Baca Juga
Nama Raden Patah terdapat dalam Babab Tanah Jawi yang disusun pada masa pemerintahan Paku Buwono I yang menjadi Susuhunan Mataram hingga 1719 Masehi. Menurut Babab Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit dari seorang selir dari negeri Campa. Menurut Serat Kanda, putri Campa (kini termasuk wilayah Kamboja) ini dinikahi oleh Brawijaya ketika Brawijaya masih menjadi putra mahkota—belum menjadi raja Majapahit. Sang permaisuri Raja, yaitu Ratu Dwarawati, merasa cemburu terhadap putri Campa itu. Untuk menghindari kemungkinan buruk, Raja Brawijaya memberikan selir Campanya itu kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar Bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Campa itu dinikahi Arya Damar, yang kemudian melahirkan Raden Kusen.
Dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, dan dalam Babab Tanah Jawi disebut sebagai Senopati Jimbun. Setelah menjabat sebagai raja bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ada pun menurut Serat Pranitiradya, ia bergelar Sultan Syah Alam Akbar.
Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong (kuil di Semarang yang didirikan sebagai penghormatan terhadap Zheng He atau Cheng Ho), juga menuturkan bahwa nama Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (ejaan Cina untuk [Bhre] Kertabumi) dari selir Cina. Nama Bhre Kertabumi sendiri tercantum dalam Pararaton sebagai raja Majapahit. Kemudian selir Cina itu diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan dengan Swan Liong itu lahir seorang anak bernama Kin San. Kronik Sam Po Kong mengabarkan bahwa Jin Bun lahir pada tahun 1455 M, kemungkinan besar sebelum Bhre Kertabumi menjabat sebagai raja Majapahit, ia memerintah antara 1474-1478.
Dalam Sajarah Banten disebutkan bahwa pendiri Kesultanan Demak benama Cu Cu, putra seorang mantan perdana menteri Cina yang bermigrasi ke Jawa. Kakeknya bernama Cek Ko Po. Dikisahkan, Cu Cu mengabdi kepada Majapahit dan berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah Bupati Palembang. Di sini terdapat pemberitaan yang berbeda antara Sajarah Banten dengan Babab Tanah Jawi. Babab Tanah Jawi memberitakan bahwa Arya Dilah merupakan nama lain Arya Damar, ayah tiri dan ayah angkat Raden Patah. Menurut Sajarah Banten, berkat jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan Bupati Demak dengan gelar Arya Sumangsang. Sedangkan menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, pendiri Demak adalah Pate Rodin Senior, cucu seorang warga di Gresik.
Ada pun keberadaan “putri Campa”, ibu Raden Patah dan Raden Kusen, itu diberitakan juga oleh pustaka Purwaka Caruban Nagari. Menurut naskah dari Cirebon itu, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri dari pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat sendiri merupakan saudagar sekaligus ulama yang bergelar Syekh Bantong.
Kendati banyak versi yang membicarakan asal usul Raden Patah, namun semua naskah dan kronik itu sepakat bahwa pendiri Kesultanan Demak itu bersangkut paut dengan empat nama: Majapahit, Palembang, Cina, dan Gresik.
Menurut Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda, Raden Patah lahir di Palembang pada 1455 M dengan nama Pangeran Jimbun. Selama 20 tahun, Jimbun hidup di kediaman adipati Majapahit di Palembang, Arya Damar. Setelah beranjak dewasa, Jimbun kembali ke Majapahit. Oleh orangtuanya, ia kemudian dikirim kepada Raden Rahmat atau Sunan Ngampel (Ampel) Denta di Surabaya untuk belajar Islam. Jimbun mempelajari pendidikan Islam bersama murid-murid Sunan Ampel yang lainnya: Raden Paku (Sunan Giri), Maulana Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Qasim (Sunan Derajat).
Raden Patah dinikahkan dengan cucu Raden Rahmat, Nyi Ageng Maloka. Selanjutnya ia dipercaya untuk menyebarkan Islam di Desa Bintoro dengan diiringi oleh Arya Dilah (Ki Dilah), disertai oleh 200 pasukannya.
Menurut Lombard (2008, 44), Raden Patah merupakan pendiri kantor dagang di Demak, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang, di sekat Gunung Muria. Ia berasal dari Cina, mula-mula menetap di Gresik, lalu pindah ke Demak. Menurut Tome Pires yang singgah di pelabuhan Demak, Demak memiliki hingga 40 jung dan telah meluaskan kewibawaannya sampai ke Palembang, Jambi, “pulau-pulau Menamby dan sejumlah besar pulau lain di depan Tanjung Pura”, yaitu Bangka (di mana terdapat Pegunungan Menumbing) dan Belitung. Saat itu di Demak terdapat tak kurang dari “delapan hingga sepuluh ribu rumah” dan tanah sekelilingnya menghasillkan beras berlimpah-limpah, yang sebagian untuk diekspor ke Malaka. Menurut penjelajah Portugis itu, Demak (dan Rembang) terkenal dengan galangan-galangan kapalnya. Kapal-kapal dibuat dari kayu jati yang banyak tumbuh di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Timur waktu itu. Demak juga dikelilingi beberapa kota-pelabuhan tempat terjadi perniagaan besar: Juwana, Pati, Rembang, Jepara, dan Semarang (yang ketika itu penduduknya berkisar sekitar 3.000 kepala). “Pedagang yang punya uang datang ke sana untuk dibuatkan jung,” begitu tulis Pires.
Menyerang Majapahit
Babab Tanah Jawi berkisah, Raden Patah (Pangeran Jimbun) menampik untuk jadi pengganti Arya Damar sebagai bupati Palembang. Ia, ditemani Raden Kusen, lalu kabur dari Palembang menuju Jawa. Begitu tiba di Jawa, kedua saudara berbeda ayah itu berguru pada Sunan Ngampel di dekat Surabaya. Raden Patah lalu pindah ke arah barat di sekitar Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagahwangi guna mendirikan sebuah pesantren. Sementara Raden Kusen mengabdi di keraton Majapahit.
Aktivitas Pesantren Glagahwangi hari ke hari semakin berkembang. Raja Brawijaya melihat perkembangan pesanten itu sebagai sebuah ancaman, kalau-kalau Raden Patah berniat berontak. Untuk itu, Brawijaya mengutus Raden Kusen, yang saat itu sudah menjabat sebagai Adipati Terung, untuk memanggil Raden Patah segera menghadap Brawijaya. Alkisah, Raden Patah pun menghadap Brawijaya. Ia akhirnya diakui sebagai putranya oleh Brawijaya. Raden Patah kemudian diangkat menjadi bupati Demak, nama baru untuk Glagahwangi, sedangkan nama ibukota Demak adalah Bintoro.
Ada pun kronik Sam Po Kong menguraikan bahwa pada 1475 Jin Bun pindah ke Demak dari Surabaya. Dua tahun kemudian, 1477, Jin Bun berhasil menaklukkan Semarang yang dibuat sebagai bawahan Demak. Penaklukan Semarang membuat Kung-ta-bu-mi resah. Akan tetapi, atas bujukan Bong Swi Hoo (diidentikkan dengan tokoh Sunan Ngampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anaknya, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati Bing-to-lo (ejaan Cina untuk Bintoro).
Selama Brawijaya memerintah Majapahit, Raden Patah tak pernah menyerang Majapahit. Ialah Sunan Ngampel yang menasehati agar Raden Patah tetap menghormati ayahnya, Raja Majapahit itu walau berbeda kepercayaan. Babab Tanah Jawi dan juga Serat Kanda mengisahkan bahwa sepeninggal Sunan Ngampel, barulah Raden Patah berani menyerang Majapahit atas desakan Sunan Bonang. Sebelum Majapahit, Jimbun telah menguasai Semarang. Dalam penyerangan ke Majapahit, Brawijaya diberitakan moksa. Untuk Dikisahkan, yang menduduki takhta Majapahit untuk sementara adalah Sunan Giri (Raden Paku). Ia menduduki takhta selama 40 hari. Hal ini rupanya sebagai legitimasi kekuatan Islam sebagai “agama baru” atas agama Siwa-Buddha yang dianut Majapahit. Di sini perlu diperhatikan perihal moksanya Brawijaya begitu diserang anaknya sendiri, sama halnya dengan legenda Prabu Siliwangi yang juga ngahiyang (menghilang) begitu dikejar oleh anaknya, Kian Santang, karena menolak masuk Islam dalam legenda Sunda. Moksanya Brawijaya (juga ngahiyang-nya Siliwangi) memperlihatkan bahwa walau bagaimana pun kekuatan orangtua (baca: leluhur) tak bisa semena-mena dikalahkan oleh kekuatan agama baru. Ia digambarkan tak tersentuh oleh kenyataan bendawi, luput dari segala hukum fisika. Sebelum menyerang Majapahit, terlebih dulu Jimbun menyerang Semarang yang banyak didiami oleh etnis Tionghoa. Setelah berhasil menguasai Semarang, Jimbun mengangkat saudara tirinya, Kin San, sebagai bupati Semarang. Sementara Gan Si Cang, diangkat menjadi kapten Tionghoa-bukan Islam di Semarang. Gan Si Cang merupakan anak dari almarhum Haji Gan Eng Cu, seorang saudagar Tionghoa yang pada tahun 1430 menjadi bupati di Tu Ma Pan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Raja Kung Ta Bu Mi, ayah Jin Bun, gembira mendengar Semarang telah takluk. Sebagai hadiah, Jin Bun diangkat sebagai Bupati Bing Tolo dan diundang ke Majapahit.
Namun, sesampai di Majapahit Jin Bun tak mau memberi sembah pada ayahnya. Perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi juga diberitakan oleh kronik Sam Po Kong, yang terjadi pada 1478. Perang tersebut berlangsung setelah kematian Bong Swi Hoo (Sunan Ngampel). Akan tetapi, begitu Jin Bun menggasak ibu kota Majapahit, Kung-ta-bu-mi berhasil ditangkap dan dipindahkan ke Demak dengan terhormat. Dengan begitu, Majapahit pun menjadi wilayah bawahan Demak; yang menjadi bupati Majapahit sendiri adalah Nyoo Lay Wa, seorang Cina Muslim. Di sini, berita tertangkapnya Kung-ta-bu-mi alias Kertabumi membuat kita berpendapat bahwa kronik Cina itu lebih masuk akal dibandingkan berita Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda. Penulis kronik itu merasa tak terikat dengan dunia “mistik” Jawa yang memilih “menghilangkan secara gaib” Brawijaya dari pada harus menulis tertangkapnya raja itu. Brawijaya terlalu agung untuk dikatakan tertangkap, begitu menurut alam pikiran penulis Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda.
Pada 1485, Nyoo Lay Wa mati setelah terjadi pemberontakan kaum pribumi. Untuk itu, Jin Bun lalu mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru, yakni Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana (yang tertulis dalam Pararaton) alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan Prasasti Jiyu (tahun 1486) dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan Prasasti Petak yang memuat berita mengenai perang Kadiri melawan Majapahit. Berita prasasti itu menimbulkan penafsiran kuat bahwa Majapahit tidak runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1478, melainkan akibat serangan keluarga Girindrawardhana. Dari Prasasti itu diketahui, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah putra Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma dan cucu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana (Sang Munggwing Jinggan). Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya atau Bhre Wijaya) memerintah di Daha, ibukota Kediri, yang sebelumnya terletak di Keling, utara kota Majapahit.
Baik Babab Tanah Jawi maupun Serat Kanda tidak lagi mengisahkan adanya perang Majapahit melawan Demak sesudah 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan juga kronik Sam Po Kong, perang Demak-Majapahit terjadi lebih dari satu kali. Kronik Cina itu menguraikan, pada 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing (Portugis) di Moa-lok-sa (Malaka) sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Akibatnya, Jin Bun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat raja itu adalah suami adiknya istrinya adalah adik Jin Bun.
Catatan Portugis pun memerikan peperangan itu. Diberitakan, pasukan Majapahit dipimpin oleh seorang bupati Muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Majapahit pun menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan itu mengalami kegagalan di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan nama baru Kiai Mutalim Jagalpati.
Sepeninggal Raden Patah alias Pangeran Jimbun tahun 1518, Demak dipimpin Pangeran Sabrang Lor (versi Babab Tanah Jawi) hingga 1521. Selanjutnya Pangeran Sabrang Lor diganti oleh Sultan Trenggana. Menurut kronik Sam Po Kong, pergantian takhta itu dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis di Malaka. Perang Majapahit-Demak meletus kembali tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.
Perang Demak-Majapahit yang terakhir terjadi pada 1527. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Kudus, putra Sunan Ngudung, yang menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen, Adipati Terung, ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus dan adik pendiri Demak. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang memimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Trenggana), bernama Toh A Bo.
Dari berita di atas diketahui setidaknya ada dua tokoh Muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah adik tiri Raden Patah, dengan kata lain, merupakan paman Sultan Trenggana Raja Demak saat itu.
Menurut kronik Sam Po Kong, Pa-bu-ta-la meninggal dunia pada 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana Daha. Peristiwa kekalahannya menandai berakhirnya Kerajaan Kediri. Para pengikutnya, yang menolak kekuasaan Demak, memilih pindah ke Bali. Menurut babad dan serat, tiga hari setelah penyerbuan ke Majapahit, Raden Patah berangkat ke Ampel. Yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Ada pun Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Raden Patah. Sementara itu, Sebagian pasukan Demak dan para sunan ikut ke Ampelgading. Ada pun Putri Cempa, ibu Raden Patah, diungsikan ke Bonang. Di Ampel ternyata Sunan Ampel sudah wafat. Yang ada hanya istrinya, Nyai Ageng, yang asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah Sunan Ampel wafat, Nyai Agenglah yang menjadi sesepuh Ampel.
Sesampai di Ampel, Raden Patah menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Para sunan dan bupati bergantian menghaturkan sembah pada Nyai Ageng. Raden Patah berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu Majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda, Brawijaya, dan kematian Patih Majapahit. Ia berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh Tanah Jawa dengan gelar Senapati Jimbun, lalu minta restu, agar langgeng bertakhta dan kelak keturunannya tak ada ada yang memotong takhtanya.
Nyai Ageng memarahi Jin Bun karena berdosa telah menganiaya ayahnya sendiri yang enggan masuk Islam. Karena walau bagaimana pun, Brawijaya adalah ayah Pangeran Jin Bun sendiri, yang patut dihormati meski berbeda kepercayaan. Juga Nyai Ageng memarahi Jin Bun karena telah merusak Majapahit. Nenek itu kecewa mengetahui Jin Bun berhasil dipengaruhi oleh para sunan dan bupati agar menyerang Majapahit. Ia menyuruh agar Jin Bun mencari ayahandanya yang hilang. Setelah itu Jin Bun pamit dari Ampel, menuju Sunan Bonang untuk memberi tahu Sunan itu tentang kemarahan Nyai Ageng Ampel.
Begitu diberi tahu, Sunan Bonang dalam hati merasa bersalah lalu teringat akan kebaikan Prabu Brawijaya. Namun Sunan Bonang tetap menyalahkan Brawijaya dan Patih Majapahit yang tak mau masuk Islam. Ia juga memerintahkan Jin Bun untuk tidak memikirkan perintah Nyai Ageng karena menilainya hanya sebagai pelampiasan atas kemarahan “khas perempuan”. Sunan itu memberikan pilihan, bila Jin Bun tetap bersiteguh menuruti Nyai Ageng, ia akan kembali saja ke Arab. Akhirnya, Jin Bun memilih untuk terus melanjutkan penyerbuan ke Majapahit. Sunan Bonang menyuruh Jin Bun memberi pilihan pada ayahnya, Brawijaya: jika masih ingin jadi raja, maka janganlah di Tanah Jawa tetapi harus di negeri lain di luar Jawa. Bahkan Sunan Giri menyuruh Brawijaya juga Adipati Ponorogo dan Adipati Pengging ditenung saja agar tak mengganggu proses “pengislaman” di Jawa.
Sunan Kalijaga-lah yang ditugasi Raden Patah untuk mencari Brawijaya. Brawijaya sendiri dalam pelariannya ditemani dua pamong setianya, Nayagenggong dan Sabdapalon. Konon, menurut tradisi tutur yang berkembang di masyarakat, ketika sampai di Blambangan, Brawijaya menghilang dekat sebuah mata air.
Identifikasi Brawijaya, Kertabumi, dan Kung-ta-bu-mi
Sebelum menjelaskan sepak terjang Raden Patah, di sini perlu dijelaskan sedikit mengenai identifikasi atas tokoh Brawijaya sebagai raja terakhir Majapahit versi Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda, ayah Raden Patah. Perlu ditelisik pula mengapa sumber lain menyebutkan nama yang berbeda bagi ayah Jin Bun itu.
Nama Brawijaya begitu populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti, untuk membuktikan kebenarannya. Nama Brawijaya sendiri diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, singkatan dari Bhatara Wijaya. Suma Oriental tulisan Tome Pires memberitakan, pada 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Batara Wijaya, sedangkan Dayo dapat ditujukan pada Daha. Prasasti Jiyu memberikan informasi bahwa Daha pada 1486 diperintah oleh Dyah Ranawijaya. Dengan kata lain, Batara Wijaya alias Brawijaya merupakan nama lain dari Dyah Ranawijaya, yang ternyata pada tahun 1513 memerintah di Daha. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga merupakan raja Majapahit yang memerintah di Daha (Dayo menurut Pires). Berita lain adalah Babad Sengkala yang membeberkan bahwa pada 1527 Daha dikalahkan oleh Demak. Kemungkinan besar, ingatan masyarakat tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha pada 1527, bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhre Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “diposisikan” sebagai Brawijaya yang memerintah hingga 1478. Akibatnya yang lain, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre atau Bhra Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya.
Kronik Sam Po Kong menjelaskan bahwa Pa-bu-ta-la alias Ranawijaya adalah menantu Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai bupati (Majapahit) bawahan Demak. ada yang berpendapat bahwa Ranawijaya menjadi penguasa Kediri atas usahanya sendiri, yaitu dengan mengalahkan penguasa Majapahit Bhre Kertabumi tahun 1478. Pendapat ini diperkuat oleh Prasasti Petak yang mengatakan bahwa keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit. Dengan begitu, peperangan yang terjadi pada 1478 adalah peperangan antara keluarga Girindrawardhana dengan Majapahit, sesuai dengan berita Prasasti Petak. Jadi, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhatara Wijaya) berperang melawan Bhre Kertabhumi, di mana Dyah Ranawijaya berhasil menguasai Majapahit.
Pada umumnya, perang antara Majapahit lawan Demak dalam naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu 1478. Perang ini terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah. Terlebih dulu pasukan Demak menyerang Tuban, pelabuhan Kediri dan Majapahit, pada 1527. Setelah itu, Kediri (Daha) yang diperintah Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya) diserang dan jatuh ke tangan Demak. Serat Kanda mengisahkan, setelah Daha jatuh Dyah Ranawijaya melarikan diri ke Bali—yang sayang tak didukung oleh satu prasasti pun. Runtuhnya Kediri pada 1527, menurut Muljana, lalu disusul berdirinya Kerajaan Hindu di Panarukan yang mengirim utusannya ke Malaka pada tahun 1528 guna mendapat dukungan orang-orang Portugis. Kerajaan Panarukan yang mungkin dipimpin Dyah Ranawijaya bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Perlu diuraikan di sini mengenai kronik Sam Po Kong. Pada 1475, sekitar 1.000 tentara Demak pimpinan Jin Bun menyerang Semarang. Ia menaklukkan Semarang lalu bergerak menuju Klenteng Sam Po Kong yang ada di kota itu. Jin Bun memerintah pada pasukannya agar jangan menghancurkan klenteng itu, karena sebelumnya Sam Po Kong merupakan sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Muslim dari daratan Tiongkok yang bermahzab Hanafi. Namun, setelah kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok melemah. Sejak armada Dinasti Ming tak lagi singgah di Semarang, hubungan orang-orang Tionghoa Muslim dengan sanak saudara mereka di Tiongkok terhenti. Satu persatu masjid di Semarang dan Lasem, yang dibangun pada masa Laksamana Cheng Ho, berubah fungsi menjadi klenteng. Selain tak menghancurkan Sam Po Kong, Jin Bun juga tak memaksa agar orang-orang Tionghoa yang non-Muslim untuk memeluk Islam. Kebaikan hati Jin Bun tersebut disambut orang-orang Tionghoa non-Musli dengan janji bahwa mereka akan setia pada Demak dan tunduk pada hukum Demak yang Islam.
Lima abad kemudian, Residen Poortman pada tahun 1928 mendapatkan tugas dari pemerintah kolonial untuk menyelidiki: apakah benar Raden Patah itu orang Tionghoa tulen. Poortman pun menggeledah kelentang Sam Po Kong lalu menyita naskah berbahasa Tionghoa sebanyak tiga pedati, lalu dibawa oleh Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda. Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi tanda GZG, singkatan Geheim Zeer Geheim alias naskah yang sangat rahasia dan hanya boleh dibaca di kantor, dan tidak sembarang orang boleh membacanya. Dengan begitu, yang boleh melihatnya hanyalah Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan pegawai arsip negara di Rijswijk di Den Haag. Menurut Muljana, hasil penelitian terhadap kronik Sam Po Kong itu itu hanya dicetak lima eksemplar, dan tidak satu pun berada di Jakarta. Arsip Poortman ini kemudian dikutip oleh Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku kontrovelsial Tuanku Rao yang terbit pada 1964. Parlindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft, maka itu dapat menyalinnya.
Slamet Muljana yang menulis buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, banyak mengutip buku Tuanku Rao. Buku Slamet Muljana yang terbit tahun 1968 juga menimbulkan kontroversi. Pemerintah Orde Baru pada 1971 melarang peredaran buku tersebut. Rupanya teori bahwa pendiri Demak (dan juga delapan dari Sembilan Wali Songo) adalah orang Tionghoa membuat pemerintah Soeharto gerah. Ditambah ketika itu pemerintah Orde Baru baru saja selesai “mengamankan” negara dari gerakan komunis yang dianggap bahaya laten.
Pemerintahan Raden Patah di Demak
Berdasarkan Babab Tanah Jawi, setelah menjabat sebagai raja Demak yang pertama, Raden Patah bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ada pun menurut Serat Pranitiradya, ia bergelar Sultan Syah Alam Akbar. Nama Patah sendiri berasal dari kata Arab, al-Fatah, artinya “Sang Pembuka” atau “Sang Penakluk” sebagai gambaran bahwa ia adalah pembuka kerajaan bercorak Islam di Jawa. Pemakaian gelar sultan belum menjadi tradisi pada masa Raden Patah, karena, menurut Lombard, pemakaian gelar sultan untuk raja-raja Jawa baru dimulai pada tahun 1524, yakni pada masa Trenggana menjadi penguasa Demak (sementara penguasa Malaka telah memakai gelar itu kira-kira sejak 1456).
Replika bangunan Kasultanan Demak ada di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (http://infoastronot.blogspot.com)
Pada 1479 Raden Patah meresmikan Masjid Agung Bintoro di Demak sebagai pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian kitab Salokantara sebagai pegangan undang-undang kerajaan (ada pula yang beranggapan bahwa Salokantara dibuat oleh Trenggana, anak Raden Patah). Kitab ini kini sudah raib tak jelas rimbanya. Sikap Raden Patah kepada umat beragam lain pun sangat toleran. Misalnya, kuil Sam Po Kong tetap berfungsi sebagai kelenteng warga Cina. Suma Oriental memberitakan bahwa pada 1507 Pate Rodin Sr. alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru saja diperbaiki.
Raden Patah juga tidak memerangi umat lain yang juga mayoritas, Hindu dan Buddha, sebagaimana wasiat Sunan Ngampel, gurunya. Walau sebelumnya, seperti yang tertera dalam babad dan serat, memberitakan ia menyerang Majapahit, hal tersebut lebih dilatarbelakangi persaingan politik dalam “menguasai” Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda memberitakan bahwa pihak Majapahit lah yang lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Suma Oriental mengisahkan bahwa pada 1512, menantu Pate Raden, yakni Pate Unus Bupati Jepara, menyerang benteng Portugis di Malaka. Tokoh Pate Unus ini identik dengan tokoh Yat Sun dalam kronik Cina, yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya hanyalah bahwa Pate Unus merupakan menantu Pate Rodin (menurut Pires), sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun (menurut kronik Cina). Baik sumber Portugis maupun sumber Cina sama-sama menyebutkan bahwa armada Demak hancur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.
Wafatnya “Sang Pembuka”
Raden Patah memiliki tiga istri: Pertama adalah putri Sunan Ngampel, yang menjadi permaisuri, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana, kronik Cina menyebutkan dua orang putra Jin Bun, yaitu Yat Sun (Pate Unus/Sabrang Lor) dan Tung-ka-lo (Trenggana) tetapi Suma Oriental lebih condong menganggap Sultan Trenggana merupakan kakak ipar Pangeran Sabrang Lor. Istri yang kedua berasal dari Randu Sanga, yang melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan pada masa pemerintahan Sultan Trenggana berhasil menaklukkan Sumenep di Madura. Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, yang melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa.
Kronik Sam Po Kong memberitakan bahwa Raden Patah (Jin Bun, Panembahan Jimbun, dan atau Senapati Jimbun) wafat pada 1518 dalam usia 63 tahun. Ia lalu digantikan oleh Yat Sun, yang dalam Babab Tanah Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.
Sumber: Wacananusantara