Baca Juga
Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits tersebut shahih ataukah tidak?
“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).
“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salafhal. 57)
Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله عليه و سلم – والصحابة والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف المتروك ولا الاسناد القوي من الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال لا يعمل حتى يسأل ما يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم
“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).
Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,
فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان
“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salafhal. 57)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة
“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa 1/250).
Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-‘Iraqi).