Baca Juga

Prosedur Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan (H.T) Dalam Sengketa Bisnis Syariah 
Tujuan pihak-pihak yang berperkara menyerahkan perkara, khususnya perkara perdata kepada pengadilan adalah untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas dan menemukan kepastian hukum melalui putusan pengadilan. Pada prinsipnya, hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan putusannya, yaitu putusan pengadilan yang bersifat kondemnatoir, karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung hubungan hukum yang tetap dan pasti (fixed and certain), antara pihak yang berperkara. 

Amar yang berciri kondemnatoir, secara sederhana merupakan amar yang dapat dieksekusi apabila tergugat enggan secara sukarela memenuhi putusan. Selanjutnya tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu putusan pengadilan dinamakan eksekusi.

Oleh karena itu, eksekusi tidak lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara di pengadilan. Adapun ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator menentukan suatu putusan bersifat kondemnator, dalam amar atau diktum putusan tersebut terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah, yang dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:
1. Menghukum atau memerintahkan ”menyerahkan” suatu barang.
2. Menghukum atau memerintahkan ”pengosongan” sebidang tanah atau rumah.
3. Menghukum atau memerintahkan ”melakukan” suatu perbuatan tertentu.
4. Menghukum atau memerintahkan ”penghentian” suatu perbuatan atau keadaan.
5. Menghukum atau memerintahkan melakukan ”pembayaran” sejumlah uang.

Namun dalam pembahasan penulis ini, bahwa term eksekusi yang akan diuraikan ialah bentuk eksekusi yang terfokus pada prosedur beracara dalam eksekusi yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa dibidang Perbankan maupun Bisnis Syariah.

a. Pengertian Eksekusi
Sebelum penulis memulai pembahasan tentang eksekusi jaminan hak tanggungan, perlu kiranya sedikit penulis singgung tentang defenisi istilah eksekusi sebagai istilah yang baku, untuk menghindari pemaknaan istilah yang berlebihanEksekusi berasal dari kata “executie”, yang artinya melaksanakan putusan hakim (ten uitvoer legging van vonnissen). Di mana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam pengertian yang lain ; eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela.

Subekti dan Retno Wulan Sutantio mengalihkan istilah eksekusi (executie) ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah ”pelaksanaan” putusan. Pembakuan istilah ”pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari ketentuan bab kesepuluh bagian kelima HIR atau titel keempat bagian keempat RBG, pengertian eksekusi sama dengan tindakan ”menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen).

Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan ”secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela. Pada masa belakangan ini, menurut Yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum ”eksekusi” atau ”menjalankan eksekusi”.

Dengan pengertian di atas, maka pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi kewajiban yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam amar putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (BH.T), di mana proses ini merupakan tahap terakhir dalam proses acara berperkara di pengadilan, termasuk juga terhadap sengketa perkara di bidang Bisnis Syari’ah.

b. Jenis-jenis eksekusi
Seperti telah dijelaskan, salah satu asas eksekusi adalah hanya dapat dijalankan terhadap putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (BH.T) yang bersifat kondemnatoir, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan ”penghukuman” terhadap tergugat untuk melakukan salah satu perbuatan yaitu :
1) Menyerahkan sesuatu barang atau eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. (Pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg. )
2) Mengosongkan sebidang tanah atau rumah, yang disebut dengan eksekusi riil. (Pasal 1033 Rv.)
3) Melakukan suatu perbuatan tertentu atau menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. (Pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg)
4) Membayar sejumlah uang. 

(Pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg) Jika ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum berdasarkan amar putusan pengadilan yang bersifat kondemnatoir, seperti tersebut di atas, maka jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu:
1) Melaksanakan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg.)
2) Eksekusi Riil. (Pasal 1033 RV.)
3) Eksekusi membayar sejumlah uang. (Pasal 196 HIR dan Pasal 208 Rbg.)

Berikut penjelasan masing-masing :
1. Eksekusi Untuk Melakukan Suatu Perbuatan.
Selain dua jenis eksekusi tersebut, masih ada satu lagi jenis eksekusi, yaitu eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, yang menyatakan yang intinya Jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan.

2. Eksekusi Riil
Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil” seperti menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengkosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang.

Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam eksekusi riil, pada umumnya ialah upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa menyewa, atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. 

Proses beracara pada eksekusi riil, Ketua Pengadilan Negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan eksekusi atas permintaan pihak yang dimenangkan (penggugat). Dengan penetapan itu, panitera atau jurusita pergi ke lapangan melaksanakan penyerahan atau pembongkaran secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran, eksekusi sudah sempurna dan dianggap selesai.

3. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang. 
Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (pasal 196 HIR,pasal 208 R.Bg). ini kebalikannya dari eksekusi riil dimana eksekusi tidak dapat dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih dahulu. Dengan kata lain, eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang.

Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang sangat terbatas sekali, yaitu semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang piutang dan ganti rugi berdasarkan cidera janji/wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan pasal 225 H.I.R, dengan membayar nilai sejumlah uang apabila tergugat enggan menjalankan perbuatan yang dihukumkan dalam batasan jangka waktu tertentu.

Pelaksanaan eksekusi jaminan Hak Tanggungan (H.T) dalam rangka pelaksanaan putusan Pengadilan Agama. Ketentuan Hak Tanggungan (H.T) ini diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996, yang diundangkan tanggal 09 Apil 1996 dan efektif berlaku pada tanggal di undangkan (pasal 31).

Untuk menjelaskan eksekusi Hak Tanggungan, perlu diketahui terlebih dahulu proses yuridis dan administrasi melekatnya titel eksekusi pada Hak Tanggungan (H.T), yaitu melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a. Tahap awal yaitu pengikatan perjanjian kredit atau perjanjian hutang.
1. Dalam salah satu pasal tentang H.T ini, diperlukan adanya janji debitur memberikan H.T sebagai jaminan pelunasan hutang. Sehingga dengan demikian perjanjian debitur memberikan H.T merupakan :
· Perjanjian pokok yang berfungsi sebgai dokumen pertama untuk membuktikan adanya perjanjian hutang.
· Menurut pasal 10 ayat 1, eksistensi janji pemberian H.T dalam perjanjian utang merupakan bagain tak tepisahkan dari janji pemberian H.T.
· Perjanjian H.T bersifat accessoir atau asesor dengan perjanjian pokok. 
· Dalam hal ini H.T tidak bisa bediri sendiri, tetapi merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yakni perjanjian yang memberikan jaminan atas pelunasan utang yang disebut perjanjian pokok.

2. Bentuk perjanjian pokok yang berisi pemberian H.T dapat berbentuk underhandse acte (akte dibawah tangan) dan atau authentieke acte (akte autentik).
3. Pembuatan akte tersebut dapat dilakukan di dalam negeri maupun diluar negeri.
4. Subjek atau pihak dalam H.T dapat berupa natural person maupun legal entelity

b. Tahap kedua, yaitu pembuatan akte pemberian hak tanggungan (APH.T) yang dibuat oleh PPAT yang berfungsi sebagai bukti tentang pemberian H.T yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua yang melengkapi dokumen perjanjian pokok. Tehadap isi dan format APH.T dijelaskan dalam pasal 11 ayat 1 dan 2 UU Nomor 4 Tahun 1996.

c. Tahap yang ketiga yaitu pendaftaran H.T, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat 1, 2 dan 3; bahwa pendaftaran ini bersifat imperative yang wajib didaftarkan pada kantor pertanahan, yang merupakan asas publisitas yang merupakan syarat mutlak untuk lahirnya dan mengikatnya H.T kepada pihak ke tiga (ayat 1); kewajian ppat sebagai pembuat APHT untuk mengirimkan APHT dan warkat lain yang meliputi surat-surat bukti yang terkait objek H.T dan identitas para pihak serta sertifikat atas tanah pada kantor pertanahan, selambatlambatnya 7 hari kerja dari penandatanganan APHT (ayat 2); dan terhadap kewajiban Kantor Pendaftaran Tanah (KPT) sebagaimana tersebut dalam ayat 3 UU 4 Tahun 1996.

d. Tahap yang terakhir yaitu tahan pembuatan sertifikat H.T sebagaimana di atur dalam pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1996, terkait ; Pihak yang menerbitkan sertifikat H.T; Fungsi sertifikat H.T; dan Terkait tindakan Kantor Pertanahan selanjutnya untuk mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan pemberian H.T kepada pemegang hak tanah dan memberikan sertifikat H.T kepada kreditor.

Kemudian terhadap obyek Hak Tanggungan (H.T) menurut pasal 4, disesuaikan secara terbatas dengan pasal 16 UU Pokok Agraria (UUPA No. 5 tahun 1960). Sehubungan dengan itu, bertitik tolak dan merujuk pada pasal 16 UUPA tersebut, hak yang dapat dijadikan Hak Tanggungan (H.T) terdiri dari :
1) Hak Milik (HM)
2) Hak Guna Usaha (HGU)
3) Hak Guna Bangunan (HGB)
4) Hak Pakai (HP), yaitu Hak Pakai atas tanah yang sudah terdaftar dan sifatnya dapat dipindah tangankan (tranferability). 

Dan asas-asas yang dimiliki atas obyek Hak Tanggungan, meliputi asas publisitas (di umumkan), asas transferability (dapat dialihkan/ dipindah tangankan), dan asas certainlibility (spesialis/tertentu). Terhadap persoalan eksekusi jaminan hak tanggungan, semula dapat dilakukan langsung oleh pemegang hipotik untuk menjual barang objek hipotik tanpa melalui proses Peradilan, yang berarti bahwa eksekusi penjulan lelang barang objek hipotik dilakukan atas kuasa sendiri oleh pemegang hipotik tanpa intervensi pengadilan atau Hakim. Sehingga proses penjualan lelang objek hipotik secara langsung oleh pemegang hipotik ini, mensyaratkan akan keharusan adanya klausul yang secara mutlak memberi kuasa kepada pemegang hipotik menjual objek hipotik, yang disebut klausul aigenmachtige verkoop berdasarkan asas kesepakatan dari debitur pemberi hak kepada kreditor menjual sendiri objek hipotek tanpa melalui pengadilan, apabila debitur melakukan wanprestasi, hal ini berdasarkan pasal 1178 KUH Perdata. Dan prosen pelaksanaan eksekusi berdasarkan aigenmachtige verkoop ini diatur dalam palasa 1178 jo. Pasal 1211 KUH Perdata, yaitu dengan melalui penjualan lelang di muka umum

Namun, pelaksanaan aigenmachtige verkoop yang diberikan pasal pasal 1178 KUH Perdata tersebut, telah dilumpuhkan dengan dengan keputusan MA No. 320 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984. Yangmana dengan putusan tersebut tidak membenarkan pelaksanaan executoriale verkoop berdasarkan kalusul aigenmachtige verkoop dilakukan sendiri oleh kreditor tanpa melalui proses Pengadilan dengan alasan bahwa :.setiap penjualan lelang (executoriale verkoop) berdasarkan pasal 224 HIR, mesti melalui campur tangan Pengadilan; penjualan lelang tidak sah, jika dilangsungkan tanpa jawatan lelang ; dan yang dimaksud jawatan umum dalam pasal 1211 KUH Perdata adalah pengadilan, bukan jawatan lelang.

Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 menjelaskan bahwa :
“Apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggunga mempuyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan sumum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut”

Berdasarkan ketentuan ini, sekaligus mengandung karakter parate eksekusi dan penjualan atas kekuasaan sendiri atau aigenmachtige verkoop (the right to sale), namun penerapannya mengacu pada penjelasan pasal bahwa pelaksanaan parate eksekusi tunduk kepada Pasal 224 HIR, pasal 256 RBg apabila tidak diperjanjikan kuasa menjualan sendiri, maka penjualan lelang (executoriale verkoop) harus diminta kepada ketua Pengadilan (PN). Dan permintaan berdasarkan alasan cidera janji atau wanprestasi.

Ketentuan apa yag dimaksud ingkar janji, secara terperinci tidak dijelaskan dalam pasal 6 UU No.4 tahun 1996, sehingga untuk menentukan adanya ingkar janji mengacu pada ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, atau sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian, atau bila merujuk pada analog dengan ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang dikatagorikan ingkar janji apabila debitur : Tidak melunasi hutang pokok; dan atau Tidak membayar bunga yang terutang sebagaimana mestinya.

Melekatnya hak menjual atas kekuasaan sendiri, mengacu pada penjelasan pasal 6 UU tersebut di atas, menyebutkan bahwa hak untuk menjual objek H.T atas kekuasaan sendiri, merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan atau hak preferen yang dimiliki pemegang H.T atau pemegang H.T pertama, apabila pemegang H.T lebih dari satu orang.

Hak menjual atas kekuasaan sendiri baru melekat apabila diperjanjikan secara tegas dalam APHT, di mana dalam penjelasan tersebut berisi :
· Pemberian hak itu menurut penjelasan pasal 6, harus berdasarkan “janji” atau “klausul” yang diberikan debitur atau pemberi H.T kepada pemegang H.T (kreditor).
· Janji itu berisi penegasan : “apabila debitur tata pemberi H.T cidera janji, pemegang H.T berhak untuk menjual objek H.T melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi H.T.

Dari hasil penjualan, kreditor berhak untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dengan mengesampingkan kreditor lain. Apabila masih terdapat sisa, maka kelebihan tersebut menjadi hak pemberi H.T, oleh karena itu harus diserahkan kepadanya.

Konsep dan sistem penjualan atas kekuasaan sendiri yang diatur dalam pasal 6 UU Nomor 4 Tahun, sebagaimana digariskan dalam pasal 1178 KUH Perdata, yakni harus ditegaskan sebagai klausul dalam APHT.

ANALISIS
Persoalan eksekusi jaminan hak tanggungan, bila digolongkan dalam ke tiga jenis eksekusi di atas, menurut hemat penulis eksekusi Hak Tanggugan (H.T) ini dapat digolongkan pada eksekusi pembayaran sejumlah uang, hal ini dapat dilihat bahwa bentuk eksekusi jaminan terhadap hak tanggungan, pada umumnya merupakan eksekusi yang di akhiri dengan pembayaran sejumlah uang, dan hal ini biasanya bersumber dari suatu perjanjian bisnis atau penghukuman membayar ganti kerugian yang timbul dari wanprestasi berdasarkan pasal 1243 jo Pasal 1246 KUHPerdata atau yang timbul dari perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata. 

Namun secara kuantitatif, eksekusi pembayaran sejumlah uang secara keseluruhan bersumber dari penghukuman pembayaran utang. Apabila tergugat sebagai debitor enggan melunasi pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan secara sukarela, terbuka kewenangan pengadilan menjalankan putusan secara paksa melalui eksekusi, dengan jalan penjualan lelang harta kekayaan tergugat di depan umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak penggugat (kreditor) sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam amar putusan.

Akan tetapi, untuk sama adanya pada realisasi penjualan secara nyata, diperlukan berbagai tata cara dan penahapan yang disertai dengan berbagai persyaratan. Boleh dikatakan, penjualan lelang dan penyerahan uang penjualan lelang benda yang dijaminkan kepada pihak penggugat (pihak yang menang) merupakan tahapan akhir proses eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Oleh karena itu, pembahasan eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak terlepas dari masalah proses penahapannya, dengan segala macam tata cara dan syarat-syarat yang terkait pada setiap tahap proses yang bersangkutan. Secara ringkas dapat diuraikan tahapan proses eksekusi pembayaran sejumlah uang dilakukan sebagai berikut :

(1) Peringatan (aanmaning)
Peringatan atau teguran merupakan tahap awal proses eksekusi. Proses peringatan merupakan prasyarat yang bersifat formil pada segala bentuk eksekusi, baik pada eksekusi riil maupun pembayaran sejumlah uang.

Apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pihak tergugat atau debitor tidak mau menaati pelunasan pembayaran jumlah uang yang dihukumkan kepadanya secara sukarela, terbuka hak penggugat (pihak yang menang) untuk mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Adanya pengajuan permohonan eksekusi, merupakan dasar hukum bagi Ketua Pengadilan untuk melakukan tindakan peringatan dalam persidangan insidentil :
1) Dengan jalan memanggil pihak tergugat untuk hadir pada tanggal yang ditentukan guna diperingatkan agar menjalankan pelunasan pembayaran yang dihukumkan kepadanya;dan

2) Pada persidangan peringatan, Ketua Pengadilan Negeri memberi batas waktu pemenuhan putusan, yang disebut masa peringatan, dan masa peringatan tidak boleh lebih dari delapan hari sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 196 HIR atau pasal 207 RBG.

Apabila pihak tergugat tidak hadir memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa peringatan dilampaui tetap tidak mau memenuhi pembayaran yang dihukumkan kepadanya, sejak saat itu Ketua Pengadilan secara ex officio mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau jurusita untuk melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tergugat, sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG. 

(2) Sita eksekusi (executoriale beslag)
Sita eksekusi atau executoriale beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG. 

Sita eksekusi adalah penyitaan harta kekayaan tergugat (pihak yang kalah) setelah dilampaui tenggang masa peringatan. Sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang mesti dibayarkan kepada pihak penggugat. 

Cara untuk melunasi pembayaran sejumlah uang tersebut, dengan cara menjual lelang harta kekayaan tergugat yang telah disita. Kemudian, sita eksekusi itu dilakukan berdasarkan surat perintah yang menyusul peringatan, baru merupakan penahapan proses sita eksekusi atas harta kekayaan tergugat. Penahapan proses sita eksekusi harus lagi disusul dengan penahapan proses surat perintah penjualan lelang, dan disusul penjualan lelang oleh kantor lelang.

(3) Mekanisne sita eksekusi
Untuk mengetahui tata cara sita eksekusi perlu dilihat ketentuan Pasal 197, Pasal 198, dan Pasal 1999 HIR atau Pasal 208, Pasal 209, dan Pasal 210 RBG. 

Secara garis besar adalah :
1) Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan;
2) Dilaksanakan panitera atau jurusita;
3) Pelaksanaan dibantu dua orang saksi;
4) Sita eksekusi dilakukan di tempat;
5) Pembuatan berita acara sita eksekusi.

Materi Pasal 33 Undang-Undang PK No. 14 tahun 1970 (Ketentuanketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman) menyebutkan :
1. Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan atau juru sita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
2. Dalam pelaksanaan putusan Pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.

Berdasarkan kenyataan dalam praktek, bahwa tata cara pelaksanaan eksekusi putusan Hakim/Pengadilan yang telah B.H.T, pada mulanya diawali dengan acara sebagai berikut :

Apabila ada permohonan pelaksanaan putusan dari pihak yang telah dimenangkan dalam perkara perdata dan oleh pihak tersebut telah membayar uang panjar (voorschot) biaya permohonan eksekusi serta biaya lamanya yang diharuskan menurut peraturan dan telah dilakukan pembukuan dan pencatatan dalam daftar yang bersangkutan, maka oleh pihak Pengadilan di perintahkan untuk memanggil pihak lawan yang dikalahkan dan dihukum untuk ditegor supaya melaksanakan putusan yang bersangkutan dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Ketua, dan dasar perintah pemanggilan tersebut dituangkan dalam suatu surat “Penetapan”.

Pada hari yang telah ditentukan, pihak yang dipanggil itu jika datang kemudian ditegor oleh Ketua Pengadilan supaya melaksanakan putusan yang bersangkutan dalam waktu yang ditentukan oleh Ketua, selambat-lambatnya 8 (delapan) hari, tentang penegoran (aanmaning) mana diwajibkan panitera/juru sita pelaksanaan pembuat berita acara/pencatatan seperlunya tentang hasil aanmaning tesebut.

Apabila terhadap tegoran itu tidak diindahkan dan atau kalau pihak yang kalah (dipanggil) tidak datang menghadap meskipun telah dipanggil sepatutnya, maka Ketua Pengadilan karena jabatanya akan mengeluarkan surat perintah untuk menyita barang-barang bergerak (tidak tetap) dan kalau barang-barang itu tidak ada, atau tdak mencukupi, baru dapat dilakukan penyitaan barang-barang tidak bergerak dan yang kalah, sehingga kiranya cukup untuk membayar jumlah yang disebutkan dalam keputusan itu dan biaya-biaya eksekusi (menjalankan keputusan).

Bahwa, keluarnya surat perintah untuk menyita barang-barang dan yang kalah tersebut, biasanya harus diawali pula dengan adanya permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon eksekusi (pihak yang menang), baik itu dilakukan sendiri maupun melalui kuasanya. Hal ini dikandung maksud Pengadilan dapat mengetahui apakah dalam batas waktu yang telah ditetapkan tersebut pihak yang kalah sudah memenuhi atau mematuhi atau memenuhi isi putusan.

Jika dalam surat penetapan tentang penjualan umum eksekutorial (lelang) sebagai pelaksanaan ditunjuk suatu Kantor Lelang Negara, maka hendaknya dalam surat penetapan (beschikking) tersebut mencantumkan pula ketentuan :

“Bahwa hasil bersih dari pelelangan tersebut harus disetorkan (diserahkan) kepada Panitera Pengadilan Agama/ Negeri di …” 

(4) Penjualan lelang (executoriale verkoop)
Kelanjutan sita eksekusi adalah penjualan lelang. Hal itu ditegaskan pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 216 ayat (1) RBG yang berbunyi :

”penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu”.

Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan kantor lelang, dan penjualannya disebut penjualan lelang.

Dengan demikian, berdasarkan pasal 200 ayat (1) HIR, dalam pelaksanaan lelang, Ketua Pengadilan wajib meminta intervensi kantor lelang, dalam bentuk menjalankan penjualan barang sitaan dimaksud.

Terhadap prosedur eksekusi jaminan atas hak tanggungan (H.T) berdasarkan Peraturan Lelang (LN 1908-215) jo. Pasal 200 HIR, yaitu sebagai berikut :
1. Penjualan di muka umum
2. Dilakukan dengan perantara atau bantuan kantor lelang.
3. Cara penjualan dengan penawaran meningkat atau menurun, dan
4. Bentuk penawaran dilakukan secara tertulis.

Pemberitahuan kepada debitur paling lambat selama 30 hari kerja dari tanggal pelelangan yang telah direalisasikan.

c. Biaya Eksekusi
Memeriksa dan mengadili perkara sampai dengan putusan dieksekusi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Untuk apa putusan kalau tidak dapat dilaksanakan pemenuhannya. Sedangkan untuk pemenuhan amar putusan apabila tergugat tidak mau melaksanakannya secara sukarela, diperlukan biaya eksekusi. Oleh karena itu, biaya eksekusi merupakan rentetan lanjutan dari biaya pemeriksaan persidangan. Tidak mungkin memisahkannya dan menganggap biaya eksekusi berada di luar perkara. Semua biaya eksekusi tanpa kecuali merupakan biaya yang harus dijumlahkan perhitungannya dengan biaya yang dikeluarkan selama proses pemeriksaan perkara di semua tingkat persidangan hingga pada tahap eksekusi, apabila dibutuhkan sita eksekusi. 

Biaya eksekusi dibebankan kepada pihak yang dihukum untuk membayar biaya perkara. Untuk mengetahui pihak yang dihukum membayar biaya perkara, dapat dilihat pada amar putusan jo Pasal 181 ayat (1) HIR. Kalau amar menghukum pihak tergugat untuk membayar biaya perkara, kepada pihak tergugat (tereksekusi) pula dibebankan biaya eksekusi. Kalau biaya perkara menurut amar putusan dibebankan kepada pihak tergugat dan penggugat, biaya eksekusi pun dibebankan kepada kedua belah pihak. Hal ini sejalan dengan prinsip, bahwa biaya perkara dengan biaya eksekusi adalah satu kesatuan yang tidak terpisah dalam satu perkara, yang menegaskan ke dalam biaya perkara termasuk biaya eksekusi.

Oleh karena itu, untuk menentukan pihak mana yang menanggung biaya eksekusi tergantung pada bunyi amar putusan. Sekiranya amar putusan membebankan biaya kepada penggugat, maka biaya eksekusi pun dibebankan kepada penggugat. Namun dalam praktek peradilan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) HIR, apabila gugatan penggugat dikabulkan, biaya perkara dibebankan kepada pihak tergugat, sehingga biaya perkara dibebankan kepada tergugat. Kalau gugatan dikabulkan, paling-paling biaya perkara dipikul bersama kepada penggugat dan tergugat, karena penerapan yang demikian dibenarkan Pasal 181 ayat (1) HIR, apabila gugatan tidak seluruhnya dikabulkan. 

Apabila amar putusan tidak memuat amar yang menegaskan kepada siapa biaya perkara dibebankan, semua biaya perkara dibebankan kepada penggugat. Dengan demikian, pihak tergugat terlepas dari kewajibannya mengganti biaya perkara yang telah dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan tujuan penegakan kepastian hukum dalam arti tidak boleh menghukum seseorang tentang sesuatu yang tidak tercantum dalam amar putusan. Oleh karena itu, tidak boleh menghukum tergugat untuk memikul kewajiban mengganti membayar biaya perkara yang tidak tercantum dalam amar putusan. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara, padahal amar putusan tidak menghukumnya secara tegas adalah merupakan penindasan terhadap tergugat.

Dalam eksekusi riil, biaya eksekusi sepenuhnya menjadi beban penggugat, apabila amar putusan tidak menyebut kepada siapa biaya perkara dibebankan. Apabila amar putusan lalai mencantumkan kepada siapa biaya perkara dipikulkan, biaya eksekusi riil menjadi tanggungan penggugat. 

Bukankah biaya eksekusi itu sendiri termasuk biaya perkara dalam eksekusi riil. Karena hal itu tidak ditegaskan dalam amar putusan menjadi kewajiban pihak tergugat, semua biaya eksekusi riil yang dikeluarkan penggugat tidak dapat diminta penggantiannya kepada pihak tergugat. Kalau pihak penggugat tetap menghendaki penggantian dari pihak tergugat, harus melalui gugatan baru. Kemudian mengenai eksekusi pembayaran sejumlah uang, biaya perkara sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap ditanggung oleh pihak penggugat, tetapi mengenai biaya eksekusi ditanggung pihak tergugat (tereksekusi). Adapun alasan biaya eksekusinya dibebankan kepada tergugat (tereksekusi) adalah sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR atau Pasal 208 RBG. 

Dalam pasal tersebut ditegaskan jika tergugat tidak mau memenuhi putusan secara sukarela dalam tenggang waktu peringatan, maka apabila tenggang waktu dilampaui, Ketua Pengadilan karena jabatannya berwenang memerintahkan dengan surat penetapan untuk melakukan menyita eksekusi harta kekayaan tergugat (tereksekusi). Jumlah barang yang disita eksekusi diperhitungkan cukup untuk melunasi jumlah tagihan ditambah semua biaya eksekusi. Jadi dalam pasal ini sudah tersurat dengan jelas bahwa biaya eksekusi dalam pembayaran sejumlah uang dibebankan langsung kepada harta kekayaan tergugat (tereksekusi).

Sehingga dengan demikian, biaya eksekusi pada eksekusi penjualan lelang menurut Pasal 197 ayat (1) HIR atau Pasal 208 RBG selamanya dibebankan kepada pihak tereksekusi (tergugat), sekalipun amar putusan tidak menyebut kepada siapa biaya perkara dibebankan.