Baca Juga
PENGERTIAN SASTRA
1. Etimologi Sastra
Sastra (Sansekerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan tra yang berarti “alat” atau “sarana”
2. Definisi Sastra
Sastra adalah hasil kegiatan kreatif atau karya seni berupa tulisan atau teks yang menggunakan medium bahasa untuk mengungkapkan atau menggambarkan kehidupan, kemanusiaan, atau kenyataan. Bahasa yang digunakan dalam sastra merupakan bahasa yang indah, menggetarkan jiwa, memiliki keaslian dan keartistikan. Seseorang yang ahli dalam bidang sastra disebut sastrawan. Selain itu, sastrawan memiliki definisi lain yaitu pujangga atau pengarang prosa dan puisi
3. Pengertian Sastra
Luxemburg, et al (1986) mengatakan bahwa bukanlah hal yang mudah dapat dilakukan dalam memberi definisi sastra secara universal . Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, tetapi sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
Berikut ini adalah beberapa pengertian sastra.
- Sastra dihubungkan dengan teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan hanya berlangsung untuk sementara waktu saja.
- Dalam sastra bahannya diolah secara istimewa. Berlaku bagi puisi maupun prosa.
- Sebuah karya sastra dapat kita baca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda.
- Karya-karya yang bersifat biografi, atau karya-karya yang menonjol karena bentuk dan gayanya juga seringkali digolongkan sastra.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SASTRA DI INDONESIA
Menurut Maulana Lukni (2010:1), secara urutan waktu sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yaitu:
- Angkatan Pujangga Lama
- Angkatan Sastra Melayu Lama
- Angkatan Balai Pustaka
- Angkatan Pujangga Baru
- Angkatan 1945
- Angkatan 1950 – 1960-an
- Angkatan 1966 – 1970-an
- Angkatan 1980 – 1990-an
- Angkatan Reformasi
- Angkatan 2000-an
Angkatan Pujangga Lama
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini, karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat, meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri merupakan tokoh pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Selanjutnya, dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik. Karya-karya yang paling terkemuka adalah Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada Kehalusan-Kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai dan Bustan as-Salatin (Taman Raja-Raja) oleh Nuruddin ar-Raniri.
Angkatan Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu lama merupakan karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sekitar tahun 1870 – 1942. Sastra Melayu lama berkembang di lingkungan masyarakat Sumatera seperti Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya, masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Contoh karya sastra Melayu lama adalah Nyai Dasima oleh G. Francis, Bunga Rampai oleh A.F. van Dewall, dan Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo.
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar).
Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa MelayuTinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura. Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai “Raja Angkatan Balai Pustaka” karena banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapat dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah “novel Sumatera”, dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu.
Angkatan Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang. Pada masa ini ada dua kelompok sastrawan pujangga baru yaitu kelompok “Seni untuk Seni”yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah serta kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan 1945. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan 1945 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan 1945 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Angkatan 1950 - 1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis di kalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbul perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan berhentinya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Angkatan 1966 - 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini.
Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk “paus” sastra Indonesia, H.B. Jassin. Beberapa sastrawan pada angkatan 1966-1970-an antara lain Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
Angkatan 1980 - 1990-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum. Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur. Mira W. dan Marga T. adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980- an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat. Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang “Sastrawan Angkatan Reformasi”. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra – puisi, cerpen, dan novel – pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online, yaitu duniasastra(dot)com-nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Sastrawan Angkatan 2000”. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
ALIRAN SASTRA
Menurut Herman Waluyo (1987:32), aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni idealisme, dan materialisme6 . Idealisme adalah aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh penulisnya. Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini hanyalah merupakan bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme, (b) simbolik, (c) mistisisme, dan (d) surealisme. Materialisme berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan akal manusia. Dalam kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan atas realisme dan naturalisme.
Aliran Sastra Idealisme
Romantisisme adalah aliran karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek yang dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat pada pemandangan alam, perhatian pada kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan dalam pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran. Pengikut aliran ini menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Aliran ini kadang-kadang berpadu dengan aliran idealisme dan realisme sehingga timbul aliran romantik idealisme, dan romantik realisme.
Romantik idealisme adalah aliran kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru umumnya termasuk aliran ini. Sementara romantik realisme mengutamakan perasaan yang bertolak dari kenyataan (contoh: puisipuisi Chairil Anwar dan Asrul Sani).
Simbolik adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas realisme dan naturalisme. Pengarang berupaya menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia yang secara indrawi dapat kita serap menunjukkan suatu dunia rohani yang tersembunyi di belakang dunia indrawi. Aliran ini selalu menggunakan simbol atau perlambang hewan atau tumbuhan sebagai pelaku dalam cerita. Contoh karya sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin dan Kisah Negara Kambing karya Alex Leo.
Mistisisme adalah aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman penulis terhadap keagungan Maha Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan J.E. Tatengkeng.
Surealisme adalah aliran karya sastra yang melukiskan berbagai objek dan tanggapan secara serentak. Karya sastra bercorak surealis umumnya sulit dipahami karena gaya pengucapannya yang melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau. Contoh karya sastra aliran ini misalnya Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, dan Tumbang karya Trisno Sumardjo.
Aliran Sastra Materialisme
Realisme adalah aliran karya sastra yang berusaha menggambarkan atau memaparkan atau menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif memandang segala sesuatu (tanpa mengikutsertakan perasaan). Plato dalam teori mimetiknya pernah menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan. Berangkat dari inilah kemudian berkembang aliranaliran, seperti: naturalisme, dan determinisme. Realisme sosialis adalah aliran karya sastra secara realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan sosialis.
Naturalisme adalah aliran karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung berlebihan dan terkesan jorok. Aliran ini berkembang dari realisme. Ada tiga paham yang berkembang dari aliran realisme, yaitu saintisme (hanya sains yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar), positivisme (menolak metafisika, hanya pancaindra kita berpijak pada kenyataan), dan determinisme (segala sesuatu sudah ditentukan oleh sebab musabab tertentu).
Impresionisme adalah aliran kesusastraan yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dalam batin tokoh utama. Impresionisme lebih mengutamakan pemberian kesan atau pengaruh kepada perasaan daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya. Beberapa pengarang Pujangga Baru memperlihatkan impresionisme dalam beberapa karyanya.
KELOMPOK SASTRA
Karya sastra dapat dikelompokkan sesuai jenis bahasanya, maupun isi karya sastra yang disampaikan itu sendiri. Sumarjo dan Saini (1986) menggolongkan sastra menjadi dua kelompok, yakni sastra imajinatif dan sastra non-imajinatif.
Kelompok Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Ciri-ciri sastra imajinatif antara lain memenuhi estetika seni (unity = keutuhan, balance = keseimbangan, harmony = keselarasan, dan right emphasis = pusat penekanan suatu unsur), cenderung khayali, dan bahasa cenderung konotatif (makna ganda). Sastra imajinatif terdiri dari dua jenis yakni prosa dan puisi. Prosa terdiri dari fiksi dan drama. Prosa fiksi meliputi novel atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelet (novel pendek). Drama meliputi drama prosa dan drama puisi. Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Tampilan drama tersebut meliputi komedi, tragedi, melodrama, dan tragic comedy. Puisi meliputi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik (Zulkarnaini, 2008:6).
Kelompok Sastra Non-Imajinatif
Sastra non-imajinatif merupakan sastra yang lebih menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung denotatif. Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut. Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan tersebut amat bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang.
Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun non-imajinatif, keduanya samasama memenuhi estetika seni (unity, balance, harmony, dan right emphasis). Sastra non-imajinatif terdiri dari esai, kritik, biografi, otobiografi, sejarah, memoar, catatan harian, dan surat-surat (Zulkarnaini, 2008:6).