Baca Juga
Modernisasi Dan Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Pembangunan Pertanian
Hampir 80% atau lebih penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang bekerja pada sektor pertanian sebagai mata pencarian pokok, sehingga merupakan lapangan kerja dan produktif dan menyediakan pendapatan yang pada akhirnya dapat meningkatkan tarap hidup masyarakat.
Kebijaksanaan pembangunan pertanian dalam tiga dekade terakhir berorientasi pada peningkatan produksi melalui penggunaan teknologi padat modal. Tujuan akhir yang diharapkan pemerintah adalah meningkatnya pangan dalam negeri melalui pencapaian swasembada pangan dan mengurai ketergantungan pangan terhadap negara luar.
Untuk mencapai tujuan di atas, pelaksanaan pembangunan melalui progam progamnya dilaksanakan dengan penerapan kebijaksanaan menyeluruh yang direncanakan dan disusun secara top down. Daerah, dalam hal ini propinsi harus menyelesaikan kebijaksanaan pusat dengan kondisi wilayah setempat. Selain itu, untuk mempercepat pertumbuhan pertanian dilakukan pembangunan sub sektor dengan pendekatan yang berbeda tetapi sasaran sama.
Tidak jarang unsur politis dan birokrasi turut bermain mewarnai pelaksanaan kebijakan pembangunan pertanian guna menyukseskan progam-progam nasional yang dilaksanakan di daerah. Konsepsi mengenai keberhasilan pencapaian kesejahteraan masyarakat diukur dari pertumbuhan ekonomi nasional (GNP), dengan mengandalkan terjadinya trickle down effect.
Kesejahteraan masyarakat yang diukur dari GNP merupakan anggapan yang keliru, karena dalam GNP kesejahteran sosial belum tentu tercapai. Selain itu, kesejahteraan social tidak dapat disamakan dengan kesejahteran ekonomi. Dengan mengutip pendapat pranadji (1999), bahwa komponen kesejahteraan social hanya dapat dicapai dengan perubahan struktur, keorganisasian, pertanian, dan budaya masyarakat pertanian setempat yang melatarbelakanginya. Di samping itu, penyehatan aspek sosio-budaya harus dipandang sebagai faktor penggerak utamanya.
Kebijakan pembangunan pertanian dengan pola top down dengan orientasi produksi melalui penggunaan teknologi modern yang sangat teknis mekanistis, telah menimbulkan masalah-masalah dan perubahan-perubahan, baik pemerintah daerah yang mengimplementasikan kebijaksanaan pusat maupun masyarakat petani sebagai obyek dari pembangunan.
Masalah-masalah umum yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pembangunan pertanian antara lain:
1. Menumbuhkan ketergantungan pemerintah derah dalam perencanaan pembangunan, sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat.
2. Menimbulkan ego sub sektoral dalam pelaksanaan progam-program pembangunan pertanian, karena lemahnya kordinasi dan integrasi antara sub sektor.
3. Merosotnya nilai-nilai tradisional dan norma-norma kekeluargaan yang saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup di pedesaan.
4. Melahirkan ketergantungan petani terhadap pemerintah dalam pembangunan, sebagai akibat pendekatan pelaksanaan program melalui bantuan subsidi.
Selain faktor-faktor eksternal, modernisasi pembangunan pertanian yang telah di uraikan di atas mengakibatkan perubahan sosial dalam masyarakat (dalam arti negatif).
Tidak sedikit pula faktor-faktor internal yang ikut mempengaruhi proses pembangunan dan modernisasi pertanian. Koentjaraningrat (1985:37-49) menguraikan beberapa karakteristik mental manusia Indonesia yang merupakan penghambat pembangunan dan proses modernisasi, antara lain:
1. Pandangan terhadap sesama lebih didasarkan pada prinsip gotong royong lebih baik, tetapi apabila keberhasilan seseorang dianggap sombong atau meremehkan mutu, selain itu munculnya sikap konformisme.
2. Pandangan hidup yang berorentasi pada waktu masa lalu.
3. Mentalitas yang suka menerbas, atau mentalitas mencari jalan pintas. Mentalitas muncul menerbas akibat dari mentalitas meremehkan mutu.
4. Tidak percaya pada diri sendiri, dan ;
5. Orentasi nilai budaya yang terlampau mementingkan konsep ketergantungan pada atasan atau kepada sesama manusia dalam melakukan segala sesuatu. Mentalitas seperti ini dapat menghilangkan dorongan inovatif dan kreatif manusia.
Mentalitas yang di uraikan oleh Kontjaraningrat tidak dapat begitu saja di terima sebagai sesuatu yang berlaku universal, melainkan sangat tergantung kepada setiap individu, kelompok komunitas dalam memahami diri terhadap orientasi masa depannya, serta tergantung pada kondisi wilayah dan social budaya setempat. Pranadji (2000) mempunyai pandangan bahwa desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya pranata social setempat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan pertanian. Selain itu, desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya perantara keteraturan, kerjasama sosial dan kontrol sosial yang lebih baik terhadap proses transformasi pertanian secara berkelanjutan di wilayah setempat.
Modernisasi di bidang pertanian di Indonesia di tandai dengan perubahan yang mendasar pada pola-pola pertanian, dari cara-cara tradisional menjadi cara-cara yang lebih maju.
Perubahan-perubahan tersebut meliputi beberapa hal, antara lain dalam pengelolahan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, pengunaan sarana-sarana produksi pertanian, dan pengaturan waktu panen. Pengenalan terhadap pola yang baru dilakukan dengan pembenahan terhadap kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian, seperti, kelompok Tani, KUD, PPL, Bank Perkreditan, P3A, dan sebagainya. Selanjutnya ditetapkan pola pengembangan dalam bentuk, usaha ekstensifikasi, intensifikasi dan diversifikasi.
Selama beberapa pelita, modenisasi pertanian telah membawa perubahan-perubahan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan produksi pertanian yang mencapai puncak ketika tercapainya swasembada pangan.
Namun kondisi ini tidak bertahan lama, dan pada akhirnya membawa kembali bidang pertanian di Indonesia dalam suasana keperhatinan yang ditandai dengan menurunnya tingkat produksi, sehingga menjadikan Indonesia kembali sebagai pengimpor beras. Mengapa hal ini terjadi? Inilah permasalah yang terjadi di Indonesia. Sebagai asumsi dasar, kondisi ini terbentuk melalui berbagai proses yang tidak dapat di lepaskan.
Pertama, dari aspek modernisasi itu sendiri, dan Kedua berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial yang muncul dari modernisasi yang tidak diantisipasi secara dini.
Dalam bidang pertanian, perubahanperubahan sosial petani akibat dari modernisasi adalah dengan diperkenalkannya mesin-mesin, seperti mesin penuai dan traktor tangan telah menghilangkan mata pencaharian penduduk yang selama ini mendapatkan upah dari menuai.
Kemudian, pemakaian traktor tangan telah menggantikan tenaga kerbau, sehingga sebagaian besar petani tidak lagi berternak kerbau. Untuk kasus ini, hasil penelitian Scott tentang petani di Sedaka, Malaysia, diuraikan dengan cermat bagaimana penggunaan teknologi itu telah merubah hubungan sosial di Malaysia. Scott memberikan contoh tentang digunakannya mesin pemanen dan perontok padi, kemudian pemilik tanah memutuskan hubungan dengan pekerja.
Putusnya hubungan antara pemilik tanah dan para pekerja membuat perbedaan antara kelas kaya dan miskin semakin nyata. Mesin juga telah merubah orientasi para tuan tanah, dari anggapan usaha sebagai salah satu fungsi sosial menjadi kerja sebagai upaya untuk mendapatkan keuntungan (Scott, 2000: 202).
Penelitian Scott menunjukan bahwa penggunaan teknologi pertanian mempunyai dampak terhadap perubahan struktur masyarakat, dan akhirnya berpengaruh terhadap pola-pola institusional masyarakat. Kondisi ini akan memperluas struktur kemiskinan. Sedangkan tujuan dari pembangunan pertanian itu sendiri pada dasarnya adalah untuk memperkecil struktur kemiskinan.
Menurut Soedjatmoko, struktur adalah pola-pola organisasi sosial yang mantap, luas,stabil, dan mampu untuk meneruskan diri (self reproducing). Suatu masyarakat yang melintasi semua sektor. Lebih lanjut, Soedjatmoko mengatakan bahwa institusi atau lembaga adalah suatu rangkaian hubungan antara manusia yang teratur dan disahkan secara sosial, yang menentukan hak dan kewajiban serta sifat hubungannya dengan orang lain. Lembaga-lembaga ini penting Karena mereka menjamin kemantapan, kepastian, dan prediktability dalam interaksi sosial dan menentukan pola taat tertib masyarakat (Soedjatmoko, 1984: 157).
Sebelum di perkenalkannya mesin-mesin pertanian, struktur masyarakat petani sangat mendukung terciptanya kemantapan, kestabilan, dan kemampuan dalam menghubungkan dua fenomena ini. Maka, yang muncul kemudian dalam tatanan sosial masyarakat petani adalah suatu konflik masyarakat agraris. Tingkat kedua, bentuk perjuangan mengenai kepantasan suatu defenisi terhadap keadilan suatu kasus tertentu, seperangkat faktor tertentu, dan sesuatu perilaku tertentu. Tingkat ketiga, pertarungan tentang tanah kerja, pendapatan, dan kekuasaan ditengah-tengah perubahan besar yang disebabkan oleh suatu revolusi pertanian (Scott, 2000: 36). Untuk hal ini Scott mengangkat suatu contoh bahwa orang kaya sepantasnya bersifat dermawan. Ini adalah suatu prinsip. Ketika prinsip ini dilanggar, maka mulailah konflik itu terjadi.
Apa yang ingin di ungkapkan oleh Scott dan Soedjatmoko seperti diuraikan di atas, sangat jelas memberikan suatu gambaran bahwa modernisasi pertanian melalui pengunaan mesinmesin pertanian yang kemudian berkembang menjadi suatu konflik dalam masyarakat agraris.
Sebagai ilustrasi, dapat dijelaskan dalam bentuk hubungan sebagai berikut:
Tinjauan Historis Pembangunan Pertanian
Berdasarkan sejarah, pembangunan pertanian telah mengalami beberapa tahap atau perkembangan. Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu zaman sebelum dan sesudah Bimas. Dari kedua zaman tersebut, banyak terjadi perubahaan yang dapat dilihat dari aspek yang ditimbulkanya.
Pada masa sebelum Bimas, umumnya masyarakat belum mengenal jenis-jenis padi unggul, sehingga mereka masih menggunakan varietas lokal yang dicirikan dengan umur yang panjang dan produksi yang relatif rendah. Dalam usaha tani, secara umum masyarakat belum menggunakan teknologi yang modern (seperti pupuk, dan obat-obatan). Dalam menentukan jenis kegiatan termasuk jenis komoditi yang akan diusahakan, para petani `masih mempunyai kebebasan atau dengan kata lain tidak ada intervensi dari pemerintah.
Pada era enam puluhan, pemerintah melalui suatu terobosan guna memacu peningkatan produksi, melaksanakan program Bimas dengan menerapkan beberapa teknologi dalam usaha pertanian yang berlanjut hingga saat ini. Dalam program ini, sudah terlihat adanya suatu bentuk intevensi dari pemerintah dalam pengaturan terhadap kegiatan petani sehingga petani tidak bebas dalam menentukan jenis usaha komoditi yang dilaksanakannya.
Pembangunan dengan cara penerapan teknologi yang dikenal dengan revolusi hijau, dimana penerapan teknologi sudah diperkenalkan kepada petani dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani ternyata tidak berhasil dan bahkan menimbulkan perubahan sosial yang bersifat negatif pada masyarakat.
Modernisasi Pertanian dan Perubahan Sosial Masyarakat
Modernisasi pertanian adalah suatu perubahan pengelolaan usaha tani dari tradisional ke pertanian yang lebih maju dengan penggunaan teknologi-teknologi baru. Modernisasi dapat diartikan sebagai transformasi yaitu perubahan. Dalam arti yang lebih luas transformasi tidak hanya mencakup perubahan yang terjadi pada bentuk luar, namun pada hakekatnya meliputi bentuk dasar, fungsi, struktur, atau karakteristik suatu kegiatan usaha ekonomi masyarakat (Pranadji, 2000).
Modernisasi dapat diartikan sebagai bentuk, ciri, struktur dan kemampuan system kegiatan agribisnis dalam menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian masyarakat pelakunya. Dumomt dalam Pranadji (2000) mengatakan bahwa transformasi atau usaha pertanian dapat disejajarkan dengan transformasi pedesaan. Dipandang dari aspek sosio budaya, transformasi pertanian identik dengan proses modernisasi dan pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan. Sayagyo (1985: 10) mengartikan modernisasi suatu masyarakat adalah suatu proses transformasi, yaitu suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Perubahan sosial adalah terjadinya perbedaan dalam aspek kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu (Rusidi, 2000). Aspek-aspek kehidupan masyarakat itu telah disistematiskan pada stuktur proses sosial. Dimana perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi pada struktur (kebudayan dan kelembagaan) pada pola proses sosial.
Menurut Parson, dinamika masyarakat berhubungan dengan perubahan masyarakat.
Kemudian, terdapat beberapa unsur yang berinteraksi satu sama lain. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Orientasi manusia terhadap situasi yang melibatkan orang lain.
2. Pelaku yang mengadakan kegiatan dalam masyarakat.
3. Kegiatan sebagai hasil orientasi dan pengolahan pemikiran pelaku tentang bagaimana mencapai cita-cita.
4. Lambang dan sistem perlambangan yang mewujudkan komunikasi dalam mencapai tujuan. Sehubungan dengan itu sistem social merupakan hasil individu, yang terjadi dalam lingkungan fisik dan sosial.
Strategi Pembangunan Pertanian
Pengalaman menunjukkan, bahwa secara umum pembangunan masyarakat desa yang dilakukan di desa melalui sektoral mempunyai strategi atau pendekatan yang berbeda-beda.
Demikian pula pembangunan dalam sector pertanian melakukan hal yang sama yaitu pendekatan sub-sektoral. Nasikun dalam Leibo (1995: 97) mengatakan bahwa adanya berbagai strategi atau pendekatan organisasional pembangunan masyarakat desa barangkali merupakan indikasi yang paling jelas, oleh karena strategi-strategi tersebut terbukti telah berkembang lebih di atas dasar akumulasi pengertian keilmuan yang mantap.
Praktek-praktek pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan yang kita kenal selama ini sangat hegemoni yang berparadigma tunggal, yaitu paradigma “struktural fungsional”.
Pembangunan masyarakat pertanian yang berparadigma tunggal menggunakan pendekatan teori demokrasi liberal barat, merupakan kesalahan fatal bila diterapkan di Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya lokal, serta sistem sosial-politik dan demokrasi yang labil.
Praktik pembangunan masyarakat pedesaan yang berparadigma tunggal, bukan tidak mungkin telah melahirkan ketergantungan-ketergantungan masyarakat pedesaan seperti pemberian bantuan modal petani, baik yang berupa kredit dan subsidi maupun bantuan hibah. Berdasarkan pengalaman proyek-proyek pembangunan berupa kredit dan subsidi maupun bantuan hibah, proyek-proyek pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, serta kesejahteraan masyarakat seperti proyek pengembangan perkebunan rakyat, perluasan areal tanam dan lain-lain memberikan hibah untuk tahun pertama, lalu kemudian pada tahun-tahun berikutnya bantuan diberikan dalam bentuk kredit.
Merupakan suatu anggapan keliru bila bentuk bantuan tersebut diartikan sebagai suatu pemberdayaan masyarakat petani.
Perumusan strategi atau pendekatan pembangunan masyarakat yang direncanakan tidak hanya diturunkan dari orientasi-orientasi filosofikal yang menjadi landasannya, akan tetapi juga berdasarkan pengalaman empirik (Nasikun dalam Leibo, 1995). Perumusan strategi dengan landasan filosofikal dan pengalaman empiric itupun belum menjamin keberhasilannya, apabila bukan merupakan perencanaan partisipatif (participatory planning). Strategi-strategi pembangunan pertanian (masyarakat pedesaan) yang dilakukan selama ini hanya sebatas menganjurkan strategi perubahan masyarakat berdasarkan partisipasi luas, akan tetapi tidak pernah dilakukan, meskipun pendekatan pembangunan masyarakat adalah gotong royong.
Partisipasi luas yang digalakkan tersebut tidak jarang disertai dengan pemaksaan “halus” (Koentjaraningrat, 1985: 97-105) membedakan partisipasi dalam bentuk aktifitas-aktifitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; kedua partisipasi individu diluar aktivitas bersama dalam pembangunan.
Kedua tipe partisipasi yang digambarkan oleh Koenjaraningrat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dimana program pembangunan atau proyek yang telah direncanakan di tingkat pusat tanpa melibatkan masyarakat mulai dari diagnosis masalah dan potensi sumber daya, perencanaan program dan pelaksanaan. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa perumusan strategi pembangunan dalam rangka otonomi daerah harus sarat dengan partisipasi. Partisipasi yang dimaksudkan berbeda dengan yang diuraikan Koentjaraningrat, yaitu melibatkan masyarakat desa secara luas dalam pengambilan keputusan-keputusan, mulai dari diagnosis masalah, identifikasi potensi sumber daya, perencanaan program dan penentuan program yang diusulkan hingga ke tingkat daerah, dan sampai pada pelaksanaan program pembangunan serta pengawasan dan evaluasi.
Namun demikian, pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan tertentu. Untuk mengatasi adanya perbedaan-perbedaan, maka perlu dibentuk suatu institusi atau lembaga yang terintegrasi secara normatif pada kondisi yang kompleks secara keseluruhan di berbagai tingkat pelayanan dalam suatu sistem pemerintahan (Parsons, 1964: 76).
Nasikun dalam Leibo (1995) menglasifikasikan strategi-strategi organisasional pembangunan masyarakat desa menjadi empat strategi yang berlandaskan pendekatan teoritis, yaitu:
1. Strategi pembangunan gotong royong
2. Strategi teknikal professional.
3. Strategi konflik, dan
4. Strategi pembelotan kultural.
Strategi pembangunan gotong royong asumsi dasarnya adalah paradigma structural fungsional, dimana strategi ini melibatkan masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang terdiri atas bagian-bagian terintegrasi secara normatif, dimana tiap-tiap bagian memberikan sumbangan fungsional masing-masingnya bagi pencapaian tujuan masyarakat secara keseluruhan. Demikian pula strategi pembangunan teknikal profesional, bahwa asumsi-asumsi yang melandasi strategi ini tidak berbeda dengan asumsi yang mendasari strategi pembangunan gotong royong. Strategi pembangunan teknikal profesional memandang masyarakat sebagai suatu sistem hubungan social yang semakin kompleks, dengan struktur-struktur serta proses-proses kemasyarakatan yang semakin modern.
Telah diuraikan di atas bahwa pembangunan suatu pertanian juga diwarnai oleh ego sub sektoral, lemahnya koordinasi, dan integrasi antar sub-sektoral serta konsep pemberdayaan masyarakat yang berbeda turut mempengaruhi pola pendekatan pembangunan masyarakat yang digunakan. Berdasarkan fenomena tersebut, sesuai dengan pendapat Nasikun (Leibo, 1995: 111) mengenai perlunya suatu strategi pembangunan berparadigma ganda, yaitu suatu integrasi atau sintesis dari berbagai strategi pembangunan. Strategi yang diusulkan ini secara teoritik sangat realistik, namun yang dilupakan Nasikun bahwa di Indonesia terdapat pola tani yang heterogen, kondisi agroekologi dan agroklimat, kondisi sosial budaya, dan kearifan lokal yang beraneka ragam.
Dalam rangka pemberlakuan otonomi daerah, maka terjadi pergeseran paradigm kebijaksanaan dan manajemen pembangunan sektoral serta penerapannya. Untuk sector pertanian, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom di bidang pertanian, yang meliputi aspek-aspek kebijakan non teknis kelembagaan dalam pelaksanaannya berikut hirarki yang memiliki wewenang untuk mengimplementasikan.
Menurut Suradisastra (2000) dalam implementasi otonomi daerah sesuai dengan penerapan PP No 25/2000, pada sektor pertanian akan terjadi perubahan paradigma yang salah satunya adalah sentralisasi, akan berubah menjadi desentralisasi dalam konteks pengelolaan wilayah, keuangan, dan proses pengambilan keputusan. Pola pikir dan manajemen berorientasi pusat akan bergeser menjadi pola pikir dan manajemen pengambilan keputusan yang bersifat spesifik wilayah, baik secara teknis dan ekonomis maupun secara sosiokultural, sehingga proses pengambilan keputusan akan melibatkan seluruh komponen pembangunan termasuk masyarakat adat. Melibatkan masyarakat adat yang berperan dalam pengolahan sumber daya pertanian tradisional, mampu menghindarkan timbulnya rural exodus syndrome.
Strategi pembangunan berparadigma ganda yang diusulkan Nasikun sangat sesuai untuk diterapkan dalam perumusan strategi pembangunan masyarakat desa. Namun demikian strategi tersebut masih perlu disentesiskan lagi berdasarkan keragaman sosial budaya masyarakat setempat. Seluruh komponen pembangunan dituntut untuk mengembangkan suatu system komunikasi yang terbuka sehingga dapat menghindari berkembangnya berbagai kelompok dan kepentingan.
Pergeseran paradigma pembangunan sektoral dan kemungkinan dampak dari implementasi PP 25/2000, serta penerapan strategi pembangunan berparadigma ganda terhadap pembangunan daerah otonom, tentu akan menimbulkan perbedaan persepsi atas misi dan visi pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan sehingga diperlukan antisipasi sejak dini.
Sebagai bentuk antisipasi terhadap dampak aplikasi strategi pembangunan yang direncanakan dari bawah, perlu dibentuk suatu badan perwakilan desa sesuai dengan pasal 104 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang anggotanya terdiri dari berbagai komponen masyarakat, termasuk masyarakat adat, kelompok kepentingan, dan aparat pemerintah. Badan Perwakilan Desa ini berfungsi penggerak integrasi dari berbagai komponen masyarakat, mengayomi masyarakat adat, membuat peraturan desa, menampung, dan menyalurkan berbagai aspirasi masyarakat, melakukan pengawasan, ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan, penyelenggaraan pemerintah desa, serta mengajukan pertimbangan-pertimbangan lain kepada pemerintah daerah kepada tingkat yang lebih tinggi.