Baca Juga
By Sugi Aritonang
Sumber Hukum - Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara.
Sumber Hukum |
Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Sumber hukum dibagi dua macam yaitu formil dan materil.
1. Sumber hukum materil
Yaitu tempat darimana materi hukum itu di ambil, faktor Pembentukan hukum atau yang menentukan isi kaidah hukum. Sumber hukum materil terdiri atas :
- Perasaan hukum seseorang atau pendapat umum,
- Agama,
- Kebiasaan, dan
- Politik Hukum dari Pemerintah.
Sumber hukum materill yaitu merupakan faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum. Faktor tersebut :
- Faktor idiil adalah patokan patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk undang-undang ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
- Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan.
2. Sumber hukum formil
Yaitu tempat/ sumber dariman suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan menyebabkan peraturan itu berlaku secara formal. Sumber hukum formil terdiri dari :
a. Perundang-Undangan (Statue)
Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.
Menurut BUYS, undang-undang itu mempunyai dua arti, yakni:
- Undang-undang dalam anti formal: ialah setiap keputusan Pemerintah yang memerlukan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya: dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan parlemen);
- Undang-undang dalam arti material: ialah setiap keputusan Pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.
Beberapa azas dari perundang-undangan adalah :
- Undang-undang tidak berlaku surut,
- Undang-undang yang berlaku kemudian membatalkan undang-undang terdahulu, sejauh UU mengatur objek yang sama ( Lex posterior derogat legi priori),
- Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan oleh Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih rendah ( lex superior derogat legi inferior),
- Undang-undang yang khusus mengenyampingkan Undang- undang yang umum (lex spesialis derogat lex generalis),
- Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
Agar undang-undang mempunyai kekuatan berlaku harus memenuhi persayaratan tertentu, yaitu :
- Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku Yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya UU itu telah terpenuhi,
- UU mempunyai kekuatan berlaku Sosiologis apabila UU itu efektif berlaku didalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa Undang-undang ini telah diterima dan ditaati oleh masyarakat. Undnag-undang mempunyai kekuatan sosiologis dapat melalui dua cara yaitu dengan dipaksakan oleh penguasa atau secara sadar kehadiran UU itu diterima oleh masyarakat dan diataatinya, dan
- UU mempunyai kekuatan berlaku Filosofis apabila UU tersebut memang sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
b. Kebiasaan (Costum)
Kebiasaan adalah tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, lazim, normal, /adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. Kebiasaan juga dapat diartikan suatu perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu masyarakat yang selalu dilakukan oleh orang lain sedemikian rupa sehingga masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian.
Syarat timbulnya kebiasaan :
- Syarat materil : Adanya perbuatan tingkah laku, yang dilakukan berulang- ulang di dalam masyarakat tertentu.
- Syarat Intelektual : Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan.
- Adanya akibat hukum bila hukum itu dilanggar.
Hukum kebiasaan adalah himpunan kaidah-kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan dalam kenyataannya ditaati juga. Karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat yang tidak termasuk hubungan badan-badan perundang-undangan.
Supaya hukum kebiasaan ditaati ada 2 syarat yaitu :
- Suatu perbuatan yang tetap dilakukan orang.
- Keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah merupakan kewajiban.
Kelemahan Hukum kebiasaan :
- Bahwa hukum kebiasaan mempunyai kelemahan yatu bersifat tidak tertulis oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara dan pada umumnya sukar menggantinya.
- Tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara karena bentuk kebiasaan mempunyai sifat beraneka ragam.
Pengertian lain dari kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang - ulang dalam hal sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan dcmikian timbuah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Contoh : apabila seorang komisioner sekali menerima 10% dari hasil penjualan atau pembelian sebagai upah dan hal ini terjadi berulang - ulang dan juga komisioner yang lain pun menerima upah yang sama yaitu 10% maka oleh karena itu timbul suatu kebiasaan (unsance) yang lambat laun berkembang menjadi hukum kebiasaan.
Soalnya apakah seorang hakim juga harus memperlakukan hukum kebiasaan? Menurut pasal 15 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB): "Kebiasaan tidaklah menimbulkan hukum, hanya kalau undang-undang menunjuk pada kebiasaan untuk diper1akukan."
Jadi hakim harus memakai kebiasaan dalam hal-hal UU menunjuk kepada kebiasaan.
Contoh : dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) disebutkan: Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk apa yang telah ditetapkan dengan tegas oleh persetujuan - persetujuan itu, tetapi juga untuk segala sesuatu menumt sifat persetujuan-persetujuan itu diwajibkan oleh kebiasaan.
c. Keputusan Hakim (Yurisprudensi/Jurisprudentie)
Adapun yang merupakan Peraturan Pokok yang pertama pada jaman Hindia-Belanda dahulu ialah Algemene Bepalingen van wetgeping voor Indonesia yang disingkat A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum Tentang Peraturan-perundangan Indonesia).
A.B. ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 yang termuat dalam Staatsblad 1847 No. 23, dan sehingga saat ini masih belaku bedasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: "Segala badan negara dan peraturan yang masih berlangsung berlaku selama sebelum diadakan yang baru menurut Undang·Undang Dasar ini.
Menurut Pasal 22 A.B.: "de regter, die wegert regt te spreken onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid der wet kan uit hoofde van rechtswijgering vervolgd worden," yang mengandung arti, " Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia akan dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili."
Dari ketentuan Pasal 22 A.B. ini jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.
Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 22 A.B. menjadilah dasar keputusan hakim lainnya/kemudian untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan. Dan Keputusan Hakim yang demikian disebut hukum Jurispudensi.
Jadi Jurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
Ada dua macam Jurisprudensi yaitu:
- Jurisprudensi tetap, ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa yang menjadi dasar bagi pengadilan (Standart-arresten) untuk mengambil keputusan.
- Jurisprudensi tidak tetap, ialah seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependapat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa.
d. Traktat (Treaty)
Traktaat atau perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Pasal 11 UUD menentukan: “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” Perjanjian dengan negara lain yang dikehendaki dalam diktum pasal 11 UUD adalah perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional yang kekuatan hukumnya sama dengan UU. Mengingat secara prosedural perjanjian antarnegara dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.. Perjanjian antar negara yang sudah disahkan berlaku mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya masing – masing. Oleh karena itu traktat harus mendapat persetujuan DPR lebih dahulu. Tidak semua bentuk perjanjian antar negara harus mendapat persetujuan DPR, sebab jika demikian pemerintah kurang leluasa untuk menjalankan hubungan internasionalnya.
Berdasarkan Surat Presiden no. 2826/HK/60 yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal 11 UUD adalah perjanjian yang terpenting saja, yang terkait dengan persoalan politik dan menyangkut hajat hidup orang banyak, lazimnya disebut dengan traktat.
Traktat atau perjanjian yang secara prosedural harus disampaikan pada DPR sebelum diratifikasi adalah perjanjian yang mengandung materi sebagai berikut:
- Soal-soal politik atau soal politik yang mempengaruhi haluan politik luar negeri, misalnya perjanjian persekutuan.
- Ikatan-ikatan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, misal pinjaman uang.
- Soal-soal yang menurut UUD dan sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan bentuk UU, misalnya tentang kewarganegaraan.
Perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan DPR bisanya berbentuk Aggrement. Aggreement ini diberitahu kepada DPR setelah berbentuk Keputusan Presiden. Adapun perjanjian yang lazim disebut agreement adalah perjanjian yang mengandung materi lain cukup disampaikan pada DPR sebatas untuk diketahui setelah diratifikasi oleh Presiden
Ketika sebuah perjanjian telah diratifikasi maka berlakulah apa yang dinamakan “pakta Servada” artinya perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Persoalannya apakah traktat itu secara langsung mengikat seluruh warga negara? Pendapat pertama, traktat tidak dapat secara langsung mengikat penduduk di suatu wilayah negara. Agar traktat dapat mengikat seluruh warga negara maka traktat harus terlebih dahulu dituangkan dalam hukum nasional. Pendapat yang dikemukakan Laband dan Telders (ahli Hukum Belanda) ini dinamakan teori inkorporasi. Adapun pendapat kedua, traktat mengikat secara langsung penduduk di wilayah negara yang meratifikasi suatu perjanjian. Pendapat ini dianut oleh van Volenhoven, Hamaker dan dianut oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1906. Teori ini mengakui “Primat hukum antarnegara” yaitu mengakui hukum antarnegara lebih tinggi derajatnya dari hukum Nasional.
Proses Pembuatan traktat:
Perundingan isi perjanjian oleh para utusan pihak-pihak yang bersangkutan, hasil perundingan ini dinamakan konsep traktat (sluitings-oorkonde). Sidang perundingan biasanya melalui forum konferensi, kongres, muktamar, atu sidang-sidang lainnya.
Persetujuan masing-masing parlemen bagi negara yang memerlukan persetujuan dari parlemen.
Ratifikasi atau pengesahan oleh kepala negara, Raja, Presiden, atau Perdana Menteri dan diundangkan dalam lembaran negara.
Pertukaran piagam antar pihak yang mengadakan perjanjian, atau jika itu perjanjian multilateral piagam diarsip oleh salah satu negara berdasarkan kesepakatan atau diarsip di markas besar PBB.
e. Perjanjian
Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perjanjian ( Overeekomst) merupakan suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu yang mempunyai akibat hukum. Jika kedua belah pihak telah sepakat berarti mereka telah membuat atau menentukan peraturan kaidah / hak atau kewajiban. Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekwensinya. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan:
- Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran harga barang dalam perjanjian jual beli barang.
- Melakukan sesuatu, misalnya menyelesaikan pembangunan jembatan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan.
- Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak bekerja di tempat lain selain perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja.
Perjanjian melibatkan sedikitnya dua pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Para pihak ini berdiri berhadap-hadapan dalam kutub-kutub hak dan kewajiban. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebut kreditur. Dalam perjanjian jual beli mobil, sebagai penjual Gareng berhak memperoleh pembayaran uang harga mobil, dan disisi lain ia juga berkewajiban untuk menyerahkan mobilnya kepada Petruk. Sebaliknya, sebagai pembeli Petruk wajib membayar lunas harga mobil itu dan ia sekaligus berhak memperoleh mobilnya.
Tujuan perjanjian layaknya membuat undang-undang, yaitu mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat secara umum, sedangkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang memberikan kesepakatannya. Karena setiap orang dianggap melek hukum, maka terhadap semua undang-undang masyarakat telah dianggap mengetahuinya – sehingga bagi mereka yang melanggar, siapapun, tak ada alasan untuk lepas dari hukuman. Demikian pula perjanjian, bertujuan mengatur hubungan-hubungan hukum namun sifatnya privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani perjanjian itu saja yang terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan sengketa, perjanjian itu dapat dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna menyelesaikan sengketa. Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum para pihak merupakan sebuah fakta hukum, yang dengan fakta itu kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan – bagaimana seharusnya hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.
Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan punya kekuatan mengikat secara hukum. Tidak terpenuhinya syarat perjanjian akan membuat perjanjian itu menjadi tidak sah. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian terdiri dari:
- Syarat Subyektif (Mengenai subyek atau para pihak)
- Kata Sepakat, kata sepakat berarti adanya titik temu (a meeting of the minds) diantara para pihak tentang kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam perjanjian jual beli mobil, Gareng punya kepentingan untuk menjual mobilnya karena ia membutuhkan uang. Sebaliknya, Petruk membeli mobil Gareng karena ia punya kepentingan memiliki kendaraan. Pertemuan kedua kepentingan itu akan mencapai titik keseimbangan dalam perjanjian.
- Cakap, Cakap berarti dianggap mampu melakukan perbuatan hukum. Prinsipnya, semua orang berhak melakukan perbuatan hukum – setiap orang dapat membuat perjanjian – kecuali orang yang belum dewasa, dibawah pengampuan, dan orang-orang tertentu yang dilarang oleh undang-undang.
- Syarat Obyektif (Mengenai obyek perjanjian)
- Suatu Hal Tertentu, Suatu hal tertentu berarti obyek perjanjian harus terang dan jelas, dapat ditentukan baik jenis maupun jumlahnya. Misalnya, Gareng menjual mobil Toyota Avanza Nomor Polisi B 1672 RI dengan harga Rp. 180.000.000 kepada Petruk. Obyek perjanjian tersebut jenisnya jelas, sebuah mobil dengan spesifikasi tertentu, dan begitupun harganya.
- Suatu Sebab Yang Halal, Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh hukum. Suatu sebab yang tidak halal itu meliputi perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum. Misalnya perjanjian perdagangan manusia atau senjata ilegal.
Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif dan obyektif di atas dapat menyebabkan perjanjian menjadi tidak sah. Perjanjian yang tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif akan mengakibatkan perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak. Maksudnya, salah satu pihak dapat menuntut pembatalan itu kepada hakim melalui pengadilan. Sebaliknya, apabila tidak sahnya perjanjian itu disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nul and void), yaitu secara hukum sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian. Selain syarat sahnya perjanjian, suatu perjanjian juga baru akan mengikat para pihak jika dalam pembuatan dan pelaksanaannya memenuhi asas-asas perjanjian.
6. Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Doktrin adalah teori-teori atau pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil keputusannya. Doktrin yang belum digunakan hakim dalam mempertimbangkan keputusannnya belum merupakan sumber hukum formal, jadi harus memenuhi syarat tertentu yaitu doktrin itu telah menjelma menjadi keputusan hakim.
Dalam penetapan apa yang akan menjadi keputusan hakim, ia sering menyebut (mengutip) pendapat seseorang sarjana hukum mengenai kasus yang harus diselesaikannya; apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.
Misalnya hakim dalam memeriksa perkara atau dalam pertimbangan putusannya dapat menyebut doktrin dari ahli hukum tertentu. Dengan demikian hakim dianggap telah menemukan hukumnya melalui sumber hukum yang berupa doktrin tersebut .
Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statue of The International Court of Justice), mengakui dan menetapkan bahwa dalm menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman, antara lain :
- Perjanjian-oerjanjian Internasional (International Conventions),
- Kebiasaan-Kebiasaan International (International customs),
- Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recognized by civilsed nations),
- Keputusan Hakim (Judicial decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum
Namun doktrin tidak mengikat seperti UU, kebiasaan traktat dan yurispudensi. Doktrin hanya memiliki wibawa yang dipandang bersifat obyektif dan dapat dijadikan sumber penemuan hokum bagi hakim.
Menurut Sudikno Mertokusumo, (dalam buku Sejarah Peradilan.hal.110 ), Pendapat para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah sumber hukum. Ilmu hukum itu sebagai sumber hukum tapi bukan hukum karena tidak langsung mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana undang-undang.
Ilmu hukum baru mengikat dan mempunyai kekuatan hukum bila dijadikan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan. Disamping itu juga dikenal adagium dimana orang tidak boleh menyimpangi dari”communis opinion doctorum” (pendapat umum para sarjana).
Referensi :
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/hukum.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/perundang-undangan-statue.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/kebiasaan-costum.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/keputusan-hakim-yurisprudensijurisprude.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/traktat-treaty.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/perjanjian-overeekomst.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/doktrin.html