Baca Juga

Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT)
a. Pengertian SPT Pengertian 
Surat Pemberitahuan (SPT) menurut undang-undang No.16 tahun 2009 mengenai KUP Pasal 1 angka 11 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009 adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Adapun tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2007. Dengan kata lain SPT merupakan sarana bagi wajib pajak, antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak dan pembayarannya. Dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi SPT, keterangan, dokumen yang harus dilampirkan serta cara yang digunakan untuk menyampaikan SPT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. 

Wajib pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. Pengisian SPT yang benar, lengkap dan jelas dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Benar artinya benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 
  2. Lengkap artinya memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lainnya yang harus dilaporkan dalam SPT, dan 
  3. Jelas artinya melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lainnya yang harus dilaporkan dalam SPT. 
b. Fungsi SPT 
Fungsi SPT dapat dilihat dari sisi Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak, dan dari sisi Pemotong atau Pemungut Pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Wajib Pajak Penghasilan
  • Sarana untuk melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak yang sebenarnya terutang.
  • Melapor pembayaran/pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan/pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak/bagian tahun pajak.
  • Melaporkan pembayaran dari pemotong/pemungut tentang pemotongan/ pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku.
2. Pengusaha Kena Pajak
  • Sarana untuk melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang.
  • Melaporkan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
  • Melaporkan tentang pembayaran/pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Pemotong/Pemungut Pajak
Sebagai sarana melapor dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong/ dipungut dan disetorkannya. 

c. Jenis SPT 
SPT dapat berbentuk formulir kertas (hardcopy) atau e-SPT. Berdasarkan waktu pelaporan, SPT dibedakan menjadi dua, yaitu:
  1. SPT Masa adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak.
  2. SPT Tahunan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.

Pengisian, Penyampaian, Prosedur Penyelesaian, dan Pembetulan SPT 
1. Pengisian dan Penyampaian SPT
Setiap wajib pajak mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikan ke kantor DJP tempat wajib pajak terdaftar/dikukuhkan. Wajib pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan. Wajib pajak mengisi dan menyampaikan SPT dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. 

Dalam hal wajib pajak menunjuk seorang kuasa, dengan kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada SPT. Sedangkan utuk wajib pajak Badan, SPT harus ditandatangani oleh pengurus/direksi. SPT disampaikan langsung oleh wajib pajak ke kantor DJP tempat wajib pajak terdaftar harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada wajib pajak diberikan bukti penerimaan. Penyampaian SPT dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 

2. Prosedur Penyelesaian SPT 
Menurut Mardiasmo (2009:30) prosedur penyelesaian SPT diantaranya, adalah:
  1. Wajib pajak sebagaimana yang telah diatur, harus mengambil sendiri SPT di tempat yang telah ditetapkan DJP atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Wajib pajak dapat mengambil SPT dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs DJP untuk memperoleh formulir SPT tersebut.
  2. Setiap wajib pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan menandatangani serta menyampaikan ke kantor DJP tempat wajib pajak terdaftar/dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh DJP.
  3. Wajib pajak yang mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
  4. Penandatanganan SPT dapat dilakukan secara biasa dengan tandatangan stempel atau tandatangan elektronik/digital, yang semuanya memiliki kekuatan hukum yang sama.
  5. Bukti-bukti yang harus dilampirkan dalam SPT, antara lain:
  • Untuk wajib pajak yang mengadakan pembukuan: Laporan Keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak.
  • Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak/jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan jumlah kekurangan/kelebihan pajak.
  • Untuk wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan: perhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
3. Pembetulan SPT 
Apabila dalam pengisian SPT ternyata terdapat kesalahan, maka wajib pajak atas kemauan sendiri dapat membetulkan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah saat terutang atau berakhirnya masa pajak, dengan syarat:
  1. DJP belum melakukan tindakan pemeriksaan. Pembetulan SPT berakibat pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan atau jumlah pajak yang kurang bayar, dihitung sejak penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran pembetulan SPT.
  2. Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan. Selanjutnya wajib pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang bayar.
Sekalipun jangka waktu pembetulan SPT telah berakhir, dengan syarat DJP belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), wajib pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkannya dalam suatu laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT atas pengungkapan wajib pajak, hal ini menimbulkan akibat sebagai berikut:
  1. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar/lebih kecil; atau
  2. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil/lebih besar; atau
  3. Jumlah harta menjadi lebih besar/lebih kecil; atau
  4. Jumlah modal menjadi lebih besar/lebih kecil.
Pajak yang kurang bayar timbul sebagai akibat pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT tersebut, beserta sanksi administrasi berupa kenaikan 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang bayar, harus dilunasi sebelum laporan disampaikan.
Gambar  Pembetulan SPT

Batas Waktu dan Perpanjangan Waktu Penyampaian SPT
1. Batas Waktu Penyampaian SPT
Batas penyampaian SPT dalam pasal 3 ayat 3 UU No. 16 tahun 2009 tentang KUP dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 adalah:
  1. Untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak.
  2. Untuk SPT Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.
  3. Untuk SPT Tahunan PPh wajib pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.
2. Perpanjangan Waktu Penyampaian SPT
Sekalipun batas waktu penyampaian SPT telah ditetapkan, tetapi wajib pajak dapat memperpanjang waktu penyampaian SPT tahunan untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara mengajukan surat permohonan perpanjangan batas waktu penyampaian SPT Tahunan kepada DJP dengan disertai:
  1. Alasan-alasan penundaan penyampaian SPT Tahunan.
  2. Surat pernyataan perhitungan sementara pajak yang terutang dalam satu tahun pajak.
  3. Bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terhutang menurut perhitungan sementara tersebut.
Gambar  Batas Waktu Penyampaian SPT

Sanksi Administrasi dan Pidana Terkait SPT 
Wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang sehubungan dengan SPT dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sebagai berikut:

1. Pasal 7 UU No. 16 tahun 2009 tentang KUP, disebutkan bahwa:
Apabila wajib pajak terlambat menyampaikan SPT sampai batas jangka waktu yang ditentukan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda:
  • SPT Tahunan PPh orang pribadi sebesar Rp 100.000,00.
  • SPT Tahunan PPh badan sebesar Rp 1.000.000,00.
  • SPT Masa PPN sebesar Rp 500.000,00.
  • SPT Masa lainnya sebesar Rp 100.000,00.
2. Pasal 13A UU No. 16 tahun 2009 tentang KUP, disebutkan bahwa apabila kealpaan tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenakan sanksi administrasi 200% dari pajak yang kurang bayar. Sedangkan kealpaan yang kedua akan didenda paling sedikit 1 (satu) kali dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak/kurang bayar atau dipidana kurungan paling singkat 2 (dua) bulan/paling lama 1 (satu) tahun.

3. Pasal 39 UU No. 16 tahun 2009 tentang KUP, disebutkan bahwa apabila wajib pajak dengan sengaja tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen termasuk hasil pengolahan data elektronik, akan dikenakan:
  • Sanksi pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak/kurang bayar atau dipidana penjara paling sedikit 6 (enam) bulan atau paling lama 6 (enam) tahun.
  • Pidana untuk kedua kali ditambahkan satu kali menjadi dua kali sanksi diatas.
  • Percobaan penyalahgunaan NPWP atau PKP menyampaikan SPT yang tidak benar/lengkap dalam rangka restitusi/kompensasi/pengkreditan pajak, dipidana penjara paling sedikit 6 (enam) bulan, paling lama 2 (dua) tahun dan didenda paling sedikit 2 (dua) kali paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak/kurang bayar.