Baca Juga
Tradisi Masyarakat Petani Menjelang Panen
Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Acara ini sering disebut dengan Upaca Wiwit. Upacara ini merupakan ritual yaitu rasa terima kasih kepada Tuhan, karena tanaman pada yang akan dipanen tampak sangat membanggakan hati. Dengan harapan setiap penanaman padi sampai waktu panen selalu diberikan panen yang banyak dijauhkan dari penyakit, hama. Biasanya upacara WIWIT dimulai jika butiran padi mulai
menampakkan warna menguning. Yang sebentar lagi dengan hitungan hari, segera dipanen. Upacara WIWIT ini dengan cara mengambil segenggam tangkai padi yang menguning. Dengan mengumpulkan warga yang terutama mereka yang terlibat penanaman padi. Mereka diajak berkenduri di sekitar padi yang di upacari tadi. Tumpeng nasi putih beserta lauk pauk , ayam panggang utuh, dengan sambalnya, tempe goreng, telur rebus, ikan asin, sambal kacang dan kerupuk.
dengan doa bersama yang dipimpin oleh tetua masyarakat yang hadir atau memang diundung untuk memberi doa (Ngujubno dalam bahasa Jawa). Memohon kepada yang maha kuasa akar nanti dalam panennya diberi keselamatan, hasil yang banyak dan diberi keselamatan.
Setelah diberi doa yang punya sawah segera mengambil beberapa helai padi yang menguning untuk dibawa pulang. Ya... mungkin ini mulai memanen yang pertama. Atau Miwiwit panen ( wiwit ) atau mulai.
Upacara wiwit ini sudah ada pada masa Hindu-Budha yang memang pada awalnya untuk memperoleh kesejahteraan para Dewa. Upacara wiwit pada dasarnya diwujudkan pada pemujaan dewi padi, Dewi Sri. Sekalipun nama Sri berasal dari India, mitos itu terdapat di seluruh Nusantara sampai pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh pengaruh India.
Walaupun versinya berbeda-beda, namun inti ceritanya sederhana : Sri telah dikurbankan, dan dari berbagai bagian tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman budidaya yang utama, termasuk padi. Doa ditujukan kepada tokoh Sri yang menjelma menjadi padi.
Jikalau orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang. Diharapkan nantinya sepasang pengantin padi akan mendatangkan panen yang baik. Petani akan mempersembahkan ikatan-ikatan padi pertama yang disimpan sampai masa penebaran benih tahun berikutnya.
Namun seiring dengan datangnya agama Islam di wilayah Nusantara dan masyarakat Jawa telah menyakini bahwa Islam menjadi agama mereka, maka upacara wiwit tersebut berubah dan menyesuaikan dengan agama Islam. Baik dalam pelaksanaan ritualnya maupun proses dalam pelaksanaannya seperti yang terjadi di dusun Candran yang telah dijelaskan diatas.
Perbedaan yang paling mencolok yaitu pada doanya, jika pada masa Hindu-Budha doa ditujukan kepada tokoh Sri atau Dewi Sri, maka setelah Islam menjadi agama masyarakat Jawa, doa tersebut berubah menjadi doa syukur kepada Allah SWT. Dan ditambah juga dengan membagi-bagikan nasi wiwit yang diberikan kepada para petani lainnya, yang itu merupakan bentuk rasa kesosialan antar petani dan sebagai bentuk syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan rizqi berlimpah.
Namun dengan berubahnya pelaksanaan wiwit pada masa Hindu-Budha dibanding dengan setelah Islam masuk ke wilayah Nusantara, tujuan wiwit itu tetap sama, yaitu agar mendapatkan hasil panen yang baik dan banyak. Oleh karena itu upacara ritual wiwit tetap berlangsung sampai saat ini di masyarakat Jawa khususnya.
Upacara wiwit ini sudah ada pada masa Hindu-Budha yang memang pada awalnya untuk memperoleh kesejahteraan para Dewa. Upacara wiwit pada dasarnya diwujudkan pada pemujaan dewi padi, Dewi Sri. Sekalipun nama Sri berasal dari India, mitos itu terdapat di seluruh Nusantara sampai pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh pengaruh India.
Walaupun versinya berbeda-beda, namun inti ceritanya sederhana : Sri telah dikurbankan, dan dari berbagai bagian tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman budidaya yang utama, termasuk padi. Doa ditujukan kepada tokoh Sri yang menjelma menjadi padi.
Jikalau orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang. Diharapkan nantinya sepasang pengantin padi akan mendatangkan panen yang baik. Petani akan mempersembahkan ikatan-ikatan padi pertama yang disimpan sampai masa penebaran benih tahun berikutnya.
Namun seiring dengan datangnya agama Islam di wilayah Nusantara dan masyarakat Jawa telah menyakini bahwa Islam menjadi agama mereka, maka upacara wiwit tersebut berubah dan menyesuaikan dengan agama Islam. Baik dalam pelaksanaan ritualnya maupun proses dalam pelaksanaannya seperti yang terjadi di dusun Candran yang telah dijelaskan diatas.
Perbedaan yang paling mencolok yaitu pada doanya, jika pada masa Hindu-Budha doa ditujukan kepada tokoh Sri atau Dewi Sri, maka setelah Islam menjadi agama masyarakat Jawa, doa tersebut berubah menjadi doa syukur kepada Allah SWT. Dan ditambah juga dengan membagi-bagikan nasi wiwit yang diberikan kepada para petani lainnya, yang itu merupakan bentuk rasa kesosialan antar petani dan sebagai bentuk syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan rizqi berlimpah.
Namun dengan berubahnya pelaksanaan wiwit pada masa Hindu-Budha dibanding dengan setelah Islam masuk ke wilayah Nusantara, tujuan wiwit itu tetap sama, yaitu agar mendapatkan hasil panen yang baik dan banyak. Oleh karena itu upacara ritual wiwit tetap berlangsung sampai saat ini di masyarakat Jawa khususnya.