Baca Juga

Pengertian Subjek Pajak Dan Objek Pajak 
Adapun pengertian subjek pajak menurut Waluyo & Wirawan (2003, hal.58) “Subjek Pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh Undang-Undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak”.

UU PPh Indonesia mengatur pengenaan PPh terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak, sehingga terhadap subjek pajak akan dikenakan PPh apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam UU PPh Indonesia selanjutnya disebut Wajib Pajak.

Menurut Waluyo & Wirawan (2003, 58) subjek pajak menurut UU Pajak Penghasilan yaitu UU No. 17 Tahun 2000 terdiri atas:

a) Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun diluar Indonesia.

b) Warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan, menggantikan yang berhak, dimana merupakan subjek pajak menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Masalah penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan.

c) Badan
Pengertian Badan mengacu kepada Undang-Undang KUP, bahwa badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Komanditer, Perseropan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi sejenis, lembaga. Khusus masalah perkumpulan sebagai subjek pajak adalah perkumpulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan dan atau memberikan jasa kepada anggota. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE 26/pj.42/1999 tentang perlakuan Perpajak bagi Partai Politik bahwa politik juga termasuk sebagai subjek pajak yang telah termasuk dalam pengertian badan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2000.

d) Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau berada yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. 

Subjek Pajak terdiri dari subjek dalam negeri dan subjek luar negeri. Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari atau jangka waktu 12 bulan adalah orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan yang besar melebihi penghasilan tidak kena pajak.

Menurut Waluyo & Wirawan (2003, 60) terdapat perbedaan yang penting antara Wajib Pajak Dalam Negeri Dan Luar Negeri Dalam Memenuhi kewajiban pajaknya, antara lain:
  1. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
  2. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum, sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
  3. Subjek Pajak Dalam Negeri wajib menyampaikan surat pemberitahuan tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan subjek pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan surat pemberitahuan tahunan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui potongan pajak yang bersifat final.
Namun, dalam perpajakan terdapat juga yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana menurut Waluyo & Wirawan (2003, 60) sebagai berikut :
  1. Badan Perwakilan Negara Asing
  2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-­pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada merea yang bekerja pada dan bertempat tinggat bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
  3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran pada anggota.
  4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya menjadi penghasilan tidak kena, pajak. Sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia, atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.

Objek Pajak
Objek pajak diatur dalam pasal UU PPh. Objek pajak adalah penghasilan dimana penghasilan dapat diartikan setiap tambahan, kemampuan ekonomis yang diterima adalah diperoleh wajib pajak dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang dapat dikonsumsi dan menambah kekayaan dalam bentuk apapun.

Menurut Waluyo & Wirawan (2003, 66) pengertian wajib pajak sebagai berikut:
“Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Yang menjadi objek pajak PPh adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dan luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”.

Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian objek pajak penghasilan merupakan penghasilan tidak tetap yang diterima oleh Wajib Pajak karena penghasilan tersebut lebih berbentuk kepada, kenikmatan yang tidak bisa didapat setiap bulannya, sehingga dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.

Penghasilan dan Pengurangan PPh Pasal 21
Ketentuan pajak penghasilan pasal 21 UU PPh mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dengan kegiatan.

a. Penghasilan PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan yang sebelum perubahan perundang-undangan perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan/ ordonisasi seperti yang dikenal dengan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang dipungut berdasarkan ordonisasi Pajak Pandapatan tahun 1994, selanjutnya sejak tahun 1994 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) kemudian dirubah menjadi Undang­undang nomr 7 tahun 1991 yang selanjutnya dirubah dengan Undang-undang nomor 10 tahun 1994 yang digunakan sebagi Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penghasilan merupakan perpaduan dari beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur secara terpisah sebagaimana telah diuraikan diatas. Kemudian setelah masa reformasi maka Undang-undang Pajak Penghasilan dirubah menjadi Undang-undang No. 17 tahun 2000 yang masih digunakan sampai sekarang.

Menurut Munawir (1992, 109) dikatakan bahwa :
“Pajak Penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari pendapatan rakyat, pemungutannya telah diatur dengan Undang-undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Namun demikian dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai undang-undang, sehingga mempersulit masyarakat wajib pajak untuk mempelajari, memahami dan mematuhinya”.

Undang-undang PPh terdiri dari beberapa pasal, salah satunya adalah pasal 21, menurut Wahyutomo (1994, 40) Pajak Penghasilan pasal 21 Merupakan :

"Pajak Penghasilan pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa yang diterima sebagai penghasilan".

Wajib Pajak PPh pasal 21 sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo (2000, 127) bahwa yang menerima penghasilan dipotong PPh 21 adalah :
  1. Pejabat Negara
  2. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
  3. Pegawai Swasta
  4. Pegawai Tetap
  5. Pegawai Lepas
  6. Penrima Pensiun
  7. Penerima. Honorarium
  8. Penerima Upah
Pengurangan-pengurangan yang Diperbolehkan
Menurut Waluyo & Wirawan (2003, hal. 152) adapun pengurangan­pengurangan yang diperbolehkan antara, lain:

1. Untuk menentukan besarnya penghasilan netto pegawai tetap, penghasilan bruto dikurangi dengan:
  • Biaya Jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang besarnya 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 1.296.000 setahun atau. Rp. 108.000 sebulan. Biaya jabatan dapat dikurangi dari penghasilan setiap orang bekerja sebagai pegawai negeri tetap tanpa memandang mempunyai jabatan atau tidak.
  • Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau Badan Penyelenggaraan Tabungan hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2. Untuk menentukan Besarnya Penghasilan Kena. Pajak, Penghasilan Netonya dikurangi dengan penghasilan kena pajak, (PTKP) yang sebesarnya:
  • Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
  • Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat, bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan. Diberikan. tambahan PTKP sebesar Rp.1.440.000 setahun atau Rp. 120.000 sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya paling banyak tiga orang, masing-masing sebesar Rp.1.440.000 setahun atau Rp. 120.000 sebulan.
  • Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada tahun awal kawin. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kawin, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kawin yang bersangkutan.
Pengurangan-pengurangan yang diperbolehkan dalam menghitung penghasilan kena, pajak bagi pegawai tetap telah ditentukan oleh ketentuan undang-undang perpajakan. Dalam menentukan penghasilan netto untuk pegawai tetap, maka pengurangan diperbolehkan yaitu : biaya jabatan dan pensiun dan penghasilan netto tersebut masih diperkenankan dikurangi lagi dengan penghasilan tidak kena pajak.

Tarif
Menurut Waluyo & Wirawan (2003, hal. 75) tarif pajak yang sesuai dengan UU PPh pasal 17 tahun 2000 untuk penghasilan kena pajak (PKP) adalah tarif umum yang terdiri dari:
1.      Untuk wajib pajak Orang pribadi dalam negeri
Lapisan penghasilan kena pajak                                        Tarif
Sampai dengan Rp.25.000.000                                         5%
Diatas Rp.25.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000     10%
Diatas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp. 100.000.000  15%
Diatas Rp.100.000.000 sampai dengan Rp.200.000.000 25%
Diatas Rp.200.000.000                                                     35%
2.      Untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak                                      Tarif
Sampai dengan Rp.50.000.000                                         10%
Diatas Rp.50.000.000 sampai dengan Rp.100.000.000               15%
Diatas Rp.100.000.000                                                     30%

Selanjutnya Mardiasmo (2000, hal. 131) mengkhususkan lagi tarif pajak penghasilan pasal 21 yang dibagikan ke dalam :
  1. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan kena pajak.
  2. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan bruto.
  3. Tarif sebesar 15% diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan dsb).
  4. Tarif sebesar 10% diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp.24.000 sehari tetapi tidak melebihi Rp.240.000 dalam satu bulan takwin dan atau tidak dibayarkan secara bulanan.
Dalam perhitungan pajak yang terutang digunakan tarif pajak atau tarif untuk menghitung besarnya pajak terutang dalam penentuan tarif bagi wajib pajak dilihat dari lapisan penghasilan kena pajak, jika penghasilan kena pajak lebih dari lapisan penghasilan kena pajak yang pertama, maka dikenakan lapisan penghasilan kena pajak yang kedua dan terus berkelanjutan sampai pada lapisan yang terakhir.

Pelaporan PPh Pasal 21
Pemotongan/pemungutan pajak penghasilan pasal 21 atau penerima penghasilan pajak pasal 21, juga mempunyai hak dari kewajibannya dalam menjalankan tugas, dalam melakukan pemotongan dan pemungutan atas pajak penghasilan pasal 21 setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke kantor pajak berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Menteri Keuangan, sesuai pasal 21 ayat 2 UU No.7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 tahun 2000 dan pemotong pajak mengambil sendiri formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban.

Pemotong pajak wajib menghitung, memotong dan menyetorkan pajak penghasilan. pasal 21 terutang setiap bulan takwin penyetoran dilakukan dengan menggunakan surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pos atau Bandar badan usaha milik negara milik daerah atau bank lain yang ditunjuk oleh direktorat jenderal anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwin bulan berikutnya.

Kemudian dilaporkan penyetoran dengan menggunakan surat pemberitahuan mass (SPT masa) ke kantor pelayanan pajak atau kantor penyuluhan pajak setempat selambat-lambatnya pads tanggal 20 bulan takwin.

Apabila satu bulan takwin terjadinya kelebihan penyetoran pajak penghasilan pasal 21, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwin yang bersangkutan, dan pemotong wajib pajak memberi bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 21 diminta atau tidak pada saat dilakukan pemotongan kepada orang pribadi sebagai pegawai tetap.

Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotong pajak penghasilan pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, ditentukan oleh Jenderal pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwin berakhir.

Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwin berakhir pemotong pajak wajib menghitung kembali jumlah pajak penghasilan pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 UU No.7 tahun 1983 terhadap pajak berakhir yang diubah UU No. 17 tabun 2000, dimana jumlah pajak penghasilan pasal 21 didasarkan kepada kewajiban pajak subjektif yang melekat pada pegawai tetap.

Apabila jumlah pajak yang terutang besar dari jumlah pajak yang telah dipotong, kekurangannya dipotong dari pembayaran gaji pegawai yang bersangkutan untuk bulan pada waktu-waktu yang dilakukan penghitungan kembali.

Setiap pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) pajak penghasilan pasal 21 ke kantor pelayanan pajak setempat, SPT disampaikan selambat-­lambatnya tanggal 31 maret bulan takwin berikutnya.

Pemotongan pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu, permohonan diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 maret tahun takwin berikutnya dengan menggunakan formulir yang dilakukan. oleh Direktur Jendral Pajak dalam hal jumlah PPh pasal 21 yang terutang dalam 1 tahun takwin lebih besar dari PPh pasal 21 dan yang telah disetor.

Kekurangannya harus disetor sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 25 maret tahun takwin berikutnya. dan jumlah pajak penghasilan PPh pasal 21 yang terutang dalam 1 tahun takwin lebih kecil dari pajak penghasilan pasal 21 yang telah disetor.

Kelebihan tersebut di perhitungkan dari PPh pasal 21 yang terutang bulan pada waktu dilakukannya perhitungan tahunan. dan jika masih ada sisa kelebihan akan diperhitungkan untuk bulan-bulan lain dalam tahun berikutnya, dalam hal pemotongan pajak adalah badan SPT Tahunan PPh pasal 21 harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi dalam hal SPT Tahunan PPh pasal. 21 ditandatangani dan diisi oleh orang lain harus dilampirkan Surat kuasa khusus.

Jenis dan Batas Waktu Pembayaran SPT
Memperhatikan saat pelaporannya SPT dibedakan menjadi dua yaitu:
1. SPT Masa
2. SPT Tahunan

Sesuai dengan pasal 3 ayat (3) UU No.9 tahun 1994 tentang KUP bahwa, batas waktu penyampaian SPT diatur sebagai berikut:
1. SPT Masa selambat-lambatnya dua puluh hari setelah akhir masa
2. SPT Tahunan selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir tahun

Adapun untuk betas waktu penyampaian SPT PPh pasal 21 baik masa ataupun tahun sebagai berikut
1). SPT Masa
Yang menyampaikan SPT : Pemotong PPH pasal 21
Batas waktu penyampaian : Tanggal 20 bulan takwin berikutnya setelah masa pajak berakhir.

2). SPT Tahunan
  • Yang Menyampaikan SPT : Wajib Pajak yang mempunyai NPWP 
  • Batas waktu penyampain : Selambat-lambatnya 3 bulan setelah tahun pajak berakhir.
Memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21
Setiap Wajib Pajak mengisi Surat pembentahuan (SPT), hal ini berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 2000, SPT merupakan laporan pemungutan PPh pasal 21 oleh Pemotong PPh pasal 21 disampaikan kepada kantor pelayanan pajak dalam jangka waktu 20 hari setelah berakhimya masa pajak.

Membuat Pembukuan atau Pencatatan
Dalam hal-hal tertentu, untuk mengamankan kebijakan dan tujuan sistem perpajakan beberapa persyaratan digariskan olah ketentuan perpajakan. 

Hal yang didasari pembuatan pembukuan atau pencatatan bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan usaha adalah pasal 28 ayat (1) UU No.16 Tahun 2000 pada setiap akhir tahun pajak wajib pajak harus menutup pembukuan dengan membuat neraca dan perhitungan laba rugi berdasarkan prinsip pembukuan yang konsisten dengan tahun sebelumnya.

Suatu hutang atau aktiva pajak yang ditangguhkan di klasifikasikan di neraca sebagian lancar berdasarkan klasifikasi aktiva atau hutang yang berhubungan dengannya untuk pelaporan keuangan pada akhir tahun yang merupakan kenaikan hutang pajak dalam tahun-tahun mendatang sebagai berikut dari perbedaan sementara yang ada pada, akhir tahun berjalan.

Selain mempengaruhi neraca, pajak yang ditangguhkan didebet, maka kredit dengan jumlah yang sama dicatat dalam perkiraan beban pajak penghasilan, suatu kredit diperkirakan beban mengurangi saldo perkiraan tersebut. 

Laporan laba rugi menunjukkan besarnya hasil yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu perkiraan-perkiraan yang dituangkan dalam laporan laba rugi adalah pendapatan dan beban.

Dalam laporan laba rugi merupakan semua peningkatan aktiva perusahaan yang berasal dari penyerahan barang dan jasa dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan semua beban yang hares ditangguhkan oleh perusahaan dalam menjalankan perusahaan.

Dalam laporan laba rugi jika PPh pasal 21 ditangguhkan (terutang) akibat dan perbedaan sementaranya (perusahaan sudah harus membuat pembukuan sementara untuk pembayaran pajak PPh pasal 21 belum disetorkan ke bank karena telah sampai jangka waktunya) maka perkiraan pajak penghasilan pasal 21 terutang ini turut disajikan dalam laporan laba rugi di pos beban operasi.