Baca Juga


Suku Iban merupakan salah satu sub Suku Dayak yang hidupnya tersebar di perbatasan Malaysia dan Kalimantan Barat, khususnya di perbatasan Kabupaten Kapuas Hulu dan Malaysia. Umumnya, Suku Iban yang berdiam di wilayah Indonesia dikenal mempunyai pertalian darah dengan Suku Iban Malaysia.

Masyarakat suku Iban mendiami rumah-rumah panjang (rumah panjai) yang dikepalai oleh seorang "pemilik rumah" (Tuai Rumah). Seorang Tuai Rumah-lah yang mengatur kehidupan masyarakat Suku Iban di dalam Rumah Panjang (Rumah Bentang).

Suku Iban mempunyai kekhasan budaya yang bisa dibedakan sub-suku Dayak lainnya misalnya dalam hal Bahasa, Alat Musik, Tarian, Kerajinan Tangan, terutama tenun ikatnya. Di antara beberapa Sub Suku yang mendiami wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Suku Iban merupakan salah satu dari dua Sub Suku Dayak selain Kantuk, yang masih mempunyai tradisi tenun ikat. Umumnya tenun ikat Suku Iban bermotif dasar naga, bunga, manusia (orang-orangan), ataupun perpaduan ketiga jenis motif dasar tersebut.

Dulu Suku Dayak Iban hanya mengenakan pakaian hasil tenunan atau olahan kulit kayu sendiri dan keterampilan menenun kain ikat ini menjadi syarat layaknya seorang remaja putri untuk memasuki gerbang pernikahan. Semakin melimpahnya kain dan baju jadi di pasar yang mudah dijangkau, mulai melunturkan nilai adat Suku Iban yang dulunya membuat sandang sendiri.

Kini hanya Martha Sambong (46) seorang wanita dari Dusun Ngaung Keruh, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang mampu menenun di lingkungan betang (rumah panjang) itu. Keterampilan ini pun dia pelajari setelah usia 40 tahun.

Dalam hal tenun ikat, di antara masyarakat Suku Iban dikenal empat jenis tenunan dengan tingkat kesulitan/kerumitan yang berbeda, sehingga memerlukan waktu pengerjaan yang berbeda pula.

Ragam Hias (Motif)

Dalam pembuatan kain ikat ini terdapat empat macam warna utama, yaitu merah, hitam, kuning, dan putih. Martha mengandalkan pewarna alami yang tahan lama dengan memanfaatkan alam sekitarnya. Warna merah ia peroleh dari daun mengkudu (Morinda Citrifolia) atau kulit kayu salam. Warna hitam didapatkan dari daun renggat atau lumpur. Warna kuning didapatkan dari kunyit (Curcuma longa) dan temulawak (Curcuma xanthorhiza).

Kain Tenun Ikat dikenal empat jenis tenunan dengan tingkat kesulitan atau kerumitan yang berbeda dalam proses pengerjaannya.

1. Tenun Kebat


Kain ini bermotifkan bunga, manusia, dan naga. Warna dasarnya coklat dengan motif putih. Jenis tenunan ini merupakan jenis tenun paling sederhana. Biasanya seorang wanita Iban bisa menyelesaikan tenunan ini 2 lembar dalam waktu satu bulan. Harga yang biasa dijual kepada tamu asing untuk kain tenun jenis ini biasanya dinilai sebesar Rp 800.000 perlembar dengan ukuran maksimal 2m x 0,5 m.

2. Kain Tenun Sidan


Kain ini bermotif bunga dan orang saja. Warnanya lebih bervariasi tergantung permintaan orang yang memesannya. Pengerjaannya lebih rumit dibandingkan jenis tenunan pertama. Biasanya seorang wanita Iban bisa menyelesaikan jenis tenunan ini 1 lembar dalam sebulan dengan ukuran 2m x 0,5m. Karena lebih rumit dari yang pertama, maka kain jenis tenunan ini dijual dengan harga Rp 1.000.000 perlembar.

3. Kain Tenun Songket


Warna dan motifnya lebih bervariasi dibandingkan jenis tenunan pertama dan kedua, sehingga cara pengerjaannya pun lebih rumit dibandingan kedua jenis tenunan sebelumnya. Motif dasarnya bisa berupa naga, bunga, dan orang-orangan atau perpaduan ketiganya. Seorang wanita Iban bisa menyelesaikan jenis tenunan ini 1 lembar dalam waktu 4-6 bulan dengan ukuran maksimal 2m x 0,5 meter. Karena lebih rumit, kain jenis ini dijual dengan harga Rp 2.000.000 perlembar kepada para wisatawan.

4. Kain Tenun Plin Slam


Jenis kain tenun ini merupakan kain tenun paling tua bagi Suku Iban, sehingga tidak semua wanita Iban generasi muda pandai menenun dengan motif atau corak seperti ini. Hanya ibu-ibu generasi tua yang mampu menenun kain jenis ini. Motifnya jauh lebih rumit dan pengerjaanya jauh lebih lama. Karena langka dan rumit proses penenunannya, maka umumnya dijual dengan harga perlembar Rp 2.500.000. Biasanya seorang wanita tua mengerjakan satu lembar kain ukuran 2m x 0,5 cm dalam waktu 1 tahun.

Di hadapan alat tenun ikat tradisional inilah, para wanita Iban menyalurkan keahlian turun-temurun leluhur mereka di sela-sela kesibukan berladang. Faktor kurangnya minat wisatawan untuk membeli kain tenunan mereka dan permintaan pasar yang tidak menentu menyebabkan para wanita Iban perbatasan tidak dapat mengandalkan tenunan mereka sebagai sumber pendapatan tetap keluarga semakin membuat budaya tenun ikat Dayak Iban ditinggalkan oleh kaum wanitanya. Kini aktivitas menenun hanya dijadikan sebagai hobi yang dikerjakan di sela-sela kesibukan berladang padi yang hasilnya sangat tidak memadai.

Sumber: Erzariani