Baca Juga
Pengertian Hukum Dan Kedudukan Rasm Utsmani
A. Pengertian
Secara bahasa, Rasm dalam bahasa Arab artinya gambar atau tulisan, yang merupakan isim masdar dari kata rasama-yarsumu yang artinya menggambar atau menulis. Berdasarkan kesimpulan sebagian ulama, Rasm Utsmani yaitu cara penulisan Al-Qur'an yang ditulis oleh para sahabat dengan kaidah khusus yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Arab. Rasm Al-Quran juga didefinisikan sebagai bentuk ragam tulis yang telah diakui, dan diwarisi oleh umat Islam sejak zaman Utsman bin Affan.
B. Hukum Dan Kedudukanrasm Utsmani
Jumhur ulama berpendapat bahwa pola Rasm Utsmani bersifat wajib, dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi Muhammad SAW, meskipun kita tidak mengetahui hikmah dibalik metode penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah dalam bahasa Arab. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya, "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya.
Terdapat pula sekelompok ulama yang berpendapat lain, bahwa pola penulisan di dalam Rasm Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan ada sebuah riwayat yang dikutip oleh Rajab Farjani: “Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.” Ada juga riwayat yang mengatakan:
أَقْرَأَنِى جِبْرِيْلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُ وَيَزِيْدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
“Jibril membacakanku satu huruf (bacaan) lalu aku mengikutinya. Tiada henti-hentinya aku mengulanginya, dan aku mengulanginya hingga 7 (macam) bacaan.”
C. Susunan Ayat Dan Surat
Para ulama berbeda pendapat mengenai penulisan urutan ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Quran. Ada yang mengatakan bahwa penulisan urutan ayat dan surat dalam Al-Quran bersifat taufiqi, seperti yang telah dinukil oleh sebagian besar ulama. Diantara mereka yang menganut paham taufiqi yaitu As-Suyuthi, Az-Zarkasyi, dan Abu Jafar. Zaid bin Tsabit berkata:
كُنَّا نَؤَلِّفُ الْقُرْآنَ مِنَ الرِّقَاءِ نَجْمَعُهَا وَ نُرَتِّبُهَا
“Kami menulis Al-Quran dari Riqa’, yakni mengumpulkannya dan menertibkanya.”
Dari perkataan Zaid bin Tsabit tersebut dapat dipahami bahwa sahabat Rasulullah yang bernama Riqa’ telah menulis Al-Quran dari Rasulullah, tetapi masih belum tersatukan, sehingga Zaid mengumpulkan dan menyusunnya menjadi satu. Ini menunjukkan bahwa Al-Quran telah disusun oleh Rasulullah sendiri yang mana Rasulullah mendapat bimbingan dari malaikat Jibril.
Pendapat lain mengatakan bahwa penulisan urutan ayat dan surat dalam Al-Quran adalah hasil ijtihad para sahabat. Mereka menggunakan dalil hadist riwayat muslim dari Hudzaifah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW membaca surat Al-Baqarah pada rakaat pertama, lalu membaca surah Al-Imran pada Rakaat kedua. Ini menunjukkan bahwa urutan Al-Quran adalah surat Al-Baqarah lalu surat Al-Imran.
D. Penulisan Rasm Utmani
Mushaf Utsmani ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkasnya menjadi 6 istilah, yaitu:
1. Al-Hadzaf, yaitu membuang, meniadakan, atau menghilangkan. Contohnya yaitu menghilangkan alif pada ya’ nida’, seperti:
يَ أَيَّهَا النَّاسُ، يَ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا
2. Az-Ziyadah, yaitu penambahan. Contohnya yaitu penambahan alif setelah kata jamak, seperti:
بَنُوا إِسْرَا ئِيْلُ
3. Al-Hamzah, salah satunya yaitu apabila hamzah bersyakal sukun, ditulis dengan huruf yang bersyakal sebelumnya, seperti:
إِذَا أْتُمِنَ
4. Badal, yaitu penggantian, seperti penggantian alif dengan wawu pada kata shalat sebagai penghormatan:
الصَّلَوةُ
5. Washal dan fashal, yaitu penyambungan dan pemisahan seperti penyambungan ma ke kata kulla:
كُلَّمَا
6. Kata yang dapat dibaca dengan dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dengan dua bunyi, tulisannya menyesuaikan dengan kedua bunyi tersebut, seperti dalam surat Al-Fatihah ayat 3 yang dapat dibaca ma atau maa:
مَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ، مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
E. Penyempurnaan Rasm Utsmani
Bangsa Arab telah mengenal tulisan sejak zaman dahulu kala. Tidak heran mereka bisa membaca dan menulis. Tetapi, setelah agama Islam menyebar ke berbagai belahan dunia, orang-orang Islam banyak yang tidak faham tentang tulisan-tulisan yang ada pada mushaf Utsmani pada waktu itu. Tulisan Arab belum memiliki tanda baca seperti titik dan syakal seperti sekarang ini, karena tulisan Arab didasarkan pada watak orang-orang Arab yang masih murni, sehingga tidak memerlukan titikdan syakl. Hal ini membingungkan penganut agama Islam di beberapa daerah yang bahasa ibu mereka bukan bahasa Arab.
Mengetahui pentingnya menyamakan tulisan pada mushaf Utsmani, para ulama berpikir keras bagaimana supaya orang-orang Islam non-Arab bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Para ulama berpendapat bahwa Abu Aswad Ad-Duali lah peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas permintaan Ali bin Abi Thalib.
Perbaikan dan penyempurnaan Rasm Utsmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harkat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf, dammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa.
Pada mulanya, para ulama tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Quran. Ibnu Masud pernah berkata, “Bersihkanlah Al-Qur’an dan jangan kau campur-adukkan dengan apapun.” Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh (jaiz) dan bahkan dianjurkan. An-Nawawi berkata, “Pemberian titik dan penyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.”
Perhatian untuk menyempurnakan rasm mushaf kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan arab (al-khattul ‘arabiy), sebagaimana yang kita ketahui dan kita baca setiap hari.