Baca Juga

Data menunjukkan perkembangan harga beras di Indonesia cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara pengimpor beras, seperti Filipina, Banglades, Tiongkok, dan Vietnam, harga beras Indonesia adalah yang termahal di dunia.

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), per Juni 2011 harga beras rata-rata di tingkat eceran di Indonesia US$ 1,04 per kilogram. Pada saat yang sama, harga di Manila US$ 0,69 per kilogram; Banglades US$ 0,38 per kilogram; Tiongkok berdasarkan harga rata-rata di 50 kota untuk beras kualitas kedua di tingkat eceran sedikit di bawah Indonesia, US$ 0,83 per kilogram; dan Vietnam hanya US$ 0,41 per kilogram. Sementara itu, harga beras di Thailand sebagai negara asal impor Indonesia ialah US$ 0,44 per kilogram.

Di lain sisi, pada 2010 dan 2011, saat pemerintah mengimpor beras, justru harga beras di dalam negeri semakin melambung. Harga beras di dalam negeri pada 2010 mencapai US$ 1,01 per kilogram dan pada 2011 (Juni) naik menjadi US$ 1,09 per kilogram. Padahal, harga beras di Thailand pada 2010 sangat murah, US$ 0,45 per kilogram dan pada 2011 (Juni) turun menjadi US$ 0,43 per kilogram. Harga naik dipicu berkurangnya pasokan dan pengaruh cuaca yang menghambat proses penjemuran gabah. Tingginya harga gabah dan beras itu dipengaruhi oleh minimnya jumlah panen di daerah penghasil  padi tersebut.

Negara Sangat Dirugikan
Terlalu tingginya disparitas antara harga beras di Thailand sebagai Negara asal impor beras Indonesia dan harga beras di dalam negeri menunjukkan kegagalan tujuan kebijakan impor beras. Dengan membandingkan harga beras impor yang lebih murah, semestinya harga beras di dalam negeri akan semakin murah. Namun, faktanya, harga beras di Indonesia justru menjadi yang termahal di dunia.

Keadaan itu mengundang pertanyaan, sebenarnya siapa yang sedang memainkan “politik perberasan”? Pertanyaan ini lagi-lagi menemukan aktualitasnya dengan fakta bahwa dalam impor beras pada 2011, misalnya, Bulog mengajukan pembebasan atas bea masuk impor beras. Padahal, tidak selayaknya impor beras ini dibebaskan dari bea masuk sebab dengan disparitas yang cukup tinggi antara harga beras di Thailand dan Indonesia, harga beras di dalam negeri masih mungkin ditekan lebih rendah lagi. Jadi, dengan kebijakan impor beras ini, negara merugi dua kali: kebijakan impor tidak sesuai sasaran dan Negara berpotensi kehilangan pendapatan.

Bayangkan bahwa setiap tahun impor beras cenderung meningkat. Bahkan, sejak 1998 impor beras telah  mencapai 5,8 juta ton dan 4 juta ton pada 1999. Dengan demikian, Indonesia menjadi (negara) importir beras terbesar di dunia. Ketergantungan impor beras ini sejatinya tak terlepas dari kebutuhan dalam negeri yang amat besar, harga beras di pasar internasional yang rendah, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi, dan adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir.

Dalam konteks impor beras, dua hal yang menjadi pertanyaan, yakni benarkah perberasan kita sebegitu parah sehingga pemerintah setiap tahun harus impor beras? Pupuskah kebijakan impor beras terhadap harga beras di dalam negeri? Dua pertanyaan ini amat vital sebab jawaban atas pertanyaan inilah landasan pemerintah ke depan dalam mengambil kebijakan impor beras.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), dalam empat tahun terakhir (2007-2010) produksi beras nasional meningkat cukup signifikan, dari 34.578.885 ton (2007) menjadi 41.396.272 ton (November 2010). Sementara itu, impor beras pada 2007 mencapai 1.293.980 ton dan pada 2010 turun drastis menjadi 228.000 ton. Dalam kurun tahun 2008-2009, menurut Laporan Operasional Perum Bulog, Indonesia tidak mengimpor beras.

Dari perkembangan produksi dan impor beras di atas, sulit mengambil kesimpulan apakah dalam kurun 2008-2009 Indonesia sebenarnya sudah swasembada beras hanya karena pemerintah tidak mengimpor beras. Selanjutnya. kita berharap jangan sampai kasus tahun 1957 terulang kembali. Jika memang sudah swasembada beras, mengapa Indonesia masih harus impor beras?

Tampaknya politik pertanian perlu lebih disempurnakan lagi. Setidaknya ada tiga dasar dalam penentuan politik perberasan ini yakni swasembada berkelanjutan, harga yang lebih murah di tingkat konsumen, dan terjadi peningkatan kesejahteraan petani. Di perkotaan, konsumen beras sekitar 96% atau hanya 4% saja yang merupakan produsen beras. Di perdesaan, konsumen beras sekitar 60% atau hanya 40% penduduk desa yang merupakan produsen beras. Implikasinya, setiap kenaikan 10% harga beras, hal itu akan menurunkan daya beli masyarakat perkotaan sebesar 8,6% dan masyarakat pedesaan sebesar 1,7% atau dapat “menciptakan” dua juta orang miskin baru.

Struktur Pasar Beras
Lalu, bagaimana sebenarnya memahami politik perberasan di Indonesia? Bagaimana mungkin Indonesia, Negara agraris, yang sebelumnya mampu swasembada berubah menjadi Negara pengimpor beras terbesar di dunia? Centang perenang politik perberasan nasional salah satunya memang bersumber pada struktur pasar beras.
Ternyata struktur pasar beras di Indonesia bersifat oligopolis. Beras yang ada di pasar hanya sekitar 20% dari total produksi. Sementara sebanyak 80% lagi digunakan petani sebagai produsen untuk dikonsumsi. Kondisi ini mengakibatkan petani selalu dalam posisi tawar yang tidak menguntungkan. Para petani mudah sekali untuk dipermainkan.

Karena itu, hal mendasar yang harus dilakukan adalah kebijakan harga beras yang memberikan rangsangan bagi petani untuk berproduksi, melindungi dan menjamin harga yang layak bagi konsumen, memberikan keuntungan yang wajar bagi pedagang dan pengusaha penggilingan.


Juga tak kalah pentingnya adalah menciptakan hubungan fluktuasi harga yang wajar di dalam negeri terhadap harga beras di pasar dunia. Lebih dari itu, kita juga harus memutar arah strategi pembangunan, yang semula condong ke industri (berteknologi canggih dan berbasis bahan baku impor), beralih ke pertanian (modern, agroindustri). Yang semula kelompok sasaran (target groups) kebijakan lebih banyak untuk masyarakat kota, hendaknya mulai sekarang harus digeser ke kawasan pinggiran (masyarakat perdesaan)."

Penulis adalah Profesor Riset bidang Ekonomi Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Sumber:
http://www.investor.co.id/home/politik-perberasan-nasional-swasembada-vs-impor/27334