Baca Juga

Karakteristik Ekonomi Islam
Karakteristik Ekonomi Islam

1. Harta adalah Kepunyaan Allah dan Manusia Merupakan Khalifah Atas Harta


Karasteristik Pertama ini terdiri dari 2 bagian yaitu :

Pertama, semua harta baik benda maupun alat produksi adalah milik Allah Swt, firman Q.S. Al- Baqarah, ayat 284 dan Q.S.Al -Maaidah ayat 17.

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”  (QS. Al-Baqarah : 284)

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?" Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maaidah : 17)

Kedua, manusia adalah khalifah atas harta miliknya. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Hadiid ayat 7.

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”

Selain itu terdapat sabda Rasulullah SAW, yang juga mengemukakan peran manusia sebagai khalifah, diantara sabdanya ”Dunia ini hijau dan manis”. Allah telah menjadikan kamu khalifah (penguasa) didunia. Karena itu hendaklah kamu membahas cara berbuat mengenai harta di dunia ini."

Dapat disimpulkan bahwa semua harta yang ada ditangan manusia pada hakikatnya milik Allah, akan tetapi Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya.

Sesungguhnya Islam sangat menghormati milik pribadi, baik itu barang-barang konsumsi ataupun barang-barang modal. Namun pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Jadi, kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena pemilik sesungguhnya adalah Allah SWT.

2. Ekonomi Islam adalah Ekonomi yang Terikat dengan Akidah, Syariah (hukum), dan Moral

Diantara bukti hubungan ekonomi dan moral dalam Islam (yafie, 2003: 41-42) adalah: larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat, larangan melakukan penipuan dalam transaksi, larangan menimbun emas dan perak atau sarana-sarana moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, larangan melakukan pemborosan, karena akan menghancurkan individu dalam masyarakat.

3. Ekonomi Islam adalah Ekonomi yang Menjaga Keseimbangan antara Kerohanian dan Kebendaan

Beberapa ahli Barat memiliki tafsiran tersendiri terhadap Islam. Mereka menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang menjaga diri, tetapi toleran (membuka diri). Selain itu para ahli tersebut menyatakan Islam adalah agama yang memiliki unsur keagamaan (mementingkan segi akhirat) dan sekularitas (segi dunia). Sesungguhnya Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat.

4. Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbangan antara Kepentingan Individu dengan Kepentingan umum

Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah, Islam tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai batasan-batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik. Hanya keadilan yang dapat melindungi keseimbangan antara batasan-batasan yang ditetapkan dalam sistem Islam untuk kepemilikan individu dan umum. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum.

5. Ekonomi Islam adalah Ekonomi yang Menjamin Kebebasan Individu

Individu-individu dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai tujuan. Namun kebebasan tersebut tidak boleh melanggar aturan-aturan yang telah digariskan Allah SWT. Dalam Al-Quran maupun Al-Hadis. Dengan demikian kebebasan tersebut sifatnya tidak mutlak.

Prinsip kebebasan ini sangat berbeda dengan prinsip kebebasan sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis. Dalam kapitalis, kebebasan individu dalam berekonomi tidak dibatasi norma-norma ukhrawi, sehingga tidak ada urusan halal atau haram. Sementara dalam sosialis justru tidak ada kebebasan sama sekali, karena seluruh aktivitas ekonomi masyarakat diatur dan ditujukan hanya untuk negara.

6. Negara Diberi Wewenang Turut Campur dalam Perekonomian

Manusia sebagai makhluk sosial, dipandang tidak akan mungkin dapat memenuhi sendiri semua kebutuhannya tanpa bantuan atau kerja sama dengan manusia lainnya. Sifat lahiriyah inilah yang mendorong manusia  untuk hidup dalam sebuah komunitas masyarakat yang beradab dengan kerja sama. Namun, ditengah-tengah perjalanan kehidupan mereka akan muncul kecendrungan-kecendrungan. Misalnya, iri, persaingan dan egoisme yang akan bermuara kepada terjadinya  konflik. Sudah menjadi kelaziman bagi manusia untuk memiliki kencendrungan-kecendungan tersebut, sebab manusia memang sudah digariskan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang tidak akan pernah luput dari dosa. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan bersama untuk mengurangi kecendrungan negatif tersebut. Aturan bersama tersebut haruslah digagasi oleh sebuah organisasi  tertinggi yang sah dan ditaati oleh setiap manusia yang ada. Organisasi tersebut adalah Negara.

Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara proporsional. Dalam Islam negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, ataupun dari negara lain. Negara juga berkewajiban memberikan jaminan sosial agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak.

Menurut Al-Ghazali, negara merupakan lembaga yang penting, tidak hanya bagi berjalannya aktivitas ekonomi dari suatu masyarakat dengan baik, tetapi juga memenuhi kewajiban moral dan sosial sebagai mana yang diatur oleh wahyu. Dalam masalah ekonomi Ghazali juga berpendapat bahwa peran (baca : fungsi) negara dalam masalah ekonomi adalah dalam masalah peningkatan kemakmuran ekonomi dengan  menegakkan keadilan, kedamaian dan keamanan. Ia menekankan perlunya keadilan serta aturan yang adil dan seimbang.

Berikut kutipan dari karya Al-Ghazali yang dapat dijadikan renungan akan pentingnya peranan sebuah negara :
  • Negara dan agama adalah tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat yang teratur. Agama adalah pondasinya dan penguasa yang mewakili negara adalah penyebar dan pelindungnya, bila salah satu dari tiang ini lemah, maka masyarakat akan ambruk.
  • …Tentara diperlukan untuk mempertahankan dan melindungi orang dari perampok. Harus ada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa, hukum dan peraturan diperlukan untuk mengawasi prilaku orang-orang dan untuk stabilitas sosial…. Hal-hal itu merupakan fungsi-fungsi penting pemerintah yang hanya dapat dijalankan oleh ahlinya, dan bila mereka mengerjakan aktivitas-aktivitas ini, mereka tidak dapat meluangkan waktu untuk terlibat dalam industri lainya dan mereka memerlukan dukungan bagi penghidupannya. Di pihak lain, orang membutuhkan mereka karena jika semua bekerja dibidang pertahanan, maka industri lainnya akan terbengkalai  dan jika tentara terlibat dalam industri-industri lainnya untuk mencari penghidupan mereka, maka negeri tersebut akan kekuranagn pembela-pembelanya, dan rakyat banyak akan menjadi korban.
Jadi, negara dalam ekonomi islam merupakan wakil Allah di muka bumi yang bertanggung jawab untuk menjaga manusia (baca : rakyatnya) agar dapat hidup bersama secara harmonis dan dalam kerja sama satu sama lain guna mencari kesejahteraan dunia akhirat. Sesuai dengan hadits Rasulullah  yang diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar :

“…Imam adalah seorang pemimpin dan bertanggung jawab kepada rakyat yang di pimpinnya...”

Salah satu contoh Peran Negara dalam ekonomi islam adalah dalam hal Mengawasi Pasar. Pengawasan negara terhadap pasar sebenarnya hanya perlu dilakukan ketika terjadi distorsi dalam transaksi-transaksi yang dilakukan di pasar. Bentuk distorsi tersebut tentunya adalah  adanya praktek-praktek yang merugikan. Menurut suatu riwayat, Nabi SAW mengawasi pasar dari waktu ke waktu dengan memberi nasehat, memperingatkan, dan kadang kala dengan memberi pelajaran. Tidak hanya itu, bahkan Nabi SAW memperkerjakan Sa’id bin Sa’id ibnul ‘Ash bin Umayyah untuk memantau dan mengawasi pasar Mekah, seperti yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil.

7. Bimbingan Konsumsi

Muhammad Abdul Mannan menyatakan bahwa konsumsi (baca: proses konsumsi) merupakan bagian yang sangat penting dalam kajian ekonomi Islam. Baginya kegiatan konsumsi tidak hanya sekedar bagaimana menggunakan hasil produksi. Lebih dari itu, konsumsi Islami harus dapat menciptakan sebuah distribusi pendapatan dan kekayaan (ekonomi) yang adil. Keberadaan segala bentuk pelarangan konsumsi barang mewah dalam Islam tanpa disertai redistribusi kekayaan dan pendapatan tidak akan sama sekali menyelesaikan masalah-masalah ekonomi.

Dalam analisis lain, Monzer Kahf mengaitkan kegiatan konsumsi dalam Islam dengan rasionalisme Islam, konsep falah, dan skala waktu. Khaf menyatakan, konsumsi dalam Islam berimplikasi pada dua tujuan, yaitu duniawi dan ukhrawi. Baginya, memaksimalkan pemuasan (kebutuhan) tidaklah dikutuk dalam Islam selama kegiatan tersebut tidak melibatkan hal-hal yang merusak.

8. Petunjuk Investasi

Tentang kriteria atau standar dalam menilai proyek investasi, al-Mawsu’ah Al-ilmiyah wa al-amaliyah al-islamiyah memandang ada lima kriteria yang sesuai dengan Islam untuk dijadikan pedoman dalam menilai proyek investasi, yaitu:

a. Proyek yang baik menurut Islam.
b. Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyarakat.
c. Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan, dan kekayaan.
d. Memelihara dan menumbuhkembangkan harta.
e. Melindungi kepentingan anggota masyarakat.

9. Pemberlakuan Zakat (termasuk Sedekah & Infak)

Penumpukan harta adalah penyebab utama ketidakmeraatan pendapatan yang dialami hampir oleh semua negara. Ketidakmerataan pendapatan tersebut dapat mengarah pada terciptanya kemiskinan dan pengangguran. Sebagai solusi dari masalah tersebut berbagai macam instrumen dirumuskan oleh para ekonom. Dalam sistem ekonomi kovensional, pajak (misalnya : PBB, PPh dan Cukai ) adalah instrumen yang digunakan untuk mengatasi masalah ketidakmerataan pendapatan. Adapun hasilnya akan dipergunakan negara untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya, untuk membangun jalan raya.

Sejalan dengan maksud tersebut, di dalam sistem ekonomi islam dikenal dengan adanya ZIS zakat, infak dan Shodaqoh sebagai instrumen bagi pemerataan pendapatan. Islam juga mengikutsertakan negara dalam tanggung jawab mendapatkan zakat, infak dan shodaqoh dan mendistribusikannya. Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam Al-Quran dan as-Sunnah. Misalnya, orang yang berhak mengambil zakat adalah penguasa atau pemerintah yang sah menurut syari’ah melalui orang yang disebut al-Qur’an sebagai “al-‘Amilina ‘alaiha” (‘amil zakat), yaitu mereka yang mengurusi urusan zakat, memungut, menjaga, menyalurkan, dan menghitungnya.

Zakat merupakan kewajiban finansial bagi seorang muslim mampu (kaya). Zakat hanya diambil dari pendapatan bersih. Pengambilan zakat dari pendapatan bersih dimaksudkan supaya hutang bisa dibayar bila ada dan biaya hidup terendah seseorang yang dalam tanggungan bisa dikeluarkan sebab biaya terendah merupakan kebutuhan pokok seseorang, sedangkan zakat diwajibkan atas jumlah senisab yang sudah melebihi kebutuhan pokok. Kewajiban zakat yang dibebankan kepada umat muslim bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan mereka dari sifat kekikiran dan kecintaan berlebihan terhadap harta. Perlu diingat, bahwa dalam harta setiap muslim masih terdapat hak orang lain di dalamnya. Bertolak dari pemahaman ini, dikatakan bahwa, pendapatan yang belum dikurangi zakat merupakan pendapatan yang belum bersih.

Zakat adalah salah satu karasteristik ekonomi Islam mengenai harta yang tidak terdapat dalam perekonomian lain. Sistem perekonomian diluar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta, agar menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki, dan dendam.

10. Larangan Terhadap Riba

Menurut Al-Ghazali, Uang diciptakan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi perantara memperoleh barang yang lain. Memperjual belikan uang berarti telah menyalahi maksud penciptaannya, sekaligus memenjarakan fungsi uang itu sendiri. Namun demikian, ia memperbolehkan mempertukarkan mata uang yang satu dengan mata uang yang lain karena kebutuhan hidup, sehingga dapat memperlancar aktivitas ekonomi sehari-hari. Dalam hal ini rasulullah SAW bersabda :

“Dinar dengan dinar tidak ada tambahan diantara keduanya. Dirham dengan dirham tidak ada tambahan di antara keduanya. Barang siapa mempunyai kebutuhan terhadap uang kecil maka hendaknya ia menukarkannya dengan emas dan barang siapa mempunyai kebutuhan terhadap emas, hendaknya ia menukarkannya dengan uang kecil.” (Riwayat Ibnu Majah).

Selain itu, Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk menutupi munculnya riba-riba tersembunyi, setiap transaksi harus dilakukan secara simultan dan dengan kualitas serta kuantitas yang sebanding. Kemudian mengenai penetapan bunga atas utang piutang, ia menganggap bahwa tindakan tersebut sama saja dengan membelokkan fungsi uang. Ia menyatakan :

“Menahan penguasa dan tukang pos adalah pelangggaran, karena dengan demikian mereka dicegah untuk menjalankan fungsinya; demikian pula halnya dengan uang.”

Islam menekankan pentingnya memfungsikan uang pada bidangnya yang normal yaitu sebagai fasilitas transaksi dan alat penilaian barang. Di antara faktor yang menyelewengkan uang dari bidangnya yang normal adalah bunga (riba). Secara etimologi riba berarti; tambahan (az-ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’) dan membesar (al-’uluw). Berikut terminologi Riba berdasarkan pendapat beberapa tokoh ;

a. Prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut Syariah RIBA berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi yang riil (Badr ad-dien al-Ayni dalam kitab Umdatul Qari)

b. Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan oleh syariat (Imam Sarakhsi dalam kitab al-Mabsut)

c. Riba dalam ayat qur’an berarti setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu iwadh yang dibenarkan syariah (Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-arabi al-Maliki dalam kitab Ahkam al-Qur’an)

Allah SWT melarang praktik riba dalam 4 tahap sebagai berikut :

Pelarangan Tahap 1

”Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). ”  (QS. Ar Ruum (30) : 39)

Pelarangan Tahap 2

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya ) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (QS. An Nisaa (4) : 160-161)

Pelarangan Tahap 3

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran (3) : 130)

Pelarangan Tahap 4

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. “ (QS. Al Baqarah (2) : 278-279)