Baca Juga
Masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah tenggok. Alat dapur tradisional ini terbuat dari anyaman bambu. Bentuknya menyerupai tabung. Bagian bawah berbentuk segi empat. Kemudian ke atasnya berbentuk lingkaran yang lebih besar. Bagian atas tenggok dilapisi bilahan bambu sebagai penguat. Bagian bawah bersisi antara 20-25 cm, sementara bagian tengah dan atas berdiameter antara 25-35 cm. Tinggi tenggok sekitar 30 cm.
Dalam kamus Jawa karangan WJS Poerwadarminta (1939) dikatakan bahwa tenggok hampir mirip dengan alat dapur yang bernama senik. Hanya saja tenggok berukuran kecil, senik berukuran besar. Namun, pada sebagian masyarakat Jawa, tidak membedakan antara istilah tenggok dan senik. Tenggok kadang disebut senik, demikian sebaliknya. Keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan yang masih mentah, seperti beras, kacang tanah, kedelai, dan sebagainya.
Tentu selain fungsi utama tersebut, tenggok juga mempunyai fungsi lain, seperti untuk memeram buah agar cepat masak, misalnya buah pisang, buah sawo, srikaya, mangga, dan buah-buahan lokal lainnya. Tidak jarang pula, wadah ini sering juga dibawa oleh para wanita rumah tangga ke pasar sebagai tempat barang belanjaan, seperti sayuran, bumbu dapur, dan lainnya. Fungsi lain, bersama dengan tampah di atasnya, berguna untuk menjajakan jajanan makanan rebusan, seperti kacang tanah, ketela, jagung, atau jajanan lainnya seperti pecel gendong, ketan, dan lain-lain.
Tidak hanya sebatas itu, tenggok sering juga dipakai sebagai alat pertanian bagi para petani wanita. Sering alat ini dipakai untuk wadah gabah yang baru dipanen yang masih basah dan harus dijemur, maupun untuk mengumpulkan gabah yang sudah kering.
Selain fungsi-fungsi di atas, ternyata tenggok juga pernah dipakai sebagai sarana perjuangan di masa penjajahan. Nah bagaimana detailnya sampai bisa dipakai untuk alat perjuangan bagi para pejuang di masa lalu? Simak terus lanjutannya di edisi mendatang.
Tenggok masih digunakan oleh penjual jamu keliling di abad ke-21 ini, foto: m.merdeka.com
Tenggok di masa penjajahan dan revolusi sering digunakan oleh para pejuang wanita untuk menaruh alat-alat perjuangan, seperti senjata api, bahan makanan, obat, juga pesan-pesan sandi. Semua alat perjuangan itu ditaruh di dalam tenggok bagian bawah, kemudian di atasnya ditutup dengan sayur mayur.
Hal itu dilakukan untuk mengelabuhi aparat keamanan penjajah yang lalu lalang di jalanan. Cara itu termasuk efektif untuk memasok kebutuhan para pejuang kita yang melakukan gerilya di kota maupun desa.
Tenggok atau senik memang termasuk alat dapur tradisional yang dibuat dengan cara manual. Bahan utamanya adalah bambu, seperti alat dapur tradisional lainnya, besek, cething, kalo, tampah, dan sebagainya. Hanya saja untuk pembuatan alat dapur yang bernama tenggok ini membutuhkan anyaman bambu yang lebih banyak, karena bentuknya lebih besar.
Pembuatan tenggok juga memerlukan bilahan bambu untuk kerangka dan bibir bagian atas. Hal itu dilakukan karena fungsi tenggok adalah untuk wadah barang-barang hasil bumi yang jumlahnya bisa lebih banyak jika dibandingkan dengan wadah-wadah lain yang berbahan sama dan agar lebih kuat.
Hingga saat ini masih banyak dijumpai beberapa perajin maupun penjual tenggok, terutama di pasar-pasar tradisional di Jawa. Pemakainya juga masih cukup lumayan banyak, selain digunakan oleh para ibu di desa untuk keperluan dapur dan belanja ke pasar, juga sering dipakai oleh para pedagang makanan tradisional maupun para penjual makanan di warung-warung sederhana pinggir jalan, utamanya untuk wadah nasi. Tidak ketinggalan pula, penjual jamu gendong keliling juga memakai tenggok sebagai wadah botol berisi jamu.
Di pinggir-pinggir jalan utama di banyak kota, seperti di Yogyakarta, Solo, hingga Surabaya banyak dijumpai para penjual soto, gudeg, nasi liwet, dan sejenisnya, yang menggunakan tenggok sebagai wadah nasi. Harga tenggok cukup bervariasi, mulai Rp 30.000 hingga Rp 60.000 sesuai ukuran dan kualitasnya. Ada kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Jawa zaman dulu, bahwa tidak boleh menduduki tenggok alias “ora ilok” atau tidak pantas. Karena, menurut para orang tua dulu, tenggok biasa digunakan sebagai wadah bahan makanan, sehingga sudah sepantasnya menghormati wadah tersebut. Sedangkan alasan logisnya, jika tenggok diduduki akan mudah rusak.
Ada cerita lain tentang “kesakralan” tenggok. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Balai Pelestarian Nilai Budaya (dulu namanya Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional) Yogyakarta tahun 1990-1991, para pedagang beras di Kotagede meyakini bahwa sebaiknya jika membeli tenggok dilakukan pada pasaran “Legi” dan perhitungan “Sri”, agar tenggok tersebut memberi keuntungan bagi pemiliknya.
Nah, ternyata alat dapur tradisional yang umurnya sudah lebih seratus tahunan ini ternyata masih eksis hingga saat ini. Itu semua, karena tenggok mempunyai fungsi yang sangat luwes, masih banyak yang membutuhkan, masih ada perajinnya, harganya terjangkau, lebih awet, tahan panas, dan aman untuk wadah nasi.
Sumber: Tembi 1 dan Tembi 2