Baca Juga




GAGASAN PERDAGANGAN KARBON: Sanggupkah memberikan manfaat bagi hutan tropis?
Diantara sebagian besar manfaatnya saat ini muncul paradigma baru tentang peran hutan sebagai penyimpan karbon. Disebutkan bahwa biomas pohon dan vegetasi di hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat memberikan keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh mahluk hidup di muka bumi.
Emisi (buangan) industri merupakan sumber kerusakan utama terbentuhya karbon di atmosfir yang menyebabkan terjadinya pemanasan bumi ("global warming") dan perubahan iklim. "Kyoto Protokol 1997" dengan United Nation Framework Convention on Climate Change-nya membuat suatu mckanisme baru dimana negara-negara industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga tedadi "sequestration" atau penyimpanan sejumlah besar karbon.
Proyek seperti ini mempunyai peluang yang cukup menarik bagi sejumlah masyarakat yang percaya bahwa upaya konservasi hutan tropis akan sulit dilakukan jika, seperti haInya layanan masyarakat, manfaat terhadap lingkungan tersebut fidak dinilai secara layak dengan uang atau melalui sistem pembayaran.
Kebanyakan penelitian tentang isu ini difokuskan pada aspek teknis kelayakan perdagangan karbon, seperti metodologi pengukuran karbon dan proyek penghitungan biaya penurunan emisi. Sebaliknya, pada tahun 1998,CIFOR menjajaki berbagai isu sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan perdagangan karbon - bidang yang sampai sejauh ini mendapat sedikit perhatian.
Pada tahun 1998, CIFOR mengadakan kerjasama dengan Universitas Maryland untuk menyusun suatu kerangka dasar bahan dialog international yang akan mempertimbangkan proyek carbon sequestration dan merancang suatu pedoman yang menjamin bahwa proyek tersebut akan memberikan dampak positif dari segi sosial dan lingkungan. Tidak seperti kebanyakan gagasan kebijakan lainnya di bidang ini, dialog juga akan melibatkan pandangan beberapa perwakilan berbagai kelompok yang berurusan langsung dengan pemanfaatan hutan tropis.
Hasil konferensi akan memberikan informasi penting tentang latar belakang upaya yang akan dilakukan pada tahun 2000 untuk menentukan mekanisme penerapan "carbon sequestration" sesuai Kyoto Protocol. Temuan ini juga diharapkan menarik banyak perhatian lembaga-lembaga pengembangan kehutanan, lingkungan dan ekonomi yang terlibat dalam isu kebijakan penting ini.
Dengan bantuan dana dari Agency for International Development atau Badan Pembangunan Internasional, USA, pada tahun 1998 CIFOR melakukan dua buah kajian yang diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jauh yang bermanfaat bagi para penanam modal serta tuan rumah untuk merencanakan dan mempromosikan penggunaan gagasan "carbon sequestration" ini. Di kedua proyek ini, para, ilmuwan CIFOR bekerjasama dengan para peneliti dari Tropical Agronomy Teaching and Research Centre (CATIE) dan Centre for Social and Economic Research on the Environmental (CSERGE) pada University College London.
Studi pertama menyelidiki tentang dampak program nasional inovatif di Costa Rica yang memberikan pembayaran periodik kepada para pemilik lahan swasta untuk menyerahkan haknya kepada pemerintah dalam rangka "menjual" jasa lingkungan dari lahan hutan yang mereka miliki (termasuk penyimpanan karbon). Peneliti melakukan wawancara dengan para pemilik lahan hutan dan lainnya di Kawasan Konservasi Pusat Cordillera Volcanica yang tercakup dalam program tersebut. Sejumlah kriteria dan indikator ekologi, sosial dan ekonomi direncanakan dengan tujuan untuk menganalisa persepsi tentang manfaat kegiatan permudaan dan perlindungan hutan serta pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan yang tercakup dalam program kompensasi ini dibandingkan. dengan alternatif pemanfaatan lahan yang ditawarkan pada umumnya yaitu peternakan secara. ekstensif
Para peneliti menemukan bahwa program di Costa Rica ini menawarkan suatu model yang memudahkan negara tuan rumah untuk mengambil keuntungan dari kesempatan tersedianya dana yang dapat diperoleh melalui perdagangan karbon tanpa harus merusak rencana tata guna lahan secara nasional. Bagaimanapun juga mereka mengingatkan bahwa model tersebut mungkin tidak sesuai bagi negara yang sangat miskin (tidak seperti Costa Rica) dimana mereka tidak mampu untuk memungut pajak dari masyarakat untuk membiayai program tersebut, atau bagi negara yang upaya konservasi hutannya tidak mendapatkan prioritas nasional yang tinggi.
Studi yang kedua dirancang untuk menentukan motivasi dan. kepedulian yang mempengaruhi suatu. keputusan untuk ikut berperan serta dalarn proyek penyimpanan karbon. Mereka yang diwawancara adalah 27 investor pionir terkemuka di bidang perdagangan pelayanan penyimpanan karbon, termasuk investor, perantara (broker), pengembang proyek, pengelola dana dan lembaga pernerintah di United States, United Kingdom dan Eropa.
Meskipun hasil survey mengindikasikan bahwa hubungan masyarakat merupakan alasan utama untuk ikut serta dalam program perdagangan karbon ini, namun efektifitas biaya tetap menjadi pertimbangan utama yang penting. Hasil ternuan. menyatakan bahwa pendekatan yang di dorong oleh pasar secara. murni tanpa adanya aturan. cenderung mengutamakan efisiensi penggunaan karbon dan mengabaikan pertimbangan. sosial dan lingkungan. Meskipun demikian tampak pertanda yang cukup menggembirakan bahwa para investor pionir memperhatikan kepentingan. manfaat sosial dan lingkungannya.
Berdasarkan studi yang dilakukan, para peneliti menyimpulkan bahwa penilaian tahap awal perdagangan karbon yang dianggap merupakan pernecahan "win-win" (menguntungkan kedua belah pihak) bagi seluruh stakeholder mungkin dianggap terlalu optimis. Hasil analisa yang dilakukan menunjukkan beberapa kondisi dimana proyek penyimpanan karbon di bidang kehutanan ini mungkin sesuai untuk diterapkan. Disamping itu mereka juga menyoroti beberapa aspek pengamanan yang mungkin diperlukan.
KELAYAKAN KOMPENSASI PERDAGANGAN KARBON
Munculnya isu perdagangan karbon internasional dilatar belakangi adanya “Global Warming” (Pemanasan Global), sebagai efek rumah kaca, sebagaimana yang disepakati pada Protokol Kyoto, 1997. Emisi (hasil buangan) industry merupakan sumber kerusakan utama bagi terbentuknya karbon di atmosfir yang menyebabkan pemanasan global. Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi “Protokol Kyoto”
yang artinya kita juga ikut didalam kegiatan penurunan emisi dan mekanisme pembangunan bersih (MPB), termasuk negara yang memiliki besar didalam perdangan karbon internasional.

Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar sektor energi memiliki potensi penjualan karbon hingga 60 juta ton, sedangkan sektor kehutanan memiliki potensi hingga 28 juta ton, dan diperkirakan setiap tahunnya Indonesia dapat menjual 20.000 ton karbon. Jika saat ini harga pasaran karbon di dunia internasional mencapai USD 5-6 per-ton, maka Indonesia dapat meraup keuntungan hingga USD 528 juta.

Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan yang sudah distandardisasi. Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon).

Ada lima proyek yang dikembangkan berkaitan dengan pengurangan CO2 ini yang diperkirakan akan berpotensi menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang senilai dengan 3 – 4 juta USD, dengan asumsi 4 – 6
USD untuk setiap ton karbon.

Peran Hutan dalam Perdagangan Karbon

Hutan kita yang dikenal sebagai “paru-paru dunia” karena masuk dalam hutan tropis, dimana secara fisika dalam proses fotosintesis hutan menghasilkan O2 dan menyerap CO2, merupakan siklus penting bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di dunia. Fungsi hutan disini sebagai penyerap buangan atau emisi yang dikeluarkan dari aktivitas makhluk hidup secara keseluruhan yakni CO2, sehingga keseimbangan dapat terjaga. Berkaitan dengan fungsi hutan tersebut, muncullah paradigma baru akan manfaat hutan yang berperan didalam penyimpanan karbon. Disebutkan bahwa biomas pohon dan vegetasi hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat memberikan keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini.

Mekanisme baru yang muncul dalam perdagangan karbon berkaitan dengan hutan adalah negara-negara industri dan negara-negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi “sequestration” (penyimpanan sejumlah besar karbon).

Lalu muncul pertanyaan hutan yang seperti apa yang layak untuk dilakukan kompensasi. Mendasari Protokol Kyoto dengan mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih, Pemerintah telah memberikan batasan kriteria hutan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P 14 Tahun 2004, tentang Tata Cara Aforestasi Dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih menyebutkan bahwa hutan dalam rangka mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih adalah ;
1. Luas hutan minimal 0,25 Ha
2. Posentase penutupan tajuk 30 %
3. Tinggi pohon minimal 5 meter

Indonesia dengan luas hutan yang cukup besar, dengan adanya kompensasi perdagangan karbon, tentunya merupakan peluang besar untuk menambah pemasukan, guna kegiatan pembangunan, yang tentunya tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh negara-negara yang membeli sertifikat perdagangan karbon dari Indonesia. Pertanyaan berikutnya adalah kelayakan nilai yang ditawarkan dari kompensasi perdagangan karbon tersebut dengan nilai pemanfaatan yang diperoleh Indonesia atas kompensasi tersebut.

Kelayakan Kompensasi Perdagangan Karbon

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), beberapa waktu yang lalu menggelar unjuk rasa di Denpasar Bali dalam rangka menentang perdagangan karbon yang bakal dibicarakan pada Konvensi Perubahan Iklim di Nusa Duas Bali. Bahkan sebuah spanduk menuliskan “Hutan Kami bukan untuk negara-negara maju”.

Menurut Koordinator WALHI Bali Sri Widihiyanti, langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi emisi dari negara-negara maju. Kenyataan yang ada bahwa Amerika dan Australia menentang cara-cara penurunan emisi dan menawarkan solusi dalam bentuk perdagangan karbon ini. Tanpa penurunan emisi, perdagangan karbon tidak akan mampu menurunkan iklim global yang kini telah mencapai 0,6 derajat celsius, karena 85 % dari total emisi dunia berasal dari negara-negara maju.

WALHI sangat menyesalkan bila pemerintah Indonesia melanjutkan rencana untuk menjual hutan tropis Indonesia seluas 91 juta hektar untuk penyerapan karbon dengan harga 5 – 20 dollar, yang tidak sebanding
dengan bencana ekologis yang telah dan akan kita alami, meski negara maju memberikan kompensasi atas semua bencana itu. Merujuk kepada fenomena yang terjadi di atas, maka perlu dikaji lebih lanjutan tentang kesiapan Indonesia sendiri didalam menghadapi kebijakan tentang perdagangan karbon ini. Jika dilihat secara umum, bahwa negara-negara berkembang sangat banyak sekali dihadapkan oleh permasalahan dalam negeri mereka, walaupun selama ini negara maju telah konsen akan kemajuan negara berkembang.

Di Indonesia sendiri banyak hal yang perlu dipersiapkan antara lain pembenahan aturan-aturan yang baku terhadap perdagangan karbon ini. Wacana perdagangan karbon ini lebih dapat dilakukan pada kondisi ekonomi yang stabil, dimana kondisi masyarakat secara umum telah sejahtera. Sebagaimana penelitian tentang kompensasi karbon yang dilakukan di Costa Rika, bahwa pemilik lahan yang hutan mendapat kompensasi, atas hutan yang mereka miliki dan berkewajiban melindunginya. Namun dari penelitian ini menyebutkan, bahwa model ini cocok di terapkan di negara dengan penduduk yang tingkat kesejahteraan yang tinggi, dimana mereka mempunyai modal yang cukup tinggi untuk merawat hutan.

Sementara itu untuk di negara miskin atau negara yang berkembang, model ini kurang efektif untuk diterapkan, dimana modal yang mereka gunakan lebih banyak kepada pembangunan ekonomi, dan cenderung hanya sedikit untuk pembangunan hutan. Bahkan kecenderungan yang ada yaitu pemanfaatan hutan untuk modal dalam pembangunan. Gambaran itu terlihat dari bentuk-bentuk proyek kehutanan yang ada, belum mencapai sasaran karena beberapa kendala, termasuk didalamnya adalah modal. Perlu digaris bawahi bahwa didalam kegiatan kehutanan bukan hanya penanaman, tetapi juga pemeliharaan, pengamanan dan lain-lain yang membutuhkan dana tidak sedikit. Padahal bentuk-bentuk kegiatan juga telah dibantu oleh pihak-pihak luar yang konsen terhadap pelestarian hutan di Indonesia.

Beberapa hal yang menyebabkan kurang evektifnya sistem perdagangan karbon ini diterapkan di Indonesia terlepas dari nominal harga yang ditawarkan antara lain adalah ;
Kesiapan kelembagaan untuk mengkoordinir alokasi dana yang dikompensasikan. Harapan dari kompensasi ini adalah dana tersebut dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga mengurangi akses mereka terhadap hutan.
Kesiapan regulasi yang mengatur secara detail mulai dari tata ruang wilayah, sampai kepada sistim pembagian kompensasi yang diperoleh.
Status kawasan hutan yang masih tumpang tindih juga merupakan permasalahan perlu dibenahi terlebih dahulu.
Moralitas seluruh elemen yang terkait dengan penggunaan dana kompensasi, dimana misi yang akan dicapai adalah bagaimana masyarakat dapat hidup sejahtera dengan jalan peningkatan ekonomi masyarakat tersebut, sehingga mengurangi dampak kegiatan mereka terhadap hutan, yang selama ini termasuk salah satu kendala terjadinya degradasi hutan.
Namun jika kondisi Indonesia sudah lebih stabil, dalam artian baik ekonomi maupun SDM yang ada telah siap, maka kompensasi yang ada sah-sah saja dengan pertimbangan ;
Tanpa kompensasi tersebut, sudah merupakan kewajiban kita untuk menjaga lingkungan dalam hal ini kelestarian hutan dengan melihat secara ekofeminimisme, bukan anthroposentris.
Kompensasi tersebut merupakan tambahan modal bagi Indonesia didalam pembangunan ekologi, sementara modal yang tadinya dialokasikan untuk pembangunan lingkungan dapat dialihkan untuk tujuan memperkuat sektor ekonomi, tanpa harus mengorbankan sumberdaya alam yang ada.
Secara global dapat dikatakan, mampukah dengan dana kompensasi  itu negara-negara berkembang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dengan tetap eksis didalam mempertahankan hutan mereka. Sehingga jangan sampai kata-kata yang ditulis oleh WALHI dalam unjuk rasa bahwa “Negara-negara Berkembang adalah toilet bagi negara-negara maju”. Jika ini terjadi, maka kesenjangan akan semakin terasa, dan tingkat ketergantungan terhadap negara-negara maju semakin tinggi.

Sebagai wacana bahwa aktivitas perdagangan karbon telah dilakukan di Wana Riset Semboja (kalimantan), kerjasama Gibon Indonesia dan BOS (Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation), dimana terdapat areal hutan seluas 100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual ke Jerman dengan harga USD 5 /ton. Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang dihasilkan pertahun adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun. Jika dikaji secara ekonomis, maka ini cukup besar, apalagi dengan luas hutan Indonesia yang 91 juta hektar, bisa dibayangkan berapa pendapatan yang dihasilkan dari penjualan karbon ini.

Namun secara lebih mendalam sebagai renungan dapat dikatakan bahwa perdagangan karbon adalah bentuk penindasan dan pengekangan negara-negara maju, dimana negara-negara berkembang tidak bisa membangun industri-industri yang mengeluarkan emisi, karena karbon yang mereka punya telah dijual untuk negara-negara maju dan itu membuat ketergantungan industri terhadap negara maju. Padahal nilai kompensasi itu tidak berarti apa-apa bagi mereka dengan keuntungan yang dihasilkan dan dijual kembali kepada negara-negara berkembang. Inilah yang mungkin disebut kebohongan negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang.


Mekanisme perdagangan karbon
Pendahuluan
Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar atau seluas 63% luas daratan, merupakan hutan tropis urutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, selain berperan sebagai penggerak utama (primer mover) pembangunan nasional dan daerah, sumberdaya hutan juga berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan, yang berdampak lokal, nasional, dan regional.

Manfaat keberadaan hutan diperlukan oleh semua lapisan masyarakat di dalam suatu negara bahkan masyarakat di negara lain. Hutan bukan saja memberikan hasil hutan yang berupa barang, namun juga berupa berupa jasa seperti tata air, suplai oksigen, dan penyerapan karbon.
Hutan sebagai common property resources memberikan konsekuensi bahwa pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh suatu negara tidak lepas dari pengamatan dan perhatian masyarakat internasional. Setelah KTT Bumi Rio de Jenairo pada tahun 1992, terjadi kecenderungan demand dunia terhadap hutan tropis yang mulai bergesar – dari produk kayu – ke manfaat lingkungan, seperti pengaruhnya terhadap iklim global. Oleh karena itu, pembangunan kehutanan dituntut untuk lebih memperhatikan keseimbangan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial.
Fungsi hutan dari sisi non-kayu ternyata memiliki nilai yang jika dikuantitatifkan justru lebih besar manfaatnya daripada fungsi sebagai produsen kayu. Diketahui bahwa nilai nisbi ekonomi kayu tropis hanya senilai kurang dari 5% dari total nilai ekonomi sumberdaya hutan. Sebaliknya, nilai jasa lingkungan (yang memberikan manfaat intangible) beserta hasil non-kayunya bernilai tidak kurang dari 95% dari total nilai intrinsik sumberdaya hutan. Hal itu menunjukkan bahwa manfaat hutan dari hasil hutan non-kayu sangat tinggi melebihi manfaat hasil hutan kayu.
Hutan berperan penting dalam menjaga kestabilan iklim global. Secara kimiawi, vegetasi hutan akan menyerap gas karbon (CO2) melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu  maka siklus CO2 dan O2 di atmosfer akan terganggu. Umumnya karbon tersimpan dalam biomasa vegetasi, nekromasa (baik diatas permukaan dan dalam tanah) dan bahan organik tanah di dalam ekosistem hutan. Tidak terkendalinya jumlah gas CO2 di atmosfer, bersama-sama dengan uap air, gas CFCs, metana dan gas-gas rumah kaca lainnya, berpotensi meningkatkan suhu atmosfir bumi (baca ; pemanasan global) yang dapat menimbulkan pemanasan bumi dan perubahan iklim. Gas-gas itulah yang dinamakan Gas Rumah Kaca (GRK).
Semakin meningkatnya konsentrasi GRK, maka semakin meningkat pula suhu atmosfer bumi. Kenaikan sebesar 0,5°C mungkin tidak begitu kita rasakan bila terjadi pada skala yang kecil (misal : dalam ruangan).  Namun apabila hal ini terjadi pada lingkungan dunia secara global, maka akan terjadi berbagai fenomena ekstrim seperti :
1.    gejala pemekaran air laut akibat dari mencairnya es di kutub  sehingga permukaan air laut naik dengan kemampuan menenggelamkan pulau-pulau;
2.    rusaknya infrastruktur di tepi pantai (dimana sebagian besar kota-kota penting dunia terletak di pesisir pantai);
3.    peningkatan suhu menyebabkan mengeringnya air-air permukaan yang dapat berdampak buruk pada pola pertanian berbasis air di negara-negara agraris (seperti Indonesia);
4.    pola musim hujan dan musim kemarau yang tidak menentu;
5.    terjadi krisis air bersih akibat intrusi air laut; dan lain-lain.
Menilik laporan Food and Agriculuture Organization (FAO) tahun 2007 tentang kondisi hutan di dunia terlihat dengan jelas bahwa luas hutan di dunia saat ini mencapai angka dibawah 4 milyar hektar, dimana 30 persen menutupi lahan daratan di dunia. Pada luasan itu telah terjadi rata – rata deforestasi 13 juta/ha/tahun pada waktu yang sama pembangunan hutan tanaman dan ekspansi terhadap hutan alam mempunyai signifiknsi kuat terhadap penurunan luasan hutan. Pada sekitar tahun 1990 sampai dengan 2005, dunia telah kehilangan 3 persen dari total luas areal hutan yang ada dengan rata – rata penurunan 0,2 persen per tahun. Dari tahun 2000–2005 menunjukan bahwa rata-rata bersih pengurangan berkorelasi dengan aktivitas pembangunan. Pada periode yang sama, 57 negara dilaporkan mengalami peningkatan luasan hutannya dan 83 negara dilaporkan penurunan luasan hutan (termasuk 36 negara dengan laju terbesarnya lebih dari 1 persen per tahun).
Masih pada laporan yang sama secara global, diperkirakan sekitar 6 juta hektar dari hutan alam primer telah berkurang dan dipakai untuk penggunaan lain setiap tahun. Sembilan dari sepuluh negara yang memiliki hutan primer lebih dari 80 persen di dunia telah mengalami penurunan lebih dari satu persen dari kurun waktu 2000 – 2005 diantaranya Indonesia (13 %), Mexico (6 %), Papua New Guinea (5 %) dan Brazil (4 %).
Kerusakan hutan turut berkontribusi terhadap cadangan karbon. Cadangan karbon didalam biomassa hutan pada tingkat global berkurang mencapai angka 5,5 persen pada kurun waktu 1990 – 2005. Secara umum trend cadangan karbon mengikuti kecenderungan luasan areal hutan dan ketersediaan sumberdaya hutan. Cadangan karbon di dunia meningkat di daerah Eropa dan Amerika Utara dan menurun di wilayah  tropika (FAO, 2007). Hutan tropika menyumbang emisi CO2 sebesar 1,6 milyar ton per tahun. Seperti dilansir oleh Stem Review (Koran Tempo, 24 Oktober 2007), bahwa deforestasi di negara-negara berkembang (umumnya wilayah tropika) menyumbang emisi CO2 sekitar 20 persen dari emisi global. Dari total emisi gas rumah kaca, 18 persen berasal dari sektor kehutanan, yang 75 persennya berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia. Kota Jakarta menduduki kualitas udara terburuk ketiga di dunia, kedua di Asia dan nomor satu di Indonesia.
Pemanasan global yang diikuti dengan perubahan iklim dirasakan oleh semua negara di dunia, namun negara-negara miskin dan berkembang akan menerima dampak terbesar meskipun kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca rendah. Dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara global perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap munculnya penyakit baru, kepunahan jenis dan perubahan ekosistem. Dari beberapa skenario perubahan iklim diprediksi 15-37 % spesies didaratan akan punah dan diproyeksikan pada tahun 2050 suhu bumi telah meningkat sebesar 0,8-1,7oC ini akan mencairkan es di daerah kutub yang menyebabkan permukaan air laut meningkat, hal ini menjadi ancaman bagi daerah pesisir.
Protokol Kyoto
Perubahan iklim dunia yang dulu hanya digulirkan beberapa orang ahli kemudian menjadi ramai diperbincangkan orang. Apalagi setelah diselenggarakannya pertemuan WMO (World Meteorology Organization) pada dekade 1980-an, isu perubahan iklim semakin mendunia. Berbagai penelitian dan data yang ada menggambarkan kaitan yang erat antara peningkatan konsentrasi CO2 dengan peningkatan temperatur rata-rata permukaan bumi. Demikian pula dengan perkiraan dampak yang akan ditimbulkannya.
Perkembangan inilah yang akhirnya mendorong World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) untuk membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988. IPCC sendiri merupakan kelompok para ilmuwan dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena perubahan iklim serta solusi yang diperlukan. Laporan pertama IPCC diterbitkan pada tahun 1990 dan dikenal sebagai First Assessment Report yang menyimpulkan suhu meningkat sekitar 0,3-0,6° C dalam satu abad terakhir. Laporan itu juga menyebutkan emisi yang dihasilkan manusia telah menambah gas rumah kaca alami dan penambahan itu akan menyebabkan kenaikan suhu. Karenanya, IPCC menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk menanggulanginya. Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB akhirnya menanggapi seruan IPCC untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara global dengan meluncurkan negosiasi mengenai kerangka konvensi perubahan iklim dan dengan membentukIntergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk pelaksanaan negosiasi tersebut. Akhirnya, pada bulan Mei 1992, INC menyepakati Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC).
PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and Development(UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan  KTT Bumi (Earth Summit)  pada 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.  KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan (multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melaksanakan pembangunan (oleh developmentalist) dan upaya-upaya melestarikan lingkungan (oleh environmentalist). Setelah diratifikasi oleh sekitar 175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994, Konvensi Perubahan Iklim akhirnya dinyatakan berkekuatan hukum dan bersifat mengikat para pihak yang telah meratifikasi.
Indonesia meratifikasi konvensi/UNFCCC tahun 1994, melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994. Konsekuensinya, Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan iklim global. Termasuk menginventarisasi emisi GRK yang berasal dari sumber-sumbernya dan penyerapannya oleh rosotnya (sink) seperti penyerapan CO2 oleh hutan. Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sinkatau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia ikut memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer.
Setelah KTT Bumi, diselenggarakanlah beberapa COP (Conference of the Parties). Yang paling penting di antaranya adalah COP III di Kyoto, Jepang bulan Desember 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto yang terkenal itu. Protokol Kyoto disusun untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi bagi negara maju anggota Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% (Quantified Emission Limitation and Rediction Objectives/QELROs) dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008–2012. Emisi gas rumah kaca menurut protokol ini meliputi CO2, CH4, N2O, HFC, PFC, dan SF6.
Ada tiga mekanisme fleksibel yang diwadahi Protokol Kyoto :
1.      Implementasi Bersama (Joint Implementation).
Adalah mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam Pasal 6. Implementasi Bersama ini mengutamakan cara-cara yang paling murah atau paling menguntungkan. Kegiatan ini akan menghasilkan unit penurunan emisi atau Emission Rediction Unit (ERU).
2.      Perdagangan Emisi (Emission Trading).
Adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri yang GRK-nya di bawah batas yang diijinkan dapat memperdagangkan kelebihan jatah emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.
3.      Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Management/CDM).
Pada dasarnya adalah gabungan dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara non-Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelanjutan di negara non-Annex I. Negara industri melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan utama konvensi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Komoditas yang digunakan bukanlah ERU melainkan CER (Certified Emission Reduction) yaitu jumlah penurunan emisi yang telah disertifikasi.
Kewajiban bersama antarnegara industri yang termasuk pada Annex 1 dengan negara berkembang disesuaikan dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan. Berarti, semua negara mempunyai semangat yang sama untuk menjaga dan melindungi kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi tetapi dengan kontribusi yang berbeda disesuaikan dengan kemampuannya.
CDM/Mekanisme Pembangunan Bersih
CDM adalah mekanisme dimana negara-negara yang ada pada Annex 1 yang punya kewajiban menurunkan emisinya sebagaimana tercantum pada Protokol Kyoto, membantu negara-negara non-Annex 1 untuk melaksananakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6). Negara maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi GRK, dengan imbalan CER (Certified Emission Reductions). CER ini diperhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto. Mekanisme ini adalah satu-satunya mekanisme fleksibel yang melibatkan negara berkembang.
Tujuan CDM sebagaimana yang tercantum dalam Protokol Kyoto adalah :
1.      Membantu negara-negara Annex I dalam memenuhi target penurunan emisi negaranya
2.      Membantu negara Non Annex I dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkankonsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
CDM (Mekanisme Pembangunan Bersih) mencakup tiga kategori implementasi yaitu “Clean Production” (Produksi Bersih), “Saving Energy” (Penghematan Energi) dan “Fuel Switching” (Pengalihan Bahan Bakar). Realisasi program CDM adalah melakukan reduksi emisi gas rumah kaca serta sekuestrasi (penyerapan karbon) melalui penanaman pohon di lahan produksi yang mengalami eksploitasi berlebihan. Kegiatan dalam CDM meliputi kegiatan reduksi emisi GRK dan penyerapan karbon,
Siklus umum proyek CDM dijelaskan sebagai berikut :
1.      Identifikasi Proyek.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi apakah rencana kegiatan tersebut memiliki potensi untuk menurunkan emisi GRK atau menyerap GRK dari atmosfer. Dalam hal ini, pengusul proyek perlu melakukan penghitungan potensi penurunan ataupun penyerapan GRK.
2.      Desain Proyek.
Langkah berikutnya adalah pengumpulan informasi yang diperlukan dalam menyiapkan dokumen rancangan proyek (Project Design Document, PDD). Informasi yang diperlukan antara lain adalah mengenai deskripsi proyek, batasan proyek, penentuanbaseline (keadaan tanpa adanya proyek tersebut) dan informasi mengenai sumber pendanaan.
3.      Dokumen Rancangan Proyek/Project Design Document (PDD).
Selanjutnya, pemilik proyek menyiapkan dokumen proyek yang berisi informasi lengkap mengenai proyek serta sisi ke-CDM-annya. Beberapa hal yang harus tercantum dalam dokumen tersebut antara lain[1] :
a.    Deskripsi umum proyek, termasuk penjelasan mengenai teknologi yang digunakan.
b.    Metodologi baseline, termasuk pemenuhan additionality.
a.    Durasi proyek/crediting period.
c.    Rencana pemantauan, prosedur pemantauan dan verifikasi.
d.    Perhitungan emisi GRK dan pengurangan emisi yang dihasilkan proyek.
e.    Dampak lingkungan.
f.     Komentar para pemangku kepentingan.
Jika pengembang proyek menggunakan metodologi baseline dan pemantauan yang baru, maka harus diusulkan oleh institusi yang berwenang, biasa disebut badan validator independen/Designated Operational Entity (DOE), kepada Badan Eksekutif (CDM Executive Board) untuk mendapatkan persetujuannya.
DOE (Designated Operational Entity) adalah suatu lembaga berbadan hukum domestik atau international yang telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Eksekutif untuk melakukan fungsi sebagai berikut:
a.    Melakukan validasi dan kemudian meregistrasi suatu usulan proyek MPB.
b.    Melakukan verifikasi reduksi emisi dari proyek MPB, kemudian melakukan sertifikasi dan memohon agar Badan Pelaksana untuk menerbitkan CERs.
Badan Eksekutif merupakan badan internasional di bawah COP/MOP, yaitu pertemuan tahunan para negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto.
Tugas utama Badan Pelaksanaan proyek-proyek CDM di negara berkembang dan bertanggung jawab pada COP/MOP.
4.      Validasi.
Pada tahap ini, seluruh informasi yang terdapat di dalam PDD, terutama penghitunganbaseline divalidasi oleh badan validator independen yang telah diakreditasi oleh Badan CDM Internasional (CDM-Executive Board). Badan independen ini akan mengevaluasi apakah proyek tersebut telah memenuhi persyaratan CDM dan apakah proyek perhitungan CER yang dilakukan dapat diterima.
Pada tahap ini DOE mengkaji PDD dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk mengkonfirmasikan bahwa :
a.    Negara-negara yang terlibat telah meratifikasi Protokol Kyoto.
b.    PDD dapat diakses oleh publik, dan para pemangku kepentingan lokal telah diberi kesempatan selama 30 hari untuk memberikan komentar. Ringkasan komentar dan laporan bagaimana komentar tersebut telah ditindaklanjuti dicantumkan dalam PDD.
c.    Pengembang proyek telah menyerahkan analisis dampak lingkungan kepada DOE.
d.    Kegiatan proyek akan menghasilkan reduksi GRK yang additional.
5.      Persetujuan oleh Otoritas CDM Nasional/Designated National Authority (DNA).
Setelah PDD selesai dibuat dan dilampiri semua informasi yang dibutuhkan, kemudian PDD diserahkan ke Otoritas CDM Nasional/DNAuntuk disetujui. Sebuah proyek CDM harus meminta persetujuan dari negara tuan rumah CDM. Negara tuan rumahlah yang akan memberikan penilaian apakah proyek tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan di negaranya atau tidak. Setelah dinilai dan dievaluasi berdasarkan semua informasi yang tertera di dalamnya, terutama sumbangannya untuk pembangunan berkelanjutan, transparansi, dan partisipasi masyarakat, DNA akan memberikan persetujuannya.
Di Indonesia, DNA ini diperankan oleh Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (KN-MPB).
6.      Registrasi
Proyek CDM didaftarkan oleh DOE ke CDM Executive Board (EB). Tahap ini dinamakan registrasi, dimana EB menerima secara formal pengajuan PDD dari kandidat proyek CDM. EB merupakan badan internasional di bawah COP/MOP, atau pertemuan tahunan para negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto, yang tugasnya adalah mengatur dan mengawasi pelaksanaan CDM di seluruh dunia. Sebuah proyek yang didaftarkan ke EB akan melalui sebuah proses komentar publik selama 30 hari, dimana PDD akan ditaruh di website EB untuk mendapatkan komentar terbuka dari semua pihak. Jika ada keberatan dari EB atau dari pihak yang terlibat dalam kegiatan proyek mengenai dokumen yang diserahkan, maka EB akan melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai proyek yang diajukan. Jika tidak ada keberatan dari EB, maka proses registrasi akan selesai dalam waktu 8 minggu.
7.      Implementasi.
Tahapan dimana proyek CDM dijalankan biasanya dinamakan implementasi yang pada dasarnya dapat dilakukan sebelum registrasi maupun sesudahnya. Jika dilakukan sebelum registrasi, batas waktu paling awal adalah tahun 2000, artinya hanya proyek yang berjalan sejak tahun 2000 saja yang dapat diajukan sebagai proyek CDM.
8.      Pengawasan/monitoring.
Setelah proyek ini didaftarkan dan diimplementasikan, maka pemilik proyek bertanggung jawab atas pengawasan atau monitoring atas penurunan emisi GRK maupun penyerapan GRK akibat adanya proyek yang bersangkutan. Pelaksanaannya sendiri harus sesuai dengan rencana pengawasan yang tertera pada PDD dan dilakukan oleh monitor independen. Kegiatan pengawasan meliputi kegiatan pengumpulan dan penyimpanan data-data yang digunakan untuk menghitung emisibaseline dan emisi proyek.
9.      Verifikasi.
Pada tahap ini hasil pengawasan akan dikaji ulang, termasuk metodologi yang digunakan dalam melakukan pengawasan, dan kemudian dilaporkan secara tertulis. Jumlah emisi GRK yang berhasil diturunkan harus tertera di dalamnya sehingga dapat dilihat apakah penurunan ataupun penyerapan GRK yang diperkirakan telah terpenuhi. Laporan pengawasan yang dilakukan oleh badan independen ini harus dipublikasikan sebagai proses keterlibatan publik.
10.   Sertifikasi penurunan emisi.
Sertifikasi adalah jaminan tertulis oleh badan independen yang menyatakan bahwa proyek yang bersangkutan, dalam perioda tertentu, telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana yang telah diverifikasi.
11.   Penerbitan penurunan emisi tersertifikasi/Certified Emission Reduction (CER).
CDM Executive Board mempunyai waktu maksimal 15 hari setelah permohonan penerbitan CER diberikan untuk mengkaji ulang surat sertifikasi proyek yang bersangkutan. Setelah itu Executive Board harus segera mengumumkan hasilnya dan mempublikasikan keputusannya sehubungan dengan disetujui atau tidaknya CER yang diusulkan beserta alasannya.
Satu unit CER menurut Protokol Kyoto, setara dengan 1 metrik ton CO2.
Setelah CER diperoleh, maka pelaku proyek CDM menjualnya kepada pembeli internasional secara langsung atau melalui perantaraan broker (financial intermediary). Contohnya, Pemkot Bekasi (dengan project proponent PT Gikoko Kogyo Indonesia) yang telah berhasil meneken kontrak penjualan CER kepada Bank Dunia sebagai ‘trustee’ dari Netherlands CDM Facility (NCDMF) sebanyak 600.000 ton CER hingga tahun 2019. Estimasi proposal Pemkot Bekasi tahun 2006, harga CER 4,5-5,5 USD/ton CO2 eq.
Sebenarnya, tidak ada harga yang pasti/tetap untuk CER ini, karena ia mengikuti harga pasar. Carbonpositive dalam laporannya tanggal 22 Oktober 2010 menyebutkan bahwa Bank Dunia membayar 1 unit CER untuk proyek CDM Kehutanan di Afrika seharga 4 USD.
Adapun proses pengesahan proyek oleh KN-MPB sebagai berikut :
1.    Pengusul Proyek (dapat dibantu oleh konsultan) menyiapkan dokumen-dokumen aplikasi yang terdiri dari : (i) Formulir Aplikasi yang diantaranya berisi penjelasan bahwa usulan proyek memenuhi seluruh kriteria pembangunan berkelanjutan; (ii) Project Design Document; (iii) laporan AMDAL, bila usulan proyek wajib AMDAL; (iv) catatan proses konsultasi publik; (v) surat rekomendasi dari Departemen Kehutanan, khusus untuk usulan proyek MPB kehutanan, serta; (vi) dokumen-dokumen lain yang dirasa perlu untuk medukung justifikasi proyek.
2.    Dokumen aplikasi lengkap kemudian diserahkan oleh Pengusul Proyek kepada Sekretariat Komnas MPB untuk diproses. Pengusul proyek harus menyiapkan 25 (dua puluh lima) copy dari dokumen aplikasi tersebut dan 1 (satu) dokumen elektronik (soft copy). Sekretariat harus memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen aplikasi. Sekretaris Eksekutif menempatkan (posting) Usulan Proyek yang masuk di Sekretariat di situs elektronik (website) Komnas MPB untuk mengundang tanggapan dari masyarakat dan Pemangku Kepentingan lainnya. Setiap tanggapan masyarakat yang diterima Sekretariat akan langsung ditempatkan (posting) di situs elektronik (website) Komnas MPB.
3.    Sekretaris Eksekutif menyerahkan dan menyajikan dokumen Usulan Proyek yang diterima sampai tenggat waktu penyerahan Usulan Proyek kepada Komnas MPB dalam Rapat Koordinasi Internal. Batas waktu Rapat Koordinasi Internal adalah 1 hari.
3a.  Bila dianggap perlu oleh Komnas MPB, Sekretariat akan meminta Para Pakar untuk melakukan Evaluasi Tambahan terhadap Usulan Proyek sebagai bahan pembanding. Batas waktu evaluasi Para Pakar adalah 5 hari.
4.    Komnas MPB menugaskan anggota-anggota Tim Teknis yang diperlukan untuk mengevaluasi Usulan Proyek tersebut berdasarkan Kriteria dan Indikator Pembangunan Berkelanjutan.
4a.  Bila dianggap perlu, anggota Tim Teknis dari sektor yang sama dengan sektor dimana Usulan Proyek berada dapat membawa Usulan Proyek ke dalam rapat evaluasi Tim Teknis Sektoral yang telah terbentuk di dalam departemen teknis yang bersangkutan.
4b.  Bila dianggap perlu, Tim Teknis meminta Para Pakar untuk membantu proses evaluasi, melalui Sekretariat dengan persetujuan Komisi Nasional. Batas waktu keseluruhan proses (4), (4a) and (4b) adalah 21 hari. Jika Tim Teknis atau Para Pakar menilai data yang diberikan kurang lengkap, maka mereka akan menulis catatan mengenai hal tersebut dan melampirkannya pada Laporan Evaluasi yang akan diserahkan kepada Komnas MPB.
5.    Tim Teknis menyerahkan Laporan Evaluasi Usulan Proyek, dan Para Pakar menyerahkan Laporan Evaluasi Tambahan kepada Sekretariat untuk kemudian diserahkan kepada Komnas MPB. Kedua Laporan Evaluasi tersebut akan ditempatkan di situs elektronik Komnas MPB oleh Sekretariat.
6.    Komnas MPB menerima laporan dari Sekretariat mengenai hasil evaluasi Usulan Proyek dan masukan dari Pemangku Kepentingan yang disampaikan melalui website Komnas MPB atau dikirim langsung ke Sekretariat. Sesudah mempertimbangkan semua masukan dalam Rapat Pengambilan Keputusan, Komnas MPB mengambil keputusan mengenai pemberian (atau tidak diberikannya) Surat Persetujuan kepada Usulan Proyek tersebut. Batas waktu Rapat Pengambilan Keputusan adalah 1 hari.
6a.  Bila terjadi perbedaan pendapat yang tajam di antara Pemangku Kepentingan yang mendukung Usulan Proyek dan yang berkeberatan atas Usulan tersebut, melalui Rapat Komnas MPB yang dibuat khusus untuk itu, Komnas MPB dapat mengundang Pertemuan Khusus FPK. Pada Pertemuan Khusus FPK, Komnas MPB menyampaikan Usulan Proyek yang kontroversial tersebut dan kemudian menampung aspirasi, dukungan dan kritik dari peserta Pertemuan Khusus FPK. Batas waktu Pertemuan Khusus FPK adalah 1 hari.
7.    Bila Komnas MPB tidak dapat memberikan Surat Persetujuan karena ketidak-lengkapan data Usulan Proyek, berdasarkan catatan dari Tim Teknis atau Para Pakar, maka Pengusul Proyek diberikan waktu sampai 3 (tiga) bulan untuk melengkapi kekurangan tersebut dan menyerahkan kembali dokumen Usulan Proyek yang sudah diperbaiki ke Sekretariat. Sekretariat akan memproses dokumen Usulan Proyek yang sudah diperbaiki dengan proses yang sama seperti Usulan Proyek yang baru. Namun, Tim Teknis atau Para Pakar akan mengevaluasi hanya bagian proposal yang mendapatkan tambahan data baru. Proses pengembalian Usulan Proyek oleh Tim Teknis atau Para Pakar untuk diperbaiki Pengusul Proyek hanya boleh dilakukan satu kali untuk setiap Usulan.
8.    Sekretariat menyerahkan Surat Persetujuan Komisi Nasional kepada Pengusul Proyek.
9.    Usulan Proyek yang tidak memenuhi kriteria harus mengalami perbaikan yang mencakup pengubahan desain proyek sebelum dapat diajukan kembali untuk mendapatkan persetujuan nasional.


Gambar 2. Proses pengusulan proyek kepada KN-MPB hingga pengesahannya.
Menurut data KN-MKB, sampai dengan bulan Juli 2009, telah ada 104 proyek CDM yang telah disetujui oleh KN-MPB dan 24 proyek yang telah teregistrasi oleh Badan Eksekutif CDM. Dari 104 proyek tadi, belum ada satu pun proyek kehutanan yang masuk dan mendapat persetujuan.
CDM sektor kehutanan merupakan mekanisme yang berbeda dengan CDM sektor lainnya, karena penurunan emisi dilakukan dengan cara penyerapan karbon di atmosfer oleh pohon (carbon sequestration), sedangkan sektor lainnya adalah penurunan emisi pada sumber emisinya. Kegiatan penyerapan karbon yang dapat diwadahi oleh proyek CDM berdasarkan ketentuan Protokol Kyoto adalah afforestasi dan reforestasi. Ada banyak kendala tentang CDM sektor kehutanan, di antaranya yang pokok adalah permasalahan definisi afforestasi,reforestasi, dan hutan dalam skema CDM (sebagaimana dijelaskan dalam Marrakech Accord) berbeda dengan definisi formal yang berlaku di Indonesia :
1.    Hutan didefinisikan sebagai area dengan luas minimun 0,5-1,0 hektar, dengan lebih dari 10 – 30 persennya ditumbuhi tumbuhan dewasa, yang tinggi minimumnya mencapai 2 - 5 meter.
2.    Aforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal selama 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi hutan.
3.    Reforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. Dalam periode komitmen pertama, aktivitas reforestasi dibatasi pada area tidak berhutan pada 31 Desember 1989.
Selain itu, juga karena belum mantapnya sistem pengelolaan hutan, sehingga kebocoran ekologi (leakage) hutan Indonesia cukup besar, padahal kebocoran ini tidak diperbolehkan dalam CDM. Kebocoran tersebut antara lain berasal dari kebakaran hutan, illegal logging, dan inkosistensi kebijakan penataan ruang.
Oleh karenanya, tidak banyak proyek kehutanan yang bisa masuk dalam skema CDM ini.
REDD
Protokol Kyoto valid hingga tahun 2012. Itu artinya, segala instrumen atau mekanisme yang mengikutinya pun akan berakhir pada tahun tersebut. Oleh karenanya, banyak negara yang memikirkan mekanisme baru setelah tahun tersebut untuk mengatasi perubahan iklim yang yang lebih menguntungkan bagi negara berkembang, khususnya mereka yang mempunyai sumberdaya hutan luas.
Pada COP 11 di Montreal tahun 2005, Costa Rica, Papua New Guinea (PNG), dan negara-negara pemilik hutan tropis yang tergabung dalam CfRN (Coalition for Rainforest Nation) mengusulkan proposal tentang insentif avoided deforestation. Dalam pertemuan yang sama, beberapa LSM dan ilmuwan dengan dipimpin oleh Environmental Defensemenegaskan kembali seruan mereka agar isu hutan dimasukkan dalam instrumen-instrumen perdagangan Kyoto. Karenanya, COP 11 meminta agar Badan Subsider UNFCCC untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SBSTA) mengevaluasi isu pengurangan emisi dari deforestasi dan melaporkan kembali ke COP 13/MOP 3 UNFCCC pada bulan Desember 2007. Sementara itu, UNFCCC menyelenggarakan dua pertemuan mengenai pengurangan emisi dari deforestasi (RED) di negara-negara berkembang (dalam bulan Juli 2006 dan Maret 2007). Pada bulan Desember 2007, dalam Konferensi Para Pihak ke-13 UNFCCC yang diadakan di Bali (Indonesia), kemungkinan untuk memasukkan isu hutan dalam rezim iklim internasional semakin berkembang.
Konferensi Para Pihak ke-13 (COP 13) di Bali tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Upaya mitigasi harus mengutamakan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri. Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun demikian, untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, kita memerlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD, kependekan dari reducing emissions from deforestation and forest degradation(pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan.
REDD dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara (sovereignity).
Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yangtelah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah:
a.    Mengurangi emisi dari deforestasi dan
b.    Mengurangi emisi dari degradasi hutan
Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui :
c.    Peranan konservasi
d.    Pengelolaan hutan secara lestari
e.    Peningkatan cadangan karbon hutan
Definisi yang lebih luas ini memudahkan negara-negara lain untuk ikut berpartisipasi. Banyak pihak dengan kondisi nasional yang berbeda dapat dilibatkan ke dalam kerangka yang akan datang.
Sejak penyelenggaraan COP 13 di Bali Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Kehutanan sangat giat mengembangkan perangkat hukum atau peraturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan REDD. Di antara perangkat tersebut terdapat tiga Peraturan Menteri yang telah resmi diundangkan, yaitu:
1.    Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P68_08.pdf).
Peraturan ini pada dasarnya menguraikan prosedur permohonan dan pengesahan kegiatan demonstrasi REDD, sehingga metodologi, teknologi dan kelembagaan REDD dapat dicoba dan dievaluasi. Tantangannya adalah bagaimana kegiatan demonstrasi dapat dialihkan menjadi proyek REDD yang sesungguhnya di masa yang akan datang.
2.    Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P30_09_r.pdf).
Peraturan ini mengatur tata cara pelaksanaan REDD, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi pengembang, verifikasi dan sertifikasi, serta hak dan kewajiban pelaku REDD. Hingga saat ini ketentuan mengenai penetapan tingkat emisi acuan sebagai pembanding belum ditetapkan.
3.    Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (www.dephut.go.id/files/P36_09.pdf).
Peraturan ini mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon. Di dalamnya juga diatur perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan negara dari REDD. Peraturan ini membedakan antara kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai jenis hutan dan jenis usaha.
Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD sudah dapat dilaksanakan. Petunjuk Teknis untuk hal-hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan REDD. Seperti kebanyakan peraturan, ketiga Permenhut tersebut juga mengacu pada berbagai peraturan/perundangan yang terkait.
Mekanisme REDD/REDD-plus secara internasional belum diatur secara tegas, kecuali ada yang mengacu skema CDM. Adapun mekanisme yang diatur dalam Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 sebagai berikut :
1.      Pelaku REDD mengajukan permohonan kepada Menteri dengan melampirkan beberapa persyaratan berupa :
a.    SK tentang wilayah hutan yang dikelola dari Menteri Kehutanan.
b.    Rekomendasi dari Pemda setempat khusus bagi pengelola HA, HT, HTR, HKM, dan RE.
c.    Memenuhi kriteria lokasi untuk pelaksanaan REDD.
d.    Memiliki rencana pelaksanaan REDD.
2.      Menteri menugaskan Komisi REDD untuk melakukan penilaian atas permohonan REDD.
Komisi REDD adalah komisi yang dibentuk oleh Menteri dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD.
3.      Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima hasil penilaian Komisi REDD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menyetujui atau menolak usulan permohonan REDD dalam bentuk surat persetujuan pelaksanaan REDD.
4.      Paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah mendapat persetujuan dari Menteri, pemohon dapat segera melaksanakan kegiatan REDD.
Apabila setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja, pemohon tidak memulai kegiatan REDD, maka persetujuan Menteri dibatalkan.
Jangka waktu pelaksanaan REDD paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5.      Melakukan pemantauan secara periodik paling lama setiap 5 (lima) tahun sekali kecuali untuk periode sampai dengan 2012 dilakukan setiap tahun, untuk mengetahui perubahan stok karbon dari Referensi Emisi (REL) dan manfaat lainnya. Pemantauan dilakukan oleh pelaku, Pemda, dan Dephut.
6.      Paling lambat 14 hari kerja setelah laporan hasil pemantauan dari pelaku REDD diterima Komisi REDD, Komisi REDD menugaskan Lembaga Penilai Independen untuk melakukan verifikasi.
Sebelum ada keputusan COP tentang Tata Cara REDD, maka verifikasi kegiatan REDD antara lain mengacu petunjuk pada Lampiran Keputusan COP 13 No.2 tahun 2007. Begitu juga sebelum ada keputusan negara pihak Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim mengenai mekanisme pelaksanaan REDD di tingkat internasional, Komisi REDD meminta Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan akreditasi Lembaga Penilai Independen.
7.      Lembaga Penilai Independen melaporkan hasil verifikasi kepada Komisi REDD dan kepada pelaku REDD. Biaya verifikasi dibebankan kepada pelaku REDD.
8.      Dalam hal semua persyaratan terpenuhi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima laporan hasil verifikasi dari Lembaga Penilai Independen, Komisi REDD menerbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon.
Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon tersebut dapat diperjualbelikan.
Komisi REDD secara berkala menyampaikan laporan pelaksanaan REDD kepada Menteri (Kehutanan) dan Focal Point Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim untuk selanjutnya dilaporkan kepada Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim. Sampai saat ini – untuk sementara – harga CER CDM relatif masih lebih mahal dibandingkan harga Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon REDD. Selain masih dalam taraf pembahasan dan negosiasi, belum ada entitas internasional yang memberikan sertifikasi terhadap produk REDD sebagaimana CDM.

Kesimpulan
Indonesia sebagai negara tropis dengan kawasan hutan yang luas, mempunyai potensi besar untuk turut andil dalam mekanisme perdagangan karbon dengan memasukkan hutan sebagai agen penyerap (sink) GRK.  CDM adalah suatu mekanisme pengurangan GRK, khususnya bagi negara-negara berkembang, seperti dalam Protokol Kyoto selain mekanisme Joint Implementation dan Emission Trading.  Sama halnya dengan REDD, negara-negara yang mempunyai hutan akan mendapatkan insentif dari adanya transaksi reduksi emisi untuk pembangunan sektor kehutanannya.  Namun,….yang harus lebih diwaspadai adalah jangan sampai CDM dan REDD yang memasukkan hutan dan lahan sebagai sink, akan menjadi bisnis komersial belaka bagi negara-negara maju tanpa mereka mau menekan jumlah polutan GRK yang dihasilkan dari industri-industri mereka.

 Bahan bacaan 
Anonim. 2010. REDD, Apakah Itu ? Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan Iklim, dan REDD. CIFOR.
Atkinson, B. The CDM, Kyoto Protocol and The Sugar, Ethanol and Bio-Fuels Industry.
Awang, S.A. 2007. Membangun Agenda dan Implementasi UNFCCC di Tingkat Nasional dan Lokal. Makalah yang disampaikan pada parallel event COP 13 Bali.
Edwards, R. 2010. Advance Market Commitments/Emission Reduction Underwriting Mechanism for Climate Change Finance. Climate Change Capital.
Griffith, T. 2009. REDD ? Awas ! : Hutan, Mitigasi Perubahan Iklim, dan Hak-Hak Masyarakat Adat. Forest for Peoples Programme.
Masripatin, N. 2008. Apa Itu REDD ?. Warta Tenure.
Panjiwibowo, C., Soejahmoen, M.H., Tanujaya, O., dan Rusmantoro, W. 2003. Mencari Pohon Uang : CDM Kehutanan di Indonesia. Yayasan Pelangi.





Terimakasih Sobat,, sudah berkunjung, jangan lupa di like yah atau tinggalkan pesan anda di kolom facebook paling bawah.