Baca Juga

Pengertian, Tujuan, dan Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan
Pada bagian pendahuluan di atas dalam modul ini, Anda telah mengenal dan memahami tentang arah pengembangan guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) khususnya dalam penguasaan kompetensi dalam pembelajaran PKn. Pada kegiatan belajar ini, akan dibahas tentang pengertian, tujuan, dan dimensi pendidikan kewarganegaraan di MI. Pada kegiatan belajar ini, Anda diharapkan akan punya pemahaman tentang apa PKn itu, mengapa perlu ada pembelajaran PKn, dan apa dimensi PKn. Oleh karena itu, apabila Anda sudah menguasai pembahasan materi pada kegiatan belajar 1, maka Anda akan sangat terbantu untuk menguasai materi pada kegiatan belajar berikutnya.

 Apa pendidikan kewarganegaraan (PKn) untuk MI itu?

Pendidikan Kewarganegaraan atau disingkat PKn merupakan bidang kajian yang bersifat multifaset yang bidang keilmuannya bersifat interdisipliner, multidisipliner bahkan multidimensional. Namun, menurut seorang hali ilmu politik yang bernama Chreshore (1886), secara filsafat keilmuan ia berasal dari ilmu politik khususnya dari konsep “political democracy” untuk aspek “duties and rights of citizen”. Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa Latin “civicus” yang artinya warga negara pada jaman Yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”, yang selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn). 

Dari sudut pandang epistemologis, menurut Barr, Barrt, dan Shermis (1978), PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima tradisi “social studies” yakni “citizenship transmission”. Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “body of knowledge” yang dikenal dan memiliki paradigma sistemik yang didalamnya terdapat tiga domain “citizenship education” yakni: domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural” (Winataputra:2001).

Ketiga domain itu satu sama lain memiliki saling keterkaitan struktural dan fungsional yang menurut Center for Civic Education (1998) di Amerika Serikat diikat oleh konsepsi kebajikan dan budaya kewarganegaraan (civic virtue and culture) yang mencakup pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), watak kewarganegaraan (civic disposition), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), kepercayaan kewarganegaraan (civic confidence), komitmen kewarganegaraan (civic commitment), dan kompetensi kewarganegaraan (civic competence). Oleh karena itu, ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas sosial-kultural PKn saat ini benar-benar bersifat multifaset/multidimensional. 

Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi. Kemana arah pengembangan PKn di Indonesia? Hal itu tergantung dari aspek ontology mana kita berangkat, dengan metode kerja epistemology mana pengetahuan itu dibangun, dan untuk arah tujuan aksiologis mana kegiatan itu akan membawa implikasi. Bagi negara kita, Indonesia, arah pengembangan PKn tidak boleh keluar dari landasan ideologis Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional Undang-undang Sisdiknas yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 20 tahun 2003. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu bentuk dari domain kurikuler PKn. 

Sesuai dengan namanya, PKn merupakan mata pelajaran dalam kurikulum SD/MI. Sebagai mata kuliah dalam program pendidikan tenaga kependidikan, PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan dan sebagai “subject-specific pedagogy” atau pembelajaran materi subjek untuk guru PKn. Sebagai mata pelajaran di Madrasah Ibtidaiyah, PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai Pancasila dan kewarganegaraan untuk warga negara muda usia SD/MI. Secara ontologis, mata pelajaran ini berangkat dari nilai-nilai Pancasila dan konsepsi kewarganegaraan. Secara epistemologis, mata pelajaran ini merupakan program pengembangan individu, dan secara aksiologis mata pelajaran ini bertujuan untuk pendewasaan peserta didik sebagai anggota masyarakat, warga negara, dan komponen bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, karakteristik kurikulum PKn yang perlu dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hendaknya untuk mencapai target hingga terjadinya artikulasi proses “belajar tentang, melalui proses, dan untuk menumbuhkan demokrasi konstitusional Indonesia sesuai dengan UUD NRI 1945”, yang secara konseptual diadaptasi dari konsep “learning about, through, and for democracy” (CIVITAS: 1996, 2001; Kerr:1996; Winataputra, 2001). Oleh karena itu, secara umum pembelajaran PKn di Madrasah Ibtidaiyah adalah pengembangan kualitas warga negara secara utuh sebagaimana pernah diuraikan dalam naskah akademik Alur Pikir Pengembangan Kurikulum SD/MI (Ditnaga Dikti, 2005) dalam aspek-aspek: 
  • Kemelek-wacanaan kewarganegaraan (civic literacy), yakni pemahaman peserta didik sebagai warga negara tentang hak dan kewajiban warga negara dalam kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia serta menyesuaikan perilakunya dengan pemahaman dan kesadaran itu; 
  • Komunikasi sosial kultural kewarganegaraan (civic engagement), yakni kemauan dan kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk melibatkan diri dalam komunikasi sosial-kultural sesuai dengan hak dan kewajibannya.
  • Pemecahan masalah kewarganegaraan (civic skill and participation), yakni kemauan, kemampuan, dan keterampilan peserta didik sebagai warga negara dalam mengambil prakarsa dan/atau turut serta dalam pemecahan masalah sosial-kultur kewarganegaraan di lingkungannya. 
  • Penalaran kewarganegaraan (civic knowledge), yakni kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk berpikir secara kritis dan bertanggungjawab tentang ide, instrumentasi, dan praksis demokrasi konstitusional Indonesia.
  • Partisipasi kewarganegaraan secara bertanggung jawab ( civic participation and civic responsibility), yakni kesadaran dan kesiapan peserta didik sebagai warga negara untuk berpartisipasi aktif dan penuh tanggung jawab dalam berkehidupan demokrasi konstitusional.
PKn untuk persekolahan sangat erat kaitannya dengan dua disiplin ilmu yang erat dengan kenegaraan, yakni Ilmu Politik dan Hukum yang terintegrasi dengan humaniora dan dimensi keilmuan lainnya yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, PKn di tingkat persekolahan bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik (to be smart dan good citizen). Warga negara yang dimaksud adalah warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebsangsaan dan cinta tanah air.

Di Madrasah Ibtidaiyah, PKn lebih dititikberatkan pada penghayatan dan pembiasaan diri untuk berperan sebagai warga negara yang demokratis dalam konteks Indonesia. Untuk itu guru PKn harus menjadi model warga negara yang demokratis sehingga menjadi teladan bagi peserta didiknya. Dalam program PGMI di LPTK, PKn sebagai matakuliah merupakan program pendidikan yang bertujuan mengembangkan kemampuan penguasaan calon guru/guru MI mengenai substansi dan metodologi pembelajaran PKn di madrasah ibtidaiyah.

Bertolak dari berbagai pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka Winataputra dan Sapriya (2003:99-100) pernah mengorganisasikan kurikulum PKn dan IPS untuk Sekolah Dasar termasuk Madrasah Ibtidaiyah mata pelajaran PKn tersebut sebagai berikut:
  • Pada jenjang MI kelas rendah (lower primary), yakni rentang kelas 1 s/d 3, pengorganisasian materi pendidikan kewarganegaraan menerapkan pendekatan terpadu (integrated) dengan fokus model pembelajaran yang berorientasi pada pengalaman (experience oriented) dengan memanfaatkan pola pengorganisasian lingkungan yang meluas (expanding environment/ community approach). Tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan di kelas rendah ini adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan pengertian awal tentang pentingnya kehidupan bermasyarakat secara tertib dan damai. Melalui pembiasaan para peserta didik dikondisikan untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota keluarga, warga sekolah, dan warga masyarakat di lingkungannya secara cerdas dan baik (good and smart citizen). Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil bermain (learning through gaming), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui interaksi sosial-kultural di lingkungannya (enculturation and socialization). 
  • Pada jenjang MI kelas tinggi (Upper primary) (4 s/d 6) pengorganisasian materi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sama dengan jenjang kelas 1 sampai 3 yakni menerapkan pendekatan terpadu (integrated) dengan model pembelajaran yang berorientasi pada pengalaman (experience oriented) dengan pola pengorganisasian lingkungan meluas (expanding environment/community approach) dengan visi utama sebagai pendidikan nilai dan moral demokrasi (democracy value and moral education). Perbedaannya, pada jenjang MI kelas tinggi, pembelajaran sudah mulai dikenalkan mata pelajaran yang terpisah. Guru MI sebagai guru kelas membelajarkan lima mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, PKn) secara terpisah. Namun, dianjurkan pula untuk beberapa kompetensi dasar, agar guru menerapkan pendekatan tematik (integrated) sesuai dengan memperhatikan prinsip kontekstual, aktualitas, dan kebutuhan peserta didik. 
  • Untuk itu maka substansi pendidikan kewarganegaraan di kelas tinggi dipilih dan diorganisasikan secara terorkestrasi (orchestrated) dengan menekankan pada tumbuhkembangnya lebih lanjut kesadaran, pengertian, tentang pentingnya kehidupan bermasyarakat secara tertib dan damai dan mulai tumbuhnya tanggungjawab kewarganegaraan (civic responsibility). Para peserta didik dikondisikan, difasilitasi, dan ditantang untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota keluarga,  warga sekolah, dan warga masyarakat di lingkungannya yang cerdas dan baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil bermain (learning through gaming), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui pembiasaan serta interaksi sosial-kultural di lingkungannya (enculturation and socialization) termasuk di lingkungan bermain. 
Tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan di kelas MI ini adalah tumbuhkembangnya kepekaan, ketanggapan, kritisasi, dan kreativitas sosial dalam konteks kehidupan bermasyarakat secara tertib, damai, dan kreatif. Para peserta didik dikondisikan untuk selalu bersikap kritis dan berperilaku kreatif sebagai anggota keluarga, warga sekolah, anggota masyarakat, warga negara, dan ummat manusia di lingkungannya yang cerdas dan baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil berbuat (learning by doing), belajar memecahkan masalah sosial (social problem solving learning), belajar melalui perlibatan sosial (socio-participatory learning), dan belajar melalui interaksi sosial-kultural sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat.

Untuk mempermudah kajian dan analisis PKn dalam mencapai tujuannya, maka para mahasiswa perlu mengenal sejumlah dimensi. 

Apa saja dimensi PKn itu? 

Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di Indonesia seperti yang berkembang di negara lain memiliki multidimensional, artinya bahwa program PKn bukan hanya untuk satu tujuan. 

Winataputra (2001) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi PKn, yakni: 
  1. PKn sebagai program kurikuler; 
  2. PKn sebagai program akademik; dan 
  3. PKn sebagai program sosial kultural. 
Dalam pelaksanaan program, tiga dimensi ini dapat saja terjadi secara simultan atau secara bersamaan (overlaping), khususnya dalam mencapai tujuan umum, yakni membentuk warga negara yang cerdas dan baik. Khusus untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan PKn dapat dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian Penjelasan Pasal 37 ayat (1) bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.” 

Domain PKn sebagai program kurikuler merupakan program PKn yang dirancang dan dibelajarkan kepada peserta didik pada jenjang satuan pendidikan tertentu. Melalui domain ini, proses penilaian dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap program pembelajaran dan program pembangunan karakter. Namun diakui oleh para pakar bahwa pencapaian program PKn dalam domain kurikuler belumlah optimal karena masih adanya kelemahan dalam dimensi kurikuler, seperti masalah landasan, pengorganisasian kurikulum, buku pelajaran, metodologi, dan kompetensi guru. 

Domain PKn sebagai program akademik merupakan program kajian ilmiah yang dilakukan oleh komunitas akademik PKn menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah konseptual dan operasional guna menghasilkan generalisasi dan teori untuk membangun batang tubuh keilmuan PKn. Kajian ini lebih memperjelas bahwa PKn bukan semata-mata sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah melainkan pendidikan disiplin ilmu yang memiliki tugas komprehensif dalam arti bahwa semua community of scholars mengemban amanat (missions) bukan hanya di bidang telaah instrumental, praksis-operasional dan aplikatif melainkan dalam bidang kajian teoritis-konseptual yang terkait dengan pengembangan struktur ilmu pengetahuan dan body of knowledge. 

Domain PKn sebagai program sosial kultural pada hakikatnya tidak banyak perbedaan dengan program kurikuler dilihat dari aspek tujuan, pengorganisasian kurikulum dan materi pembelajaran. Perbedaan terutama pada aspek sasaran, kondisi, dan karakteristik peserta didik. Program PKn ini dikembangkan dalam konteks kehidupan masyarakat dengan sasaran semua anggota masyarakat. Tujuannya lebih pada upaya pembinaan warga masyarakat agar menjadi warga negara yang baik dalam berbagai situasi dan perkembangan zaman yang senantiasa berubah. 

Bangsa Indonesia pernah menyelenggarakan PKn melalui program sosial kultural pada masa pemerintahan Orde Baru, yakni melalui berbagai program penataran P4. Program ini sekarang sudah tidak ada lagi karena dipandang telah menyimpang dari tujuan sehingga tidak efektif lagi. Namun, dipandang dari sudut kepentingan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pembangunan karakter bangsa, PKn melalui program sosial kultural ini sangat penting. Oleh karena itu, program PKn dalam dimensi sosial kultural pada pasca dibubarkannya BP7 dan penghentian program penataran P4 perlu direvitalisasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pembangunan karakter warga negara Indonesia yang baik.