Baca Juga

Epistemologi Dalam Pendidikan Islam 
Pada awal era modern, para pemikir modern dan pemimpin muslim, mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan sebagai upaya memajukan umat, terutama untuk menghadapi hegemoni sosial, ekonomi dan kebudayaan Barat.

Tokoh-tokoh seperti Sayyed Ahmad Khan di India dan Muhammad Abduh di Mesir, dua tokoh reformis dan berpengaruh, tidak hanya menjadikan pendidikan sebagai cara yang paling efektif untuk menghadapi persoalaan kejumudan dan kemunduran umat selama ini. Mereka bahkan mengusahakan interpretasi ulang terhadap (pengetahuan) agama Islam secara internal. Supaya umat Islam bisa mengakomodasikan perkembangan-perkembangan baru di Barat.

Oleh karena itu, kebangkitan umat Islam tidak hanya dipahami dan diawali dengan memberikan perhatian sepenuhnya terhadap pengadaan sarana pendidikan. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana melakukan pembenahan tentang konsepsi ilmu pengetahuan yang bselaras dengan nilai-nilai Islam. Maka konsep ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan menjadi sangat urgen dan prinsipil. Karena ia tidak hanya sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, lebih jauh dari itu ia berperan penting untuk mencapai tujuan-tujuan spritualitas manusia. 

Hal ini, bukan berarti perhatian Islam terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi, dan politik dinomorduakan, tetapi semua itu difungsikan sebagai pendukung untuk mencapai spritualitas manusia. Konsekuensinya kita mesti melakukan definisi ulang tentang konsep ilmu dalam kaitannya dengan realitas spritualitas manusia. 

Tulisan ini mencoba melakukan eksplorasi tentang epistemologi ilmu pengetahuan dan legalitasnya dalam khazanah pemikiran Islam. Namun tulisan ini tidak membahas secara terperinci mengenai konsep ilmu, pengertian dan sumber validitasnya.

Persoalan Epistemologis dalam Islam
Akal (rasio) dan indera merupakan dua alat pengetahuan. Pemujaan yang pertama akan melahirkan rasionalisme, sementara pemujaan yang kedua akan membawa kita kepada sensualisme, empirisme, matrealisme, dan positivisme. Jika yang pertama obyeknya adalah abstrak dan paradigmanya logis. Maka yang kedua obyeknya bersifat empiris dan paradigmanya adalah sains. Kedua paradigma ini, pada akhirnya menolak obyek mistis yang supralogis dan non-empiris. Dua alat pengetahuan inilah kemudian menolak dengan tegas memberikan saham yang cukup signifikan dalam membidani lahirnya sains dan teknologi di Barat. 

Sains dan teknologi telah menggeser peran manusia pada puncak absolut. Dimana manusia diberi otonomi tanpa batas dalam memaknai setiap persoalan kemanusiaan, termasuk didalamnya adalah persoalan etika dan moralitas. Wilayah moralitas dan etika semakin menunjukkan perbedaan yang cukup jelas dengan wilayah kekuasaan dan sains. Pertimbangan-pertimbangan ilahiyyah seolah-olah telah ‘terusir’ dari logika politik, sains dan teknologi. Hal ini, jelas akan semakin memperlebar jurang sekulerisme. Tidak heran jika Aleksander I. Solzhenitsyn, pemikir dari Rusia, mengatakan bahwa “bila kita terpisah dari konsep-konsep baik dan buruk, apalagi yang masih tersisa, kecuali status yang sama dengan binatang”.1

Hegemoni sekulerisme ini, telah menjadikan sistem etika pada corak antropomorfis, yaitu menempatkan manusia pada pusat segala-galanya. Dunia Islam yang pada hakikatnya tidak menolak akal dan indera sebagai dua alat pengetahuan, juga secara formal menolak arus sekulerisme, tetapi pada kenyataannya telah dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang cukup mendasar. Diantara kesulitan itu adalah ketika kita akan mengangkat konsep pendidikan Islam.

Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi Barat, pada saat bersamaan umat Islam dihadapkan pada kemerosotan peradaban musilm, terutama sekitar abad ke-16 – 17. pada masa ini, muncul epistemologi dikotomik antara “sains agama” (‘ulum syari’ah) atau “sains-sains tradisional” (‘ulum naqliyyah) dan “sains rasional” (‘ulum ‘aqliyyah atau ghair syar’iyyah),2 pada puncaknya adalah ketika al-Ghozali mengkategorikan fardhu ‘ain bagi sains agama dan fardhu kifayah bagi sains rasional.

Menurut Rahman, selain serangan al-Ghazali tersebut, ada beberapa alas an tentang hal ini. Pertama, adanya pandangan bahwa hidup ini relatif singkat. Sehingga orang kemudian memprioritaskan ilmu-ilmu agama untuk memberikan “jaminan” pada kehidupan akhirat. Kedua, adanya tradisi sufi yang dengan sengaja menolak rasionalisme-intelektual dalam pencapaian pengetahuan. Dan Ketiga, ijazah-ijazah yang mendapat legislasi untuk bekerja sebagai mufti atau qadi pada saat itu adalah ilmu-ilmu agama, sementara filsuf dan saintis hanya tersedia lowongan kerja di istana saja.3

Kondisi ini semakin diperparah dengan bercokolnya kolonialis Barat di beberapa negara Muslim. Barat yang telah mempunyai seperangkat epistemologi sekuler yang kuat, semakin “membuaikan” status quo pola fikir umat Islam pada ranjang (dengan dalih) kepentingan akhirat. Dalam polarisasi sikap yang seperti itulah, dua sistem pengetahuan berjalan secara bersamaan. Penge­tahuan modern dengan sistem sekulernya, dan pengetahuan Islam dengan orientasi ukhrawi-nya. Orientasi dikotomik ini, terus meluas pada pola pendidikan yang semakin mempersulit umat Islam untuk mencairkannya. Tokoh-tokoh seperti, Sardar, Al-Faruqi, al-Attas dan lainnya, kemudian mencoba melakukan “Islamisasi” ilmu pe­ngetahuan.

Konsep ini, terutama di Indonesia, pada akhirnya dimaknai dengan mendirikan Madrasah dan UIN4. Tetapi konsep pemaknaan ini, justru menimbulkan sikap ambivalensi umat Islam. Karena integrasi ilmu tersebut tidak berangkat dari dua sistem ilmu tanpa konsep.5

Kita dapat melihat bagaimana upaya Abduh ketika akan melakukan “modernisasi” pendidikan al-Azhar, yaitu hanya “sekedar” memasukkan beberapa pelajaran umum yang telah dipelajari Barat.6 Hal ini, menurut Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf tetap saja melahirkan dua sistem pendidikan. Yang pada akhirnya, persaingan dari dua sistem tersebut justru akan melemahkan dasardasar masyarakat Muslim.7

Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan
Dalam al-Qur’an, kata ilm, dengan berbagai bentuknya terulang sampai 854 kali.8 Yang berarti kejelasan, karena ia berakar dari bentuk kata yang bercirikan kejelasan.9

Selain itu, kata ilm, berasal dari kata dasar ‘ain, lam, dan mim, yang terambil dari perkataan ‘alamah, yang berarti tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang itu dikenal. Dengan demikian ma’lam, berarti “rambu-rambu jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Selaras dengan itu, ‘a’lam juga bisa diartikan dengan “petunjuk jalan”.10 Maka tidak heran jika kemudian, kata ‘ayah (jamaknya : ayat), yang berarti tanda, selalu merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an (qauliyah) dan fenomena alam (kauniyah).

Secara deskriptif, al-Qur’an sebenarnya telah memberikan gambaran bagaimana Allah memberikan pengetahuan pengetahuan kepada Adam, ketika para Malaikat tidak mampu menyebutkan “nama-nama” tersebut. Inilah sebenarnya esensi penciptaan manusia tersebut, yaitu untuk mempelajari alam semesta, hokum-hukum susunan batinnya, dan proses sejarah. Semua itu kemudian digunakan untuk “pengabdian kepada Tuhan”.11 Hal inilah yang membuat manusia dihormati sebagai sebaik-baiknya makhluk dan bahkan Malaikat, kecuali Iblis, bersujud di hadapan Adam, sebagai simbol manusia.

Karakteristik yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain adalah kapasitasnya dalam memberikan “nama-nama” kepada benda-benda. Memberi “nama”

benda-benda mempertegas kapasitas manusia dalam menemukan sifat-sifat benda, hubungan timbal balik dan hukum-hukum perilakunya.12 Ketika kita menamakan sesuatu itu batu, pohon, atau elektron, kita akan mengetahui bagaimana perilakunya, bisa mengetahui lebih banyak tentanya, bahkan bisa meramalkannya. Dengan kata lain, manusia berbeda dengan makhluq lainya adalah ketika ia mempunyai pengetahuan kreatif dan ilmiah mengenai benda-benda (ilmu eksakta), mengenai susunan batinnya (ilmu kejiwaaan), dan mengenai perilaku luar manusia sebagai suatu proses yang berjalan terus menerus dalam sebuah masa (ilmu kesejarahan).

Ketika kita tidak mampu berbicara tentang Tuhan kecuali dengan perumpamaan-perumpamaan, maka Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalu “ayat”. Disini manusia bertanggungjawab untuk mengungkapkan dan memahaminya. Untuk mengungkap realitas dibalik ayat tersebut (the ultimate reality), manusia harus menggunakan potensi akal pikirannya, dengan cara mengaitkan ketiga realitas diatas berdasarkan prinsip fundamental tentang kesatuan (unity) dan keseluruhan (totality).13

Ajakan untuk memahami relitas alam ini, sebenarnya sudah ada dalam AlQur’an. Bahkan ayat pertama kali turun kepada Muhammad adalah “bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan”. 14 Jadi, sejak pertama umat Islam telah ditantang untuk membawa teks, berupa alam raya. Alam raya sendiri artinya “tanda” yang menunjukkan kepada realitas di luarnya.15 Akan tetapi akal pikiran manusia belum merupakan segalanya. Karena peran penting manusia adalah membangun kembali gambaran ilmiuah dari realitas obyekltif dan menciptakan suatu tatanan moral yang berdasarkan pengetahuan ilmiah tersebut. Pemanfaatan alam semesta dengan kerangaka ilmiah tanpa disertai dengan suatu tatanan yang baik, atau mengetahui “nama-nama” tanpa memanfaatkannya, akan menjadi sesuatu yang menurut al-Qur’an adalah ‘abath, suatu perbuatan setan yang sia-sia, bahkan berbahaya. Hal ini persis seperti apa yang diungkapkan oleh Iqbal bahwa ‘aql (penalaran ilmiyah) tanpa ‘isyq (kreatifitas moral positif ) adalah perbuatan setan yang sesat, dan Barat jelas-jelas mengikuti hal ini menurut Iqbal. Sementara ‘isyq tanpa ‘aql, bukan hanya merupakan sesuatu yang steril, tetapi sesuatu yang jelas menipu diri sendiri, dan Iqbal menunjuk kaum Muslimin selama berabad-abad telah melakukan “pembohongan” ini.

Menuju Interelasi Ilmu dalam Islam
Sebenarnya manusia tidaklah memiliki pengetahuan sama sekali, yang memiliki hanyalah Allah. Ketika Allah menggelarkan al-Qur’an dan Alam semesta di hadapan manusia, maka manusia dengan sendirinya ditutut untuk mendapatkan pengetahuan tentang-Nya. Sehingga, ketika seseorang akan melakukan pembacaan, penelitian, dan menemukan sebuah hukum atau teori, semua itu dilakukan atas dasar lillahi ta’ala. Baginya, segala kegiatan keilmuan yang dilakukan atas nama Allah yang telah menciptkan manusia dan telah mengajar manusia segala sesuatu (QS. Al-Alaq [96]: 1, 2, dan 5).

Bagi ilmuwan Muslim, semestinya tidak mendasarkan kegiatan ilmiahnya semata-mata bersifat kognitif dan skill an sich, melainkan kesemuanya dilakukan atas dasar niat dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati nurani (conscience) yang paling dalam untuk memenuhi aturan-aturan Allah. Sehingga atara science dan con-science merupakan satu kesatuan dan totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali Imran : 79). Ketika mengembangkan dan menggali konsep teoritis dan praksis, semestinya tidak hanya berhenti pada the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada saat mengemukakan makna ruhani atau metafisika pada setiap pernyataan fisika.

Prinsip Tauhidiiyah ini, tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilainilai moral religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Tidak ada batas antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan niman.

Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya, sekaligus menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya.16 Sehingga ia tumbuh sebagai insan yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi, yakin sepenuhnya akan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas, keadilan-Nya yang tidak ada tandingannya, dan hidup dalam harmoni dengan alam.

Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan, yang mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat, dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta, yang mendasarkan setiap aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman interelasi antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran mutlak bagi pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Prinsip ini mirip dengan sebutan Chalen E. Westate sebagai “Spritual Welness”, yang diartikan sebagai suatu perwujudan pribadi yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi kehidupan lainnya.17 Selanjutnya ia mengemukakan bahwa ada empat dimensi “Spritual Welness” ini, (1), Meaning of Life, yaitu berkemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam setiap dimensi hidup secara terpadu dan utuh. (2), Intrinsik Value, yaitu memiliki nilai-nilai intrinsik sebagai perpaduan berprilaku. (3) Trancendence, yakni berkemampuan untuk mentransendensikan atau melakukan hubungan dengan dimensi yang lebih luas dan luhur. Dan (4), Community of Shared Values and Support, adalah berkemampuan dalam melakukan hubungan kemasyarakatan dengan dukungan nilai-nilai bersama.

Mempertimbangkan Spritualitas dalam Epistemologi Pendidikan 
Istilah spritualitas sering diartikan “miring” oleh banyak kalangan, terutama para pemikir muslim, karena istilah ini dikonotasikan kepada tradisi spritualitas Kristen. Tetapi, menurut Nasr, istilah spritualitas menunjukkan makna ruhaniyyah dalam bahasa Arab, dan memiliki arti ma’nawiyyah dalam bahasa Persianya.18

Semua itu berarti menunjukkan hal-hal batin yang hakiki dan interioritas (bagian dalam), sebagai lawan dari “yang kasat mata”. Selain itu, spritualitas diartikan sebagai bentuk kesempurnaan moral dan kemurahan jiwa sejauh menyangkut umat manusia, sebagai entitas dari kedekatan manusia dengan Penciptanya.19 Meskipun demikian spritualitas tidak begitu saja dimaknai sesuatu yang bersifat esoteris, yang merupaka lawan dari eksoteris. Ia memang sangat dekat dengan esoteris (al-Batiniyyah), tapi ia juga sangat dekat dengan eksoteris Islam, seperti hukum, teologi, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan. Esensi dari spritualitas Islam adalah realisasi dari ke-Esa-an Allah, mematuhi segala kehendak dan Hukum-Hukum Allah (sunnatullah), yang kesemuanya terkadung dalam alQur’an dengan segala sakramentalnya, melalui “bimbingan” dan teladan Nabi yang termanifestasi dalam hadis dan sunnah.

Dalam lintas spritualitas Islam, tradisi tasawuf atau sufi memiliki akar yang sangat mendasat dengan spritualitas Islam. Hal ini, dapat dilihat beberapa tulisan tentang spritualitas Islam, selalu merujuk pada khasanah tasawuf Islam.

Di lihat dari proses penghambaan (abd al-Lah) mereka kepada Tuhannya, mereka sangat mengunggulkan kesucian dan kemuliaan hatinya. Sehingga mereka (selalu menklaim) mampu sedekat mungkin dengan Tuhan. Gambaran ketataatan, ini sebenarnya dapat kita lihat dalam al-Qur’an “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan semua orang yang memanggil (berdo’a) jika Aku di panggil. (QS. Al-Baqarah [2] :186). Di ayat lain Allah pun menegaskan bahwa “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana kamu menghadap, disitu ada ‘wajah’ Tuhan. (QS. Al-Baqarah [2]: 115). Itu semua adalah metafora dari keniscayaan seseorang akan kedekatannya denga Tuhan.

Salah satu hadis Qudsi (kudus, suci) yang dijadikan landasan oleh kaum Sufi adalah “hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekati dirinya kepada-Ku, melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia, dan apabila Kucintai dia, maka Akulah Pendengar dengan apa yang ia dengar, mata dengan apa yang ia melihat, dan tengan dengan apa yang ia pegang, serta kaki dengan apa ia berjalan.20 Hadis ini menunjukan akar spritual Islam yang bersumber langsung dari Tuhan.

Inilah prototype kehidupan spritual dan kedalaman batin dengan Tuhan, yang menjadikan Nabi sebagai sumber spritualitas Islam, dan menjadikan Dzikr mengingat Allah terus menerus) sebagai kesatuan dalam setiap ritme kehidupan. 

Disinilah urgensi tradisi sufi, untuk dijadikan sebagai basis spritualitas dalam pendidikan Islam. Dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal, Danah Zohar dan Ian Marshal,21 secara terbuka mengutip puisi Jalaludin al-Rumi untuk mendukung teori

kecerdasan spritualnya. Di sini, khazanah sufi telah mampu mempengaruhi tradisi psikologi Barat Modern, di tengah kegalauan mereka akan kedamaian spritual.

Hal ini pula semakin mempertegas betapa kayanya khazanah tradisi spiritualitas Islam. Misalnya, pada abad III – VII H, kreatifitas dan dinamika sufistik telah mampu memberikan inspirasi pada pemikir-pemikir, baik dibidang filsafat, kalam, dan hukum. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Tufail, Suhrawardi, al-Ghazali, bahkan tokoh-tokoh ahli kimia dan fisika; al-Iraqi, Jubir Ibn Hayyan (penggali pertama ilmu aljabar), dan al-Razi (ahli Ilmu Optik) adalah orang-orang sufi. Begitu pula Nash al-Din at-Thusi dan Ibn Bana’ al-Marakusyi. 

Bahkan spiritualitas Sufistik telah mempengaruhi peradaban material. Hampir setiap bentuk seni mulai puisi, sajak cerita-cerita,sampai pada bentuk arsitektur; masjid, Istana memperlihatkan keterpaduan dengan sufi.22 Cerdas secara spiritual, merupakan kecerdasan yang berada pada bagian diri yang terdalam, kedalaman hati (deep insight), pemahaman dan kearifan berfikir.

Kecerdasan spritual juga akan memberikan kesadaran yang akan mendorong kita tidak saja untuk mengakui nilai-nilai “suci” tetapi juga secara kreatif akan menemukan nilai-nilai baru. Sehingga tidak heran jika Danah Zohar dan Ian Marshal, menyebut kecerdasan ini sebagai The Ultimate Intelligensi, puncak kecerdasan.

Kecerdasan ini, justru hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Sehingga basisnya adalah self its self (fithrah dalam Islam) dimana ia dituntut untuk mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu ia berasal, “perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjid atau dalam bahasa kaum Perennialis “alam surgawi”, dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Dengan konsep dasar (fithrah) yang termanifestasi dalam konsep “perjanjian primordial” inilah,23 menjadi modal bagi manusia untuk menjadikan kebaikan (tauhid, keesaan Tuhan) sebagai basis bagi semua prilaku manusia.24 Oleh karena itu, manusia musti berada pada kondisi “bersih” secara spritual.

Menjadikan kecerdasan sufistik, sebagai basis pembelajaran dalam pendidikan Islam, merupakan sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia. Tidak heran jika kemudian, Kuntowijoyo pernah merekomendasikan untuk memasukkan khazanah sufi kedalam pendidikan Islam. Karena Sufi telah mampu mentransendensikan hidup manusia, juga kekayaan yang terkandung di dalamnya, yang sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.

Kuntowijoyo menyebutkan substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), rajâ’ (sangat berharap), qonâ’ah (menerima pemberian Allah), tawakkal (pasrah), syukûr, ikhlâs, dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct teaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh nabi, para shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan, demikian juga sejarah, mitos dan sastra”.25 Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sastra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik,26 yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi trasendental (Ilahi Rabbi).

Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.

Catatan Kaki / Sumber Artikel di Atas
1 Dikutip dari tulisan A. Syafi’i Ma’arif. “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1991) hlm 147 – 148
2 Sains agama ini merujuk pada teologi (ilmu kalam), Hukum (termasuk fiqh, ushul fiqh dan lainlain), ulumul Qur’an, ulumul Hadits, dan lain-lain. Sains rasional biasanya meliputi ilmu-ilmu filsafat, retorika, aritmatika, astronomi, kedokteran, dan lain-lain. Amrullah Ahmad. “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1991) hlm 83
3 Lihat Fazlur Rahman. Islam Dan Modernitas; Tantangan Transformasi Intelektual. (Bandung: Pustaka. 1985) hlm 39
4 Misalnya tentang persoalan epistemologis praksis dari pemberlakuan integrasi ilmu di UIN, sepertinya hanya didasarkan pada kebutuhan pragmatis dan apologis. Realisasi dari persoalan apakah integrasi itu adalah pemberlakuan nilai-nilai Islami, yaitu setiap ilmu umum di “sinari” dengan nilai-nilai Islam, ataukah disiplin ilmu itu berdiri sendiri meskipun didalamnya ilmu-ilmu dasar Islam diajarkan? Yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati adalah pemberian gelar yang “jelas-jelas” memperlebar dikotomi antara Perguruan Tinggi Agama (UIN) dan Perguruan Tinggi Umum
5 Abdul Munir Mulkhan. Nalar Spritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Tiara Wacana. 2002) hlm. 188
6 Kesuksesan ini bisa kita baca penuturan salah satu muridnya, Muhammad Rasyid Ridha dalam buku Tarikh al-ustadz al-Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh, (Kairo : Dar al-Maarif. 1931) hlm. 254
7 Lihat Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf, Crisis Muslim Education, (Jeddah : King Abdul Aziz University. 1979) hlm 56
8 M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an (Bandung : Mizan. 1999) hlm 234 
9 Misalnya ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. 
10 Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. (Bandung: Mizan. 2003) hlm 144
11 Fazlur Rahman. “The Qur’anic Consept of God” dalam Islamic Studies, Jilid VI, no. 1. 1967, hlm 8 – 11.
12 Ibid., hlm. 8 – 11
13 Imam Chanafie Al-Jauhari. Hermeneutika Islam; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global,
(Yogyakarta : Ittaqa Press. 1999) hlm 53
14 QS. Al-‘Alaq [96]: 1
15 Komaruddin Hidayat, “Melampaui Nama-Nama Islam dan Postmodenisme” dalam edy A. Efendi (ed) Dekonstruksi Mazhab Ciputat. (Bandung : Zaman Wacana Mulia. 1999) hlm. 96
16 Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1996) hlm 23 – 24
17 Dikutip dari Muhammad Surya, “Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Tauhi Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. (Bandung : Nuansa. 2000) hlm 84 – 85
18 SH. Nasr. Spritualitas dan Sni dalam Islam. (trj) (Bandung : Mizan. 1993) hlm. 16. terutama pada footnote 9
19 Bandingkan dengan SH. Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis; Spritualitas Islam, (trj), (Bandung : Mizan. 2002) hlm xxii
20 Hadis ini penulis kutip dari buku SH. Nasr Islam; Antara Cita dan Fakta, (trj). (Yogyakarta : Pusaka. 2001) hlm 57
21 Danah Zohar dan Ian Marshal. SQ ; Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik  dan Holistik untuk memahami Hidup (trj). (Bandung : Mizan. 2000)
22 Pengaruh ini dapat dilihat dalam buku SH. Nasr. Spritualitas dan Seni Islam. (Bandung: Mizan. 1993)
23 Yang dimaksud dengan “perjanjian primordial” ini adalah suatu ikatan janji yang terjadi pada zaman azali dengan Tuhan dan manusia, bahwa manusia primordial mengakui Dia sebagai Tuhan. Hal ini dapa kita baca QS. Al-A’raf [8] : 172)
24 Munzir Hitami. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. (Pekanbaru : Infinite. 2004) hlm 11 – 14.
25 Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998)
26 Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, hlm 184