Baca Juga

Pengertian Dan Peranan Asas Hukum 
Dalam ilmu hukum yang dimaksud dengan asas adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim, yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Lebih lanjut, beberapa pakar memberikan pengertian asas hukum, seperti Paul Scholten yang memberikan pengertian asas hukum sebagai berikut :

“Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya dimana ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya”.

Kemudian Satjipto Rahardjo, mengartikan asas hukum sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian, asas hukum menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakatnya. Asas-asas hukum berfungsi untuk menafsirkan aturan-aturan hukum dan juga memberikan pedoman bagi suatu perilaku. Asas hukum pun menjelaskan dan menjustifikasi norma-norma hukum, dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai ideologis tertib hukum.

Smits, memberikan pandangannya bahwa asas hukum memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu : Pertama, asas-asas hukum memberikan keterjalinan dari aturan-aturan hukum yang tersebar; Kedua, asas-asas hukum dapat difungsikan untuk mencari pemecahan atas masalah-masalah baru yang muncul dan membuka bidang-bidang liputan masalah baru. Dari kedua fungsi tersebut, diturunkan fungsi ketiga, bahwa asas-asas dalam hal-hal demikian dapat dipergunakan untuk “menulis ulang” bahan-bahan ajaran hukum yang ada sedemikian rupa, sehingga dapat dimunculkan solusi terhadap persoalan-persoalan baru yang berkembang.

Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum bertujuan untuk memberikan arahan yang layak/pantas menurut hukum (rechtmatig) dalam hal menggunakan atau menerapkan aturan-aturan hukum. Asas hukum berfungsi sebagai pedoman atau arahan orientasi berdasarkan mana hukum dapat dijalankan. Asas-asas hukum tersebut tidak saja akan berguna sebagai pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit, tetapi juga dalam hal menerapkan aturan.

Asas-Asas Dalam Peruran Daerah di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Di dalam hukum pembentukan peraturan daerah dimuat sejumlah asas-asas hukum, dimana pilihan asas itu haruslah dilandasi oleh filosofi dan tujuan pengembangan dan penerapan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, dan pada gilirannya asas-asas tersebut terjabarkan dalam draf ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah terkait dengan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan nantinya.

Secara khusus penerapan Retribusi lalu lintas dan angkutan jalan memuat asas-asas/prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Kelestarian 
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian” adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Kewajiban dan tanggung jawab itu ditunjukkan melalui upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup, yang diwujud dengan memfasilitasi identifikasi opsi-opsi pembangunan/upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan dengan alternatif rancangan/usulan yang lebih baik. 

2. Keberlanjutan 
Yang dimaksud dengan keberlanjutan adalah adanya kesinambungan antara kebijakan yang akan diambil dengan kebijakan sebelumnya baik itu dalam aspek perencanaan, penyelenggaraan ataupun pemanfaatan sumber daya sektor transportasi. Terkait dengan penerapan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, pendapatan yang diperoleh dari Retribusi dari bidang lalu lintas dan angkutan jalan harus dimanfaatkan kembali untuk peningkatan layanan sektor transportasi secara berkelanjutan, sehingga penerapan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan harus merupakan kelanjutan bahkan peningkatan dari kebijakan demand manajemen yang sebelumnya telah diambil dan bukan malah sebaliknya. 

3. Keserasian dan keseimbangan 
Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem. Dalam hal ini penyelenggaraan-nya senantiasa dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan, keadilan dan kesetaraan berdasarkan kepentingan sosial.

4. Manfaat 
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya. 

5. Keterpaduan 
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau mensinergikan berbagai komponen terkait. Dalam hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk: 
  • Memastikan bahwa penerapan dan pengembangan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sudah relevan untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan. 
  • Memuat saling keterkaitan antara aspek biofisik, sosial, dan ekonomi untuk setiap pemanfaatan ruang. 
  • Terkait secara hierarkis dengan kebijakan di sektor tertentu dan wilayah (lintas batas) termasuk dengan sektor keuangan. 
6. Kehati-hatian (pencegahan) 
Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian atau pencegahan” adalah bahwa setiap usaha atau kegiatan harus disusun berdasarkan perencanaan yang matang sehingga dapat dilakukan antisipasi atau upaya untuk mencegah dan mengurangi kerusakan lingkungan. Upaya ini dilakukan mulai dari tahap perencanaan yaitu tentang pemilihan lokasi karena terkait dengan penataan ruang, pemilihan egiatan atau usaha, pemilihan teknologi, proses produksi atau pelaksanaannya. 

7. Pencemar membayar 
Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Dalam konteks transportasi adalah pengguna membayar. 

8. Partisipatif 
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Asas ini dapat diwujudkan sebagai berikut :
  • Memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang berkepentingan, masyarakat yang potensial terkena dampak, dan instansi pemerintah disepanjang proses pengambilan keputusan. 
  • Terdokumentasi secara eksplisit segala masukan dan pertimbangan yang mengemuka di dalam proses penetapan penerapan Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. 
  • Memiliki kejelasan informasi yang mudah dipahami, serta menjamin akses yang memadai untuk semua informasi serta fasilitas Retribusi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang dibutuhkan. 
9. Tata kelola pemerintahan yang baik 
Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. 

10. Otonomi 
Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Selain itu, asas-asas yang harus dimuat dalam penyusunan peraturan daerah termasuk Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu dari sudut pandang :

1. Materi Muatan Peraturan Daerah :
Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dilihat dari sudut pandang muatan peraturan daerahnya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana digambarkan di bawah ini.

Sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang No. 10 Tahun 2004, disebutkan bahwa :

“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”

Kemudian, Peraturan Daerah tersebut harus pula sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Jo Pasal 138 Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yang menentukan bahwa “Materi Perda harus memperhatikan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, dan yang terpenting ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang No.10 Tahun 2004 jo Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 bahwa materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan / atau peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam penjelasan Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa :

“Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang”. 

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 Peraturan Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi sebagai berikut:

Pasal 185, berbunyi sebagai berikut :
  1. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
  2. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
  3. Apabila Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur.
  4. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.
  5. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya. 

Pasal 186, berbunyi sebagai berikut :
  1. Rancangan bersama dan rancangan Peraturan Bupati/ Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
  2. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/ Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Apabila APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota.
  4. Apabila APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi.
  5. Apabila DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
  6. Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri.

Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda dengan perturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal. 

Raperda yang mengatur pajak daerah, dan retribusi daerah, sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota.

Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan retribusi diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158 Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, khususnya berkaitan dengan Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 157 berbunyi sebagai berikut :
  1. Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. 
  2. Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.
  3. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
  4. Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih Tinggi.
  5. Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
  6. Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan.
  7. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.
  8. Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan dengan disertai alasan penolakan.
  9. Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan.
  10. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

Kemudian Pasal 158 berbunyi sebagai berikut : 
  1. Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.
  2. Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
  3. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  4. Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.
  5. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
  6. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.
  7. Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
  8. Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
  9. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.
Selanjutnya sesuai Pasal 159 Undang-undang No.28 Tahun 2009 daerah yang tidak menyampaikan Perda tentang Pajak dan Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.

2. Urgensi Harmonisasi Peraturan Daerah dengan Peraturan Perundang-undangan Lain.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua peraturan perundang-undangan termasuk Perda baik secara vertikal maupun horisontal. 

Dalam Undang-undang No.10 Tahun 2004 terdapat rambu-rambu yang mengarahkan pada pentingnya harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk semua jenis peraturan perundang-undangan termasuk Perda. 

Pasal 5 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Asas Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa :

”Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi :
  • Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
  • Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
  • Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
  • Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang- undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
  • Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  • Asas kejelasan rumusan. adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
  • Asas keterbukaan. adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Kemudian, Pasal 6 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut :
(1) Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas :
  • Asas pengayoman. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
  • Asas kemanusiaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
  • Asas kebangsaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
  • Asas kekeluargaan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Asas kenusantaraan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
  • Asas bhinneka tunggal ika. adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  • Asas keadilan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
  • Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
  • Asas ketertiban dan kepastian hukum. adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
  • Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
(2) Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan", antara lain:
  • Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
  • Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.