Baca Juga

Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam 
1. persoalan Idiologi
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah berupa kepercayaan terhadap adanya zat yang Maha Kuasa,yang dalam istilah agama disebut Tuhan. Para ahli tafsir mengatakan,fitrah artinya ciptaan atau kejadian yang asli, karena naluri beragama tauhid merupakan fitrah maka ketauhidan dalam diri seseorang telah ada sejak ia dilahirkan.

Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu,kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al- Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul kepercayaan adanya agama dikalangan orang-orang primintif.[1] Tylor justru mengatakan bahwa animisme-anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati merupakan asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan. Adapun Spencer mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang mengalami mimpi.[2]

Di dalam mimpi, seseorang dapat bertemu, bercakap-cakap, bercengkrama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada ditempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan benda-benda langit atau alam lainnya.

Abbas Mahmoud Al- Akkad, pada bagian lain, mengetakan bahwa sejak pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang secara beragam. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totemisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa (semacam anjing hutan), buaya, dan lain-lain. Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik.[3]

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Tuhan, secara instingtif, telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William L.Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos (theologia was originally viewed as concerned with myth). Selanjutnya teologi itu berkembang menjadi “theology natural” (teologi alam) dan “revealed theology”(teologi wahyu).[4]

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam bersumber pada Al-Qur’an, hadist, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mempunyai objek tersendiri, tersistematiskan, dan mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa ilmu bermula di tangan pemikir Mu’taziiah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.[5] Adapun orang yang pertama membentangkan pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari, tokoh ahli sunnah wa al-jamaah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Muqalat,[6]dan Al-Ibnah An-Ushul Ad-Diyanah.

2. persoalan Politik.
Kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Usman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi Perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagaian tentaranya.mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali pada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders.[7] 

Diluar pasukan yang membelot Ali, sebagaian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali disebut syi’ah dan dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut Khawarij.[8]

3. persoalan sosiologi
Setelah Rasulullah wafat, timbullah persoalan, siapakah yang berhak memegang khilafat (pimpinan kaum muslim) sesudahnya.Khilafah Rasyidah merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Ia Shallallahu ‘Alaihi wasallam nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.

Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.

4. persoalan filosofis
Bermula dari timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir 

Al Hasan Al-Bisri menetapkan yang menjadi anutan umum ummat Islam,yaitu orang yang mengerjakan dosa besar dipandang fasiq, tidak keluar dari gelanggang mu’min.

Pendapat Al-Hasan ini dibantah keras oleh muridnya Washil Ibn Atha’. Dia mengatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa bsar berada diantara dua martabat. Pendapatnya diikuti oleh Ibn Ubaid.

Karna mereka ini mengasingkan diri dari majlis gurunya Al Hasan atau dari pendapat umum, dinamakanlah mereka dengan Mu’tazilah.

Oleh karena golongan Qadariyah dan Jabariyah tidak dapat berdiri sebagai golongan, tetapi lebur dalam kelompok-kelompok lain, maka nama Qadariyah dan Jabariyah menjadi nama faham sahaja, tidak menjadi nama golongan. Maka Qadariyah berpindah kepada nama Mu’tazilah. Mereka dinamakan juga Qudriyah, lantaran mereka menetapkan bahwa hamba mempunyai qudrat yang bebas aktif. Mereka sendiri tidak menerima nama-nama itu. Mereka menanamkan dirinya dengan Ahlul ‘ad-li wat Tauhid.

Dikatakan mereka dengan ahlul’li, adalah karena mereka menetapkan : bahwasannya hamba ini mempunyai qudrat, bebas aktif dalam segala tindakannya, yang karenanya mereka dipahalai dan disiksa. Mereka menindak adakan kezaliman bagi Allah. Dan mereka menamakan dirinya dengan ahlut Tauhid adalah karena mereka menindak adakan sifat diri pada Allah, agar zat Allah benar-benar tidak tersusun dari zat dan sifat dan supaya benar-benar Allah Esa.

Di akhir masa ini washil bin atha’ telahdapat menyusun dasar-dasar Ilmiyah bagimadzab Mu’tazilah dan jalan-jalan masyarakat kepadanya. Dia melepaskan pembantu-pembantunya (pendukung-pendukung fahamnya) ke pelosok untuk mengembangkan fahamnya dengan segenap tenaga dan kecakapannya, hingga samapilah da’wahnya ke Khurasan sebelah timur dan ke Marokosebelah barat, ke Armiya sebelah utara dan ke Yaman sebelah selatan.

Menurut uraian Al-Maqrizi, Washil Ibn Atha’ telah menyusun sebuah kitab lagi yang dinamakan Kitabut Tauhid, sebuah kitab lagi yang dinamakan Kitabul Manzilati Bainal Manzilataini dan kitab Al-Futuya.

Dengan demikian dapatlah kita ktakan, bahwa dalam masa inilah mulai timbul usaha menyusun ilmu (kitab) dalam Ilmu Kalam. 

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Abbas Mahmoud Al-Akkad,Ketuhanan ,hlm.14
[2] Ibid., hlm .15
[3] Ibid., hlm.50-51
[4] William L Resse, Dictionary of Philosophy and Religion, hlm. 450
[5] Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman, Prinsip-prinsip Dasar Aliran-aliran Teologi ISLAM,hlm.27
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, hlm.6
[7] Ibid., hlm 11
[8] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj.Umar Basalim.hlm. 6-7