Baca Juga

Kuwali baru yang dipamerkan di Museum Tembi Rumah Budaya

Pengguna kuwali hanya tinggal para pedagang makanan, seperti soto dengan label soto kuwali, pedagang gudheg, bubur, dan lainnya. Sementara warga pedesaan yang menggunakan alat ini tinggal sebatas di kala ada keperluan hajatan saja.

Kuwali, kwali atau dalam bahasa Indonesia disebut belanga, adalah sebuah alat masak yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa tempo dulu. Namun sekarang, keberadaan alat ini telah diganti oleh peralatan yang lebih modern, seperti panci, dandang, magiccom, ricecooker, dan sejenisnya. Tentu saja peralihan barang ini karena modernisasi dan akibat perkembangan zaman.

Kuwali setidaknya masih banyak digunakan oleh masyarakat Jawa sebelum kemerdekaan RI hingga di tahun 1970-an. Bahkan, istilah ini telah terekam dalam kamus Jawa “Boesastra Djawa” karangan WJS. Poerwadarminta tahun 1939. Hal itu membuktikan bahwa barang ini jamak digunakan oleh masyarakat Jawa, khususnya, kala itu, sebagai peralatan untuk memasak sayur atau air, seperti yang tertera pada halaman 240.

Memang sampai saat ini juga masih dijumpai masyarakat yang menggunakan kuwali sebagai peralatan dapur, namun sudah sangat jarang. Biasanya pengguna kuwali hanya tinggal para pedagang makanan, seperti soto dengan label soto kuwali, pedagang gudheg, bubur, dan lainnya. Sementara warga pedesaan yang menggunakan alat ini tinggal sebatas di kala ada keperluan hajatan saja. Beberapa warga generasi tua yang masih memiliki alat ini, ketika Tembi survei, tidak dipakai lagi untuk keperluan memasak, melainkan hanya sebagai alat cadangan jika sewaktu-waktu ada keperluan yang membutuhkan masakan dalam jumlah besar.

Banyak alasan pedagang sekarang masih menggunakan kuwali sebagai salah satu alat untuk memasak, mulai dari menjaga cita rasa yang mendekati alami, lebih higienis, maupun ingin menghadirkan kembali peralatan tempo dulu. Mereka yakin, dengan alat tradisional yang terbuat dari tanah liat atau gerabah ini, akan memunculkan rasa yang lebih nikmat, karena bahannya terbuat dari bahan alami, tidak terbuat dari logam.

Sayangnya, dengan kemajuan zaman, pembuat gerabah, yang disebut kundhi, jumlahnya semakin susut. Pembuat gerabah banyak yang beralih ke profesi lain. Sebab alat-alat dapur tradisional, seperti kuwali dan sejenisnya sudah terdesak dan kalah bersaing dengan peralatan dapur yang lebih modern, yang terbuat dari logam aluminium, kuningan, dan sejenisnya.

Kuwali milik warga yang sudah tidak digunakan lagi, dan kuwali baru dengan tutupnya

Memang masih ada sentra pembuatan kuwali dan barang gerabah lainnya yang tersisa, 2 di antaranya yang bisa disebut adalah di daerah Kasongan dan Pundong, Bantul, DIY. Di sentra-sentra tersebut, selain masih memproduksi alat dapur tradisional juga sudah memproduksi gerabah yang penggarapan dan hasilnya lebih modern. Sementara pemasaran kuwali juga semakin terbatas, tinggal di pasar-pasar maupun warung-warung tradisional. Satu dua masih dijumpai pedagang sekaligus produsen yang berkeliling menjajakan alat ini.

Lembaga formal sebagai benteng terakhir yang menjaga barang bernama kuwali ini adalah museum. Di tempat ini, kuwali termasuk salah satu koleksi yang perlu dilestarikan karena termasuk salah satu produk hasil karya buatan manusia, khususnya masyarakat Jawa. Tentu saja museum yang menyimpan koleksi kuwali adalah museum-museum yang menyimpan koleksi benda etnografi Jawa. Beberapa museum di Yogyakarta yang menyimpan koleksi kuwali, antara lain Museum Negeri Sonobudoyo, Museum Tani Jawa Indonesia, dan Tembi Rumah Budaya.

Kuwali yang terbuat dari tanah liat ini mudah pecah. Untuk itu, pemakai harus sangat berhati-hati, baik saat menggunakannya untuk memasak, membersihkannya, maupun dalam menyimpannya. Sebab sekali pecah atau retak, maka sudah tidak bisa dipakai dan harus dibuang. Ditambal pun juga tidak bisa.

Kuwali yang terbuat dari tanah liat ini mudah pecah. Untuk itu, pemakai harus sangat berhati-hati, baik saat menggunakannya untuk memasak, membersihkannya, maupun dalam menyimpannya. Sebab sekali pecah atau retak, maka sudah tidak bisa dipakai dan harus dibuang. Ditambal pun juga tidak bisa.

Kuwali baru ukuran sedang

Eksistensi Kuwali atau belanga yang terbuat dari lempung atau tanah liat memang semakin terdesak oleh peralatan sejenis yang terbuat dari logam, seperti tembaga, aluminium, dan sebagainya. Namun, hingga sekarang masih tetap ada masyarakat Jawa yang memanfaatkan kuwali untuk memasak, terutama dalam skala besar atau untuk berjualan sayur dan makanan. Alasan utama, seperti yang telah dikatakan pada edisi sebelumnya, mereka memilih kuwali untuk memasak berkaitan dengan cita rasa. Mengapa demikian?

Bagian atas kuwali mempunyai bibir dengan lubang besar, bagian bawah cembung, serta lebih tebal dibandingkan dengan alat serupa yang terbuat dari logam. Karena tebal, maka cara memasaknya pun cenderung menggunakan kayu bakar, arang, dan sejenisnya, agar lebih irit pula. Walaupun akibatnya berdampak kotor terhadap alas kuwali. Bahan-bahan alami itu tidak menimbulkan efek terhadap hasil olahan.

Bagi penjual makanan olahan yang telah terbiasa memakai kuwali dan kayu bakar untuk memasak, mereka akan mempertahankannya agar cita rasa makanan olahan yang dihasilkan tetap terjaga. Supaya pelanggannya tidak kecewa. Sebab, seringkali, ketika penjual menggantinya dengan alat memasak lain (walaupun dengan resep yang sama), pelanggan merasakan perubahan cita rasa makanan. Beberapa penjual gudheg di Yogyakarta, terutama generasi tua, biasanya masih menjaga cita rasa itu dengan menggunakan kuwali untuk memasak gudhegnya. Tentu juga di berbagai daerah lain di Jawa, masih dijumpai hal serupa.

Memang, harga kuwali (dengan produksi dan bentuk tradisional) lebih murah jika dibandingkan dengan alat masak sejenis yang terbuat dari logam. Harganya bervariasi, sekitar Rp 5.000-Rp 20.000 tergantung ukuran. Ada yang berdiameter 26 cm dan tinggi 17 cm, dan ada pula yang berukuran lebih kecil atau lebih besar.

Kundi atau pembuat gerabah (termasuk kuwali) pun mengalami susut jumlah sejalan dengan kian langkanya pengguna kuwali. Profesi ini sudah ada lama, setidaknya sebelum zaman kerajaan Majapahit. Buktinya, banyak ditemukan artefak berupa wadah-wadah serupa yang merupakan peninggalan zaman kerajaan Majapahit.

Pembuatan kuwali melalui beberapa proses, mulai dari pengambilan bahan baku, pembentukan, penjemuran, pembakaran, hingga pendinginan. Setelah itu baru dipasarkan ke berbagai tempat, seperti pasar tradisional dan warung-warung sederhana. Supaya hasil masakan tidak berbau tanah atau kuwali tidak mudah pecah, maka ada berbagai trik untuk menghilangkan bau tanah pada kuwali baru. Ada yang mengolesi kuwali baru dengan air tajin (sisa air menanak nasi). Setelah itu dipanaskan hingga mengerak atau gosong. Lalu didiamkan sebentar. Kemudian direndam sehari. Baru kemudian dibersihkan dengan sabut kelapa hingga bersih. Baru bisa digunakan untuk memasak.

Ada juga yang menggunakan cara mencampurkan air dan bekatul dalam kuwali baru sebelum dipakai. Kemudian dipanaskan hingga bekatulnya mendidih dan meluap-luap. Setelah itu baru dibersihkan dan kuwali siap dipakai. Cara lainnya adalah mencampur air dengan parutan kelapa, lalu dimasak hingga mendidih. Kemudian dibersihkan. Cara lain lagi yaitu hanya mendidihkan air pada kuwali baru, setelah itu baru dipakai untuk memasak.

Sementara cara membersihkan kuwali biasanya dengan menggunakan kawul (sisa kayu yang diserut) dicampur dengan air, lalu digosok dengan daun jati atau plastik bekas, kemudian dibilas. Cara-cara itu dilakukan oleh warga masyarakat yang tinggal di beberapa wilayah di Bantul DIY, seperti Imogiri dan Parangtritis.

Perawatan kuwali setelah dipakai juga biasanya ditempatkan di rak bagian bawah yang terbuat dari kayu atau bambu. Rak tersebut dalam bahasa Jawa disebut dengan paga. Cara meletakkannya pun harus tengkurap, karena alas kuwali berbentuk cembung. Selain itu, agar mudah mengambilnya.

Mau merasakan masakan tradisional bercita rasa tinggi dengan alat memasak kuwali? Datanglah ke Yogyakarta!

Sumber: Tembi-1 dan Tembi-2