Baca Juga
Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam
Islam sebagai agama rahmah lil 'alamin mencakup ajaran-ajaran yang bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan manusia dan alam semesta dari kehancuran. Karena itu, Islam menawarkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu kepada dunia modern dan diharapkan mampu memberikan alternatif-alternatif pemecahan terhadap berbagai problematika hidup manusia.
Salah satu ajaran penting dalam Islam adalah adanya tuntunan agar manusia berupaya menjalani hidup secara seimbang, memperhatikan kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Sebagai prasyarat kesejahteraan hidup di dunia adalah bagaimana sumber-sumber daya ekonomi Qur'an turut memberikan landasan bagi perekonomian umat manusia.
Distribusi merupakan salah satu aktivitas perekonomian manusia, di samping produksi dan konsumsi. Dorongan al-Qur'an pada sektor distribusi telah dijelaskan secara eksplisit. Ajaran Islam menuntun kepada manusia untuk menyebarkan hartanya agar kekayaan tidak menumpuk pada segolongan kecil masyarakat saja. Pendistribusian harta yang tidak adil dan merata akan membuat orang yang kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin.
Sebagai salah satu aktivitas perekonomian, distribusi menjadi bidang kajian terpenting dalam perekonomian. Distribusi menjadi posisi penting dari teori mikro Islam sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini (Sudarsono, 2002: 216).
Pada saat ini, realitas yang nampak dalam masyarakat adalah banyak terjadi ketidakadilan, ketimpangan dan penyimpangan distribusi barang dan jasa yang mengakibatkan kelangkaan, dan akhirnya berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran. Masih segar dalam ingatan kita beberapa kasus penyimpangan distribusi, seperti kelangkaan minyak tanah di beberapa provinsi, termasuk Jakarta, ternyata disinyalir sebagai akibat terjadinya penyimpangan distribusi.
Banyak data menunjukkan bahwa minyak tanah bersubsidi yang seharusnya disalurkan untuk masyarakat menengah ke bawah sebagian dibelokkan atau dijual ke industri (http://fpks-dpr.0r.id), melambungnya harga minyak tanah di Palembang (http://www.tempointeraktif.com), penyimpangan distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Purwokerto (http://www.suaramerdeka.com), kelangkaan pupuk bersubsidi di sejumlah daerah di Kab. Ciamis sehingga mengakibatkan harga pupuk di pasaran naik (http://www.pikiranrakyat.com), kelangkaan pupuk di Kab. Malang yang terjadi karena penyimpangan distribusi, disinyalir pupuk bersubsidi masuk ke tambak, perkebunan besar dan industri (http://www.tempointeraktif.com), penyimpangan distribusi pupuk di Kaltim (http:www.pusri.co.id), penyimpangan distribusi Raskin yang mengakibatkan warga kekurangan pangan dan kelaparan (http://fpls-dpr.or.id), dan sederetan kasus-kasus penyimpangan distribusi lainnya.
Realitas-realitas di atas menunjukkan bahwa penyimpangan distribusi minyak tanah, pupuk, beras, dan yang lainnya berdampak pada langkanya barangbarang produksi sehingga harga barang di pasaran melambung tinggi, bahkan banyak juga warga masyarakat yang kekurangan pangan dan kelaparan.
Berangkat dari dasar pemikiran dan realitas tersebut di atas, Islam sebagai agama yang rahmah lil 'alamin diharapkan mampu memberikan alternatifalternatif pemecahan terhadap problem ekonomi umat. Makalah ini memfokuskan pembahasan pada perbincangan isu-isu penyimpangan distribusi di Indonesia, kritik terhadap distribusi dalam ekonomi kapitalis serta diakhiri dengan tawaran sistem distribusi dalam ekonomi Islam sebagai solusi menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Membincang Isu-Isu Penyimpangan Distribusi di Indonesia
Fenomena-fenomena ekonomi mengenai penyimpangan distribusi barang, baik minyak tanah, pupuk dan beras yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi dan kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Sistem ekonomi Indonesia saat ini masih didominasi oleh sistem ekonomi pasar, meskipun dalam perkembangannya muncullah wacana pemikiran tentang Konsep Ekonomi Pasar Terkelola (KEPT) (Rahardja dan Manurung, 2005: 407).
Sistem ekonomi pasar ini menekankan untuk tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Pendukung doktrin ekonomi pasar bebas atau dikenal dengan istilah ”Laissez-faire”. ”Laissez-faire” adalah sebuah frase bahasa Perancis yang berarti "biarkan terjadi". Istilah ini berasal dari diksi Perancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat di abad ke-18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan (Chapra, 2001: 22). Pandangan ini berpendapat bahwa pemanfaatan terhadap sumber-sumber ekonomi yang terbatas akan mencapai tingkat efisiensi yang tinggi, dan pada gilirannya akan mendorong tercapainya pemerataan dan kesejahteraan bersama apabila pemerintah tidak campur tangan secara langsung dalam perekonomian (Jusmaliani, dkk, 2005: 34). Dalam pandangan ”laissezfaire”, kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, melainkan masalah ekonomi hendaknya sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.
Dasar filosofis pemikiran ekonomi pasar (kapitalis) bersumber dari karya monumental Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang merumuskan bahwa alam semesta berjalan serba teratur, sistem ekonomi-pun akan mampu memulihkan dirinya sendiri (self adjustment) karena ada kekuatan pengatur yang disebut sebagai invisible hands (tangan gaib) (Jusmaliani, dkk, 2005: 38). Dalam bahasa sederhana, invisible hands tersebut adalah mekanisme pasar, yaitu mekanisme alokasi sumber daya ekonomi berlandaskan interaksi kekuatan permintaan dan penawaran. Pemikiran Adam Smith ini terbentuk atas kritiknya terhadap konsep Merkantilisme, yang menjadi sistem dominan di Britania Raya, Spanyol, Perancis dan negara Eropa lainnya pada masa kejayaannya. Dari dasar filosofi tersebut, kemudian menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).
Landasan atau sistem nilai (value based) yang membentuk kapitalisme adalah paham materialisme-hedonisme dan sekulerisme. Paham materialismehedonisme cenderung berpandangan parsial tentang kehidupan dengan anggapan bahwa materi adalah segalanya. Paham materialisme ini telah membawa orientasi hidup kebanyakan manusia lebih kepada kekayaan, kesenangan, dan kenikmatan fisik semata sehingga mengabaikan dimensi spiritual. Sedangkan paham sekulerisme berusaha memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan cenderung mengabaikan dimensi normatif atau moral. Implikasi selanjutnya, paham ini menempatkan manusia sebagai pusat dari segala hal kehidupan (antrophosentris) yaitu manusialah yang berhak menentukan kehidupannya sendiri (Anto, 2003: 358-359). Kedua nilai dasar ini telah menjadi bingkai bagi pembentukan pandangan dunia (world view) ekonomi kapitalis.
Dengan demikian, segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama, tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan asas manfaat ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan (barang) maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa).
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, jika penyimpangan distribusi banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Menurut analisis penulis, terdapat beberapa faktor penyebabnya diantaranya adalah: Pertama, penyimpangan moral (moral hazard) para pelaku ekonomi disebabkan oleh sistem nilai (value based) yang membentuk perilaku pelaku ekonomi pasar (kapitalis) adalah paham materialisme-hedonisme dan sekulerisme. Kedua paham ini telah membawa orientasi hidup kebanyakan manusia cenderung kepada kekayaan, kesenangan, dan kenikmatan fisik semata, sehingga mengabaikan dimensi spiritual. Pandangan inilah yang selanjutnya memunculkan perilaku-perilaku menyimpang, seperti perilaku tadlis (penipuan), baik penipuan terhadap jumlah barang (quantity), mutu barang (quality), harga barang (price) dan waktu penyerahan barang, taghrir (kerancuan, ketidakjelasan), dan ihtikar (penimbunan) barang, Kedua, peran pemerintah dalam intervensi kegiatan ekonomi, khususnya dalam distribusi barang dan jasa masih sangat kurang. Ketiga, kurang maksimalnya wewenang dan fungsi dari pengawasan distribusi barang, seperti contoh Pertamina hanya memiliki wewenang mengawasi jalannya distribusi hingga ke depot minyak tanah, sedangkan selebihnya mulai dari depot ke agen, pangkalan hingga ke pengecer bukan menjadi tanggung jawab Pertamina. Dan keempat, belum maksimalnya upaya penegakan hukum terhadap para pelaku penyimpangan distribusi barang dan jasa.
Kritik Terhadap Distribusi dalam Ekonomi Kapitalis
Sistem distribusi ekonomi di Indonesia masih mengandung beberapa kelemahan. Hal ini disebabkan dominasi sistem ekonomi pasar (kapitalis) yang cenderung memiliki kelemahan, diantaranya ketidakmerataan dan ketimpangan sosial, timbul ketidakselarasan, maksimasi profit, materialistis, krisis moral dan mengesampingkan kesejahteraan (Sudarsono, 2002: 84-86). Kecenderungan ekonomi pasar sebagaimana dikemukakan di atas menyebabkan keadilan sebagai tujuan ekonomi Islami tidak mungkin dapat dicapai.
Berkaitan dengan masalah distribusi, sistem ekonomi pasar (kapitalis) menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dalam suatu negara dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi yang dapat memecah masalah kemiskinan mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah meningkatkan produksi (www.MSI-UII.net).
Dengan demikian, ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat untuk memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab dengan banyaknya pendapatan nasional, maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu dibiarkan bebas memperoleh kakayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya. Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem ekonomi pasar (kapitalis) ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat).
Oleh karena itu, hal yang wajar, jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat, sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kakayaan (www.MSI-UII.net).
Secara umum, kritik mendasar terhadap pasar bebas dalam kapitalisme adalah pada konsep kebebasan pasar yang benar-benar terlampau bebas. Kebebasan ini telah melahirkan apa yang disebut sebagai ”Darwinisme sosial” dalam aspek alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi. Pasar telah menciptakan sebuah sistem seleksi kehidupan yang hanya berpihak pada golongan masyarakat yang berdaya beli, sehingga tidak ada tempat bagi masyarakat miskin. Pasar akan menutup mata terhadap kemiskinan dan pengangguran, sambil menawarkan rasionalitas baru yang tidak mempersulit dirinya terhadap moralitas atau pertimbangan pemerataan. Akhirnya, masyarakat miskin akan terpinggirkan dan semakin miskin. Kemiskinan dianggap sebagai konsekwensi logis dan alamiah karena harus diterima (given) – dari sebuah persaingan. Bahkan kemiskinan tidak hanya dianggap sebagai konsekwensi logis kekalahan dalam persaingan ekonomi, tetapi juga divonis karena sikap malas dan bodoh semata dari orang miskin sehingga tidak bisa bersaing. Usaha produktif dan kerja keras masyarakat miskin tidak diberi penghargaan yang selayaknya, karena tidak didukung oleh kapital yang memadai. Kemiskinan terjadi karena sebuah vicious cyrcle yang seolah benar-benar tidak bisa diinterupsi atau diputus sehingga harus diterima apa adanya. Pada akhirnya, kemiskinan dianggap bukan masalah ekonomi tetapi merupakan masalah sosial dan agama yang diselesaikan dengan banyak sedekah (Anto, 2003: 317).
Dalam sistem ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil. Fakta empirik menunjukkan bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan. Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari, sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi (www.MSI-UII.net).
Kritik konstruktif di atas menghantarkan kita kepada pemikiran untuk membangun sistem distribusi perspektif ekonomi Islam yang diharapkan akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, baik di dunia dan akhirat.
Sistem Distribusi dalam Ekonomi Islam: Solusi menuju Keadilan Distribusi
Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, karenanya ia merupakan bagian integral dari agama Islam. Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya untuk mencapai falah berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai al-Qur’an dan as-Sunnah (P3EI UII dan BI, 2008: 19). Dengan demikian, sangat jelas bahwa ekonomi Islam terkait dan memiliki hubungan yang erat dengan agama, yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis.
Ekonomi Islam mempelajari perilaku individu yang dituntun oleh ajaran Islam, mulai dari penentuan tujuan hidup, cara memandang dan menganalisis masalah ekonomi, serta prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang harus dipegang untuk mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan ekonomi Islam, ekonomi konvensional lebih menekankan pada analisis terhadap masalah ekonomi dan alternatif solusinya. Dalam pandangan ini, tujuan ekonomi dan nilai-nilai dianggap sebagai hal yang sudah tetap (given) atau di luar bidang ilmu ekonomi. Dengan kata lain, ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional tidak hanya dalam aspek cara penyelesaian masalah, namun juga dalam aspek cara memandang dan manganalisis terhadap masalah ekonomi (P3EI UII dan BI, 2008: 19).
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Abu Ubaid, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan asSunnnah, sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya (Karim, 2006: VIII).
Islam memandang bahwa pemahaman materi adalah segalanya bagi kehidupan adalah merupakan pemahaman yang keliru, sebab manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam ekonomi Islam, kedua dimensi tersebut (material dan spiritual) termasuk didalamnya, sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang terangkum dalam empat aksioma sebagaimana dikemukakan oleh Naqvi (2003: 37), yaitu kesatuan/Tauhid (unity), keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas (free will) dan tanggung jawab (responsibility).
Pertama, penekanan Islam terhadap kesatuan/tauhid (unity) merupakan dimensi vertikal yang menunjukkan bahwa petunjuk (hidayah) yang benar berasal dari Allah SWT. Hal ini dapat menjadi pendorong bagi integrasi sosial, karena semua manusia dipandang sama dihadapan Allah SWT. Manusia juga merdeka karena tidak seorangpun berhak memperbudak sesamanya. Kepercayaan ini diyakini seluruh umat Islam, sehingga dapat mendorong manusia dengan sukarela melakukan tindakan sosial yang bermanfaat.
Kedua, dimensi horisontal Islam yaitu keseimbangan (equilibrium) yang menuntut terwujudnya keseimbangan masyarakat, yaitu adanya kesejajaran atau kesimbangan yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam, diantaranya adalah pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu orang yang miskin dan membutuhkan, keharusan membuat penyesuaian dalam spektrum hubungan distribusi, produksi dan konsumsi, dan sebagainya. Prinsip ini menghendaki jalan lurus dengan menciptakan tatanan sosial yang menghindari perilaku ekstrimitas.
Ketiga, kebebasan (free will) yaitu kebebasan yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan Allah. Kebebasan manusia untuk menentukan sikap -baik dan jahat- bersumber dari posisi manusia sebagai wakil (khalifah) Allah di bumi dan posisinya sebagai makhluk yang dianugerahi kehendak bebas.
Namun demikian agar dapat terarah dan bermanfaat untuk tujuan sosial dalam kebebasan yang dianugerahkan Allah tersebut, ditanamkan melalui aksioma keempat yaitu tanggung jawab (responsibility) sebagai komitmen mutlak terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sesama manusia.
Berkenaan dengan teori distribusi dalam sistem ekonomi pasar (kapitalis) dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan faktor produksi yang dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah pendistribusian tersebut adil dan merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya dirasakan segelintir orang saja. Teori yang diterapkan sistem ekonomi pasar (kapitalis) ini termasuk dzalim dalam pandangan ekonomi Islam sebab teori ini berimplikasi pada penumpukan harta kekayaan pada sebagian kecil pihak saja.
Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam, yang sangat melindungi kepentingan setiap warganya, baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Sistem ekonomi Islam menghendaki bahwa dalam hal penditribusian harus didasarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan (Qardhawi, 1997: 201). Kebebasan di sini adalah kebebasan yang dibingkai oleh nilai-nilai tauhid dan keadilan, tidak seperti pemahaman kaum kapitalis, yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sedangkan keadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-Qur’an (al-Hasyr: 7) agar supaya harta kekayaan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Dalam al-Qur'an disebutkan keadilan adalah tujuan universal yang ingin dicapai dalam keseimbangan yang sempurna (perfect equilibrium). Pengertian lain disampaikan oleh al-Farabi dalam Jusmalinai, dkk (2005: 98) yang menyatakan bahwa keadilan adalah sama dengan keseimbangan. Dalam tafsir al-Qur'an, perintah adil adalah perintah yang paling dianjurkan dan harus diterapkan dalam keseluruhan aspek kehidupan. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ar-Rahman (55): 7-9 yang menekankan tentang keadilan di bidang ekonomi. Lebih lanjut nash al-Qur'an (QS. Al-Hujurat (49), at-Taubah (9), al-Mumtahanah (60): 8, al-Maidah (5): 42, al-Fajr (89): 20 menjelaskan pentingnya keadilan sosial yang tidak hanya mencakup keadilan dalam membagi kekayaan individu melainkan juga kekayaan negara, memberikan kepada pekerja upah yang sesuai dengan jerih payahnya.
Keadilan sosial juga berarti mempersempit jurang pemisah antara individu maupun golongan satu sama lain, dengan membatasi keserakahan orang-orang kaya di satu sisi dan meningkatkan taraf hidup orang-orang fakir miskin di sisi lain (Jusmaliani, dkk, 2005: 99-100).
Dengan demikian, sistem distribusi dalam pandangan ekonomi Islam harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, diantaranya adalah kebebasan individu, adanya jaminan sosial, larangan menumpuk harta dan distribusi kekayaan yang adil.
Upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan distribusi tidak dapat bertumpu pada mekanisme pasar saja. Karena mekanisme pasar yang mendasarkan pada sistem harga atas dasar hukum permintaan dan penawaran tidak dapat menyelesaikan dengan baik penyediaan barang publik, eksternalitas, keadilan, pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan. Dalam realitas, pasar juga tidak dapat beroperasi secara optimal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat pasar yang kompetitif, seperti informasi asimetri, hambatan perdagangan, monopoli, penyimpangan distribusi, dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan adanya peran pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan (P3EI UII dan BI, 2008: 83).
Pemerintah berperan secara aktif dalam sistem distribusi ekonomi di dalam mekanisme pasar Islami yang bukan hanya bersifat temporer dan minor, tetapi pemerintah mengambil peran yang besar dan penting. Pemerintah bukan hanya bertindak sebagai 'wasit' atas permainan pasar (al-muhtasib) saja, tetapi ia akan berperan aktif bersama-sama pelaku-pelaku pasar yang lain. Pemerintah akan bertindak sebagai perencana, pengawas, produsen sekaligus konsumen bagi aktivitas pasar.
Mekanisme sistem distribusi ekonomi Islam dapat dibagi menjadi dua (2) yaitu mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi. Mekanisme ekonomi meliputi aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta dalam akad-akad mu'amalah, seperti membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan individu dan pengembangan harta melalui investasi, larangan menimbun harta, mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di segelintir golongan, larangan kegiatan monopoli, dan berbagai penipuan dan larangan judi, riba, korupsi dan pemberian suap (http://www.khilafah1924.org).
Pemerintah berperan dalam mekanisme ekonomi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu pertama, peran yang berkaitan dengan implementasi nilai dan moral Islam; kedua, peran yang berkaitan dengan teknis operasional mekanisme pasar; dan ketiga, peran yang berkaitan dengan kegagalan pasar (P3EI UII dan BI, 2008: 84). Ketiga peran ini diharapkan akan mampu mengatasi berbagai persoalan ekonomi karena posisi pemerintah tidak hanya sekedar sebagai perangkat ekonomi, tetapi juga memiliki fungsi religius dan sosial.
Sedangkan mekanisme non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi produktif melainkan melalui aktivitas non-produktif, seperti pemberian hibah, shodaqoh, zakat dan warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna, jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata (http://www.khilafah1924.org).
Mekanisme non-ekonomi diperlukan, baik disebabkan adanya faktor penyebab yang alamiah maupun non-alamiah. Faktor penyebab alamiah, seperti keadaan alam yang tandus atau terjadinya musibah bencana alam. Semua ini akan dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan tidak dapat berjalan karena orangorang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti kompetisi kegiatan ekonomi secara normal, sebagaimana orang lain. Jika hal ini dibiarkan saja, orang-orang yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi dan rentan terhadap perubahan ekonomi, yang selanjutnya dapat memicu munculnya problema sosial, seperti kriminalitas (pencurian, perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya (http://www.khilafah1924.org).
Mekanisme non-ekonomi juga diperlukan karena adanya faktor penyebab non-alamiah, seperti adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan mekanisme ekonomi, seperti monopoli, penyimpangan distribusi, penimbunan, dan sebagainya dapat menimbulkan ketimpangan distribusi kekayaan. Untuk itu, diperlukan peran pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan ekonomi ini (http://www.khilafah1924.org).
Bentuk-bentuk pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi ini antara lain adalah:
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, shadaqoh, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris, dan lain-lain.
Dengan adanya pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi melalui aktivitas pemberian zakat, infaq, hibah, wakaf dan shadaqoh, maka diharapkan akan dapat menjembatani kesenjangan distribusi pendapatan antara ”the have” dan ”the have not”