Baca Juga



Beberapa hari ini hatiku tengah merasakan perih yang teramat sangat. Kurasa inilah patah hati terkejam yang pernah kualami. Sakitnya tak terlupakan meski sudah kucoba main game semalam suntuk dan menonton DVD-DVD komedi sepanjang hari. Penghianatan Ivi dan Zake itu meninggalkan luka yang sepertinya akan membekas selamanya di hatiku.

Kucari pelampiasan lain dengan meluncur ke rumah nenek pagi tadi saat bolos sekolah. Kuharap kedamaian panorama desa mampu meredam amarah di hatiku. Dan tiba di desa tiga jam lalu, tanpa izin kakek nenek aku langsung menuju Telaga Warna, tempat mancing favorit semasa tinggal aku di desa dulu. Lokasinya berada di hutan desa tidak jauh dari perkampungan.

Sudah lebih satu jam aku nongkrong setia menunggu lele, gabus, sepat atau wader menyambar umpan di pancing. Hari sudah di ambang maghrib. Suasana telaga begitu sejuk. Banyak juga pemancing selain aku. Tujuh meter di sebelahku ada mas Jono, tetangga nenek. Dan pendapatanku cukup lumayan untuk ukuran anak kota yang telah tujuh tahun tak mengail di sini. Ada sekitar sekiloan mungkin.

Dan semakin sore ikan-ikan sepertinya semakin lapar saja. Semakin sering pancingku bergetar ditarik ikan. Jantungpun ikut berdebar senang sekaligus takut kalau-kalau ikan tersebut lepas. Tapi kenikmatan itu kadang terusik apabila melintas di pikiran tentang penghianatan mereka. Dan tanpa sadar bayanganku kembali ke kejadian tiga hari lalu.

Sore itu cuacanya cerah mirip sore ini. Aku sendirian berjalan menghirup udara taman kota. Sedikit tak enak sebenarnya, menyaksikan rata-rata pengunjung taman berdua bersama pasangannya. Rasanya aku seperti orang asing berada di tempat yang salah. Tapi bagaimana lagi, pacarku tidak bisa kua ajak jalan. Katanya ada pertemuan organisasi yang tak bisa ditinggalkan.

Tapi sebenarnya sore itu aku ditipu, karena kemudian di taman kupergoki Ivi dan Zake tengah berduaan. Awalnya kucoba berprasangka baik sebab mereka sudah biasa berdua menjalan tugas organisasi, Zake ketua OSIS dan Ivi sekretarisnya.

Tapi pantaskah di areal taman seperti ini? Tentu saja tidak! Karena selanjutnya kulihat tangan Ivi digenggam erat Zake, tatap mata Zake lembut dan lurus ke wajah Ivi yang tengah ceria bercerita. Serta merta prangsangka baikku berubah menjadi marah dan cemburu!

"Inikah yang kamu bilang kegiatan penting itu? Pembohong!" bentakku tanpa basa basi tepat di depan dua sejoli penghianat itu.

Mereka sangat terperanjat, wajah keduanya pucat seperti pencuri amatir tertangkap basah!

"Ndra! Ayo pulang," panggil mas Jono tiba-tiba, yang serta merta membuyarkan lamunanku.

"Mas Jono duluan saja," sahutku singkat.

"Sebentar lagi maghrib lho ini, ndak baik masih di sini maghrib-maghrib."

"Ya, Mas, bentar lagi juga saya nyusul pulang."

"Yo wis. Hati-hati dan cepet pulang, ya," katanya.

Aku mengangguk. Pasti Mas Jono kuatir kalau-kalau aku jadi korban mahluk gaib penghuni Telaga Warna. Banyak penduduk desa percaya di dasar telaga ini terdapat kerajaan lelembut yang kerap meminta korban dari kaum manusia untuk dijadikan pekerja di sana.

Mungkin dulu saat masih berstatus bocah katrok, bolehlah aku takut dengan pemahaman itu. Tapi sekarang, semenjak aku tinggal di kota metropolis yang akrab dengan internet dan aneka peralatan canggih, jelas aku sudah tidak mempercayainya sama sekali. Memang beberapa tahun lalu, lek Ardi, pamanku sendiri tewas tenggelam di telaga ini. Tapi menurutku peristiwa itu terjadi karena tidak pandainya lek Ardi berenang. Mayatnya di temukan lima jam kemudian terapung di permukaan telaga.

Logikanya, andai benar dijadikan pekerja di kerajaan bawah telaga, tentu jasad lek Ardi tidak ditemukan, sebab orang berkerja pastilah menggunakan raganya. Tapi mbah Darmo, sesepuh desa ini mengatakan kalau orang-orang yang tewas di telaga sebenarnya belum mati. Mayat yang ditemukan itu hanya tiruan yang dibuat oleh mahluk gaib telaga Warna. Tubuh sejatinya jadi pekerja paksa di kerajaan.

Ah... makin ngaco. Aku geli sendiri. Kalau benar begitu kenapa berjuta pengangguran Indonesia tidak dikirim saja ke negeri Telaga Warna. Daripada ke luar negeri yang terkadang nasibnya tak pasti itu?

"Wow! Lele lagi!" seruku girang. Di mata kail seekor ikan lele sebesar jempol kaki menggeliat-liat liat. Sore-sore begini memang ikan lele lebih mendominasi pendapatan. Ikan berprotein tinggi kesukaanku. Digoreng kering tanpa ditambah bumbu apapun, dimakan bersama nasi liwet yang masih mengepul. Yummy! Sayang kalau cepat-cepat pulang. Lagian belum terlalu sore. Orang-orang yang memancing juga masih terlihat ada beberapa orang selain aku. Tidak perlu cemas.

Arghh… Kenapa tiba-tiba aku begitu kangen sama Ivi. Hatiku seperti dibelai-belai sebuah perasaan yang mendalam entah apa namanya. Ivi yang dulu begitu gencar kukejar. Hanya bersamanya aku merasakan bahagia yang beda dari beberapa kisah kasih yang pernah kujalani sebelumnya. Kuanggap Ivi gadis yang tepat buatku. Bahkan aku berani berangan dialah pasangan hidupku di masa depan.

Tapi tak kusangka ia tega berbagi cinta dengan Zake sahabatku sendiri! Zake juga kurang ajar! Seringnya kebersamaan telah menciptakan semangat cinta lokasi di antara mereka. Perselingkuhan!

Allahu Akbar Allahu Akbar…..

Astaga! Sayup-sayup kumandang Adzan Maghrib dari Mushalla desa, langsung menyadarkanku kalau aku telah tinggal sendirian di Telaga Warna. Suasana sudah mulai remang-remang. Para pemancing sudah pulang tanpa sepengetahuanku. Aku segera bangkit dan buru-buru membenahi semua peralatan pancing.

Sial! Saking tergesa-gesa wadah ikanku jatuh ke dalam air telaga. Tanpa pikir apapun aku langsung terjun ke dalam telaga sebelum ikan-ikan hasil jerih payahku itu kembali lepas ke air bebas. Syukur aku berhasil mendapatkanya lagi. Tapi jiwa beraniku sedikit terongrong teringat hal yang tidak-tidak. Buru-buru aku naik ke daratan dan ingin segera pulang.

Baru satu langkah menuju pulang, tiba-tiba srett! Byuurr....! Aku terpeleset dan tercebur sekali lagi ke dalam telaga. Beberapa detik kurasakan gelapnya air telaga. Aku mulai takut dan tak sabar ingin cepat-cepat mentas. Tapi oh tidak! Kenapa aku tak kuasa melakukannya? Seperti ada beban berat pada kedua kakiku. Dadaku sesak sudah sangat butuh oksigen. Sekuat tenaga yang ada kukerahkan berusaha berenang menuju permukaan. Tapi tak bisa, justru kurasakan lamat-lamat tubuhku semakin dihisap ke dasar telaga. Aaaaagh…. Aku berusaha berteriak sejadi-jadinya.
Telaga Angker


*****

"Pangeran..." sebentuk suara jernih menyentuh telingaku. Seraut wajah tirus mempesona kemudian tampak di mataku. Sejuta tanya meramaikan benakku.

"Selamat datang di Keraton Telaga Warna. Saya putri Dwitasari, Permaisurimu...." ucapnya merdu dan lembut.

Aku tak percaya. Dia mengganguk-angguk anggun. Senyumnya terulas indah. Bola matanya berkilau biru. Belum pernah kulihat sebelumnya cewek sesempurna ini. Apakah dia salah satu bidadari dari tujuh?

"Mari berkeliling ke negeri kita, Pangeran," ucapnya sambil menuntunku hangat.

Di surgakah aku berada sekarang? Semua yang tampak di pelupuk mata hanya keindahan-keindahan yang kukhayalkan saja belum pernah. Bangunan-bangunan megah menjulang indah. Jalan-jalan bersih dan teratur. Bunga-bunga bermacam warna mekar di berbagai tempat menghasilkan udara yang wangi dan segar. Aneka pepohonan tumbuh rimbun memberi keteduhan nan hijau serta memamerkan buah-buah yang ranum. Siapaun boleh puas memetiknya.

Rakyat yang berwajah ramah, ceria dan salam hormat pada kami. Mereka mengenakan busana bagus. Saling senyum dan bertutur sapa. Benar-benar sebuah negeri yang sentosa.

"Inilah kerajaan kita, Pangeran," ucap Sang Putri.

"Kerajaan? Tapi tidak kulihat satupun prajurit bersenjata di sini?"

"Di sini kemakmuran merata. Dirasakan semua warga kerajaan dan semua bersatu menjaga kemakmuran. Tidak pernah ada ketidakpuasan di sini, Pangeran."

*****

Aku takjub dengan negeri hebat ini. Negeri tanpa kesengsaraan dan penindasan. Wajar kalau aku langsung lupa dengan sakit hatiku. Setiap waktu aku didampingi Putri Dwitasari, sang permaisuri yang kecantikannya sungguh cantik sekali. Menikmati jamuan-jamuan lezat yang selalu tersaji. Menonton pertunjukan-pertunjukan seni. Entah sudah berapa lama aku di sini. Yang pasti setiap hari kulewati dengan pelayan paling terhormat sebagai raja sejati.

Tapi setelah sekian lama hatiku mulai terusik kerinduan, kerinduan akan negeri pertiwi yang entah di mana adanya. Negeri yang kutahu rawan bencana dan korupsi. Rindu ayah ibuku, kakek nenek serta saudara-saudaraku yang mungkin saat ini sedang kehilanganku. Apakah Ivi dan Zake juga merasa kehilanganku? Aku ingin kembali sekolah, memakai putih abu-abu berpacu mengukir prestasi bersama sesamaku.

"Aku ingin pulang!"

"Pulang?! Tidak ada seorangpun yang sudah berada di kerajaan ini kembali ke asalnya," tolak Putri Dwitasari saat kukatakan niatku.

"Bodo amat! Aku sudah tidak mau berada di sini. Aku harus pulang!"

"Untuk apa? orang-orang telah menganggapmu mati tenggelam di telaga."

"Persetan!" kataku keras.

"Tidak! Engkau akan tinggal di sini selamanya. Engkau sebenarnya sangat beruntung kupilih menjadi pendampingku. Manusia-manusia lain menjadi budak di sini. Jadi, jangan menuntut yang bukan-bukan, Pangeranku!" katanya sedikit membentak.

"Aku bukan pangeranmu!" aku balas membentak. Kutanggalkan pakaian kebesaran serta atribut istana, kulemparkan ke lantai. Kemudian aku melenggang keluar istana. Aku akan pulang dengan caraku sendiri.

*****

Lama aku berjalan tanpa isrirahat, seluruh badan sudah terasa letih, tapi jalan pulang tak kunjung kutemukan. Semua yang kutanya tak satupun tahu.

Tiba-tiba langkahku terhenti! Aku melihat Lek Ardi, pamanku yang tiga tahun lalu dinyatakan mati tenggelam di telaga, saat ini ada di depanku, sibuk menyapu jalanan.

"Lek Ardi?!" panggilku gembira menemukan orang yang bisa kuajak bersama-sama mencari jalan pulang. Tapi dia tidak mengindahkan panggilanku.

"Lek Ardi! Aku Andra keponakanmu. Ayo kita pulang, Lek..."

Dia tetap gita bekerja dan tak mempedulikanku.

"Lek Ardi!" teriakku tepat di depannya. Barulah dia mau menatapku, tatapannya begitu sedih seolah menahan penderitaan yang sangat berat. Namun tetap membisu tanpa sepatah kata seolah tak mengenaliku, kemudian kembali berkerja tanpa menghiraukan kehadiranku.

"Negeri sialan!" umpatku sembari meneruskan langkah lebih tergesa.

Di antara warga kerajaan yang selalu mengumbar senyum kemakmuran, baru kusadari ternyata ada juga orang-orang yang selalu bekerja dengan sinar derita di mata mereka. Pasti mereka dari kaumku yang dijadikan budak di tempat ini.

Aaaaaa ….! Aku berteriak frustasi. Aku terduduk di bawah sebuah pohon. Tanpa sadar aku menangis di tempat itu.

"Pangeran..." Putri Dwitasari, entah kapan tibanya tiba-tiba telah berada di sampingku, memegang pundakku lembut.

*****

Selepas Adzan Isya aku sampai di depan rumah nenek. Kulihat keadaan rumah cukup benderang dan banyak sandal teronggok di depan pintu. Sampai di depan pintu barulah kutahu di dalam memang ada banyak orang tengah khusuk membaca ayat-ayat suci berbahasa arab. Ada ayah ibuku, kakek nenek, para kerabat lain, tetangga dan beberapa teman sekolah. Ivi dan Zake juga tampak di situ. Ragu aku hendak memberi salam atau sekedar mengetuk pintu.

"Andra?!" seru Ibu saat pandangannya ke arah pintu. Bacaan wirid spontan terhenti. Semua yang hadir serempak melihat ke arah pintu. Mereka semua terperanjat! Bahkan beberapa orang di antaranya kemudian berlarian ke pojok ruangan. Ketakutan!

"Andra kamu pulang?!" Ibu berlari memelukku erat penuh kerinduan. Kamipun bertangisan. Aku disangka sudah mati. Ramainya rumah nenek malam ini karena melaksanakan peringatan empatpuluh hari kematianku. Mayatku ditemukan esok paginya dari hari aku memancing sore itu.

"Jangan takut. Dia memang benar Andra. Alhamdulillah. Ini benar-benar keajaiban, penghuni telaga berkenan membebaskanya," jelas mbah Darmo.

Suasana menjadi tenang. Zake memandangku penuh penyesalan. Kulihat Ivi tersenyum di antara wajah sedihnya.

Aku malu sekali dulu pernah menyepelekan Mbah Darmo tentang adanya kerajaan bawah telaga. Sekarang ini, aku sendiri justru menjadi bagian negeri itu.

*****

Jam istirahat di SMU tempatku menuntut ilmu. Aku, Zake dan Ivi berkumpul di belakang perpustakaan. Hampir lima menit kami di sana tapi masing-masing masih membisu.

"Mungkin secara tidak langsung, kejadian yang kamu alami ada hubungannya dengan kesalahanku. Aku sangat menyesal. Aku minta maaf," ucap Zake membuka obrolan.

Aku masih terdiam. Hanya sedikit menghela nafas.

"Kembalilah pada Ivi, Dra."

"Apa?!" kataku sedikit terkejut.

"Ivi masih mencintaimu, Dra. Waktu kamu menghilang, dialah orang yang paling bersedih. Dia juga yang paling berbahagia saat kemarin kamu kembali."

Aku menoleh ke arah Ivi, menatap wajah cantiknya cukup lama. Benar kata Zake, aku bisa menemukan cinta dan kerinduan dalam bola matanya.

"Tidak, Zak. Kamu harus tetap bersama Ivi," kataku pelan.

Ivi menatapku tak percaya, sebulir airmata meleleh di mata kanannya.

"Ndra, Ivi sangat mencintaimu."

"Kamu juga mencintainya kan?"

"Tapi aku gak mau menghianati persahabatan kita."

"Dengar Zak, sebagai sahabat, aku ingin kamu bisa menbahagiakan Ivi. Dan kita tetap bersahabat," kutepuk pundak Zake meyakinkan ucapanku.

"Andra...." panggil Ivi terisak.

"Ivi, kuharap kamu nggak akan menghianati cinta Zake..." kataku untuk kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka sebelum hatiku semakin perih akibat kebohonganku sendiri.

Iya. Sejujurnya aku juga masih mencintai Ivi. Kalau boleh aku ingin pacaran kemarin berlangsung kembali. Tapi hatiku kecut! Bayang-bayang ancaman Putri Dwitasari terus menerorku. Bahwa siapapun cewek yang kupacari akan dimatikan olehnya. Hanya dia yang boleh memilikiku selamanya.

Aku diperbolehkan berada di lingkungan manusia hanya 7 hari pertama dalam setiap bulan. Selebihnya aku harus kembali ke Keraton Telaga Warna! Itulah kesepakatan terakhir yang terpaksa kuturuti. Dan hari ini sudah tujuh hari sejak kepulanganku. Malam nanti tubuh sejatiku akan dijemput paksa ke telaga, digantikan tubuh palsu bukan diriku tapi mirip diriku, dibuat oleh mahluk-mahluk gaib Keraton Telaga Warna. Di sana aku seorang Pangeran. Entah sampai kapan?

******

Cerita ini terinspirasi gara-gara kemarin mancing di sebuah telaga yang konon kabarnya di dalamnya terdapat kerajaan gaib. Dan aku sempat kecemplung, tapi nggak apa-apa.

Cerpen Lainnya: Gue Gak Mau Terkutuk