berasal dari luar negeri. Banyak komentar yang pedas melalui siaran radio dan pers ditujukan kepada pemerintah RI. Bahkan mulai tanggal 30 Desember 1957 mengalir nota protes diplomatik dari negara-negara maritim besar melalui Departemen Luar Negeri RI. Nota protes diplomatik itu bersal dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958).
Reaksi dan protes keras dari berbagai negara besar tersebut sudah diperhitungkan oleh pemerintah Indonesia. Hal inipun sudah dicantumkan dalam pengumuman bahwa: ’Pendirian pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konperensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa’. Oleh sebab itu sebetulnya Indonesia sudah siap mental menghadapi kecaman baik lewat media massa maupun lewat nota protes diplomatik. Bahkan pemerintah Indonesia sudah siap berdebat dalam forum internasional dalam Konperensi Hukum Laut Internasional di Jenewa tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958.
Delegasi RI pada waktu itu diketuai oleh Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss. Anggota-anggota delegasi antara lain Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M. Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran) sebagai wakil ketua. Dalam konperensi itu, delegasi Indonesia diberi kesempatan untuk berpidato pada tanggl 7 Maret 1958. Dari pidato delegasi Indonesia inilah untuk pertama kali mayarakat politik dan hukum internasional mendengar uraian mengenai implementasi ’Archipalagic Principle’ atau asas archipelago terhadap suatu negara yang melahirkan ’Archipelagic State Principle’ yang pada waktu itu masih asing bagi dunia karena belum ada satupun negara di dunia yang mengimplementasikannya.
Setelah delegasi Indonesia menyampaikan pidatonya, muncullah reaksi yang keras dari para peserta terutama dari negara-negara yang dulu pernah menyampaikan nota protes diplomatik secara tertulis kepada pemerintah RI. Oleh karena protes ini dilakukan secara terbuka sehingga seluruh peserta yang hadir dalam sidang itu menjadi mengetahui isi pidato yang disampaikan oleh delegasi Indonesia. Salah satu kritikan pedas misalnya berasal dari ketua delegasi Amerika Serikat yang mengatakan:
’Now, for example, if you lump islands into archipelago and utilize a straight baseline system connecting the outermost points of such islands and then draw a twelve-mile area around the entire archipelago, you unilaterally attempt to convert or possibly even-internal waters, vast area of the high seas formerly freely used for centuries by ships of all countries…..by such an act, the freedom of navigation would be seriously restricted…. It would amount to the taking of other person’s property as the seas are held in common for the benefit of all people’.
Oleh karena merupakan isu baru maka masih sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara para peserta konperensi. Pada waktu itu hanya negara Filipina, Equador dan Yugoslavia saja yang bersimpati terhadap gagasan yang dimunculkan Indonesia. Namun demikian delegasi Indonesia tidak putus asa dan terus melakukan pendekatan-pendekatan terutama terhadap negara Asia dan Afrika dengan menggunakan isu semangat solidaritas konferensi Bandung. Selain itu delegasi Indonesia juga menyebarluaskan naskah ’The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea’ yang antara lain berisi terjemahan bahasa Inggris dari Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957. Sedikit demi sedikit akhirnya banyak Negara yang mulai simpati teradap perjuangan Indonesia.
Untuk memperkuat kedudukan Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember tersebut dalam sistem hukum di Indonesia, maka selanjutnya pemerintah mengupayakan untuk menetapkannya sebagai undang-undang. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/ 1960. Produk hukum inilah yang kemudian juga disampaikan pada Konperensi Hukum Laut PBB ke dua yang diselenggarakan tahun 1960. Delegasi Indonesia yang kembali diketuai Mr. Ahmad Soebardjo kembali menyampaikan Asas Negara Kepulauan dengan dasar hukum yang telah pasti dalam sidang itu. Namun demikian sidang juga belum mau mengesahkan usulan Indonesia.
Sementara itu di dalam negeri Indonesia sendiri konsep dan Asas Negara Kepulauan ini terus digodog. Pada tahun 1962 Mr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H. menyelesaikan disertasi di Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul Masalah Lebar laut Territorial pada Konperensi Hukum Laut Jenewa, 1958 dan 1960. Sementara itu pada tanggal 25 Juli 1962 Pemerintah menerbitkan PERPU No. 8/ 1962 mengenai ’Lalu-lintas Laut Damai (Innocent Passage) Kapal Asing dalam Perairan Indonesia’. Jadi dengan demikian meskipun secara internasional implementasi asas kepulauan ke dalam tata hukum di Indonesia belum diakui, tetapi koordinasi dan penyempurnaan di dalam negeri Indonesia terus dilakukan. Bahkan ketika Belanda sudah mau menyerahkan Papua Barat kepada PBB (Perserikatan bangsa-Bangsa) sebagai mediator pada tanggal 15 Agustus 1962 dan selanjutnya PBB menyerahkan kepada RI pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah RI terus menyempurnakan implementasi asas negara kepulauan dalam sistem hukum di Indonesia.
Sejalan dengan semakin pentingnya posisi militer dalam perpolitikan di Indonesia setelah kepemimpinan Orde Baru, maka pengembangan asas negara kepulauan untuk membangun sistem pertahanan di Indonesia semakin jelas. Pada tanggal 12-21 November 1966 diselenggarakan Seminar Hankam (Pertahanan dan Keamanan) I yang berhasil merumuskan Wawasan Nusantara yang merupakan pengembangan lebih rinci dari asas negara kepulauan. Pengembangan Wawasan Nusantara di kalangan militer terus berjalan sehingga dalam Rapat Kerja Hankam pada bulan November 1967 telah disepakati perwujuan Wawasan Nusantara sebagai kesatuan wilayah, politik, ekonomi, sosio-kultural, dan Hankam. Bahkan dalam periode berikutnya Wawasan Nusantara sebaai wawasan pembangunan menjadi salah satu Ketetapam MPR sejak tahun 1973 hingga runtuhnya Orde baru. Dengan demikian kesatuan wilayah tanah-air Indonesia tidak dapat ditawar-tawar lagi, konsep pulau-demi pulau sebagaimana yang dikembangkan pada jaman kolonial Belanda tidak akan dapat dipakai lagi.
Dalam tataran internasional, Indonesia terus berjuang untuk memperoleh pengakuan implementasi prinsip negara kepulauan yang diperjuangkan sejak Deklarasi Djuanda tahun 1957. Pada tahun 1971 Indonesia dipercaya menjadi salah satu anggota penuh Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konperensi Hukum Laut PBB. Dengan menjadi anggota komite ini, Indonesia dapat lebih leluasa untuk menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan sehingga secara internasional semakin mendapat pengakuan. Selain itu untuk menunjukkan kepada dunia sikap kooperatif Indonesia dengan negara tetangga maka serangkaian perjanjian bilateral dan multirateral diadakan khususnnya mengenai perbatasan luat dengan negara tetangga seperti Malaysia (1969), Singapura (1973), Thailand (1971), India (1974), dan Australia (1973). Perjanjian-perjanjian itu sebetulnya menunjukkan secara tidak langsung bahwa negara-negara itu telah mengakui prinsip negara kepulauan yang dianut oleh Indonesia.
Selanjutnya pda tanggal 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic Exclusive Zone Pemerintah Indonesia mengumumkan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/ 1983. Akhirnya pada Konvensi Hukum Laut Internasional pada tahun 1982 yang dihadiri oleh 160 negara telah menyetujui berbagai konvensi termasuk yang diusulkan oleh Indonesia mengenai ZEE dan prinsip negara kepulauan. Mengenai prinsip negara kepulauan dan ZEE dalam Konvensi Hukum Laut Internasional itu ditetapkan:
‘The convention set the definition of Archipelagic States in Part IV, which also define how the state can draw its territorial borders. A baseline is drawn between the outermost points of the outermost islands, subject to these points being sufficiently close to one another. All waters inside this baseline is described as Archipelagic Waters and are included as part of the state's territory and territorial waters. This baseline is also used to chart its territorial waters 12 nautical miles from the baseline and EEZ 200 nautical miles from the baseline’.
Dengan demikian usaha Indonesia untuk melakukan dekolonisasi sistem hukum laut kolonial sudah dapat tercapai pada tahun 1982. Proses dekolonisasi itu ternyata tidak hanya harus berhadapan dengan kekuatan kolonial Belanda yang masih memiliki kepentingan di sebagian wilayah Indonesia tetapi juga harus berhadapan dengan kekuatan internasional yang memiliki kepentingan yang beragam. Namun demikian berbagai tantangan itu justru memprekondisikan proses dekolonisasi hukum laut Indonesia itu lebih cepat dari hukum-hukum lainnya.
Menelusuri Perkembangan Konsep Batas Wilayah di Nusantara
Bagian ini akan mengkaji munculnya ide mengenai penyatuan wilayah daratan dan lautan yang seringkali diverbalisasikan dalam bentuk istilah ‘tanah-air’ yang menjadi dasar utama tuntutan Indonesia mengenai konsep negara kepulauan atau archipelagic state principle. Tuntuan ini pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang asing dalam sistem hukum laut internasional karena pada waktu itu belum ada satu negara pun di dunia yang sudah mengimplementasikannya. Pada waktu itu negara-negara maju biasanya menerapkan konsep sistem wilayah pulau demi pulau yang tentu saja tidak sesuai dengan ide mengenai konsep ‘tanah air’ tersebut.
Oleh karena itu sangat menarik untuk mengkaji sejarah muinculnya istilah ‘tanah-air’ ini dalam khasanah sejarah Indonesia. Istilah ‘tanah air’ atau kadang-kadang disebut sebagai ‘tanah tumpah darah’ (daerah tempat darah ditumpahkan/ tanah kelahiran) telah banyak digunakan oleh berbagai kelompok etnik di Nusantara untuk merujuk kepada daerah asal di mana seseorang dilahirkan. Pada awalnya, ketika berbagai kelompok etnik di kepulauan Indonesia belum mengenal konsep Indonesia, atau ketika mereka masih hidup dalam semangat ‘local patriotism’ atau ‘ethno-nationalism’, konsep ‘tanah tumpah darah’ mungkin mengacu kepada tempat kelahiran dalam bentuk desa atau kampung atau daerah di mana secara tradisional diklaim sebagai hak milik dari kelompok etnik tertentu. Istilah ini masih dapat dilacak dari istilah yang begitu tersebar di Nusantara seperti Tanah Jawa, Tatar Sunda, Negeri Minang, dan sebagainya.
Sebelum terjadinya ekspansi politik yang didasarkan atas etnisitas, masing-masing kelompok etnik tentunya sudah merupakan suatu kawasan budaya tersendiri. Hal ini berarti bahwa pada awalnya istilah ‘tanah air’ atau ‘tanah tumpah darah’ atau ‘tanah kelahiran’, dan sebagainya merupakan suatu konsep budaya atau cultural concept. Konsep ini berubah ketika kekuasaan politik yang berbasiskan etnisitas memperluas kekuasaan politiknya menembus batas-batas kawasan budaya kelompok etnik yang lain. Ketika kerajaan Majapahit di Jawa mulai melakukan ekspansi menembus batas kawasan budaya kelompok etnik lain misalnya, kemudian mereka menyebut daerah yang baru ditaklukkan dan dipengaruhi yang sebagian besar terletak di luar Jawa sebagai Nusantara sebagaimana disebut dalam kitab Negarakertagama.
Adalah konsep Nusantara yang selama periode pergerakan nasional di Indonesia ditemukan kembali (reinvented) dan direinterepretasi (reintrepreted) kembali oleh para tokoh pergerakan nasional. Konsep ‘nusantara’ dan ‘tanah-air’ secara evolosioner dipadukan menjadi konsep yang pada gilirannya selaras dengan konsep negara kepulauan atau archipelagic state principle pada pertengahan abad XX. Proses yang bersifat evolusioner tersebut, sebagai contoh, dapat dilihat dari kasus ketika raja Makassar pada awal abad XVII mendeklarasikan bahwa Tuhan telah membagi bumi secara adil kepada setiap bangsa tetapi laut diberikan oleh Tuhan kepada semua manusia tanpa mengenal kebangsaannnya. Setelash ditaklukkan oleh VOC, orang-orang Makassar kemudian menyadari betapa pentingnya mengontrol dan menguasai laut. Hal serupa itu juga pernah dialami oleh Belanda ketika pada awal abad XVII menerapkan kebiajakan laut bebas atau free ocean policy (mare liberum). Akan tetapi pada periode selanjutnya, demi logika bisnis, mereka mengubah keyakinan mereka dari mare liberum menjadi mare clausum (kebijakan laut tertutup) ketika mereka hendak menegakkan monopoli perdagangan laut terhadap Makassar dan berbagai kerajaan di Nusantara.
Setelah VOC mengalami kebangkrutan, penguasa penggantinya yaitu pemerintah kolonial Hindia Belanda cenderung untuk mengimplementasikan prinsip ‘mare liberum” namun dengan pembatasan laut teritorial sejauh tiga mil laut. Hal ini dapat dilihat dari produk hukum yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda yang mengatur tentang penangkapan ikan, pelayaran, perompakan, dan sebagainya. Jadi sesunguhnya pemerintah kolonial Belanda tidak mewariskan konsep politik dan ideologis mengenai konsep penyatuan antara daratan dan lautan sebagai suatu wilayah negara yang terintegrasi. Oleh karena itu sangat menarik bahwa konsepsi kewilayahan yang menyatukan antara wilayah daratan dan lautan sebagai suatu entitas muncul selama masa akhir pemerintah kolonial Belanda dan berpuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Adalah sangat beralasan untuk berpikir bahwa fonemena itu berkaitan erat dengan proses ‘inventing’ dan ‘reinventing’ konsep batas wilayah dalam sejarah Indonesia modern.
Ide mengenai pengintegrasian wilayah daratan dan lautan dapat dilacak kembali melalui sejarah penggunaan konsep ‘tanah air’ oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Istilah ‘tanah air’ pertama kali digunakan oleh Mohammad Yamin pada tahun 1920 ketika ia menggubah sebuah syair yang berjudul ‘Tanah Air’. Pada awalnya, istilah ‘tanah air’ ditujukan sebagai pujian terhadap tanah kelahirannya dan tanah asal nenek moyangnya yaitu Sumatra. Pada periode selanjutnya, patriotisme terhadap tanah kelahiran atau homeland patriotism mengalami evolusi dalam maknanya dan berubah maknanya menjadi nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari fenomena Kongres Sumpah Pemuda yang diselenggarakan pada bulan Oktober 1928 yang diselenggarakan di Batavia. Kongres dipimpin oleh pemuda-pemuda nasionalis seperti Mohammad Yamin, Amir Syarifuddin, Sukiman, dan Asaat yang menyepakati sebuah tekat dengan semboyan ‘satu nusa, satu bangsa, satu bahasa dan menyetujui untuk menggunakan ‘Indonesia Raya’ sebagai lagu kebangsaan. Penggunaan istilah ‘tanah tumpah darah’ dan ‘tanah-air’ menjadi semakin populer ketika para tokoh nasionalis menghubungkannya dengan negara merdeka yang dicita-citakan, yaitu Indoneia. Istilah-istilah tersebut kemudian digunakan secara ekstensif oleh pers, nyanyian-nyanyian, karya sastra, pidato-pidato politik, dan sebagainya. Periode kebangkitan nasional menandai berkembangnya proses ideologisasi dan politisasi dari konsep budaya ‘tanah-air’ dan ‘tanah tumpah darah’ menjadi konsep wilayah negara. Versi asli dari lagu kebangsaan Indonesia Raya menyatakan:
- S’lamatlah rayatnya
- S’lamatlah put’ranya
Pulaunya, lautnya semua
Meskipun belum dilakukan penelitian secara detail, periode tahun 1930-an menyaksikan peningkatan popularitas konsep ‘tahan-air’ dan ‘tanah tumpah darah’ melalui aktivitas organisasi-organisasi politik, pers, polemik kebudayaan, dan sebagainya. Menjelang kemerdekaan Indonesia, ide mengenai unifikasi wilayah daratan dan lautan semakin menjadi isu politis. Persoalan itu menjadi salah satu isu penting yang dijadikan sebagai bahan diskusi di dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kepemrdekaan Indonesia).
Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemimpin Indonesia hampir tidak memiliki waktu yang cukup untuk berdiskusi mengenai batas wilayah negara secara pasti ‘tanah air’ Indonesia karena peperangan melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Selama perang kemerdekaan itu dan selanjutnya juga selama konflik mengenai Papua Barat, para pemimpin Indonesia menyadari betapa pentingnya untuk menentukan batas wilayah ‘tanah air’ secara jelas yang pada waktu itu belum dilakukan. Untuk mengklaim bahwa wilayah Indonesia bukanlah semata-mata warisan Hindia Belanda, maka konsep ‘tanah air’ dan nusantara sekali lagi ‘ditemukan’ oleh para pemimpin Indonesia. Bahkan Sukarno pernah mengatakan pada tahun 1917 bahwa nama Indonesia sebetulnya sama dengan Nusantara pada masa kerajaan Majapahit.
Dalam kaitannya dengan isu batas wilayah negara, konsep Nusantara dipandang sama dengan konsep ‘tanah-air’. Jika konsep ‘tanah-air’ cenderung merupakan konsep kultural, maka konsep ‘nusantara’ lebih merupakan konsep politik. Pertanyaan menarik perlu diajukan, mengapa konsep Nusantara diperlukan? Hal ini berkait erat dengan kenyataan bahwa Indonesia sering dipandang sebagai warisan kolonial Belanda yang sistem batas teritorinya didasarkan atas sistem pulau demi pulau (‘island by island’’) dengan luas wilayah laut teritorial seluas tiga mil laut dari garis pantai pada waktu air surut.
Penemuan kembali konsep ‘nusantara’ dan ‘tanah-air’ dapat melingkupi seluruh kawasan Nusantara yang mencakup baik wilayah daratan maupun lautan atau bahkan laut-laut dan pulau-pulaunya. Dalam konsep itu tidak memungkinkan adanya ‘enclave’ (dalam bentuk perairan internasional) di dalam wilayah Nusantara. Proses ideologisasi ini mencapai puncaknya pada tahun 1957 ketika pemerintah mengumumkan Deklarasi Djuanda. Deklarasi itu berisi klaim untuk melakukan unifikasi wilayah daratan dan lautan yang ada di Indonesia. Hal itu berbeda dengan visi negara kolonial mengenai konsepsi batas wilayah laut tiga mil dari garis pantai pada waktu air surut dari setiap pulau. Visi Nusantara memandang semua perairan yang ada di dalam dan di antara pulau-pulau yang ada merupakan wilayah Indonesia sebagai sebuah entitas daratan dan lautan. Secara strategis, Deklarasi Djuanda memiliki dimensi internal dan eksternal. Secara internal, deklarasi tersebut dapat digunakan untuk menjustifikasi berbagai kebijakan pemerintah untuk menindak segala macam kemungkinan yang dilakukan oleh gerakan separatis dan secara eksternal hal itu berkaitan erat dengan upaya untuk menemukan kembali justifikasi historis dan kultural untuk menyatukan wilayah daratan dan lautan dalam rangka menghadapi tekanan-tekanan negara Barat yang tidak sepaham atas klaim yang dilontarkan oleh pemerintah Indonesia.
Catatan Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep batas wilayah negara yang digunakan oleh pemerintah Indonesia bukan merupakan warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Konsep ‘tanah air’, ‘tanah tumpah darah’, ‘nusantara’ merupakan konsep-konsep yang reinvented dan reinterepreted dari konsep-konsep tradisional yang berakar dari sejarah Nusantara yang dilakukan oleh para tokoh nasionalis selama masa pergerakan nasional. Kesadaran inilah yang mengondisikan mengapa proses dekolonisasi di bidang hukum laut (maritime law) lebih cepat bila dibandingkan dengan hukum lain seperti hukum pidana.
Cepatnya proses dekolonisasi hukum laut ini tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan dan desakan aktual yang dialami oleh bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya semenjak proklamasi 17 Agustus 1945. Konflik dan konfrontasi dengan Belanda selama perang kemerdekaan (1945-1949) dan disusul dengan konflik memperebutkan Papua Barat telah mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melakukan dekolonisasi sistem hukum laut yang merupakan warisan kolonial Belanda. Hal ini dirasa perlu untuk segara dilakukan sebab hukum laut warisan Belanda (Ordonansi tahun 1939) memungkinkan Angkatan Laut Belanda untuk menggelar kapal-kapal perangnya di laut-laut di kepulaun Indonesia untuk mengepung daerah RI. Hal ini dimungkinkan karena laut teritorial milik Indonesia pada waktu itu (menurut Ordonansi tahun 1939) hanya 3 mil dari garis pantai pada waktu air surut. Pada waktu itu Angkatan Laut Indonesia tidak dapat berbuat banyak karena masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan Belanda.
Di samping melakukan konfrontasi total melawan Belanda dalam konflik Papua Barat, pemerintah juga ingin mempersempit gerak Angkatan Laut Belanda di perairan Indonesia. Dengan Deklarasi Djuanda tangga1 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia mengklaim menerapkan asas negara kepulauan dengan wilayah perairan pedalaman yang ditarik di antara titik-titik terluar wilayah Indonesia ditambah dengan 12 mil perairan teritorial yang diukur dari garis terluar pada waktu air surut. Perjuangan yang gigih para pemimpin Indnesia waktu itu tidak lepas dari dasar-dasar konsepsi tradisional yang telah lama berkembang yaitu konsep tanah-air, nusantara, tanah tumpah darah, dan sebagainya yang cenderung menyatukan wilayah daratan dan lautan yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda.