Baca Juga
Dasar-Dasar Metode Pemikiran Dan Hermeneutik Teologi Feminis
A. Asal-Usul Timbulnya Gerakan Teologi Feminis.
Pada akhir abad 20, sekitar tahun 1960an, teologi Feminis mulai bertumbuh dan berakar dari North American Black Theology dan Latin American Liberation Theology. Ada kesamaan antara Teologi Feminis dan Latin American Liberation Theology, menurut Stanley J. Grenz kesamaan di antara kedua teologi ini adalah pada tema utamanya yaitu penindasan. Latin American Liberation Theology dimulai dengan berlandaskan pada suatu pengalaman penindasan yang sangat mendalam sehingga 'penindasan' ini menuntut mereka untuk mendapatkan pembebasan, sedang dalam gerakan Teologi Feminis landasan mereka adalah situasi penganiayaan dan penindasan terhadap kaum wanita di mana penindasan menjadi dasar arah teologi mereka. Mereka ingin dibebaskan dari penganiayaan dan penindasan (oleh kaum laki-laki) yang sudah terjadi selama ratusan tahun lalu.[1] Pengalaman penderitaan wanita Amerika Latin dan Amerika Utara mendorong kaum Feminis untuk mencari sebab kesalahan ini dan meminta keadilan dalam hidup mereka.
Late twentieth century feminist theology shares certain similarities with North American Black Theology and Latin American liberation theology. Like they, it begins with a situation of opression, there by becoming crucial reflection on praxis the experience of opressed persons freeing themselves from denomination.[2]
1. Teologi Pembebasan
Karena teologi Feminis berasal dari Teologi Pembebasan, maka alangkah baiknya jika tulisan ini juga menyinggung tentang prinsip-prinsip dasar yang sangat penting dalam teologi pembebasan, yang dipelopori oleh seorang pendeta Peruvian di Amerika Latin yang bernama Gustavo Gutierrez. Ia adalah orang pertama yang mempopulerkan istilah 'Teologi Pembebasan", dalam bukunya yang berjudul A Theology of Liberation, 1971. Ia memulai sudut pandang teologinya dengan mengobservasi pengalaman hidupnya sebagai pendeta di Amerika Latin yang menyoroti.
Semangat pembebasan ini dimulai pada Konsili Vatikan II 1962-1965, uskup dari seluruh daerah Amerika Latin dan sekitarnya bertemu bersama-sama dan memecahkan masalah-masalah sosial-politik dan mengupayakan adanya tindakan-tindakan kongkrit yang harus dilakukan.[3] Gutierrez bekerja di antara rakyat yang sangat miskin di Lima, Peru. Ia meneliti serta memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menolong mereka. Beranjak dari pemikiran ini ia mencoba untuk menyelesaikan penindasan dengan beberapa teori dan ide pemikirannya. Michael Novak menyadur pemikiran Gutierrez yang dikutip oleh Mary A. Kassian,
I discovered three things. (Firstly) I discovered that poverty was a destructive thing, something to be fought out against and destroyed, not merely something which was the object of our charity. (Secondly), I discovered that poverty was not accidental. The fact that these people are poor and not rich is not just a matter of chance, but the result of a structure. It was a structural question. (Thirdly), I discovered that poor people were a social class. When I discovered that poverty was something to be fought were a social class…it became crystal clear that in order to serve the poor, one had to move into political actions.[4]
Fokus dari tujuan teologi Pembebasan adalah mendasarkan pemikiran mereka pada konteks alkitabiah yang pesannya adalah untuk membebaskan manusia dari keterikatan dunia mereka dari tindakan opresif. Letty M. Russel juga menyatakan demikian, 'hear, understand, and accept this message of God's gift of freedom and salvation in their lives'.[5]
Jadi Allah berada pada posisi membela orang-orang yang tertindas, 'God is on the side of the opressed'.[6] Gutierrez melihat bahwa perjalanan keluarnya bangsa Israel dari Mesir dan perjalanan Kristus membebaskan manusia dari dosa "the Liberator of Sin", menunjukkan secara jelas bahwa Allah adalah "pembebas" bangsa Israel dan masyarakat tertindas di seluruh dunia.[7] Ia juga menawarkan pengalaman sejarah secara praksis sebagai cara berteologi yang baru.[8] Karena itu ia melihat bahwa gereja memerlukan pembacaan ulang mengenai kehidupan spiritualnya dengan bertolak dari sudut pandang si tertindas atau orang miskin sebagai cara berefleksi yang baru.[9]
Penindasan menurut Gutirrez sudah bukan lagi tindakan individu tetapi sudah merupakan suatu sistem dan terstruktur dengan baik. Ia mengusulkan agar teologi mulai memikirkan, menganalisa dan mengusahakan suatu perbaikan dengan meminjam ideologi dari teori komunis Marxist.[10] Ia mengusulkan adanya pekerjaan penyelamatan "salvivic work" dalam tiga tahap: pertama, pembebasan secara politik, kedua, pembebasan secara kemanusiaan, dan terakhir, pembebasan dari dosa. Melalui hal ini semuanya dilihat bukan hanya merupakan kesalahan individu, tetapi sudah merupakan kesalahan menyeluruh dalam suatu struktur dan sistem masyarakat.[11] Fungsi gereja menurut dia adalah harus membela keperluan dan memihak kepentingan kaum tertindas.
The church must become the church of the poor. Neutrality is impossible. Not to side with the poor is side with those who opress them. …what is needed is the "conversion" of the church, a conversion from the side of the powerful to the side of the powerless. [12]
Pusat refleksi teologi Gutierrez adalah pada orientasi 'orthopraxis'[13] bukan pada 'orthodoxy'. Pada awal bukunya A Theology of Liberation ia menjelaskan, ia bukannya menentang atau menolak ortodoksi tetapi ia lebih melihat bahwa ortodoksi sudah tidak dapat lagi berbicara banyak untuk menolong situasi dunia saat itu, yaitu penindasan. Ia melihat gereja sudah mulai "mandul" dengan meninggalkan dan lupa pada panggilannya untuk membela dan bergerak secara nyata mengejawantahkan pentingnya memiliki pendirian ortopraksis.[14]
2. Kritik terhadap Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan sangat menekankan "human experience" khususnya pengalaman manusia yang ditindas, perspektifnya sangat anthroposentris. Penilaian teologi pembebasan ini tidak obyektif, pertama, karena teologi ini mengamati dan menafsirkan inti sari ajaran Alkitab dengan konteks sisi masyarakat yang tersisih atau tertindas dan teristimewa terjadi di negara Amerika Latin.[15] Apakah Allah hanyalah Allah yang memihak kaum tertindas? Tidakkah Allah juga mencintai orang yang menindas? KasihNya tak memihak pada salah satu kaum saja? Lihatlah apa yang dikerjakan Tuhan Yesus di dunia, ia memberi pengampunan bukan hanya kepada kaum tertindas, tetapi juga kaum penindas, pemungut cukai, orang Farisi, dll.
Kedua, teologi pembebasan terlalu memaksakan diri untuk dapat memasukkan ajaran utama mereka sebagai suatu penyelesaian yang "final", dengan memakai metode "praxis-historical-approach".[16]
Ketiga, pembebasan yang ingin mereka dapatkan adalah pembebasan secara "utopia" mencapai masyarakat tanpa penindasan. Hal ini sangatlah tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan Alkitab itu sendiri, Yesus mengatakan, "kemiskinan akan selalu ada padamu" (Mrk 14:7, Yoh 12:8). Masalah utamanya bukan pada kemiskinan atau penindasan tetapi mengapa ada kemiskinan atau penindasan. Jawaban dari akar pertanyaan itulah yang akan menentukan penyelesaian secara tuntas tentang penindasan atau kemiskinan. Jawabannya sudah sangat gamblang dijelaskan dalam Alkitab. Akar permasalahan dari kemiskinan atau penindasan, menurut Alkitab adalah karena "The Fall" -kejatuhan manusia dalam dosa. Dan penyelesaian masalah dosa hanya ada satu jalan yaitu melalui darah AnakNya yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus (Mat 5-7). Manusia memerlukan anugerah Allah bukan usaha dari kemampuan manusia sendiri (Ef 2:8-10).
Keempat, teologi Pembebasan mengatakan bahwa teologi haruslah yang mengedepankan dan menomorsatukan "Critical Reflection-Orthopraxis" dan menomor duakan "Critical Cognition-Orthodoxy".[17] Mereka tidak puas hanya dengan "Church Dogmatic's Karl Barth" atau "Tillich's Systematic Theology" berteologi "from above", mereka menawarkan cara baru dalam berteologi yaitu teologi "from below".[18]
Kelima, pengaruh dari ajaran Karl Marx yang sudah nyata menyatakan warna "atheis" dalam teori komunisnya, tidak di"filter" dengan sungguh-sungguh. Akibatnya titik awal dan titik akhir dari teologi pembebasan adalah "human centered ability"[19] sehingga mau tidak mau akan menyingkirkan peranan Allah dalam menjalankan ideologinya. Tidak ada konsep tentang kerusakan total manusia karena adanya dosa dan tidak ada konsep bahwa manusia tidak membutuhkan anugerah Allah. Manusia baru atau kemanusiaan baru yang diinginkan oleh teologi pembebasan adalah ciptaan manusia sendiri bukan karya Allah, 2 Kor 5:17.
Keenam, teologi pembebasan perlu diakui berhasil dalam mengingatkan gereja akan kesadaran berteologi dengan perspektif hermenetik baru, yaitu "hermeneutical suspicion" dan "hermeneutical priviledge of the poor". Teologi adalah "the Word of God must guide praxis" bukan sebaliknya "praxis guides the Word of God". Firman menuntun tingkah laku, Allah menuntun manusia, bukan tingkah laku menuntun Firman atau manusia menuntun Allah. Jadi "the Living Word" Firman yang hidup bukan hanya dimiliki secara pengertian tetapi di dalam Alkitab dijelaskan bahwa Firman itu Hidup di dalam kehidupan praksis orang percaya. (Yoh 6:35, 48, 51. 14: 6, Kis 5:20)
Teologi Reformasi percaya bahwa "theology written in books must be written in lives", the truest true test of a person's faith being love for the neighbor". (Calvin Commentary Habakuk 2:6, lecuture 111).[20] Sejarah gereja membuktikan bahwa perjalanan Teologi Reformasi nyata sekali melibatkan diri dalam peranannya mengentaskan kemiskinan, mulai dari John Knox, John Huss, Luther, dan terutama Calvin sangat nyata terlihat dalam bukunya Institutio, ia menuliskan pembelaan imannya kepada Raja Perancis jaman itu, King France I. Belum lagi bagaimana beratnya perjuangan para reformator dalam upaya menelorkan suatu pengakuan iman mulai dari pengakuan iman Nicea sampai pengakuan iman Westminster. Semua ini merupakan partisipasi para teolog 'Reformed' untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat pada saat itu, menegakkan keadilan, kebenaran, dan menolong kaum tertindas, tersisih, teraniaya, dan terbuang.[21]
3. Awal Merebaknya Gerakan Teologi Feminis
Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi seminari mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui dan dilegalitaskan di Amerika dalam undang-undang.[22] Lalu mulai ada beberapa penulis wanita merasa terbeban dalam mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan Feminisme ini ke dalam suatu karya tulisan/buku. Mereka menyoroti pengaruh 'patriarchal' yang ada di dalam Alkitab dan penafsiran tradisi gereja secara socio-cultural dalam hal ini khususnya konsep Allah Tritunggal.
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan teologi Feminis ini antara lain, Elizabeth Schüssler Fiorenza dengan karyanya In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of Christian Origins 1983, Mary Daly dengan karyanya The Church and the Second Sex (1968) dan Beyond God the Father (1973), Letty M. Russell dengan karyanya Human Liberation in a Feminist Perspective - A Theology dan Feminist Interpretation of the Bible (1985), Rosemary Radford Ruether dengan karyanya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, Women-Church: Theology and Practice (1985), Virginia Ramey Mollenkott dengan karyanya The Divine Feminine: The Biblical Imagery of God as Female, dan lain-lain.
4. Tiga Langkah Pengembangan dan Pendekatan Teologi Feminis
Kaum Feminis mengembangkan tiga langkah yang selalu dipakai dalam berteologi; pertama, kritiknya dimulai dari peristiwa masa lampau - suatu penyembuhan dari ingatan bahaya penindasan yang dialami kaum wanita pada masa lampau yang dilakukan oleh kaum laki-laki ‘patriarchal’,[23] tradisi gereja dan budaya. Kedua, mencari alasan, istilah dan alternatif lain untuk mendukung gerakan mereka yang disesuaikan dengan keinginan mereka, bisa diambil dari Alkitab dan dari luar Alkitab. Ketiga, mereka mengembangkan metode teologi untuk merevisi doktrin yang tidak sesuai dengan lingkup dunia wanita.[24]
Seperti juga American Liberation Theology, Feminisme melihat teologi sebagai refleksi dari suatu tindakan atau pengalaman yang diterima kaum wanita yang tertindas oleh kaum laki-laki. Semua pendekatan teologi Feminis harus didasarkan pada pengalaman 'praxis' wanita, bukan bersumber utama kepada gereja, Alkitab atau tradisi gereja. Sama seperti Stanley J. Grenz yang mengatakan, “That this foundational step came last is no accident, for feminist theology, sees theology as reflection on the process of reconstructing Christian belief and life on the basis of women’s experience.”[25]
Salah satu tokoh teolog Feminis, Rosemary Radford Ruether, mengevaluasi para Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes, Agustinus, Socrates, Plato, Philo, dll., mereka hanya menghargai keberadaan kaum laki-laki sebagai ‘the Image of God’ sedangkan wanita bukan ‘the Image of God’, Thomas Aquinas menghargai wanita sebagai seorang laki-laki yang dilupakan dan Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status wanita di dalam gereja, bahkan Karl Barth pun mengatakan wanita di dalam perjanjian dengan Allah menduduki tempat nomer dua.[26] Chrysostom sependapat dengan Agustinus bahwa hanya manusia khususnya laki-laki yang sesuai dengan ‘image of God’ karena itu laki-laki mempunyai otoritas dan wanita tidak, 'Then why is the 'man' said to be in the 'image of God' and woman not? …'image' has rather to do with authority, and this only the man has; woman has it no longer.' [27]
Berdasarkan kutipan di atas, dasar kritik hermeneutik teologi Feminis tidak mempunyai pijakan yang kokoh karena mereka menyandarkan penafsiran teologinya dengan kacamata praktis-historis yaitu pengalaman hidup bapa-bapa gereja dijadikan olok ukur, dalam mengerti konsep pemahaman tentang ajaran atau doktrin Allah tidaklah diperbolehkan memakai metode penafsiran secara praktis saja.
Ruether mengatakan bahwa kekristenan sudah mewarisi suatu sistem dualisme yang sangat kental yang sudah mengotori dasar pemikiran Alkitab baik secara epistimologi, moral atau ontologi.[28] Ia mengatakan bahwa pemikiran ini sudah meresap sampai ke tulang sumsum tradisi penulisan Alkitab.
Kalau dicermati sebenarnya teologi Feminis mengalami kesulitan dalam menentukan otoritas dan ketetapan pandangan teologi mereka sendiri, jika mereka hanya mengandalkan pengalaman ‘womenhood’nya saja, ini berarti hermeneutik mereka sudah 'dead lock' tertutup dari segala sudut pandang hermeneutik lainnya. Metode yang digunakan Feminisme sangat tidak obyektif, karena tolok ukurnya adalah pengalaman praksis yang sempit (khusus) dunia wanita, mereka secara tidak langsung menolak metode di luar metode milik mereka. Grenz mengatakan, "The heart of the difficulty lies in feminist theology’s view of authority, a view that actually amounts to rejection of any authority except that exercised by feminist consciousness.[29]
Artikel Betty Talbert-Wettler menerangkan bahwa untuk mengerti apakah Feminisme itu sekuler atau tidak, gereja wajib mengerti dan memahami presaposisi mereka. Inilah beberapa presaposisi yang ditulis oleh Betty Talbert-Wettler, “The use of the phrase “secular feminist religious philosophy” limits the subject to deal with those feminists who accept the following presuppositions" :
1. Christianity is at its core a patriarchal system that oppresses women.
2. “Masculine symbolism for God reinforce sexual hierarchy, placing men in an unbalanced position of authority over women.”
3. Christ is a distinctly male image, symbol of methapor for God. Christ as a male symbol, metaphor, or role model is incompatible with women’s religious needs.
4. Women must be “liberated” from an opressive male society based upon different values than those traditionally offered by “male philosophy” of “male religion.”[30]
(Arti kutipan di atas dapat dimengerti dalam terjemahan seperti di bawah ini:
1. Feminis melihat bahwa sistem ajaran inti kekristenan bersifat ‘patriarchy’ yang menindas wanita.
2. Simbol ‘maskulin’ untuk Allah menguatkan sistem hirarki, menempatkan kedudukan laki-laki melebihi kedudukan wanita.
3. Simbol, metafor dan gambaran Kristus sebagai laki-laki tidak cocok dengan kepentingan religi wanita.
4. Wanita harus dilepas-bebaskan dari penindasan kaum laki-laki baik secara teologis dan sosial. Wanita harus membangun komunitas baru yang berdasarkan pada nilai-nilai yang berbeda dengan tradisi dan filsafat ‘patriarchy’.)
B. Prinsip-Prinsip Hermeneutik Teolog Feminis
Hermeneutik Feminis sebenarnya memuat hampir semua prinsip penting hermeneutik yang sudah ada, pada tingkat pertama atau tingkat teoritis teolog Feminis menawarkan suatu model hermeneutik secara 'socio-critical'.[31] Hermeneutik 'Socio-critical' adalah metode prinsip penafsiran teks Alkitab yang dibuat untuk mempromosikan dan melegalkan kaum 'kedua' yaitu kaum wanita yang mengalami penindasan dalam kehidupan sosial tatanan masyarakat yang dikuasai oleh sistem 'patriarchal'. Tujuan kritik terhadap prinsip hermeneutik Feminis ini adalah untuk membuka tabir 'pelegalitasan' fungsi sosial yang menindas dan menekan hak-hak wanita yang dipinggirkan.
Hermeneutik Feminis ini menyimpan suatu perasaan yang menaruh semacam 'kecurigaan' atau bahkan boleh disebut 'dendam' terhadap konstruksi yang ada dalam kehidupan manusia di dunia khususnya pengaruh sistem 'kebapakan' dalam tradisi gereja, teks Alkitab, yang tidak memberikan kenetralan dalam pemakaian penafsirannya.[32]
1. Letty M. Russel
Letty M. Russel mengatakan bahwa berita Kitab Suci dapat menjadi firman yang membebaskan bagi mereka yang mendengar dan bertindak dalam iman. Namun, berita Kitab Suci ini perlu dibebaskan dari penafsiran seksis yang mendominasi pikiran dan tindakan kita. Hal ini diungkapkan di dalam bukunya The Liberating Word: A Guide to Non-Sexist Interpretation of the Bible, yang diterbitkan tahun 1976 oleh satu tim kecil dari The National Council of the Church of Christ (NCCC) yang bertugas khusus membahas seksisme di dalam Kitab Suci. Sebenarnya buku sederhana ini sangat kurang 'matang' kalau dipakai sebagai pedoman penafsiran Alkitab secara menyeluruh. Dalam bukunya itu Letty Russel berpendapat bahwa Kitab Suci perlu dibebaskan bukan saja dari tafsiran-tafsiran yang telah ada, melainkan juga dari bias patriarkal yang ada di dalam teks Kitab Suci itu sendiri. Ada dua prinsip hermeneutik penting yang ingin dipaparkan oleh Letty Russel, pertama 'Firman yang Membebaskan', kedua, 'Firman yang Dibebaskan'. [33]
Perjalanan gerakan Feminis ini berhasil menembus ke seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat khususnya di Amerika, mereka berhasil merevisi Alkitab bahasa Ibrani menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan konteks pemikiran Feminis, kemudian NCCC Amerika pun mengikutsertakan tokoh-tokoh kaum Feminis dalam merevisi ulang Kitab Suci RSV (Revised Standard Version). Kemudian satu komisi: Phylis Bird, Cheryl Exum dan Katherine Sakenfield bekerja sama dengan NCCC menerbitkan An Inclusive Language Lectionary (Daftar buku bacaan Kitab Suci dalam bahasa Inklusif) untuk digunakan dalam kebaktian dan khotbah.[34]
Prinsip-prinsip hermeneutik Feminis dimulai dengan kesadaran yang meliputi banyak macam unsur. Feminisme mengandung unsur pluralisme sebagaimana terdapat di dalam penafsiran aliran apapun yang kaya dan rumit, misalnya penafsiran terhadap manusia dan dunia ini. Namun ada beberapa keyakinan pokok yang setidak-tidaknya disetujui oleh sebagian besar oleh teolog Feminis, termasuk di dalamnya Letty Russel sendiri. Margareth A. Farley mengatakan, "(1) the principle of equality (women and men are equally fully human and are to be treated as such) and (2) the principle of mutuality (based on a view of human persons as embodied subjects, essentially relational as well as autonomous and free)." [35]
Tafsiran teologi Feminis dan tafsiran Teologi Pembebasan sama-sama mempunyai usaha untuk membebaskan diri dari cengkeraman "penindasan", bagi teolog Feminis penindasan ditujukan khususnya pada pandangan dunia patriarkal yang tidak akan pernah selesai karena kisah-kisahnya secara terus-menerus dibentuk oleh pandangan itu. Jika demikian apakah harapan mereka mengenai Firman yang dibebaskan merupakan harapan yang sia-sia? Mungkin jawabannya adalah Firman Allah tidak sama dengan teks Kitab Suci. Cerita di dalam teks-teks Alkitab dialami sebagai Firman Allah pada saat cerita itu didengar di dalam komunitas orang beriman yang bergumul sebagai saksi atas kasih Allah terhadap dunia ini. Ini pun merupakan karunia Roh Kudus. Dialah yang menghidupkan kata-kata sehingga kata-kata itu mengubah kehidupan si pendengar. Dalam proses pendengaran yang baru, tradisi Alkitab dan tradisi gereja senantiasa membutuhkan kritik dan tafsiran baru, jika tradisi itu ingin dibebaskan sebagai saksi di dalam situasi, perspektif, serta tantangan-tantangan baru.[36]
Kunci lainnya ialah pembebasan merupakan proses yang berlangsung terus menerus, suatu proses yang diungkapkan dalam dinamika karya penciptaan baru Allah. Penciptaan baru ini sudah terwujud, namun belum sepenuhnya sempurna. Firman sudah dibebaskan ketika Firman itu bersaksi untuk tindakan pembebasan Allah dalam kisah Israel dan Yesus Kristus. Firman itu senantiasa perlu dibebaskan dari keterbatasan-keterbatasan historisnya sendiri, sama seperti firman itu perlu dibebaskan dari keterbatasan-keterbatasan para penafsirnya. Suatu saat firman itu akan dibebaskan, ketika firman Allah digenapi di dalam ciptaan baru, saat segala sesuatu berada sesuai dengan kehendak Allah.[37]
Proses pembebasan ini biasanya melibatkan empat penekanan: 1) Para penafsir teolog Pembebasan dan Feminis berjuang secara kritis terhadap teks. Semua sumber terbaik digunakan untuk memungkinkan mereka memahami berita teks itu dalam horizon pengharapan alkitabiah maupun dalam horizon situasi yang sedang dihadapinya. 2) Mereka menaruh perhatian khusus terhadap konteks berita itu dan para pendengarnya. Sama seperti penerjemahan, penafsiran merupakan rekonstruksi makna secara kreatif. 3) Bagi para Feminis, makna ini muncul secara nyata dan jelas melalui komunitas yang berjuang untuk mengatasi dominasi dan dehumanisasi atas setengah penduduk dunia. 4) Penafsiran dipahami sebagai tindakan yang lahir dari komitmen mereka yang miskin dan tersisih. Kabar Baik disampaikan kepada mereka yang miskin dan tersisih sebagai suatu jalan untuk memahami horizon pengharapan akan Penciptaan Baru Allah.[38]
Dasar dari tujuan teologi Pembebasan Feminis adalah "freedom". (Walaupun dalam prakteknya di antara kaum Feminis sendiri pengertian "freedom" rancu.) Ia mengeluarkan pernyataannya ini berdasarkan Roma 8:22-23. Di mana Paulus menggambarkan bahwa seluruh dunia sedang dilanda kesakitan menantikan pembebasan. Letty juga memakai peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir sebagai dasar pembebasan wanita dari perbudakan laki-laki. [39]
Kesadaran Feminis membuka jalan bagi kaum perempuan untuk mengakui adanya hal-hal esensial kemanusiaan, sebagaimana telah dijelaskan di dalam filsafat Pembebasan modern, yaitu otonomi individu dan kemampuan untuk memilih dengan bebas. Jika hal-hal ini diakui sebagai hal esensial bagi perempuan seperti bagi laki-laki, konsekuensinya ialah bahwa perempuan juga harus dihargai sebagai "tujuan", bukan sekedar "alat". Kepentingan dan maksud mereka harus dihargai sama tingginya dengan kepentingan laki-laki.[40]
Menurut Letty M. Russel, tujuan final yang 'ultimate' dari gerakan feminis adalah merealisasikan kemanusiaan yang baru, "the final and ultimate goal of liberation (feminist theology) that was the realization of a new humanity."[41] Teolog Feminis mempunyai visi baru untuk jaman baru dalam memperbaharui dunia dan masyarakat lama.
In its state of mortality and decadance all the universe longs for the fulfillment of God's new creation when all parts will be born again in harmony, when the New Age promised by God and begun in Jesus Christ will be fulfilled…. When the end and goal of this action is completed, Christ will hand himself and all things back to God. [42]
Letty Russel maupun Rosemary Ruether membangun teologinya dengan bersandar pada dua tema besar dan utama dari kerangka Alkitab, Pembebasan dan Keuniversalan. "…Letty identified two majors motifs or themes of the Bible, Liberation and Universality".[43] Pembebasan sebagai kerangka yang menggaris bawahi teologi Feminis, "They viewed liberation as the essensial crux for Scriptural interpretation,". Analisa teologinya juga dimulai dari "woman-centered analaysis of …women's experience".[44]
Ia percaya bahwa Allah mempunyai rencana keselamatan secara eskatologi bukan hanya bagi orang Kristen saja tetapi teristimewa bagi mereka yang memperjuangkan pembebasan wanita dari segala macam penindasan, ia percaya bahwa semua manusia akan menerima perjanjian Pembebasan dari Allah dengan merealisasikan kemanusiaan baru, masyarakat baru, dan jaman baru.[45]
Metodologi teologi Feminis Russel, didasarkan pada presaposisi sifat dinamis dari penafsiran pewahyuan. Russel menyebut metodologinya "critical reflection". Jadi teologi Feminis menurut Russel harus memulai pengertian teologinya dengan pengalaman personal wanita. Ia mengusulkan agar Teolog Feminis menggunakan logos (mind) dalam perspektif God (Theos). Ia menyebut metode teologinya sebagai metode "logy-theo", dimulai dari logos-mind milik wanita yang dialami secara individu lalu dengan pengalaman itu mereka melihat dan menafsir 'revelation' atau "Allah".[46] Keselamatan dianggap sebagai gerakan pembaharuan sosial saja. "Too Feminist, salvation, was viewed as a social as well as individual event."[47]
Walaupun demikian Letty M. Russel masih mempertahankan teks Alkitab sebagai dasar berteologinya. Ia mengatakan, "Alkitab tetap menjadi Firman yang membebaskan pada saat orang percaya mendengarkan dan berusaha menghayatinya bersama orang lain. …meskipun teks Alkitab bersifat patriak, saya tidak berniat mengabaikan Alkitab sebagai dasar dalam berteologi."[48] Tetapi ditulisan selanjutnya ia berkata, "barangkali akan lebih bermanfaat untuk tidak bersandar pada Alkitab sebagai sumber normatif bagi teologi saya. Namun agaknya hal itu tidak dapat saya lakukan."[49]
Letty Russel mengungkapkan bahwa penafsiran Feminis tidak menerima otoritas yang mendukung sistem patriark. Jika Alkitab sendiri mendukung sistem ini maka secara tegas teologi Feminis menolaknya. Yang paling berbahaya menurut Rusel adalah apabila Alkitab disebut "Firman Allah" dan mengganggapnya pengilhaman dari Allah sehingga apapun yang kita baca dari Alkitab selalu benar.[50]
Penulis melihat bahwa hermeneutik Letty M. Russel menghadapi keadaan yang sulit dan dilematis. Hal ini disebabkan kepercayaan Russel pada Alkitab (Firman Allah) sebagai otoritas tertinggi kurang kokoh dan perlu diragukan. Ia memegang Alkitab sebagai acuan dasarnya (ia tak mau meninggalkan atau membuang Alkitab) tetapi ia juga memegang metode penafsiran yang mengunggulkan "women experience-centered". Jadi jika Alkitab tak sesuai dan membela kaum kebapakan dan menindas kaum perempuan, ia akan menolak Alkitab! Terlihat ia tetap menomorduakan Alkitab.
Setelah memahami pikiran dan ulasan pendirian teolog Feminis, Letty M. Russel, maka tiba saatnya penulis akan menguraikan konsep-konsep pemikiran Rosemary Radford Ruether.
2. Rosemary Radford Ruether
Latar belakang kehidupan Ruether mempunyai dampak affektif dalam pemikirannya, maka penulis ingin menguraikan dengan singkat 'background' kehidupan tokoh Feminis ini. Ayahnya adalah seorang Anglikan, Republikan, dan kaum ningrat di Virginia. Dan meninggal waktu Ruether berumur sebelas tahun. Pada saat itu, keluarganya menjadi keluarga yang bercorak "community of mother and daughters who had to make it together." [51] Pengaruh masa lalu inilah yang mendidik Ruether menjadi seorang wanita berfigur tegar dan mampu berdiri sendiri. Hal ini disebabkan oleh didikan ibunya agar menjalani kehidupan dengan perjuangan keras. Ia akhirnya belajar di sekolah Katolik di mana kepala sekolah, guru sampai semua pekerja-pekerja administrasinya perempuan. Tidak ada seorang laki-laki pun di dalam kelas dan lingkungannya, pendeta pun jarang sekali datang. Setelah ia menapaki keberhasilan dalam studinya sehingga ia berhasil meraih gelar, B.A., M.A. dan Ph. D. (desertasinya tentang 'klasik dan patristik'). Perubahan pemikirannya mulai tampak saat ia hamil dan secara biologis ia merasakan hal-hal yang membatasi dirinya sebagai wanita, yang memang pada hakekatnya harus hamil dan melahirkan anak. Sedang dari sisi yang lain ia mendapatkan hal yang menakjubkan dari masa kehamilannya. Kemudian pengalaman hidupnya ini dijadikan semacam metode penafsiran kehidupan secara umum dan secara khusus dalam bidang hermeneutik kritik sosial Alkitab.[52]
Mary A. Kassian melihat bahwa perkembangan pemikiran hermeneutik teologi Feminis Ruether ini dapat dilacak pada tiga bab permulaan bukunya. Ia seorang perempuan yang unik, tidak pernah mengikatkan atau memegang satu wujud komitmen kesetiaan pada satu bentuk agama, seperti Katolik yang ia anut, dasar pemikiran teologisnya lebih dititikberatkan pada perspektif analisa klasik dan perspektif kegiatan sosial daripada sudut pandang relasi antara Allah dengan pribadinya sendiri.[53] Ia juga sangat menentang pemikiran Feminis yang radikal seperti Mary Daly. "Ruether regarded Mary Daly and the other secular feminist who were at that time beginning to explore feminist spirituality as "radical" and "countercultural" extremist".[54] Sebaliknya ia menyebut dirinya dan teolog Feminis yang sealiran dengannya sebagai "Rational Reformists".[55]
Sudah sering dikatakan bahwa teologi dan teori penafsiran Feminis bersumber dari pengalaman perempuan. Namun, makna pernyataan ini tidak jelas seluruhnya. Di dalam teologi tradisional, ada asumsi umum bahwa setiap pengalaman, termasuk "pengalaman perempuan", adalah sumber ide yang subyektif belaka dan terikat pada kebudayaan setempat. Dengan demikian pengalaman tidak dapat dibandingkan dengan obyektivitas Kitab Suci yang menyingkapkan "firman Allah" di luar, di atas, dan menentang subyektivitas pengalaman dan hasrat manusia yang penuh dosa. Sebagai sumber terbatas dan kontemporer, pengalaman tidak dapat dibandingkan dengan tradisi teologis yang sudah dikumpulkan berabad-abad. Benar-benar keterlaluan jika kita mengusulkan bahwa pengalaman perempuan dapat digunakan untuk menilai Kitab Suci dan tradisi teologis. [56]
Selain meremehkan perempuan, komentar seperti itu sebenarnya salah dalam memahami peranan pengalaman manusia dalam pembentukan Kitab Suci dan tradisi teologis. Pengalaman manusia merupakan titik tolak dan titik akhir dari lingkaran penafsiran. Tradisi yang sudah tersusun rapi mempunyai akar di dalam pengalaman dan terus menerus diperbarui melalui ujian pengalaman. Pengalaman meliputi pengalaman akan hal yang ilahi dan pengalaman akan diri sendiri, dalam hubungannya dengan masyarakat dan dunia ini, dalam interaksi dialektik. Simbol-simbol, rumusan-rumusan, dan hukum-hukum diterima atau ditolak berdasarkan kemampuannya untuk menerangi dan mengartikan keberadaan sehingga keberadaan dialami sebagai hal yang bermakna. Sistem-sistem kewibawaan berusaha membalik hubungan ini dan membuat tradisi mendiktekan baik apa yang patut dialami maupun bagaimana pengalaman ini patut ditafsirkan. Padahal hubungan antara tradisi dan pengalaman terbalik. Apabila suatu simbol (tradisi) tidak bermakna autentik bagi pengalaman, simbol ini akan mati dan disingkirkan atau diubah untuk memberi makna baru.[57]
Dengan demikian, hal baru dari hermeneutik Feminis bukanlah bahwa pengalaman dijadikan konteks penafsiran, melainkan bahwa pengalaman perempuan kini turut diperhitungkan. Ini karena pengalaman perempuanlah yang telah diabaikan dalam hermeneutik dan refleksi teologis di masa lalu, yang dilakukan dengan cara melarang perempuan dalam mempelajari dan mengajarkan tradisi teologis. Perempuan telah dicegah dalam mengikutsertakan pengalaman mereka ke dalam perumusan tradisi. Perempuan telah disingkirkan dari upaya pembentukan dan penafsiran tradisi yang didasarkan pada pengalaman mereka sendiri. Lebih dari itu, tradisi telah dibentuk dan ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menentang perempuan. Tradisi telah dibentuk untuk membenarkan penyingkiran perempuan. Jejak-jejak kehadiran mereka telah dibenamkan dan dihapus dari ingatan jemaat. Para penafsir tradisi - kaum laki-laki - mempunyai bias androsentrik. Mereka menganggap kelaki-lakian sebagai ukuran normatif bagi kemanusiaan. Bias androsentrik mereka tidak hanya menghapus kehadiran perempuan dalam sejarah jemaat di masa lalu, tetapi membungkam pertanyaan-pertanyaan mengenai ketidakhadiran perempuan. Kita bahkan tidak dimungkinkan untuk menyadari atau memperhatikan ketidakhadiran perempuan, karena kebisuan dan ketidakhadiran mereka sudah menjadi suatu norma.[58]
Jadi sikap kritis terhadap tradisi dalam konteks pengalaman perempuan bukan sekedar menambahkan suatu sudut pandang baru kepada sudut pandang yang sudah ada. Pengalaman perempuan adalah kekuatan kritis yang mampu membuktikan adanya kesalahan dalam teologi klasik. Pengalaman perempuan menelanjangi teologi klasik, termasuk tradisi dasarnya dalam Kitab Suci sehingga tersingkap bahwa teologi ini telah dibentuk oleh pengalaman laki-laki, bukan oleh pengalaman manusiawi. Pengalaman perempuan mampu membongkar bias androsentrik yang tersembunyi di balik rumusan-rumusan asli dan penafsiran tradisi. Bias androsentrik tidak lagi dapat bersembunyi di balik misteri kewibawaan ilahi. Universalitas dari tuntutan tradisi kini dipertanyakan.[59]
Peremehan ini "dibenarkan" dengan alasan bahwa perempuan mempunyai kebodohan bawaan, tidak terdidik, tidak berwibawa, tidak bisa menjadi seorang pemimpin, dan tidak mampu membuat pemahaman-pemahaman penting. Jadi mereka diasingkan dari pikiran mereka sendiri, diasingkan dari kemampuan untuk mempercayai persepsi mereka sendiri. Semua penilaian atas tubuh dan pikiran perempuan ini pada gilirannya digunakan untuk membenarkan penyingkiran perempuan dari kesempatan-kesempatan kultural dan kepemimpinan. Akhirnya, perempuan diminta untuk menerima hal ini sebagai sanksi moral, alamiah dan suci.[61]
Pengalaman perempuan adalah kunci untuk hermeneutik atau teori penafsiran. Yang kami maksud adalah pengalaman yang muncul pada saat perempuan menyadari pengalaman penyesatan dan pengasingan yang dipaksakan kepada mereka oleh kebudayaan yang didominasi laki-laki. Dalam maknanya, pengalaman perempuan pada dirinya sendiri merupakan suatu peristiwa anugerah, yaitu pembebasan dari luar telah menerobos masuk ke dalam konteks kebudayaan patriarkal dan memampukan perempuan mengeritik dan menentang penafsiran-penafsiran androsentris tentang siapa dan bagaimana mereka. Sikap ini menegatifkan dan meremehkan perempuan sebab bertentangan dengan keautentikan kemanusiaan perempuan. Mereka lalu menemukan sudut pandang alternatif dalam refleksi mereka bersama atas pengalaman ini. Mereka mengafirmasikan tubuh dan pengalaman tubuh mereka sendiri sebagai hal yang baik dan normatif untuk mereka dan bukan sebagai hal yang menyimpang. Mereka merasa yakin bahwa mereka sehat, cerdas dan tidak bodoh. Dengan menerima kuasa pembebasan dan afirmasi diri ini, mereka mampu menilai dan juga membebaskan diri sendiri dari kebudayaan yang menegatifkan mereka.[62]
Jelaslah bahwa yang kami maksudkan dengan pernyataan "pengalaman perempuan" adalah kunci penafsiran bagi teologi Feminis yaitu terjadinya proses kesadaran kritis terhadap pengalaman perempuan dalam kebudayaan androsentris. Karena itu pengalaman mengisyaratkan adanya perubahan mendasar yang memungkinkan mereka bersentuhan, menyadari dan menilai pengalaman-pengalaman seksisme (pembedaan tidak adil sehubungan dengan keberadaan mereka sebagai perempuan) dalam masyarakat patriarkal.[63]
Kritik terhadap seksisme mengisyaratkan adanya prinsip penilaian yang mendasar. Prinsip kritis teologi Feminis ini merupakan suatu afirmasi dan dukungan untuk kemanusiaan yang utuh (the fully humanity of Women). Oleh karena itu, apa pun yang menyangkal, mengurangi dan mendistorsi kemanusiaan perempuan harus dinilai sebagai hal yang tidak mempunyai kuasa penebusan. Jika diungkapkan secara teologis apapun yang mengurangi atau menyangkal kemanusiaan yang utuh harus dianggap sebagai sesuatu yang tidak mencerminkan hal-hal ilahi atau hubungan autentik dengannya, bahkan tidak autentik dengan segala sesuatunya. Prinsip negatif di atas mengisyaratkan adanya prinsip positif. Apapun yang mendukung kemanusiaan yang utuh adalah hal yang datang dari Allah, yang mencerminkan hubungan sejati dengan-Nya, yang merupakan sifat sejati segala sesuatu, yang merupakan berita penebusan.[64]
Namun makna dari prinsip positif ini adalah menuju kemanusiaan yang utuh, yang tidak dikenal sepenuhnya. Prinsip positif ini tidak pernah ada dalam sejarah, yang sudah ada barulah prinsip negatif dari penyangkalan dan penyingkiran kemanusiaan wanita. Sekalipun disingkirkan, kemanusiaan perempuan ini tidak hancur total. Kemanusiaan perempuan ini terus menerus mengafirmasi diri sendiri, sekalipun kadang-kadang hanya di dalam cara yang terbatas dan subversif. Kemanusiaan inilah batu ujian yang mereka gunakan untuk menguji dan mengeritik segala hal yang melenyapkan mereka.[65]
Kritik seksisme Feminis melihat bahwa patriarki bukan hanya ada dalam kebudayaan Kristen masa kini, melainkan juga sudah meresap dalam Kitab Suci. Kitab Suci telah dibentuk oleh nafas dan warna kelelakian dalam kebudayaan patriarkal sedemikian rupa sehingga pengalaman-pengalaman religiusnya ditafsirkan oleh laki-laki dari perspektif patriarkal. Kemudian bias patriarkal ini ditindak lanjuti dalam perumusan penafsiran dalam pengkanonannya. Ini dilakukan dengan cara menghapus jejak-jejak pengalaman perempuan atau menafsirkan pengalaman perempuan dengan cara androsentris. Dengan demikian Kitab Suci menjadi sumber yang berwibawa (autoritatif) bagi pembenaran patriarki dalam masyarakat Yahudi dan Kristen. Itulah sebabnya prinsip hermeneutik Feminis menuntut agar perempuan keluar dari bias patriarkal Kitab Suci dan menghakimi bias tersebut. Dan hal yang paling berbahaya (pandangan teolog Feminis) adalah jika benar apa yang dipikirkan oleh teolog Feminis tentang hal di atas, yaitu semua kitab dalam "Kitab Suci" merupakan bias patriarkal, prinsip Feminis juga menuntut agar demi kebebasannya sendiri Feminisme harus menolak seluruh Kitab Suci sebagai hal normatif. Dalam keadaan seperti itu Kitab Suci hanya menawarkan berita yang menyesatkan dan sangat jahat, karena tidak adil dalam menanggapi keberadaan perempuan. Kitab Suci tidak menyediakan batu ujian bagi alternatif pembebasan.[66]
Namun bagi Rosemary R. Ruether, ia percaya bahwa Kitab Suci masih dapat "dimanfaatkan" sebagai sumber paradigma pembebasan. Ini hanya dapat terjadi jika ada korelasi antara prinsip kritis Feminis dan prinsip kritis yang dengannya pemikiran Alkitabiah dapat mengkritik diri sendiri. Sebenarnya pengafirmasian diri perempuan ini sudah berlangsung sejak dahulu, tetapi indoktrinasi patriarkal bahwa wanita harus menerima inferioritas dan kedudukannya yang rendah, adalah indoktrinasi yang tak pernah lengkap.[67]
Hermeneutik Feminis ini diharapkan oleh Ruether mampu bertugas pada masa kini atau masa akan datang bukan hanya untuk mengembangkan dan menyatukan prinsip-prinsip yang digunakan perempuan untuk menghayati kabar Injil sebagai kabar baik tentang kebebasan dari patriarki serta mengembangkan kisah-kisah teks untuk mengungkapkan kabar baik. Hermeneutik Feminis juga mempunyai tugas untuk mengukuhkan teori penafsiran ini sebagai hal yang normatif dan tidak tergantikan untuk memahami perihal iman, di sekolah-sekolah teologi tempat penafsiran diajarkan dan di gereja serta sinagoga tempat kabar baik diberitakan. Dengan kata lain hermeneutik Feminis juga mempunyai tugas bukan hanya untuk melakukan penafsiran kabar baik bagi kaum perempuan, melainkan jangkauannya meluas sampai ke segala penafsiran secara kolektif komunitas-komunitas iman.[68]
Ruether membagi tiga golongan gerakan teolog Feminis, pertama Liberal Feminis; kelompok ini ingin mendapatkan jalan masuk ke dalam dunia pendidikan, ordinasi dan memberi peluang pekerjaan/pelayanan kepada wanita oleh gereja, mereformasi dan merestrukturisasi ulang bahasa dan penafsiran yang bercorak androsentris, kedua, Sosialis Feminis; mereka sangat meragukan akan kesederajatan gender antara laki-laki dan wanita dalam tatanan masyarakat ekonomi sosial yang ada, ketiga, gerakan Feminis yang menentang kebudayaan, mereka ingin mendirikan suatu kebudayaan baru sebagai alternatif dalam kehidupan mereka. Mereka menolak semua ide tradisi gereja atau pun Alkitab jika tidak membela kebebasan kaum perempuan.[69]
3. Mary Daly
Mary Daly adalah seorang yang sangat brilian dalam studinya, ia berhasil mendapatkan dua gelar doctor, pertama dalam bidang teologi dan kedua dalam bidang filsafat. Sejarah timbulnya pemikiran Feminisnya berasal dari peristiwa di mana ia mengharapkan dalam konsili Vatikan kedua ia mendapatkan 'tempat' atau paling tidak perhatian dari peserta konsili. Tetapi apa yang Daly inginkan tak terwujud bahkan sebaliknya ia sangat kecewa dengan sikap dan sambutan dari anggota konsili. Dari perasaan ditolak dan 'dihina' inilah ia merasakan perlunya membuka wawasan pemikiran tradisi yang kolot, yaitu tidak menganggap dan merendahkan kaum perempuan, di gereja secara umum. Sewaktu ia pulang kembali ke kotanya, dengan hati berkecamuk dan dengan visi yang baru yaitu memperbaharui dan mengubah status perempuan dalam gereja.[70]
Artikel pertama karangannya "A Built-In Bias" tidak mendapatkan perhatian yang cukup berarti dari publik. Ia tidak berputus asa, kemudian ia menerbitkan buku berjudul, The Church and the Second Sex (1968), yang sangat menggemparkan dunia perteologian, karena ia dengan sangat berani memaparkan pembelaan pada kaum perempuan yang sudah beratus-ratus tahun diinjak-injak oleh kaum laki-laki. Tetapi malangnya buku ini sangat ditentang oleh gereja Katolik walaupun banyak orang dan mahasiswa mengajukan keberatan mereka atas keputusan gereja itu dengan melakukan demonstrasi untuk kebebasan berbicara.[71] Lima tahun kemudian, Ia menerbitkan buku kedua dengan judul, Beyond God the Father, boleh dikatakan buku ini merupakan wujud puncak rasa ketidakpuasan Mary Daly terhadap sistem patriark yang ada di dalam Alkitab, menariknya ia berani menyatakan "vereifying God" that is, of changing her conception/perception of God from "the supreme being" to a state of "Be-ing". [72]
Menurut penilaian Thiselton, Mary Daly sangat kecewa berat dengan respek dari konsili Vatikan kedua, ia mencoba berusaha melalui gereja Roma Katolik tetapi menjadi lebih berat lagi kecewanya dengan respon gereja Roma Katolik.
… the documents seemed to address women only as wives, mothers, widows, daugthers, or "religious" women; in other words, in terms of roles defined by their relation to men, rather than as a persons in their own right. Mary Daly at first tried to work within the Roman Catholic church but became increasingly disillusioned with the church's lack response.[73]
Dalam Beyond God the Father: Toward a Philosophy of Women's Liberation (1975), Daly mulai bergerak menjadi teolog "radical" Feminis, setelah penerbitan buku ini ia mulai menyerang kelelakian dalam sistem gereja, Allah Bapa dalam Alkitab yang memakai gender 'laki-laki', tradisi Ibrani yang menomerduakan perempuan baik dalam tata upacara keagamaan maupun kehidupan sehari-hari. Ia juga menjadi teolog Feminis yang anti gereja dan tradisi serta 'masa kewanitaan'.[74]
Mary Daly dan Rosemary R. Ruether secara efektif mendirikan perkumpulan pertemuan wanita dalam 'American Academy of Religion' tahun 1971. Rasa 'sirik' disebabkan luka yang sangat dalam membuat Mary Daly akhirnya mulai berani mengadili tradisi gereja, pelayanannya, metode penafsiran yang lama, pengaruh tradisi Yahudi dalam hermeneutik Alkitab, dll. Mary Daly sebenarnya mempunyai pemikiran yang analitis dan selalu berhati-hati dalam memilih dan menggunakan bahasa. Namun sepertinya ia menjadi sangat yakin dengan dirinya dan ia mengklaim bahwa istilah bahasa yang ia gunakan itu benar demikian juga definisi yang digunakannyapun menyempurnakan definisi yang lama. Hal ini merupakan kunci gerakan teologi Feminis, sayangnya ia menjadi lebih 'khusus-particular' dan sangat tertutup dalam memilih istilah yang dipakainya lebih disesuaikan dengan lingkup keberadaan wanita.
Mary A. Kassian mengeritik metode Mary Daly dalam merefleksikan penggunaan gaya bahasa yang khusus dalam bukunya yang ketiga, Gyn/Ecology: The Metaethics of Radical Feminism, dan hanya mengkontekskan dalam proposisi kewanitaan maka secara otomatis Mary Daly sendiri sedang menutup dirinya saat ia memakai metode hermeneutik 'suspicion-socio'-kritiknya.[75]
4. Elizabeth Schüssler Fiorenza
Elizabeth Schüssler Fiorenza adalah seorang professor wanita di Universitas Harvard. Ia juga mengajar di Universitas Notre Dame. Penulis beberapa buku dan artikel-artikel yang membahas tentang teologi Feminis, Sejarah Gereja, dan studi Perjajnjian Baru. Karyanya yang terkenal adalah In Her Memoriam of Her: A Feminist Theological Reconstruction of Christian Origins (1984). Ia membahas metode hermeneutiknya secara sitematis dan terpadu dengan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
a. Pusat Hermeneutik: Women-Church - Gereja Perempuan
Pusat hermeneutik penafsiran Alkitab kaum Feminis adalah gereja perempuan (ekklesia gynaikoon), pemahaman alkitabiah yang terbuka kepada penganut perempuan maupun laki-laki yang berorientasi Feminis. Ekklesia perempuan merupakan bagian dari gerakan perempuan yang lebih luas dalam masyarakat dan keagamaan yang memahaminya bukan hanya sebagai gerakan hak-hak asasi, melainkan juga merupakan gerakan pembebasan perempuan. Sasarannya bukan hanya "kemanusiaan yang utuh" (fully humanity) kaum perempuan karena definisi kemanusiaan juga telah dinodai oleh kaum laki-laki. Sasarannya adalah penegasan secara religius, kekuasan dan kebebasan kaum perempuan dari segala bentuk alienasi, penyepelean dan penindasan dengan corak patriarkal.[76]
b. Hermeneutik "kecurigaan"
Teolog Feminis sudah menetapkan suatu aturan dalam penafsirannya, yaitu "crux interpretum"[77] artinya bahwa mereka tidak menerima segala penafsiran Alkitab yang tidak mendukung kebebasan kaum wanita. Ada beberapa metode hermeneutik yang dipakai oleh Fiorenza, pertama hermeneutik 'kecurigaan'. Dalam metode penafsiran ini ia tidak memakai otoritas Alkitab sebagai otoritas tertinggi, ia menerima asumsi dasar gerakan Feminisme bahwa teks Alkitab dan interpretasinya bercorak androsentrik (/andro/-male artinya 'laki-laki', /centric/-center artinya pusat) dan Kitab Suci itu memperkuat sistem 'patriarki'.
c. Hermeneutik Proklamasi
Metode kedua yang dipakai Fiorenza (dalam bukunya In Memoriam of Her: A Feminist Theological Reconstruction of Christian Origins) ialah hermeneutik proklamasi, maksudnya ialah penafsiran yang hanya melihat pada porsi dalam teks Alkitab yang harus diproklamasikan untuk kebebasan kaum Feminis kontemporer yang tertindas dan dianiaya, jadi yang tidak menyuarakan kebebasan kaum wanita ditolak mentah-mentah.[78] Contoh ayat-ayat yang diterima karena penafsirannya memproklamasikan kebebasan bagi kaum wanita, Gal 3:28; Yoh 8:36, Rom 16:1, tetapi untuk 1 Kor 11, Ef 5:22, 1 Tim 2:11 akan dibuang jauh-jauh alias tidak dipakai.[79]
d. Hermeneutik Ingatan
Metode ketiga yang dipakai oleh Fiorenza adalah metode hermeneutik kenang-kenangan, artinya metode hermeneutik yang mendorong dan memberi semangat kepada kaum Feminis untuk mengeksplorasi penderitaan perempuan dalam Alkitab dan mencari artinya untuk kepentingan kaum perempuan. Metode ini bukan menghilangkan ingatan masa penindasan, tetapi sebaliknya metode ini yang mengklaim kembali penderitaan mereka yang tidak digubris kaum laki-laki.[80]
Contoh yang diangkat adalah cerita tentang Abraham tertawa waktu ia mendengar akan mempunyai anak, hal ini tidak menjadi masalah, tetapi saat Sarah tertawa Allah langsung "membau" tertawaan Sarah, hal ini menunjukkan adanya pengaruh kuat sistem patriarkal dalam penulisan cerita ini. Contoh kedua yaitu Harun, ia tidak kena kusta waktu ia bersalah, sedangkan Miriam begitu berdosa kena 'kusta', hal ini menunjukkan ketidakadilan dalam cara Allah menghukum manusia.[81]
e. Hermeneutik Pengaktualisasian yang Kreatif
Fiorenza tidak hanya yakin dengan menggunakan tiga metode hermeneutik di atas ddan merasa sudah cukup, tetapi ia menambahkan metode hermeneutik yang dapat mencukupi kekurangan ketiga metode yang sebelumnya, yaitu metode hermeneutik pengaktualisasian yang kreatif. Metode hermeneutik pengaktualisasian yang kreatif ini merupakan metode proses di mana teolog Feminis membaca teks, membubuhi, mengurangi, menyesuaikan teks Alkitab dengan visi kebebasan kaum wanita dalam melaksanakan tata cara penyelenggaraan ibadah.[82]
Contohnya mereka tidak hanya merevisi istilah Allah Tritunggal saja namun juga merevisi semua hal penting dalam ibadah, seperti Doa Bapa Kami, cerita diubah bahasa dan istilahnya jadi berbau 'kewanitaan', lagu-lagu diganti sesuai dengan istilah mereka, pokoknya yang menjadi pusat pemberitaan adalah diri-kaum-wanita.[83]
Pendapat Fiorenza ini dikuatkan oleh pemikiran Katherine Doob Sakenfeld, ia menyadari adanya bahan-bahan Kitab suci yang patriarkal. Feminis Kristen mendekati teks setidak-tidaknya dengan tiga penekanan, yakni: 1) Mencari teks tentang perempuan untuk menentang teks-teks terkenal yang digunakan "menindas" perempuan. Misalnya, Kej 2 -perempuan diciptakan setelah laki-laki, Kej 3 -wanita terlebih dahulu jatuh dalam dosa, 1 Kor 14 dan 1 Tim 2:13-14 -perempuan harus tutup mulut di gereja, Ef 5 -perempuan harus menempatkan diri di bawah laki-laki. 2) Menyelidiki Kitab Suci secara umum (bukan hanya teks tentang perempuan) untuk membentuk perspektif teologis yang dapat mengeritik patriarki. Beberapa orang menyebut perspektif ini sebagai "perspektif pembebasan". 3) Menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari perjumpaan sejarah dengan kisah-kisah perempuan kuno dan modern yang hidup di dalam kebudayaan patriarkal. Misalnya, Hak 19 -pemerkosaan, pembunuhan, pemotongan tubuh perempuan yang tak bernama, Hak 11 -pengorbanan seorang anak perempuan korban nazar ayahnya.[84]
SUMBER-SEMBER ARTIKEL DI ATAS :
[1] Sandra M. Schneiders, "Does the Bible Has a Post Modern Message?", dalam Post Modern Theology: Christian Faith in a Pluralist World, Frederic B. Burnham ed., (San Fransisco: Harper and Row, 1989) 65.
[2] Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology : God and World in a Transitional Age (Illinois: IVP, 1992) 225-226.
[3] Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation, (New York: Orbis, 1973), 6-11. Lihat juga Mary A. Kassian, The Feminist Gospel: The Movement to Unite Feminism with the Church, (Illinois: Crossway, 1992) 52.
[4] Mary A. Kassian, The Feminist Gospel: The Movement to Unite Feminism with the Church, (Illinois: Crossway, 1992) 52.
[5] Letty M. Russel, Human Liberation in a Feminist Perspective: A Theology, (Philadelphia: Westminster, 1974) 104.
[6] Albert Curry, The Reformed Tradition and Liberation Theology, dalam Major Themes in the Reformed Tradition, Donald Mc Kim ed., (Orlando: Wipe & Stock, 1998) 401.
[7] Gustavo Guiterrez, A Theology of Liberation: Historiy, Politics and Salvation, (New York: Orbis, 1973) 155-159.
[8] Rebeca S. Chopp, Latin American Liberation Theology, dalam, The Modern Theologians: An Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century, David F. Frod ed. (New York: Basil Blackwell, 1989) 182.
[9] Ibid.
[10] Albert Curry Winn, 402.
[11] Ibid 403.
[12] Ibid.
[13] Rene Latourella, Reno Fisichella, ed., Dictionary of Fundamental Theology, (New York|: Crossroad, 1994).
/orthopraxis/ The word "orthopraxis" comes from the Greek words /orthe/ "right" or "correct" and praxis, "deed", "action", or "practice". Orthopraxis is evidently meant to be understood in comparison with orthodoxy. If orthodoxy concerns correct belief, orthopraxis is directed to correct action…doctrine (othodoxy) must prove its truth in practice (orthopraxis). Practice must be informed by doctrine and give rise to further doctrinal reflection.
(secara singkat dapat diterjemahkan demikian: Ortopraksis adalah ditujukan secara langsung kepada tindakannya, artinya semua doktrin itu diterapkan dalam setiap aspek kehidupan dan dapat dibuktikan dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan kebaikan, kalau ortodoks itu hanya berorientasi kepada teori-teori pengajaran tetapi ortopraksis berkaitan langsung dengan prakteknya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kebenaran ortodoks itu hanya benar jika melakukan kebenaran ortopraksis).
[14] Gustavo, 10.
[15] Gustavo, 13-15.
[16] Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology, (Michigan: William B. Eerdmans, 1991), 15.
[17] Gustavo, 11.
[18] Daniel L. Migliore, 16.
[19] Donald Mc Kim, 410. Albert Curry Winn mengikuti perkataan dari Guiterrez,"The main problem, however lies in the second point: Liberation for the self-development of a new humanity. …" man, the master of his own destiny"; "Liberation from all that limits or keeps man from self-fulfillment"; "liberation from all impediments to exercise of his freedom"; "man constructs himself"; "man makes himself throughout his own destiny"; "the goal is the creation of a new man".
(Problema utama terletak pada poin ke dua: pembebasan untuk kemajuan diri dari kemanusiaan yang baru "manusia tuan atas dirinya sendiri"; "pembebasan dari hal-hal yang membatasi atau menjaga manusia dari pemenuhan diri"; "pembebasan dari semua hal menyulitkan untuk melatih kebebasannya"; " manusia membentuk dirinya sendiri"; "manusia membuat dirnya melalui nasibnya sendiri"; "tujuannya adalah penciptaan manusia baru").
[20] Albert Curry, 412.
[21] Donald Mc Kim, 407.
[22] Grenz, 20th Century Theology, 225.
[23] Lihat footnote no.2.
[24] Grenz, 225.
[25] Ibid 227.
[26] Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, (Boston: Beacon, 1983) 193-194.
[27] Janet Martin Soskice, Can A Feminist Call God “Father” ?, di dalam Speaking the Christian God: The Holy Trinity and Challenge of Feminism, ed. oleh Alvin F. Kimel, Jr., (Michigan: WM B. Eerdmans, 1992) 85.
[28] Rosemary Radford Ruether, Liberation Theology: Human Hope Confronts Christian History and American Power (New York: Paulist Press., 1972) 16.
[29] Stanley J. Grenz, 234.
[30] Betty Talbert-Wettler, Secular Feminist Religious Metaphor and Christianity, (San Diego: EVSJ, 1995) 78-79.
[31] Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics, (Michigan: Zondervan Publ., 1992) 430.
[32] Ibid 432.
[33] Letty M. Russel ed., Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Bandung- Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1998) 11. Dapat dilihat juga dalam buku versi aslinya The Liberating Word, 4-15.
[34] Letty M. Russel, 13.
[35] Margareth A. Farley, Feminist Consciousness and Interpretation of Scripture, ed. Letty M. Russel, Feminist Interpretation of the Bible, (Philadelphian: The Westminster Press, 1985) 45.
[36] Letty, 18-19.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Mary A.Kassian, The Feminist Gospel: The Movements to Unite Feminism with the Church, (Illinois: Crossway Books, 1992) 55-56.
[40] Margareth A. Farley, 41.
[41] Letty M. Russel, Liberation Theology, 126.
[42] Ibid 34, 77.
[43] Mary A Kassian, 93.
[44] Mary A. Kassian, 89.
[45] Mary A. Kassian, 93.
[46] Ibid 90.
[47] Ibid 92.
[48] Letty, 151.
[49] Ibid 153.
[50] Ibid 154.
[51] Rosemary R. Ruether, Disputed Question: On Being a Christian, (New York: Orbis Book, 1989) 101.
[52] Ibid 54.
[53] Mary A. Kassian, 236.
[54] Ibid Rosemary, Dispute Question, 134.
[55] Ibid 237.
[56] Letty Russel, (BPK -Kanisius) 119.
[57] Rosemary Radford Ruether, Feminist Interpretation: A Method of Correlation, ed. Letty M. Russel, (Philadelphia: The Westminster Press, 1985) 111.
[58] Letty Russel, (BPK-Kanisius), 121.
[59] Ibid.
[60] Ibid 113.
[61] Ibid 114.
[62] Letty Russel, (BPK-Kanisius) 123.
[63] Ibid 113.
[64] Ibid 124.
[65] Ibid 126.
[66] Ibid.
[67] Ibid 126.
[68] Ibid 124.
[69] Joseph Tong, Systematic Theology and Pastoral Ministry, (California: ITS, 1998, Silabus mata kuliah) 23
[70] Mary A. Kassian, 228.
[71] Mary Daly, The Church and the Second Sex, (Boson: Beacon Press, 1968) 14.
[72] Ibid xvii.
[73] Thiselton, A New Horizon,. 436.
[74] Ibid.
[75] Mary A. Kassian, 230.
[76] Letty, 137-138.
[77] Mary A. Kassian, 89.
[78] Elizabeth Schüssler Fiorenza, Emerging Issues in Feminist Biblical Interpretation," Christian Feminism: Visions of a New Humanity, , ed.Judith L. Weidman, (Harper & Row: Harper & Row, 1984) 47-54.
[79] Mary A. Kassian, 113.
[80] Ibid.
[81] Ibid.
[82] Letty, Interpreting, 60
[83] Ibid.
[84] Katherine Doob Sakenfeld, "Feminist Uses of Biblical Materials", di dalam Letty M. Russel, Feminist Interpretation of the Bible, 55-64.