Baca Juga

Pengertian Dan Istilah-istilah Perpajakan 
Pengertian Perpajakan 
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 tahun 2008.

Dasar Hukum
1. Undang – undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007;
2. Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 36 tahun 2008;
3. PMK : No. 252/PMK.03./2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. (PMK-252)
4. PMK : No. 250/PMK.03/2008 tentang Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun. (PMK-250)
5. PMK : No. 206/PMK.011/2012 tentang Bagian darp Penghasilan harian yang tidak dipotong pajak penghasilan untuk karyawan harian lepas.
6. PMK No: 162/PMK.011/2012 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
7. PMK No: 206/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.

Istilah – Istilah
1. Pejabat Negara adalah:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR/MPR, DPRD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
c. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung;
e. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung;
f. Menteri, Menteri Negara, dan Menteri Muda;
g. Jaksa Agung;
h. Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi;
i. Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten;
j. Walikota dan Wakil Walikota;

2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan PNS lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang – undang Nomor 8 Tahun 1974.

3. Pegawai adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah.

4. Pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung.

5. Pegawai dengan status wajib pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan/atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.

6. Tenaga lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.

7. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lali, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.

8. Penerima honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.

9. Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.

10. Upah harian adalah upah yang terutang atau yang dibayarkan atas dasar hari kerja.

11. Upah mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.

12. Upah borongan adalah upah yang terutang atau yang dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu.

13. Upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan produk yang dihasilkan.

14. Honorarium adalah imbalan atas jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan.

15. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.

16. Magang adalah aktifitas untuk memperoleh pengalaman dan atau keterampilan dan atau keahlian sehubungan dengan Pekerjaan yang akan dilakukan.

17. Beasiswa adalah pembayaran kepada pegawai tetap, tidak tetap, dan calon pegawai, yang ditugaskan oleh pemberi kerja untuk mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh pemberi kerja yang terikat dengan kontrak atau perjanjian kerja atau pembayaran yang dilakukan oleh suatu instansi kepada orang pribadi yang tidak mempunyai ikatan kontrak atau perjanjian kerja untuk mengikuti suatu program pendidikan.

18. Kegiatan adalah keikut-sertaan dalam suatu rangkaian tindakan, termasuk mengikuti rapat, siding,seminar, lokakarya (work shop), pendidikan, pertunjukan, dan olahraga.

19. Kegiatan multi level marketing atau direct selling adalah suatu sistem penjualan secara langsung kepada konsumen yang dilakukan secara berantai oleh orang per orang sebagai distributor perusahaan multi level marketing atau direct selling.

20. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Pemotong Pajak dan Penerima Penghasilan Yang Dipotong Pajak
1. Pemotong pajak PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26, yang selanjutnya disingkat pemotong pajak adalah :
a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga – lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan;
c. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan – badan lain yang membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
d. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status wajib pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas nama sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya; 
e. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lain sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status wajib pajak luar negeri;
f. Yayasan (termasuk yayasan dibidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olah raga, kebudayaan), lembaga kepanitian, asosiasi, perkumpulan, organisasi masa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayaran gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi;
g. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
h. Penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

2. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga badan atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan pemotong pajak berdasarkan keputusan menteri keuangan sesuai dengan ketentuan pasal 21 ayat (2) Undang – undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang nomor 36 Tahun 2008.

3. Perusahaan dan badan termasuk badan usaha milik Negara dan badan – badan usaha milik daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan badan atas organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai pemotong pajak berdasarkan menteri keuangan sesuai dengan ketentuan pasal 21 ayat (2) Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang Nomor 36 tahun 2008.

Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh pasal 26 berdasarkan keputusan ini adalah orang pribadi serta orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan dari pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.

Tidak Termasuk Penerima Penghasilan
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan adalah:
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998 dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penghasilan Yang Dipotong Pajak
1. Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjang iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tatiem, gratifikasi, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, prsmi tahunan dan pengashilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
c. Uang harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan;
d. Uang tebusan pension, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua dan pembayaran sejenis lainnya;
e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri, terdiri dari:
(1) Tenaga ahli
(2) Pemain music, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
(3) Olahragawan;
(4) Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
(5) Pengarang, peneliti, penterjemah;
(6) Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, computer dan system aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan social;
(7) Agen iklan;
(8) Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan pemberi jasa kepada suatu penelitian peserta siding atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegitan;
(9) Pembawa pesanan atau yang menemukan
(10) Peserta perlombaan;
(11) Petugas penjaja barang dagangan;
(12) Petugas dinas asuransi;
(13) Peserta pendidikan, pelatihan dan pemagang;
(14) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnnya.

f. Gaji, gaji kehormatan dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh pejabat Negara, pegawai negeri sipil serta uang pension dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pension yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda atau anak-anaknya.

2. Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang dibelikan oleh bukan wajib pajak atau wajib pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dan dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (demand profit).

3. Penghasilan yang dipotong PPh pasal 26 adalah imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dengan status wajib pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan dasar dan kegiatan.

4. Untuk keperluan perhitungan PPh pasal 21 atau PPh pasal 26, penghasilan yang diterima, atau diperoleh dalam mata uang asing dihitung berdasarkan nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh menteri keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.

Tidak termasuk dalam pengertian Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21
Tidak termasuk dalam pengertian Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah 
1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak;
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan Iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah;
5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja;
6. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

Pengurangan Yang Diperbolehkan
1. Besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasar penghasilan bruto dikurangi dengan:
a. Biaya jabatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang doperkenankan sejumlah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan;
b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

2. Besarnya penghasilan neto penerima pensiun ditentukan berdasar penghasilan bruto yang berup uang pensiun dikurangi dengan biaya pensiun, yaitu biaya untukmendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.

3. Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai dihitung berdasar penghasilan netonya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang jumlahnya adalah sebagai berikut : Setahun atau sebulan (a). untuk diri pegawai Rp 24.300.000,00 atau Rp 2.025.000,00 (b). tambahan untuk pegawai yang kawin Rp 2.025.000,00 atau Rp 168.750,00 (c). tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang Rp 2.025.000 atau Rp 168.750,00.

4. Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

5. Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah – rendahnya kecamatan ) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sejumlah Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) setahun atau Rp 168.750,00 (seratus enam puluh depalan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah) sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya.

6. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwin. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwin, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwin yang bersangkutan.

7. Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam poin 1 tidak berlaku terhadap penghasilan – penghasilan sebagaimana dimaksud dalam penghasilan yang dipotong pajak poin 1 huruf c, huruf d, dan huruf e.

8. Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 3 tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib pajak Luar Negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak Luar Negeri adalah penghasilan bruto.

Penghasilan Tidak Kena Pajak Untuk Pegawai Harian, Mingguan, Pemagang, dan Pegawai Tidak Tetap Lainnya
1. Penghasilan bruto yang diterima pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan pegawai tidak tetap lainnya berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sehari, tidak dipotong PPh Pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tersebut dalam satu bulan takwin tidak melebihi Rp 2.025.00,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) dan tidak dibayarkan secara bulanan.
2. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, serta pegawai tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp 200.000,00 sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp 2.025.00,00, maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp 150.000,00
3. Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp 2.025.000,00, maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360.
4. Dalam hal penghasilan dibayarkan secara bulanan, maka PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan.
5. Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan upah harian, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya.
6. Atas penghasilan berupa bea siswa, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya.
7. Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.
8. Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak 
1. Setiap Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
2. Kewajiban sebagai Pemotong Pajak berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai pasal 21 Ayat (2) Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir – formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
4. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim.
5. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank, Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau bank – bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat – lambatnya tanggal 10 takwim berikutnya.
6. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat – lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim.
7. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
8. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
9. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2(dua) bulan setelah tahun takwim berakhir.
10. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat – lambatnya 1 (satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
11. Dalam waktu 2(dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2008.
12. Jumlah penghasilan yang menjadi dasar perhitungan PPh pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) didasarkan pada kewajiban pajak subjektif yang melekat pada pegawai tetap yang bersangkutan dan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya berawal atau berakhir dalam tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Ayat (5) Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2008 penghitungannya sebagai berikut:
a. Dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dan mulai atau berhenti bekerja dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak yang bersangkutan dan tidak disetahunkan. 
b. Dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan pendatang dari luar negeri, yang mulai bekerja di Indonesia dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada penghasilan yang sebenarnya diperoleh dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan yang disetahunkan.
c. Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum tahun takwim berakhir karena meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama – lamanya, maka pada akhir bulan berhentinya pegawai tersebut penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan yang disetahunkan.
13. Apabila jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang telah dipotong, kekurangannya di potongkan dari pembayaran gaji yang bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali.
14. Apabila jumlah pajak terutang lebih rendah dari jumlah pajak yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan kembali.
15. Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftat atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
16. Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat – lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya.
17. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam poin 15 berlaku juga bagi Pemotong Pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.
18. Pemotong Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam poin 16.
19. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam poin 18 diajukan secara tertulis selambat – lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh Pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan.
20. Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri dengan lampiran – lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
21. Apabila terdapat pegawai berkebangsaan asing, maka SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang bersangkutan harus dilampiri fotokopi surat ijin bekerja yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Instansi yang berwenang.
22. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih besar dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, kekurangannya harus disetor sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 selambat – lambatnya tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya.
23. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih kecil dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor kelebihn tersebut diperhitungkan utuk bulan pada waktu dilakukannya perhitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan – bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
24. Dalam hal Pemotong Pajak adalah badan, SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
25. Dalam hal SPT Tahunan PPh Pasal 21 ditandatangani dan diisi oleh orang lain selain yang dimaksud dalam poin 15, harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.

Hak dan Kewajiban Penerima Penghasilan Yang Dipotong Pajak
1. Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan PTKP, penerima penghasilan harus menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
2. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam poin 1 juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim. Jumlah PPh pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. Pasal 26 Penerima penghasilan berkewajiban untuk menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada :
a. Pemotong pajak kantor cabang baru dalam hal yang bersangkutan dipindahtugaskan;
b. Pemotong pajak tempat kerja baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja.