Baca Juga

Prospek, Tantangan Ekonomi Islam Dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Sya Ri’ah 
Kebijakan politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan legislasi UU No. Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (pasal 6, huruf m). UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan prinsip syariah". 

Terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut, menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu, gerakan ekonomi syariah terus digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para ulama, akademisi maupun praktisi tidak kenal lelah. Gerakan ini pun menggelinding bagaikan gerakan bola salju yang semakin membesar yang tidak dapat terbendung lagi. Terus dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir dari gerakan ini, seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan lainnya. Gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan lembaga-lembaga teknis di lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar Modal ( BAPEPAM ).

Gerakan ini juga melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan perundangan lainnya,seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, UndangUndang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya. Di samping itu, gerakan ini juga melahirkan lembaga-lembaga keuangan syariah meliputi: perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, pasar modal syariah, bursa komoditi syariah, bisnis syariah, dan lainnya . 

Lahirnya Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah merupakah langkah politik hukum yang luarbiasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk mewujudkan gerakan ekonomi syari’ah di Indonesia, sehingga kini gerakan ekonomi syariah riil mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

Sumber-sumber Ekonomi Syari’ah telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam berbagai ayat al Qur’an yakni berupa sumber daya alam yang melimpah ruah, sumber daya manusiayang diharapkan selalu profesional dan tidak boleh berpangku tanggan menanti karunia Tuhan, ditunjukkan oleh Allah SWT tentang tata cara bisnis dan wirausaha yang benar dan halal serta tidak merugikan orang lain, ditunjukkan pula tentang tata cara penglolaan Ekonomi Syari’ah dengan cara manajemen yang baik serta pandai-pandailah memanfaatkan lahirnya tehnologi dengan prinsip taqwa kepada Allah SWT. 

PROSPEK EKONOMI ISLAM 
Ketentuan-ketentuan yang dipegang dalam menjalankan prekonomian syari’ah di Indonesia, didasarkan pada fatwa DSN , ini sudah banyak diadopsi menjadi Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dan Ekonomi Syari’ah di Indonesia, berkembang sangat cepat, terutama dibidang perbankan Syari’ah. Kegiatan berupa bisnis Syari’ah sudah bermunculan dimana- mana, seperti hotel syari’ah, kolam renang syari’ah, bengkel syari’ah, karaoke syari’ah, supermarket syari’ah dan lain- lain.

Ekonomi Islam atau Ekonomi Syari’ah, dalam perkembanganya telah banyak memberikan kontribusi kepada perkembangan ekonomi dunia. Banyak konsep-konsep Ekonomi Syari’ah ditiru oleh Barat diantaranya tentang Syirkah (lost profit sharing), Suftaja (bills of exchange), hiwalah (letters of Credit), funduq (specialized large scale commercial institutions and market wich developed in to virtual stock exchange) yakni lembaga bisnis khusus yang memiliki skala yang besar dan pasar yang dikembangkan dalam pertukaran stok yang nyata. Demikian juga tentang harga pasar yang menurut sistem ekonomi kapitalis tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah atau dicampuri oleh pihak-pihak tertentu, sebenarnya ketentuan ini sudah ditentukan oleh Rasulullah SAW beberapa abad yang lalu, dimana dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa harga pasar tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah atau ditentukan oleh pihak-pihak tertentu, tetapi harus berlaku sesuai dengan sunnatullah yang istilah dalam ekonomi konvensional adalah supply and demand.

Ekonomi Syari’ah nampaknya masih terus dalam proses membentuk diri secara mandiri sebagai disiplin ilmu. Meskipun demikian ia telah berhasil melahirkan sistem operasi lembaga ekonomi modern seperti bank dan asuransi. Dalam praktek, sistem operasional Bank dan asuransi Islam dapat bersaing dengan lembaga yang serupa menurut sistem konvensional. 

Hal ini dapat dilihat dari gagasan Ekonomi Syari’ah yang dikembangkan saat ini mempunyai dampak langsung kepada masyarakat, terutama masyarakat muslim sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya dalam menghilangkan persoalan keterbelakangan yang terjadi pada masyarakat. Ekonomi Syari’ah diharapkan dapat menciptakan tata dunia baru yang adil dan tidak bersifat hegemonistik. Juga dapat membuat sistem distribusi kekayaan dan pendapatan yang adil dan merata pada setiap tingkatan. 

 Jenis – jenis Ekonomi Syari’ah di Indonesia :
Yang dimaksud dengan EKONOMI SYARI’AH adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syaria’ah, antaralain meliputi :
1. Bank Syari’ah, 
2. Lembaga Keungan Mikro Syari’ah, 
3. Asuransi Syari’ah, 
4. Reasuransi Syariah, 
5. Reksadana Syari’ah,
6. Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah, 
7. Sekuritas Syari’ah, 
8. Pembiayaan Syari’ah, 
9. Pegadaian Syari’ah, 
10. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah, 
11. Bisnis Syariah. ( Penjelasan pasal 49 UU RI No:3 Th.2006 jo. UU RI No:7 Th.1989 Ttg : Peradilan Agama ).

TANTANGAN EKONOMI ISLAM 
Ekonomi Islam atau Ekonomi Syari’ah adalah ilmu dan sistem yang bersumber dari imperatif wahyu Allah SWT untuk keselamatan dan kesejahteraan ummat manusia. Paradigma, asumsi dan teori-teorinya sangat kondusif bagi kebutuhan kelangsungan hidup pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, secara potensial ia memiliki peluang yang besar untuk menjadi alternatif sebagai solusi atas kegagalan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis di masa yang datang. Meskipun demikian dalam pelaksanaan Ekonomi Syari’ah banyak tantangan yang dihadapi, antara lain : masih banyak SDM yang belum memahami tentang Ekonomi Syari’ah dan masih adanya petugas pelaksana Ekonomi Syari’ah yang tidak amanah, maka sudah semestinya dalam menghadapi tantangan tersebut semua lembaga yang bertanggung jawab atas pemberlakuan ekonomi Syari’ah harus terus menerus melakukan kajian-kajian, penelitian, publikasi dan sosialisasi kepada pihak-pihak yang dianggap perlu.

Konsep Ekonomi Syari’ah didasarkan kepada Tauhid, keadilan, keseimbangan, kebebasan dan pertanggungjawaban. Dalam konsep tauhid berarti semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah dan hanya Allah SWT yang mengatur segalanya, termasuk sebagai pelaku ekonomi yang berkedudukan sebagai pemegang amanah (trustee). Oleh sebab itu manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya, termasuk dalam bidang ekonomi yang tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga bersifat etis dan moralitas. Konsep keadilan dimaksudkan bahwa seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan aktivitas ekonomi secara keseluruhan sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya. Sedangkan pertanggungjawaban mempunyai arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggungjawab atas segala putusan-putusan yang ditetapkannya.

Sistim Ekonomi Konvensional ( Kapitalis maupun Sosialis ) berbeda dengan sistim ekonomi Islam / Syari’ah : Prinsip – prinsip ekonomi Islam tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ekonomi Islam di bangun atas dasar aturan Ilahiyah (keTuhanan).Sedangkan Ekonomi Konvensional dihadirkan atas konsep oleh manusia semata.
2. Ekonomi Islam hanya merupakan salah satu titik bagian saja dari Islam secarakeseluruhan.
3. Ekonomi Islam berdimensi aqidah.
4. Ekonomi Islam berkarakter Ta’abbudi.
5. Ekonomi Islam terkait erat dengan Akhlak.
6. Ekonomi Islam bersifat elastis dalam arti mampu berkembang secara evolusi.
7. Ekonomi Islam bersifat obyektif dalam pengertian mengajarkan ummatnya berlaku obyektif sebagai pelaksanaan amanat dalam melakukan aktivitas ekonomi.
8. Ekonomi Islam mempunyai target, sasaran, tujuan yang lebih tinggi yaitu merealisasikan kehidupan tidak hanya mengejar kepuasan materi, tetapi juga kehidpan kerohanian yang lebih tinggi.
9. Ekonomi Islam bersifat stabil dan kokoh dengan mengharamkan praktek bisnis yang membahayakan ummat manusia seperti riba, penipuan dan lain-lain.
10. Ekonomi Islam bersifat seimbang antara kebutuhan individu dan social, seimbang antara duniawi dan akhirat, seimbang antara fisik dan psikis, seimbang antara sikap boros dan hemat.
11. Ekonomi Islam besifat realistis.
12. Pandangan Islam pada hakekatnya harta kekayaan itu adalah milik Allah SWT.
13. Dalam mengelola harta kekayaan harus memiliki kecakapan.
14. Sebagi realisasi tugas kekhalifahaan.
15. Ekonomi Islam bersifat gotong royong.

1. Sumber Hukum Formil Hukum Islam ( Ekonomi Syariah )
1. Perjanjian ( ini yang utama )
2. Peraturan perundang – undangan.
3. Kebiasaan. Yurisprudensi.
4. Fatwa MUI ( DSN = Dewan Syariah Nasional )
5. Fiqh Islam. ( angka 1.2 s/d angka 1.6 = pelengkap )

2. Sumber Hukum Materiil Hukum Islam.
1) Sumber hukum primer ( اﻻﺻﻠﯿﺔ اﻟﻤﺼﺎدر )
1. اﻟﻘﺮآن 
2. اﻟﺴﻨﺔ 

Dan Perma RI No.2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

2) Sumber hukum sekunder ( اﻟﺘﺒﺎﻋﯿﺔ اﻟﻤﺼﺎدر )
1. اﻷﺟﻤﺎع 
2. اﻟﻘﯿﺎس 
3. اﻻﺳﺘﺤﺴﺎن 
4. اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ اﻟﻤﺮﺳﻠﺔ 
5. ﺳﺪ اﻟﺬراﺋﻊ 
6. اﻟﻌﺮف 

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARI’AH 
Asas – asas Aqad Syariah
1. Asas Kebebasan dan kerelaan / ‘anta radhin.
2. Asas Persamaan / kesetaraan ( equality ).
3. Asas Keadilan ( fairness )
4. Asas Kejujuran, kebenaran,dan keterbukaan.
5. Asas Tertulis.
6. Asas Manfaat dan bernilai guna.
7. Asas Tidak saling merugikan / la dharara wala dhirara / saling menguntungkan.

Dalam Aqad Syariah tidak boleh mengandung :
a. Unsur riba dalam segala bentuknya.
b. Unsur gharar atau tipu daya.
c. Unsur maisir atau spekulatif.
d. Unsur dzulm atau ketidak adilan.
e. Unsur barang haram
f. Unsur Risywah ( suap )
g. Unsur Ma’shiat

Aqad Syariah atau perjanjian : jika dilanggar namanya cidra janji atau .wanprestasi : wanprestasi dari debitur dapat berupa :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan.
2. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan 
3. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat 
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Akibat yang dirasakan tidak enak bagi debitur yaitu :
1) Mengganti kerugian yang diderita oleh kriditur atau membayar ganti rugi ( ﺗﻌﻮﯾﺾ )
2) Pembatalan perjanjian.
3) Peralihan Resiko.
4) Dan membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di Pengadilan.

Syarat – syarat Perjanjian :

A. Dalam Islam :
a. Tidak menyalahi hukum syari’ah.
b. Harus sama ridho, ada pilihan dan tidak terpaksa.
c. Harus terang, jelas dan gambling.

( Fiqhussunnah jilid III halaman 101 )

B. Dalam Hukum Positif :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya .
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
( angka 1 dan 2 adalah syarat subyektif )
3. Mengenai suatu hal tertentu .
4. Suatu sebab yang halal 
( angka 3 dan 4 adalah syarat obyektif )
( Diatas berdasarkan pasal 1320 Kitab Undan – Undang Hukum Perdata. )

Batalnya Perjanjian :
A. Dalam Islam :
1. Jangka waktu perjanjian telah berakhir.
2. Salah satu pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan.
3. Jika ada bukti kelancangan dan bukti pengkhianatan / penipuan.
( Fiqhussunnah jilid III halaman 102 )

B. Menurut Hukum Positif :
1) Jika ada kekurangan mengenai syarat subyektif maka dapat dimintakan pembatalan.
2) Jika syarat obyektif tidak dipenuhi maka batal demi hukum.
3) Tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu.
4) Perjanjian yang isinya tidak halal.

Sebelum UU No. 7/1989 diubah dengan UU No. 3/2006 dan UU No.50/2009 Tentang Peradilan Agama, pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Namun setelah adanya perubahan tersebut. Peradilan Agama kemudian diberi tambahan kewenangan yaitu zakat; infaq dan ekonomi syari’ah. 

Namun kewenangan untuk mengadili perkara ekonomi syariah, direduksi oleh Pasal 55 UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. 

Sementara pada Ayat (2) dikatakan ”Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.”

Bahwa , adanya dualisme pengaturan tersebut telah mereduksi kompetensi peradilan agama menjadi sekadar alternatif forum pilihan (choice of forum). Pengaturan tersebut juga berakibat bukan hanya disparitas dan ketidakpastian hukum, namun juga dapat menimbulkan kekacauan hukum (legal disorder). ”Perundang-undangan yang tidak sinkron satu dengan yang lainnya, saling bertentangan akan menimbulkan disparitas hukuman antara satu hakim dengan yang lainnya,” Namun ada pula yang berpendapat kompetensi penyelesaian perkara ekonomi syariah tidak perlu diperdebatkan lagi, sebab ekonomi menganut prinsip kebebasan berkontrak (choice of law). Sehingga dalam penegakan hukum, yang bersengketa dapat memilih di mana mengajukan perkara. Badan arbitrase, Peradilan Umum, atau Peradilan Agama?

Bahwa dalam penyelesaian perkara dikenal dua forum, litigasi dan non litigasi (choice of Forum) seperti musyawarah, mediasi dan arbitrase. Para pihak bisa memilih salah satu forum tersebut, tetapi pemberian satu kewewenangan kepada dua lembaga peradilan [(litigasi) Choice of Litigation], akan berdampak pada disparitas putusan dan ketidakpastian hukum. 

Perkara ekonomi syariah mengandung makna penerapan hukum substantif dan prosedural yang sama dan berlaku pada setiap orang tanpa memandang perbedaan agama. Dengan demikian, tidak semestinya ada forum yang berbeda yang bebas dipilih (choice of Forum) oleh yang mengajukan sengketa, Suatu pilihan yang opportunistic bukan saja akan menimbulkan disparitas dan ketidakpastian hukum, bahkan lebih jauh akan menimbulkan kekacauan hukum (legal disoders).

Bahwa , masyarakat pencari keadilan, sangat mengharapkan penegakan hukum, kepastian hukum dan keadilan, tentunya juga tidak mengabaikan kemanfaatan hukum. Sekarang yang terjadi karena terlampau banyak peraturan yang kontradiktif, overlapping, dan tidak sinkron. 

Ada kesan kompetensi peradilan agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah ini dibagi-bagi (distribution of Competency) sesuai dengan selera pihak-pihak yang berkepentingan, hal ini akan membingungkan para pihak pencari keadilan. 

Yang jelas bahwa peradilan yang cocok untuk menaungi permasalahan perbankan syariah adalah peradilan agama bukan peradilan umum. Dengan lahirnya UU tersebut, semestinya peradilan agama sudah secara praktis berwenang dalam menangani perkara ekonomi syariah.

Pasal 55 Ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 mengatakan penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Sementara Ayat (2) mengecualikan. Apakah ini tidak kontradiktif? Hal ini, tidak hanya kontradiktif melainkan bertentangan dengan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 yang merupakan UU organik peradilan agama yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Sementara UU No. 21 tahun 2008 hanya mengenai Perbankan Syariah. Olehkarenanya, secara yuridis formal ketika terjadi konflik hukum (conflict of law) antara kedua UU tersebut, maka yang menjadi pegangan para hakim adalah undang-undang organik peradilan agama yang secara absolut, memberikan kewenangan kepada pengadilan agama.