Baca Juga

Fungsi Pembaharuan Hukum
Fungsi Pembaharuan Hukum
Fungsi Pembaharuan Hukum - Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi.

Hukum kebiasaan atau hukum adat pada fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.

Apabila diteliti semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan dengan perubahan, bagaimanapun kita mendefenisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.

Istilah “pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna yang luas mencakup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas :
  • struktur hukum (structure), 
  • substansi/materi hukum (substance), dan 
  • budaya hukum (legal culture). 
Sehingga, bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan. Karena luasnya cakupan sistem hukum, maka dalam tulisan ini, hanya dibatasi pada salah satu elemen hukum yakni substansi/materi hukum. Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah “pembaharuan hukum” tetap dipertahankan yang sebenarnya mengandung makna yang lebih khusus atau sepadan dengan istilah “pembentukan hukum”.

Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa konsekwensi terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain termasuk didalamnya pranata hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif dalam rangka menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai hukum masyarakat.

Pada satu pihak, pembaharuan hukum merupakan upaya untuk merombak struktur hukum lama (struktur hukum pemerintahan penjajah) yang umumnya dianggap bersifat eksploitatif dan diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain, pembaharuan hukum dilaksanakan dalam kerangka atau upaya memenuhi tuntutan pembangunan masyarakat.

Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu percepatan pambangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan menengah dan jangka panjang. Meskipun disadari, setiap saat hukum bisa berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.

Di negara- negara berkembang, pembaharuan hukum merupakan prioritas utama. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang ini pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda.
  • Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum colonial. Upaya tersebut terdiri atas pengahapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum warisan colonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. 
  • Kedua, pembaharuan hukum berperan dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dan negara-negara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan hukum yang sudah tidak up to date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyonsong era mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini. Masalahnya adalah apakah proses perubahan atau pembaharuan hukum yang berlangsung di Indonesia telah dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normative dan atau sesuai dengan nilai-nilai hukum dalam masyarakat? Sebagaimana disarankan oleh para ahli hukum. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi hukum tidak semata-mata sebagai alat kontrol sosial (social control), tetapi juga memiliki fungsi sebagai sarana rekayasa atau pembaharuan sosial.

Pada era reformasi pada bulan Mei 1998 yang lalu membawa perubahan pada berbagai tatanan bernegara yang sanagt drastis. Hampir seluruh wajah lembaga kenegaraan mengalami penyesuaian atau adaptasi terhadap peruabahan itu. Salah satu di antaranya adalah lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Agung yang dalam sejarahnya kerap mendapatkan sorotan tajam dari berbagai lapisan masyarakat termasuk media (pers).

Sorotan terhadap lembaga yudikatif (Mahkamah Agung) didasari oleh kenyataan bahwa kinerja lembaga Mahkamah Agung (MA) serta lembaga telah menerapkan strategi penegakan hukum yang cenderung bersifat positif instrumentalis. Pada masa sekarang ini hukum telah menjadi alat yang sangat ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara.

Banyak kalangan berpandangan bahwa lemahnya kinerja Mahkamah Agung selama ini tidak semata-mata disebabkan oleh kuramg efektifnya court management peradilan, akan tetapi juga akibat pengaruh sistem pemerintahan terhadap strategi penegakan hukumnya.

Namun di era reformasi ini, eksistensi Mahkamah Agung yang merupakan peradilan tertinggi dalam melaknakan kekuasaan kehakiman yang merdeka mengalami kemajuan yang signifikan terutama pada level pengaturan hukum. Hal ini ditandai dengan perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 menajdi UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan terakhir lahir pula UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman.

Sebagai akibat dari lahrnya UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka pada tingkat Mahkamah Agung sendiri telah dilakukan perubahan undang-undang dari UU Nomor 14 Tahun 1970 menjadi UU Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Eksistensi Mahkamah Agung sebagai lembaga pengawasan peradilan juga sangat ditentukan oleh hakim-hakim agung yang merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Sehingga dengan demikian hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam posisi ini hakim agung dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan Mahkamah Agung.

Dewasa ini dengan undang-undang yang baru (UU Nomor 4 Tahun 2004 dan UU Nomor 5 tahun 2004) peran dan fungsi Mahkamah Agung kembali menjadi sorotan dan ujian, apakah kasus-kasus yang bernuansa politik dapat diselesaikan dengan mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Harapan seluruh bangsa Indonesia di era reformasi ini adalah para hakim agung yang bekerja di Mahkamah Agung harus mampu menjawab sikap apriori dan kesangsian masyarakat. Bahwa mereka terpilih menjadi hakim agung karena memiliki kapasitas dan kapabilitas. Salah satu syarat untuk mewujudkan itu adalah bagaimana memberdayakan fungsi pengawasan Mahkamah Agung yang telah diberikan negara kepadanya.

Reformasi Hukum Kekuasaan Kehakiman

Terjadinya reformasi di negara kita salah satunya disebabkan oleh perubahan nilai terhadap perilaku politik, ekonomi, dan hukum. Letiga aspek ini dalam posisinya masing-masing saling mempengaruhi. Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Hakim G Nusantara, (1988:219) bahwa krisis hukum juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan politik.

Menurut Mahfud MD (2000:27) ciri-ciri reformasi hukum dapat diurai yaitu :
  • Pertama, ciri demokratisasi yang dibagi ke dalam tga aspek, yaitu:
  1. aspek politik yang menyangkut berbabagi isu nasional seperti amandemen UUD 1945, pengadilan KKN, perubahan UU bidang politik, pencabutan dwifungsi ABRI, otonomi daerah,
  2. aspek ekonomi antara lain UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan praktek monopoli dan persaingan curang, UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, PP 17 Tahun 1998 tentang BPPN, UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan
  3. aspek hukum yang menyangkut berbagai kegiatan penegakan hukum seperti pemebarantasan KKN, pengamanan lingkugan hidup melalui UUI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengayoman dan perlindungan HAM melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
  • Kedua, ciri transparansi, yakni suatu prinsip  bahwa lembaga pelayanan umum wajib melakukan public accountability yang terbuka, seperti hak untuk memperoleh informasi melalui UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
  • Ketiga, ciri profesionalisme, suatu syarat kemmapuan profesi untuk meningkatkan pelayana umum. 
Salah satu substansi reformasi hukum di Indonesia termasuk reformasi kekuasaan kehakiman menurut Muladi (2002:170) adalah politik hukum negara berkaitan dengan pembaharuan hukum. Jika sebelum era reformasi, pembaharuan hukum diartikan sebagai usaha sistematik untuk menggantikan pelbagai produk hukum kolonial dengan produk hukum nasional, maka sekarang, selain usaha tersebut terus dilanjutkan perlu pula usaha sistematik untuk melakukan demokratisasi sistem hukum. Hal ini mencakup langkah-langkah mendasar berupa amandemen konsitusi, menagtur sistem politik, menciptakan good gevernance, melakukan promosi dan perlindungan HAM, meningkatkan partisipasi masyarakat dan sebagainya.

Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam kerangka sistem hukum yang mencakup elemen-elemen: struktur hukum; substansi hukum, kultur (budaya hukum). Jika terkait dengan budaya hukum hal itu bersinggungan dengan proses penciptaan kesadaran hukum (Muladi, 2002:272).

Kesulitan merubah budaya hukum suatu negara, bangsa atau masyarakat memang benar adanya karena hal ini berkaitan dengan sistem hukum yang diterapkan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Wagatsuma dan Rosset dalam John O Haley(1996:500) bahwa fenomena budaya “permintaan maaf” sangat mempengaruhi sistem hukum masyarakat Jepang.

Konsep-konsep di atas (struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum) menjadi prasyarat bagi terlaksananya negara hukum seperti yang dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nasution (1998:220) bahwa ada tujuh syaratnya, yaitu:
  1. Adanya suatu sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat; kedaulatan rakyat diwujudkan melalui pemilu yang akan memilih anggota DPR dan MPR.
  2. Adanya pembagian kekuasaan yang seimbang antara lembaga-lembaga pemerintah yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.
  3. Adanya peran social control anggota masyarakat untuk turut mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah.
  4. Berlakunya asas supremasi hukum, bahwa tindakan pemerintah senatiasa didasarkan atas hukum positif yang berlaku.
  5. Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri dengan diikuti peran masyarakat melakukan sosial control.
  6. Adanya jaminan untuk perlindungan HAM.
  7. Adanya sistem perekonomian yang menjamin pembangunan yang merata bagi kekamkmuran warga negara. Dewasa ini dengan lahirnya UU Nomor 4 Tahun 2004 tetang Kekuasaan Kehakiman yang dapat dianggap sebagai bagian fundamental dari reformasi kekuasaan kehakiman di Indonesia haruslah menambah semangat dan harapan masyarakat dalam menikmati sepak terjang peradilan yang bebas.
Pada tataran lain, ciri-ciri reformasi hukum dan supremasi hukum perlu dikembangkan untuk peningkatan tentang kondisi sosial yang berkembang saat ini sebagai akibat penerapan sistem hukum pada zaman orde baru yang cenderung bersifat postivist nstrumentalistik. Sehingga pengkajian jurisprudensi perlu dilakukan secara khusus untuk menemukan kaidah-kaidah hukum dalam berbagai jurisprudensi itu yang bersifat responsif progresif serta berorientasi pada terciptanya unsur-unsur kepastian hukum, unsur kemanfaatan, unsur-unsur adil dan unsur-unsur patut.

Untuk menciptakan independensi kekuasaan kehakiman, maka syaratnya adalah terselenggaranya pemerintahan demokrasi di bawah rule or law dengan ciri-ciri seperti yang dikemukakan Purwoto S Ganda Subrata (1998:45) yaitu:
  1. Perlindungan konstitusional,
  2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak,
  3. Pemilhan umum yang bebas,
  4. Kebebasan menyatakan pendapat,
  5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, dan
  6. Pendidikan kewarganegaraan.

Daftar Referensi :

  1. Abdul Hakim G Nusantara, 1988. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: LBHI 
  2. David Greenberg, 1983. Donald Black’s Sociology of Law: A Crigue, dalam Law Society Review, The Journal of the Law and Society Association: Volume 17 Number 2, 
  3. Gunther Teubner, 1987. Substantive and Replexive Elements In Modern Law. The Journal of The Law and Society Association. Volume 17. Numebr 2,
  4. John O Haley, 1986. Comment: The Implications od Apology dalam Law and Society Review, The Journal of the Law and Society Association. Volume 20. No 4,
  5. Moh. Mahfud MD, 2000. Pidato Pengukuhan Guru Besar di UII. Jogyakarta,
  6. Muhsan. 2000. Kuliah Perdana Hukum Bisnis. Jogyakarta,
  7. Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Habibie Centre,
  8. Purwoto Gandasubrata, 1998. Renungan Hukum. Jakrta: IKAHI MA,
  9. http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/peraturan-perundangan.html
  10. http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/keputusan-hakim-yurisprudensijurisprude.html

Sumber Hukum :

  1. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nmor 4 tahun 2004. LN Tahun 2004 Nomor 8. Tambahan LN Nomor 4358.
  2. Undang-Undang tentang Mahkkamah Agung. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004. LN Tahun 2004 Nomor 9. Tambahan LN Nomor 4359.