Baca Juga
Pemikiran Ekonomi Islam Muhammad Bāqir Sadr
Salah seorang pemikir besar di dunia Islam yang sangat terkenal, khususnya dalam persoalan ekonomi adalah Muhammad Bāqir Sadr (1935-1980). Dia juga adalah seorang pemimpin politik dan pemikir Islam Irak yang sangat inovatif dan berpengaruh. Dia adalah seorang tokoh penting yang tidak hanya di Irak, tetapi juga dalam kehidupan dunia Syi'ah, dan bahkan di dunia muslim secara keseluruhan.
Pada umumnya, pengkajian mengenai pemikiran seorang tokoh, dilatarbelakangi oleh karena pemikiran-pemikirannya yang bersifat monumental dan juga karena petualangan panjangnya dalama mengkaji, menilai dan merumuskan suatu ilmu pengetahuan.
Karya Muhammad Bāqir Sadr mungkin merupakan karya yang paling beragam untuk seorang penulis muslim pada abad ke 20. Salah satu karyanya yang sangat monumental dalam bidang ekonomi adalah kitab yang berjudul Iqtisādunā (ekonomi kita). Dalam kitab tersebut beliau menguraikan ekonomi Islam, tanpa dipengaruhi oleh para pemikir dan sarjana Barat. Iqtisādunā merupakan sebuah sumbangan nyata terhadap dunia Islam.
Di samping Iqtisādunā, masih banyak kitab lain yang disusun oleh Muhammad Bāqir Sadr. Khususnya dalam hal ekonomi dalam Iqtisādunā, beliau sangat banyak melontarkan ide-ide pembaharuan ekonomi yang bertolak dari landasan Islam, apakah itu menyangkut elemen dasar ekonomi, prinsip ekonomi, masalah ekonomi, distribusi, kepemilikan, sirkulasi, teori distribusi praproduksi, teori distribusi pascaproduksi, teori produksi maupun peran Negara dalam perekonomian Dalam pemikiran ekonominya ini, Muhammad Bāqir Sadr banyak melakukan kritikan terhadap sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme kemudian memberikan solusi alternatif dalam bentuk sistem ekonomi Islam. Pemikiran-pemikiran ekonomi Muhammad Bāqir Sadr di atas masih sangat jarang dibahas dalam buku-buku yang berbahasa Indonesia, sehingga pemikiran-pemikirannya yang cemerlang yang seharusnya dapat kita baca, pahami dan aplikasikan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari tidak sampai kepada kita. Inilah yang memotivasi penulis untuk mendeskripsikan pemikiran-pemikiran Muhammad Bāqir Sadr dalam artikel ini.
Dasar Ekonomi
Dalam pembahasan ini, Sadr menjelaskan dua kasus perjumpaan antara konsep-konsep syariat dengan tantangan kontemporer. Islam sebagai sebuah ideologi abadi yang universal berhadapan dengan penawaran-penawaran lainnya, terutama dari pandangan dunia legal Barat. Menurut Sadr, ekonomi Islam merupakan sebuah kombinasi dari tiga elemen dasar, yakni doktrin ) العقيدة( , konsep-konsep ) المفاىم( , rasa (emosi batiniah) )العواطف والأحاسيس( . ( Sadr, 1981 : 309-310) Citra masyarakat Islam yang digambarkan, serupa dengan objek dari historiografi modern, (Bottomore dan Goode, 1983: 49-50) yaitu ibarat sebuah bangunan: Hubungan yang ada di antara setiap aspek dalam rancangan masyarakat Islam yang agung (tasmim) sebagai perbandingannya ibarat sebuah bangunan indah yang tergambar di atas sehelai peta (kharitah) yang disusun oleh arsitek yang paling terampil. Adalah tidak mungkin menggambarkan keindahan dan keanggunan yang diinginkan sang arsitek jika peta ini tidak direalisasikan dalam keseluruhan elemennya, begitulah desain Islam. (Sadr, 1981 : 310-311)
Bagaimanapun tidaklah mungkin, demikian dinyatakan Sadr, untuk memikirkan seluruh unsur kehidupan sosial dalam sebuah buku tunggal mengenai ekonomi. Cukuplah dengan menyimpan generalisasi-generalisasi ini di dalam benak kita. Pentingnya latar belakang yang kompleks diilustrasikan melalui dua konsep khusus tentang properti pribadi dan profit. Properti pribadi memasukkan sebuah hak perlindungan yang memerintahkan tanggung jawab dan kemutlakan yang terbatas, sedangkan profit/keuntungan lebih daripada sekedar perhitungan sederhana. Juga, larangan riba, jika dianggap berada dalam isolasi, dapat menjadi sumber masalah yang membahayakan kehidupan ekonomi, dan hanya dapat diraih dalam suatu totalitas yang memasukkan aturan-aturan mudarabah sebagai tindakan mempercayakan sejumlah materi untuk dijalankan sebagai modal usaha dengan pembagian keuntungan dan kerugian yang seimbang), dari keseimbangan sosial, solidaritas, dan keuangan Islam. Dengan demikian, maka ekonomi Islam dalam pandangan Muhammad Baqir Sadr adalah sebagai bagian dari sistem yang universal, dia adalah bagian dari syari'at Allah yang bersifat universal. Karena ia adalah bagian dari syari'at Allah, maka ia bukanlah sains yang bersifat permanen dan temporal, akan tetapi ia merupakan doktrin agama yang memiliki kebenaran mutlak. Ia adalah hudud atau batasan-batasan/undang-undang yang turun dari Sang Maha Agung yang lebih mengetahui yang terbaik bagi kehidupan manusia. Ekonomi Islam berada di atas landasan yang menyatu antara akidah (keyakinan), logika, dan emosi-emosi positif, sehingga dengan demikian ia membawa misi kemanusiaan (logis dan mengakomodir naluri dasariah yang ada pada manusia). Atau dengan kata lain bahwa ekonomi Islam adalah sebuah sistem yang sesuai dengan hati nurani manusia yang menurut Muhammad Asad merupakan kelanjutan dari fitrah atau kejadian asal yang suci pada manusia. (Asad, 1980 : 621).
Prinsip Ekonomi Islam
Sadr mengatakan bahwa ada tiga prinsip dasar atau kerangka umum sistem Islam: properti multilapisan (multifold property) )مبدأ الملكية المزدوجة( ,kebebasan ekonomi yang terbatas )مبدأ الحرية الإقتصادية في نطاق محدود( , dan keadilan sosial )مبدأ العدالة الإجتماعية( . (Mallat, 2001 : 171 ; (Sadr, 1981 : 295).
Properti multilapisan
Prinsip yang pertama adalah properti multi-lapisan (multifold property). Perbedaan esensial antara Islam, kapitalisme dan sosialisme, bagi Sadr terletak pada sifat properti yang diadopsi oleh setiap sistem. (Sadr, 1981: 258) Apabila sebuah masyarakat kapitalis adalah suatu masyarakat yang menjadikan properti pribadi sebagai prinsip dasarnya, dan mempertimbangkan (bertindak seakan-akan) nasionalisasi sebagai kekacauan peraturan, atau sebuah prinsip yang membebaskan individu untuk memiliki, membeli dan menjual hartanya menurut yang dikehendaki tanpa hambatan, (Rahman, 1995 : 2) sedangkan sebuah masyarakat sosialis adalah suatu masyarakat yang menjadikan properti sosialis (isytirākiyyah) sebagai prinsipnya, , maka sebuah masyarakat Islam akan berbeda dengan keduanya dengan mengakui secara simultan berbagai tipe properti yang berbeda. (Sadr, 1981 : 258) Bentuk-bentuk ini terdiri dari tiga jenis: Pribadi, publik (‘āmm), dan milik pemerintah (milkiyyah al-daulah). Rangkaian definisi tersebut sangat spesifik, dan berdiri sendiri di dalam sebuah perbedaan yang sangat mendasar dengan paham sosialis dan kapitalis.
Kebebasan ekonomi yang terbatas
Dua hal yang menghalangi kemutlakan properti pribadi. Pertama, bersifat subyektif, dan berasal dari nilai-nilai moral pembagian-kesejahteraan yang diajarkan Islam. Nilai-nilai ini tidak dapat dikuantitatifkan dan bersifat independen dari paksaan/tekanan negara. Setiap (kewajiban) kedermawanan individual dalam berbagai kekayaannya dengan yang lain berbeda-beda, namun unsur ekonomi dari faktor subyektif ini tidak seberapa penting dibandingkan konstribusinya pada penyusunan masyarakat Muslim. Sadr mengatakan bahwa nilai-nilai ini telah membuktikan makna yang paling berharga yang dianugerahkan agama terhadap individu. Dalam arus sejarah Islam, kekuatan dari faktor individual subyektif ini telah menjadikan masyarakat Islam mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan dunia yang telah menimpa dunia Muslim. (Sadr, 1981 : 262); kedua, bersifat obyektif, dan secara hati-hati didefinisikan oleh hukum. Batas ini berfungsi pada dua level. Pada level yang lebih tinggi, syari'at telah meletakkan dalam sumber-sumber umumnya (Alquran dan Sunnah) larangan sebuah tatanan aktivitas sosial dan ekonomi seperti larangan ‗riba‘ dan monopoli (ihtikar)‖. (Sadr, 1981 : 262) Pada level yang lebih rendah, syari'at mengatur prinsip pengawasan dan campur tangan penguasa dalam kehidupan publik yang diterima oleh seluruh Muslim sesuai dengan perintah-perintah Alquran. Bisa jadi, terdapat ketidaksepakatan di sini menyangkut metode perjanjian, dan tentang prerogatif-prerogatif serta kualitas-kualitas) penguasa. Namun, sang penguasa tidak dapat menentang ketentuan-ketentuan legal yang telah diputuskan pada level yang lebih tinggi seperti larangan riba, penipuan, pembatalan hukum-hukum waris, atau tekanan pada salah satu bentuk properti yang diterima dalam masyarakat.
Keadilan social
Sadr mengklasifikasikan konsep keadilan sosial menjadi dua prinsip, yaitu, solidaritas publik,( تكافل عام ) dan ―keseimbangan sosial, ( توازن إجتماعى ) Perhatian pada perinciannya dikatakan akan disuplai dari dua karakteristik dasar, realisme dan moralisme (akhlāqiyyah). Realisme memerintahkan bahwa, tidak seperti komunisme yang menikmati angan-angan mengapung di angkasa yang mulia dan ekonomi yang imajinatif, serta berkubang dalam perintah tujuan-tujuan yang digambarkan dari keadaan-keadaan material dan kondisi-kondisi alami yang tidak berhubungan dengan manusia. Islam justru berkeras menentang godaan ilusi-ilusi satu realisme yang memabukkan –yang kendati diperhitungkan sebagai sifat-sifat egoistik manusia namun disadari tidak dapat dihindarkan—dan melawan pelanggaran suatu etika yang mampu mencegah pembatalan keadilan sosial tanpa adanya suatu kerangka pedoman kerja dari pendidikan moral agama.
Dari konsep koreksi moral, Sadr menyimpulkan sebuah dimensi ekonomi utilitarian. Unsur psikologis, sebagaimana dalam Marxisme, semestinya tidak diabaikan sebagai sebuah komponen kunci ekonomi karena ia terkandung dalam hukum penawaran dan permintaan. Dimensi moral memainkan sebuah peranan besar dalam bidang ekonomi karena mempengaruhi peristiwa-peristiwa krisis bersiklus ulang yang telah mewabah dalam ekonomi Eropa (seperti kapitalis-industri).
Masalah Ekonomi
Masalah ekonomi kapitalisme bagi Sadr adalah kurangnya sumber-sumber alam )قلة الموارد الطبيعية نسبيا او نظرا إلى أن الطبيعة محدودة(untuk memenuhi tuntutan keinginan manusia. Bagi Sosialisme, masalah ekonomi adalah kepincangan antara pola produksi dengan distribusi. )التناقض بين شكل الإنتاج وعلاقات التوزيع( (Sadr, 1981 : 262) Sadr menolak pernyataan seperti ini, karena menurutnya Islam tidak mengenal adanya sumber daya terbatas. Dalil yang dipakai nya adalah Alquran: الله الذى خلق السموت والأرض وأنزل من السماء ماء فأخرج بو من الثمرت رزقا لكم وسخر لكم الفلك لتجري فى البحر بامره وسخر لكم الأنهار.وسخر لكم الشمس والقمردآءبين وسخر لكم الليل والنهار. واتكم من كل ما سألتموه وإن تعدوا نعمة الله لاتحصوىا إن الإنسان لظلوم كفار.
Dengan demikian karena segalanya telah terukur dengan sempurna, maka Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia. (Karim, 2002 : 14)
Islam tidak menyetujui pandangan kapitalisme, karena Islam mempertimbangkan bahwa alam memiliki sumber-sumber yang berlimpah bagi manusia. Islam juga tidak menyepakati pandangan sosialisme dalam hal bahwa masalahnya terletak bukan pada kepincangan antara produksi dan distribusi, namun pada factor manusia itu sendiri. Seiring dengan argument Muhammad Baqir Sadr di atas, maka Taqyuddin an-Nabhani mengatakan bahwa pandangan kapitalisme dan sosialisme terhadap masalah ekonomi tersebut hanyalah berorientasi semata-mata pada materi dari kehidupan manusia. (An-Nabhani, 1996 : 5. Ketidakadilan manusia mewujud dengan sendirinya dalam bidang ekonomi sebagai distribusi yang buruk, karena manakala ketidakadilan dibasmi dari bentuk-bentuk distribusi sosial, dan kapasitas-kapasitas umat manusia dimobilisasi untuk mengeksploitasi sumber-sumber alami, maka masalah sebenarnya bukan lagi permasalahan ekonomi. Tekanan Sadr sebagaimana dalam Iqtisādunā dengan demikian didasarkan pada distribusi, dan pada cara-cara yang Islam telah mengorganisasi distribusi sedemikian rupa untuk memaksimalkan kekayaan ekonomi melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber alam. Konsep distribusi membentuk bundelan ekonomi Islami yang dianalisis oleh Sadr dan pembagian utama buku tersebut )memisahkan distribusi sebelum produksi التوزيع ما قبل الإنتاج ( dan distribusi sesudah produksi )التوزيع ما بعد الإنتاج( Sebelum melaju pada deskripsi skema distribusional, Sadr menyimpulkan bagian perkenalan batas-batas wilayah ekonomi Islam dengan beberapa penjelasan mengenai dua konsep esensial mengenai doktrin, kebutuhan dan kerja, dari perspektif syari'at.
Distribusi
Perangkat Distribusi dan Peran Kerja dan Kebutuhan dalam Distribusi
Pusat dari perspektif legal adalah fakta bahwa distribusi diidentifikasi sebagai wilayah tempat masalah pokok ekonomi masyarakat terjadi. (Mallat, 2001 : 180) Perangkat-perangkat distribusi dengan demikian didiskusikan Muhammad Baqir Sadr melalui dua konsep yang menopangnya, kebutuhan dan kerja. Perangkat-)perangkat distribusi جهاز التوزيع ( dalam Islam dinyatakan oleh dua peranti esensial: yaitu kerja dan kebutuhan) جهاز التوزيع في الإسلام يتكون من أدتين رئيستين, وهما العمل والحاجة( . Dari perspektif Islami, kerja adalah alasan bagi kepemilikan pekerja atas hasil dari pekerjaannya. )فا لعمل إذن أساس لتملك العامل (Kepemilikan pribadi yang didasarkan pada pekerjaan adalah sebuah dorongan alami manusia untuk mencocokkan hasil pekerjaannya dengan dirinya sendiri. Konsekuensinya, yakni: Komunisme berpandangan bahwa pekerjaan merupakan alasan bagi masyarakat dan bukan bagi individu atas kepemilikan) إن العمل سبب لتملك المجتمع لا الفرد (Peraturan sosialis adalah pekerjaan merupakan penyebab/penentu nilai komoditas, dan karena itu menjadi alasan bagi kepemilikan pekerja atas komoditas tersebut. Karena ketika seorang pekerja mengekstraksi sebutir mutiara, ia dengan demikian tidak memberikan nilai pada mutiara tersebut, namun ia memilikinya melalui pekerjaan ekstraksinya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa peran kerja dalam komunisme adalah sebagai alat produksi, sosialisme menjadikan kerja sebagai penentu nilai tukar suatu barang, sedangkan Islam menjadikan kerja itu sebagai sebab kepemilikan seorang pekerja atas barang yang diperolehnya dari kerja tersebut.
Dalam teori Sadr, konsep kebutuhan berfungsi dalam suatu cara yang spesifik bagi Islam. Ia menerangkan bahwa dalam teori sosialis, kebutuhan dihalangi oleh sentralitas kerja. Setiap masyarakat terdiri dari tiga strata utama – sebuah kelompok yang bekerja dan membelanjakan apa saja yang dibutuhkannya bahkan lebih )فئة قادرة بما تتمتع بو من مواىب وطاقات فكرية وعملية علي توفير معيشتها في مستوى مرفو غني( , kelompok lain yang bekerja namun hidup di bawah kebutuhan-kebutuhan dasarnya )تستطيع أن تعمل ولكنها لاتنتج في عملها الا ما يشبع ضروراتها ويوفر لها حاجتها الأساسية (dan sebuah kelompok yang tidak dapat bekerja karena berbagai alasan )لا يمكنها أن تعمل لضعف بدني أو عاىة عقلية(Dalam logika lurus teori sosialisme, kelompok terakhir ini dikutuk karena pada dirinya tidak terdapat suatu apa pun menjustifikasi penghasilannya sebagai suatu bagian dari pengeluaran umum dalam operasi distribusi. Hal ini sebagaimana juga dikatakan oleh Abdurahman Al-Maliki adalah sesuai dengan kaidah "Dari masing-masing sesuai kemampuan dan untuk masing-masing sesuai pekerjaannya )من كل حسب قوتو أى قدرتو ولكل بنسبة عملو( . (Al-Maliki, 2001: 20) Ini berdiri sebagai suatu kontrak yang tajam dengan Islam yang kebutuhan adalah sebuah komponen distribusi yang esensial, dan diatur oleh prinsip moral ―jaminan umum dan solidaritas sosial dalam masyarakat Islam.
Properti pribadi
Bersama kebutuhan dan kerja, elemen ketiga bagi Sadr menopang teori distribusi Islam: pandangan orisinal Islam mengenai properti. Ketika Islam mengizinkan bangkitnya kepemilikan pribadi berdasarkan kerja, ia menentang baik Sosialisme maupun Kapitalisme dalam hak-hak yang dianugerahkan bagi sang pemilik. Dalam hal ini, lagi-lagi Islam berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme-komunisme, karena tidak satupun dari keduanya itu yang berhasil dalam menenmpatkan individu selaras dalam suatu mosaik sosial. Hak milik pribadi merupakan dasar kapitalisme, penghapusannya merupakan sasaran pokok ajaran sosialis. (Mannan, 1997: 64)
Dalam Islam, bekerja adalah konsep mendasar yang menurunkan properti) العمل في نظر الإسلام سبب الملكية العامل لنتيجة عملو (Seluruh bentuk properti karena itu harus dikualifikasikan. Dalam perspektif ini, properti menjadi sebuah elemen sekunder distribusi, dan selalu dibatasi oleh satu tananan nilai moral dan kepentingan-kepentingan sosial yang dikukuhkan melalui agama. Peraturan umumnya adalah bahwa kepemilikan pribadi muncul hanya dalam barang-barang (amwāl) yang telah dilunakkan dalam komposisi-komposisi mereka atau beradaptasi dengan kerja manusia, terkecuali barang-barang dan sumber natural yang tidak bercampur dengan pekerjaan. Tanah sebagai contoh, adalah sebuah komoditas dalam undang-undang yang kerja tidak dapat memasukinya. Ia tidak bisa dimiliki sebagai properti pribadi. Elemen ketiga yang membentuk basis distribusi perangkat-perangkat Islam diringkas oleh Sadr sebagai berikut: Kerja adalah alat distribusi paling primer dipandang dari sudut kepemilikan .)إن العمل ىو الأدات الرئيسية الأولى( Orang yang bekerja di alam memetik buah kerjanya dan memilikinya. Kebutuhan adalah alat distribusi primer sebagai pernyataan sebuah hak manusia yang bersifat esensial dalam kehidupan. Masyarakat Islam mengakui dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensial. Properti adalah alat distribusi sekunder, melalui aktivitas komersial yang diizinkan Islam dalam syarat-syarat istimewa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam mengenai keadilan sosial. Problem sosial yang paling mendasar adalah ketidakadilan, dengan demikian dijelaskan secara ekonomis oleh Sadr dalam konteks distribusi. Kebanyakan isi Iqtisādunā diabdikan untuk menjelaskan sebuah sistem distribusi Islami yang bersumber dari kewajiban-kewajiban dalam hukum Islam di bidang ekonomi.
Sirkulasi
Pertama, dia menjelaskan secara singkat pertanyaan-pertanyaan ringan mengenai perputaran/sirkulasi (tadāwul), yang dikemukakannya sebagai sebuah wilayah lain tempat ketidakadilan diciptakan, mengingat uang menjadi sebuah komoditas yang siap untuk ditimbun atau digunakan tidak dimaksudkan guna memfasilitasi sikrulasi sebagai sebuah objek kekayaan. Inilah yang merupakan tipikal dari masyarakat kapitalis. Kapitalisme memisahkan uang dari pemanfaatan sirkulasinya, dan menggunakannya untuk keperluannya sendiri. Namun, keseimbangan yang tepat diperbaiki melalui tiga syarat esensial syariat: pembayaran pajak-pajak (zakat) yang secara langsung membelokkan kecenderungan menimbun harta, larangan atas riba, dan campur tangan penguasa yang sekehendaknya.
Ekonomi Islam adalah sebuah jalan tengah, yaitu membantu dalam menegakkan system yang adil dan merata. Sistem ini tidak memberikan kebebasan dan hak atas milik pribadi secara individual dalam bidang produksi, tidak pula mengikat mereka dengan satu system pemerataan ekonomi yang seolah-olah tidak boleh memiliki kekayaan secara bebas. Prinsip utama dari sistem ini adalah peningkatan dan pembagian hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan menuju pada sirkulasi kekayaan yang merata di berbagai kalangan masyarakat yang berbeda dan tidak hanya terfokus pada beberapa golongan tertentu. Kemudian, ia berargumentasi bagi kebutuhan untuk membangun hubungan erat secara metodologis di antara hukum dan ekonomi, dan peranan syariat yang sesungguhnya dalam penemuan disiplin ekonomi Islam. Muhammad Baqir Sadr melihat adanya kepincangan antara pandangan komunisme dan sosialisme di atas, dengan mengatakan bahwa antara pekerjaan dan kebutuhan itu ada hubungan positif. Kalau komunisme terlanjur memperhatikan aspek kebutuhan tanpa melihat perbedaan jerih payah seseorang dalam pekerjaan sehingga menimbulkan ketidakadilan atau eksploitasi, sementara sosialisme terlanjur memperhitungkan aspek keseimbangan antara pekerjaan dan hasil yang harus diperoleh seorang pekerja sehingga lupa pada aspek sosial itu sendiri, yakni adanya kelompok manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, yakni orang-orang cacat, orang tua lanjut usia dan anak-anak.
Teori Distribusi Praproduksi
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa menurut Sadr, substansi ekonomi Islam terpusat pada analisis perangkat-perangkat distributif Islam sebagaimana dapat diterangkan dari naskah-naskah legal. (Mallat, 2001 : 191) Distribusi terbagi dalam dua kelompok, yakni distribusi sebelum produksi )توزيع ما قبل الإنتاج( dan distribusi pascaproduksi )توزيع ما بعد الإنتاج( Di bawah bagian pertama, empat factor diidentifikasi sebagai sumber-sumber alam untuk produksi ( )مصادر التبيعة للإنتاج ): (1) tanah; (2) materi-materi kasar, kebanyakan berupa sumber-sumber pertambangan; (3) air; dan (4) sisa dari sumber-sumber alam (laut, mutiara, binatang-binatang liar, dan lain-lain). Di zaman modern, akses pada tanah dipertimbangkan sebagia faktor ekonomi yang paling penting. Iqtisādunā mendedikasikan bagian terpanjangnya untuk menganalisis hak-hak yang terkait dengan tanah. Dalam upaya Sadr mempelajari para fuqahā klasik, kepemilikan tanah tidak dapat dipisahkan dari cara sebuah tanah tertentu berada di bawah pemerintahan Islam: Kepemilikan tanah di Irak berbeda dengan kepemilikan tanah di Indonesia karena Irak dan Indonesia berbeda dalam cara mereka menyambut Islam. Tiga tipe umum tanah dapat diturunkan dari pola historis: (1) tanah yang menjadi Muslim melalui penaklukan (fath), seperti di Irak, Mesir, Suriah, Iran, dan berbagai bagian Dunia Islam ; (2) tanah yang menjadi Muslim melalui persuasi (da’wah), dan (3) tanah persetujuan (sulh).
Teori Distribusi Pascaproduksi
Teori umum iqtisādunā mengenai distribusi praproduksi telah memperkenalkan konsep kebutuhan dan tujuan sentral bekerja, sebagaimana teori umum distribusi tanah dan faktor-faktor produksi lainnya. Setelah menyatakan beberapa pendapat umum pada isu-isu yang sekilas telah dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya, Sadr kemudian bergerak menuju teori distribusi pascaproduksi. Baik struktur maupun metode, Iqtisādunā tampil dengan jelas dalam bagian ini, yang diawali dengan satu peringatan, yakni Sadr memperlihatkan kewaspadaannya bahwa kedua studi distribusi pra dan pascaproduksi berinteraksi (tadākhkhala al-battan) karena kesulitan membagi tahapan-tahapan ekonomi dalam bagian pra dan pascaproduksi. Proses tersebut secara khusus bertalian dengan penetapan Islam mengenai konsep kerja secara sentral.
Kami telah mencoba untuk menspesifikasikan hak-hak yang diperoleh individu dalam sumber-sumber mentah alami dalam teori distribusi praproduksi yang dipandang sebagai salah satu aspek distribusinya. Karena hak-hak ini adalah hasil kerja, analisis lantas difokuskan pada peranan kerja dalam sumber alami tersebut. Sumber-sumber alam yang dikembangkan oleh kerja dalam perspektif ini datang di bawah kekayaan praproduksi. (Sadr, 1981 : 517). Sumber-sumber produksi, yaitu tanah, materi-materi mentah, dan alat-alat yang diperlukan untuk produksi yang dianalisis dalam bagian mengenai proses distribusi pra produksi harus ditinjau kembali dari sudut pandang lain. Kali ini analisis bertujuan menjelaskan aturan-aturan legal tentang distribusi pascaproduksi yang menaruh perhatian pada kekayaan produktif yang pada dasarnya dihasilkan lewat kerja yang dilaksanakan pada alam, dan hasil-hasil dari sebuah kombinasi antara sumber-sumber produksi material ini. Inilah turunan kekayaan atau kekayaan sekunder. Untuk menemukan the rationale sistem ekonomi, Sadr menempatkan sejumlah aturan dari suprastruktur yang dibacanya dalam naskah-naskah fiqih klasik. Ia kemudian menawarkan teori alternatif dari dua mazhab yang saling bersaing. Kapitalisme dan Sosialisme. Kemudian, melalui jalan deduksi dari naskah-naskah klasik, dan melalui cara yang kontras dengan Sosialisme dan Kapitalisme, ia menggambarkan sikap Islam yang spesifik terhadap permasalahan-permasalahan perekonomian ini. Dalam hal distribusi pascaproduksi, kapitalisme membagi kekayaan produktif dalam empat faktor, yaitu bunga )الفائدة( , gaji atau upah )الأجور( , sewa )الريع( , dan profit atau keuntungan )الربح(Islam dalam pandangan Muhammad Baqir Sadr melihat bahwa kekayaan produktif yang di dalamnya ada anjuran untuk mendistribusikan kembali adalah, kekayaan yang langsung dimiliki oleh seorang pekerja, yakni profit. Ini adalah pembenaran esensial dalam teori Islam.
Teori Produksi dan Peranan Negara dalam Ekonomi
Bagian terakhir Iqtisādunā adalah terdiri dari dua bab, yakni pertama adalah teori produksi yang dipembahasannya dimulai oleh Muhammad Baqir Sadr dengan pembedaan antara doktrin dan sains. Dalam pembahasan ini Muhammad Baqir Sadr juga menjelaskan tentang adanya titik persamaan antara mazhab-mazhab ekonomi, yakni komunisme, sosilisme, kapitalisme, dan Islam bahwa semua mazhab ekonomi tersebut menginginkan adanya maksimalisasi produksi )تنمية الإنتاج والإستفادة من الطبيعة إلى أقصى حد( . Hanya saja dalam hal cara yang ditempuh masing-masing mazhab ekonomi tersebut berbeda antara satu dengan yang lain. Kalau kapitalisme memandang bahwa maksimalisasi produksi didasarkan atas prinsip kebebasan, sosialisme memandang bahwa maksimalisasi produksi didasarkan atas prinsip kolektif, sedangkan Islam memandang bahwa maksimalisasi produksi didasarkan atas prinsip keadilan. Dalam hal tujuan maksimalisasi produksi, kapitalisme memandang bahwa maksimalisasi produksi tersebut bertujuan untuk mengakumulasikan harta kekayaan )نمو الثروة( dan tidak berhubungan dengan dengan distribusi, sedangkan Islam memandang bahwa maksimalisasi produksi tersebut bertujuan untuk kepemilikan kekayaan yang sangat erat hubngannya dengan distribusi. Bab yang terakhir dalam Iqtisādunā adalah peranan Negara dalam ekonomi. Di sini Muhammad Baqir sadr mengemukakan bagaimana Negara bertanggung jawab atas masalah ekonomi.
Negara dalam pandangan Muhammad Baqir Sadr adalah aktor yang sangat berperan dalam mengendalikan proyek-proyek besar ekonomi. Negara akan turut campur dalam perekonomian untuk menjamin arah produksi dan distribusi agar terwujud kesetaraan dan efisiensi serta mengontrol industri-industri ekstraksi. Disinilah letak kewenangan Negara )منطقة الفراغ( sebagai wilayah bebas bagi aktivitas pemerintah. Dalam wilayah ini imam selaku wali al-amr akan mengambil langkah-langkah ekonomi yang diperlukan untuk memenuhi tunjangan sosial )الضمان الإجتماعى( dan keseimbangan sosial )التوازن الإجتماعى( . Tunjangan sosial lebih jauh lagi didefiniskan terdiri dari solidaritas publik )التكافل العام( dan hak-hak kelompok dalam sumber-sumber kekayaan. Keseimbangan sosial diwujudkan oleh Negara dalam bentuk kewajiban bagi kelompok tertentu untuk membayar pajak, hal ini bertujuan untuk menjamin kesetaraan perbedaan-perbedaan sosial. Dengan demikian perbedaan sosial tidak akan menjadi sedemikian tajam antara the have dan the have not.