Baca Juga

Penggunaan Teori dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi 
Sebelum memulai pembahasan, perlu disampaikan bahwa artikel ini berkaitan dengan dua hal. Pertama, dengan pembahasan tentang Ilmu Perpustakaan dan Informasi (selanjutnya disingkat IP&I), khususnya pembahasan tentang epistemologi, yang penulis sampaikan di Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional : Information for Society: Scientific Point of View, di PDII-LIPI, Jakarta pada 20 - 21 Juli 2011. Mengingat keterbatasan waktu di seminar tersebut, artikel itu tak sempat membahas aspek penerapan epistemologi dalam bentuk penggunaan teori. Kedua, artikel ini juga berkaitan dengan upaya penulis menjawab berbagai pertanyaan dari mahasiswa -- baik di tingkat sarjana maupun pasca sarjana, dan bahkan di tingkat doktoral -- yang mempersoalkan penggunaan teori di dalam penelitian mereka, khususnya ketika IP&I dilihat dalam konteks lintas-disiplin. Pada umumnya para penanya ingin memastikan bahwa di dalam penelitian IP&I mereka boleh menggunakan teori-teori dari disiplin lain, selagi belum ada teori IP&I itu sendiri. 

Penulis juga perlu menggarisbawahi bahwa ada kaitan amat erat antara epistemologi, teori, dan sifat lintas-disiplin dari sebuah ilmu. Pembahasan epistemologi sebenarnya memang pembahasan tentang landasan ilmu, khususnya yang berkaitan dengan bagaimana sebuah ilmu (melalui ilmuwan dan penelitiannya) menemukan kebenaran. Setiap teori yang digunakan dalam sebuah penelitian tentu saja juga merupakan kebenaran (walaupun mungkin bersifat sementara) yang dipercaya oleh peneliti tentang suatu hal, sehingga amat berkaitan dengan pandangan epistemologis si peneliti. 

Sementara dalam konteks lintas-disiplin, jelaslah bahwa IP&I membahas sebuah fenomena yang terkadang hanya dapat diperiksa melalui berbagai ‘kacamata’ berbeda, dan oleh karena itu penelitian-penelitian IP&I seringkali menggunakan beragam teori. Keragaman inilah yang sering pula menimbulkan pertanyaan: apakah sesungguhnya IP&I memiliki epistemologi, ataukah ia sebenarnya menggunakan (beberapa) epistemologi orang lain? Apakah benar bahwa IP&I adalah sebuah ilmu, atau ia hanyalah sebuah penerapan dari ilmu-ilmu lain; seperti sebuah ladang bagi penggarap-penggarap yang datang dari berbagai penjuru? Mudah-mudahan di bagian terakhir dari artikel ini kita sama-sama dapat menjawab pertanyaan yang lebih mirip gugatan itu. Untuk menjaga sistematika, artikel ini akan dibagi dalam tujuh bagian, termasuk bagian kesimpulan. Pada bagian awal penulis merasa perlu menguraikan pengertian teori secara umum sebagai bagian dari sebuah disiplin atau ilmu. Pada bagian-bagian berikutnya berturut-turut akan dibahas berbagai bentuk penggunaan teori, termasuk beberapa contohnya di bidang IP&I. Tiga bagian yang terakhir membahas masalah yang lebih mendasar, yaitu landasan pemikiran teoritis, epistemologi, dan falsafat ilmu. Secara khusus akan dibahas pula konsep meta-teori (meta-theory) yang merupakan upaya memperjelas mengapa sebuah teori digunakan untuk penelitian tertentu. Bagian tersebut amat penting mengingat tujuan artikel ini antara lain menjawab pertanyaan para mahasiswa ketika mereka harus memilih teori apa yang akan mereka gunakan di sebuah penelitian. Pemilihan ini tentu saja harus lebih seksama, dan bukan karena teori yang bersangkutan kebetulan sedang popular di saat tertentu. Pembahasan tentang meta-teori ini akan mengantar kita ke bagian kesimpulan yang berisi rangkuman proses penggunaan teori sebagai sebuah jejak-langkah yang terpola. Itulah sebabnya, artikel ini berjudul seperti di atas. 

Pengertian ‘Teori’ 
Jika kita bicara tentang penelitian ilmiah, maka bentuk paling kongkrit dari sebuah teori adalah sebuah pernyataan tertulis, sebagaimana yang dapat kita baca sebagai bagian dari sebuah buku teks atau bagian dari artikel di jurnal ilmiah. Kita lalu mengutipnya, dan menyebut siapa penulis atau pencetusnya. Sebab itulah seringkali sebuah teori dalam laporan penelitian semata-mata adalah sebuah kutipan dari seorang ilmuwan tertentu. Sebagaimana yang dikatakan Durbin (1988) teori memang adalah pernyataan karena ia adalah bagian dari upaya ilmuwan untuk mengungkapkan pemikiran atau idenya. Pernyataan itu ditujukan untuk memperjelas atau memahami serangkaian fakta dan data yang semula terkesan rumit atau bahkan tidak bermakna. Secara lebih rinci, Michalos (1980) membagi pengertian teori dalam lima kategori, yaitu: 
1. Teori sebagai pernyataan yang aksiomatis (axiomatic)1 untuk memberi makna atau pengertian tentang serangkaian fakta yang sebelumnya membingungkan atau tidak bermakna. 
2. Teori sebagai upaya menyusun data dan fakta secara sistematis, walaupun pernyataan-pernyataannya belum tentu aksiomatis. 
3. Teori dianggap sebagai generalisasi tak terbatas tentang kebenaran universal yang diaati oleh para ilmuan; di sini teori dianggap sebagai “hukum” tentang kebenaran. 
4. Teori sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan ilmiah, tanpa bentuk yang pasti atau seragam. 
5. Teori sebagai aturan-aturan untuk mengambil kesimpulan dalam proses penelitian. 

Menurut sejarahnya, istilah ‘teori’ pertama-tama dipakai oleh ilmu-ilmu pasti alam (sains), baru kemudian oleh ilmu-ilmu sosial dan budaya. Dalam sains, teori mengalami perkembangan awal yang amat pesat. Secara klasik perkembangan teori ini mengikuti proses “description, prediction, explanation” (penggambaran, pendugaan/peramalan, penjelasan). Tentu saja sulit menyelidiki sesuatu tanpa menggambarkan sesuatu itu terlebih dahulu. Dari penyelidikan diperolehlah pengetahuan. Lalu, ketika sudah ada beberapa pengetahuan tentang sebuah fenomena itu, dimungkinkanlah pendugaan keterkaitan, proses, atau urutan kejadan (sequences) tentang fenomena tersebut. Lalu, berdasarkan pengujian tentang dugaan-dugaan tersebut, dikembangkanlah penjelasan, dan inilah yang kemudian disebut teori. Dalam bidang sains pula lah pengertian teori dikaitkan dengan metode ilmiah yang biasa disebut metode naif untuk melakukan kesimpulan secara induksi-deduksi (naïve inductive-deductive method) (Ben-Ari, 2005). 

Dalam ilmu sosial-budaya, penggunaan teori juga mengalami perkembangan dan dinamika. Sebagaimana diuraikan Ellis dan Swoyer (2008), pada mulanya teori sosial didominasi pandangan positivistik-logis (logical-postivist), yaitu teori sebagai hasil deduksi berdasarkan prinsip dasar tertentu, sebagaimana yang biasa dilakukan di sains. Teori sosial diuji dengan membuat ramalan (prediksi) berdasarkan prinsip dasar atau hukum (laws) tertentu, dan peneliti kemudian menetapkan apakah prediksi itu benar atau salah. Pada tahun 1960an pandangan yang positivistik tentang teori ini mulai mendapat kritik, sehingga akhirnya sudah tak dominan lagi di ilmu sosial-budaya. Hukum ilmiah menjadi kurang berperan, sementara model menjadi lebih sering dibicarakan. Kita akan kembali ke pembahasan tentang hukum dan model di bagian berikut nanti. 

Walaupun tak lagi dominan di ilmu sosial, menurut Sarantakos (1998) pengertian teori yang digunakan oleh ilmu pasti-alam tetap mendominasi pengertian umum, yaitu sebagai serangkaian proposisi (atau pernyataan tentang kebenaran) yang sudah diuji secara sistematis dan dikaitkan secara logis, dibangun melalui serangkaian penelitian untuk menjelaskan suatu fenomena. Pembuatan teori dalam pengertian ini didasarkan pada cara-cara sistematis yang mengandung prosedur yang jelas, eksplisit dan formal di setiap langkah penelitian. Secara garis besar, langkah-langkah ini terdiri dari (1) pembuatan konsep dan variabel, (2) pembuatan kategorisasi atau sistem klasifikasi, (3) penyusunan proposisi, yaitu pengembangan pernyataan umum tentang keterkaitan antar beberapa konsep, dan akhirnya (4) pengungkapan proposisi ini sebagai teori. Cara seperti ini lazim digunakan dalam penelitian ilmu pasti alam atau sains, serta di dalam penelitian sosial yang memakai paradigma sains

Dalam perkembangannya, pengertian teori juga dikembangkan oleh peneliti-peneliti non-sains, terutama oleh mereka yang menolak paham positivisme. Para peneliti sosial-budaya menolak penyederhanaan fenomena masyarakat sebagai hubungan sebab-akibat yang digambarkan dalam rumus-rumus statistik sebagaimana lazim digunakan di sains. Mereka mengembangkan berbagai pendekatan yang lazim disebut pendekatan kualitatif. Menurut Schwandt (2001), para peneliti kualitatif memakai pengertian yang sedikit berbeda, terutama karena teori tak hanya merupakan sebuah penjelasan, melainkan juga sebuah orientasi atau perspektif seorang peneliti dalam melihat masalah, memecahkan masalah, dan memahami serta menjelaskan realitas sosial. Dengan demikian, teori juga merupakan cara pandang seseorang terhadap dunia kehidupannya (world view). 

Selain itu, ada juga yang disebut Teori Kritis (Critical Theory), yang bukan hanya sebuah teori, melainkan keseluruhan cara membuat teori dan produk dari cara membuat teori itu2. Cara ini bertentangan dengan cara pandang yang sudah umum atau lazim karena memang merupakan upaya sengaja untuk mengkritik konsep, pemahaman, atau kategori tentang kehidupan manusia yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, Teori Kritis juga menganggap teori sebagai sesuatu yang melekat kepada praxis, kepada praktik dan kehidupan sehari-hari. Para ilmuwannya beranggapan bahwa bahwa seorang ilmuan harus "punya kepentingan" dan setiap teori sekaligus punya nilai empiris (praktis) selain normatif. Perbedaan pengertian teori juga dapat muncul karena pandangan yang menekankan cara dan proses pembentukan teori. Misalnya, Strauss dan Corbin (1998), para penganjur grounded theory yang sering dipakai oleh para peneliti sosial dengan pendekatan kualitatif, berpendapat bahwa teori memang dibangun dari konsep dan proposisi sebagaimana yang diuraikan di atas. Tetapi mereka menegaskan bahwa metodologi grounded theory akan menghasilkan teori yang “padat konsep” karena para penelitinya lebih berupaya mengungkapkan proses yang sesungguhnya terjadi di dalam interaksi antar manusia. Setelah mengamati sebuah proses secara seksama dan terinci, para peneliti grounded theory menemukan pola dan tahap yang secara analitis dapat dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah tetapi mempunyai keterkaitan. Identifikasi pola dan tahap inilah yang merupakan konseptualisasi atau penemuan konsep, yang kemudian dilanjutkan dengan proposisi dan akhirnya teori. Dengan kata lain, terjadi proses dari bawah ke atas (bottom up) dan dari data “kasar” ke konsep yang semakin “halus”. 

Sementara itu kita juga musti ingat, bahwa jika teori-teori ilmu alam pada umumnya datang dari pengamatan terhadap jagat raya dan fenomena alam untuk menjelaskan gejala itu, maka teori-teori ilmu sosial sebenarnya juga muncul dari pandangan tentang moral. Sebagaimana dijelaskan oleh Heilbron (1995), teori ilmu sosial pada awalnya bukan hanya merupakan upaya menjelaskan “apa yang dilakukan manusia “ atau “bagaimana manusia bertingkah laku”, tetapi juga “bagaimana seharusnya manusia bertindak dengan tepat dan bijaksana di dalam lingkungan sosialnya”. 

Selain ilmu alam dan ilmu sosial, ilmu budaya juga punya cara mereka sendiri memandang teori. Misalnya, dalam antropologi, teori dianggap sebagai bagian atau cabang dari tiga hal sekaligus yaitu sains, humanisme, dan religi dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik, yaitu: “Dari mana kita (manusia) datang? Kenapa kita berbeda-beda? Bagaimana kehidupan ini berlangsung?” (lihat Erickson dan Murphy, 2003). 

Terlepas dari variasi pandangan tentang arti teori di atas, sebagaimana dikatakan oleh Connaqway dan Powell (2010), teori pada dasarnya adalah sebuah penjelasan sistematik untuk mengamati sesuatu yang berkaitan dengan aspek kehidupan tertentu, saling berkait sesuai logika, menjawab mengapa kejadian berlangsung seperti itu, dan mengandung penjelasan yang padu tentang suatu fenomena. Dari segi ini, maka teori sebenarnya adalah serangkaian konsep yang dapat digunakan untuk memandang keadaan yang sesungguhnya, tetapi sekaligus juga konsep itu adalah hasil pemandangan (persepsi) manusia atas keadaan sekelilingnya. Itulah sebabnya, sebagaimana diulas Weick (2012), seringkali teori dikaitkan dengan pernyataan filsuf Immanuel Kant “persepsi tanpa konsep adalah buta, konsep tanpa persepsi adalah kosong” (perception without conception is blind; conception without perception is empty)”. Secara hakiki, sebagaimana dibahas Best (2004) setiap teori akhirnya memiliki empat elemen, yaitu: 
• Epistemologi – atau teori tentang pengetahuan (theory of knowledge) yang merupakan penjelasan tentang ‘bagaimana manusia dapat mengetahui/mempelajari apa yang manusia perlu ketahui”. Semua teori mengandung petunjuk tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tentang suatu hal. 

• Ontologi – atau teori tentang realita untuk menjelaskan atau memberikan dasar pemahaman tentang kenyataan, atau tentang apa saja gejala yang nyata dapat dipelajari. 

• Lokasi historis – untuk menjelaskan bilamana teori tersebut pertama dibentuk, dalam konteks situasi seperti apa, agar pengguna teori memiliki pengetahuan latarbelakang tentang teori yang bersangkutan. 

• Serangkaian usulan (prescription) – untuk digunakan sebagai panduan dalam kegiatan sehari-hari sebagai mahluk sosial. 

Kita akan kembali membicarakan keempat elemen ini di bagian terakhir menjelang kesimpulan artikel ini. Untuk sementara, dari pembahasan di atas hal terpenting yang perlu kita tegaskan di sini adalah bahwa semua teori merupakan pernyataan tentang kebenaran berupa serangkaian konsep. Ini perlu dipertegas dalam konteks “teori dan praktik”, khususnya di bidang-bidang yang mengutamakan aspek praktis, seperti bidang perpustakaan dan informasi yang kita geluti ini. Bidang ini seringkali dilihat sebagai sekumpulan kegiatan praktis yang mengandung serangkaian aktivitas prosedural untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kongkrit, sehingga hal-hal yang teoritis dianggap kurang perlu. Pandangan seperti ini sudah amat lama terjadi, sebagaimana dikeluhkan oleh Pierce Butler yang menulis lebih dari 70 tahun yang lalu: 

"…the librarian is strangely uninterested in the theoretical aspects of his profession….The librarian apparently stands alone in the simplicity of his pragmatism: a rationalization of each immediate technical process by itself seems to satisfy his intellectual interest. Indeed any endeavor to generalize these rationalizations into a professional philosophy appears to him, not merely futile, but positively dangerous." (Butler, 1933; xi-xii). 

Sebenarnya ketidak-tertarikan pustakawan pada aspek teoritis tidaklah mengherankan. Dalam kegiatan sehari-hari, pustakawan lebih memerlukan catatan petunjuk kerja (manual) atau catatan prosedural untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Buku-buku petunjuk, misalnya AACR untuk melakukan pengatalogan dan DDC untuk menetapkan nomor klasifikasi, lebih dianggap diperlukan dalam pekerjaan sehari-hari. Kegiatan lain, seperti pelayanan rujukan atau sirkulasi, lebih banyak dilakukan berdasarkan pengalaman “turun temurun” (yang mungkin tercatat, dan mungkin juga tidak) di kalangan pustakawan. Dari keadaan inilah, seringkali pendidikan profesi pustakawan juga tak terlalu merasa perlu menyentuh teori atau bahkan tak perlu berlandaskan ilmu. 

Lebih dari satu dekade yang lalu, Biggs sudah menyinggung hal ini dan menegaskan (atau mungkin menggerutu) bahwa ”ilmu perpustakaan” tak pernah ada, melainkan yang ada adalah ”kepustakawanan” (librarianships). Ia mengambil posisi lebih tegas karena berkonsentrasi pada produk sekolah-sekolah IP&I yang memang bertujuan menghasilkan para pustakawan sebagai pekerja di perpustakaan. Menurutnya, 

Librarianship (I have never felt comfortable calling it library "science") is not a discipline, nor has it the potential to become one. (…) There is no unified science, no discipline; therefore, the field does not yield theory or attract many theorists or scientists or even very many serious intellectuals (1991 : 192). 

Biggs mengatakan, kepustakawanan adalah sebuah “professional study”, bukan sebuah “academic discipline” karena hanya berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teknis yang membutuhkan solusi-solusi teknis pula. Memang, untuk memecahkan persoalan tersebut kadang-kadang diperlukan berbagai ilmu dan teori, mulai dari ekonomi, sosiologi, psikologi, matematik, ilmu komputer, linguistik (untuk klasifikasi dan analisis isi buku, misalnya), sejarah, ilmu hukum (misalnya untuk persoalan hak cipta), manajemen, ilmu politik, fisafat, sampai kimia (misalnya untuk persoalan pelestarian bahan pustaka). Namun, menurut Biggs, pustakawan tak perlu menjadi ilmuwan dari berbagai cabang ilmu tersebut, dan perpustakaan hanyalah objek bagi ilmu-ilmu tersebut, sama halnya dengan rumah sakit dan segala kegiatan di dalamnya adalah objek dari berbagai ilmu (mulai dari manajemen, ilmu hukum, sampai ilmu gizi). Sebab itulah pustakawan sering tak merasa perlu mempersoalkan teori dan ilmu, karena toh mereka hanya mempraktikkan apa yang sudah diteliti atau dikembangkan oleh berbagai ilmu lain. 

Keadaan di Indonesia tak jauh berbeda dari sinyalemen Biggs di atas. Kajian yang dilakukan oleh Laksmi dan Wijayanti (2012) memperlihatkan betapa miskinnya penelitian IP&I di kalangan akademisi dan praktisi perpustakaan. Kalaupun ada penelitian, penekanannya lebih kepada pemecahan masalah-masalah teknis, khususnya dalam hal pengembangan dan pengelolaan koleksi. Banyak pula kajian yang dilakukan hanya sebagai evaluasi terhadap efisiensi kerja dan efektivitas layanan perpustakaan. Ini tak terlalu mengherankan, sebab tujuan utama dari pendidikan profesionalisme pustakawan di Indonesia memang adalah menghasilkan tenaga-tenaga trampil yang siap bekerja.

Tidaklah pada tempatnya mengembangkan diskusi tentang pendidikan profesi dan profesionalisme pustakawan di makalah ini. Kita harus kembali ke pokok persoalan, yaitu penggunaan teori dalam penelitian IP&I. Sesungguhnyalah, terlepas dari orientasi pendidikan IP&I yang terlalu teknis demi menghasilkan pekerja-pekerja profesional, telah banyak dilakukan penelitian IP&I yang menggunakan berbagai macam teori. Pettigrew dan McKechnie (2001) pernah melakukan penelitian terhadap 1.160 artikel yang terbit di enam jurnal IP&I dari tahun 1993 sampai 1998. Mereka menemukan bahwa 34,1% dari artikel itu menggunakan teori, terutama teori yang "dipinjam" dari ilmu sosial (45,4% dari artikel-tersebut), ilmu pasti-alam (19,3%) dan humaniora (5,4%) selain teori orisinal di bidang ilmu informasi (29,9%). Temuan ini menegaskan temuan-temuan sebelumnya yang menyatakan bahwa pada umumnya artikel di bidang ilmu perpustakaan dan informasi mencerminkan subyek cakupan yang amat luas sehingga mengandung beragam teori. Selain itu terdapat perbedaan konseptual dalam cara memandang dan menggunakan teori di kalangan IP&I. Banyak penulis, menurut Pettigrew dan McKechnie, ragu-ragu memutuskan apakah mereka menggunakan teori atau model, atau semata-mata metode dan hasil penelitian. Namun mereka juga mencatat ada 100 penulis yang teorinya dianggap orisinal di bidang perpustakaan dan informasi. Untuk lebih merasuk ke isu utama ini, kita perlu membahas lebih lanjut pengertian teori, hukum, dan model.