Baca Juga
Bisnis Hukum Ritel Waralaba Berdimensi Hukum Persaingan Usaha
Kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semakin hari semakin bervariasi, semakin modern dan semakin berkembang. Pemenuhan kebutuhan hidup itu merupakan tujuan dari kegitan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan yang dapat memberikan perlindungan kepada keluarga atau dirinya bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan yang sama dari masyarakat lainnya. Pembangunan ekonomi tersebut telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain kemajuan dalam hal meningkatnya kesejahteraan rakyat. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kesejahteraan rakyat yang dimaksud hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang saja karena isu akan banyaknya rakyat miskin juga merupakan hambatan dan permasalahan tersendiri dalam usaha Negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks yang lebih luas dapat dikatakan bahwa perkembangan ekonomi dunia saat ini bergerak sangat cepat dan dinamis. Arus globalisasi merupakan faktor penggerak kemajuan karena negara-negara saling terkoneksi antara satu dengan yang lain yang secara bersama-sama pula meningkatkann pembangunan ekonomi. Artinya, kemajuan pembangunan ekonomi akan menjadi pendorong utama bagi munculnya saling ketergantungan antarnegara di bidang pemenuhan kesejahteraan rakyat.
Kemajuan suatu negara atau masyarakat dapat disebabkan oleh kemajuan negara lain. Oleh karena itu dengan kegiatan ekonomi yang mendunia maka sangat terbuka akan adanya peluang yang lebih luas bagi negara-negara untuk meningkatkan volume perdagangan dengan melakukan ekspansi usaha pasar serta meningkatkan investasi baik langsung maupun tidak langsung yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai di Indonesia yang dapat ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, dengan adanya barang dan jasa dari negara lain yang membanjiri pasar domestik. Pelaku usaha domestic sekarang harus berhadapan dengan pelaku usaha dari berbagai Negara dalam suasana persaingan tidak sempurna. Pelaku usaha besar dan pelaku usaha transnasional dapat menguasai kegiatan ekonomi domestik melalui perilaku anti persaingan seperti kartel, penyalahgunaan posisi dominan, merger/take over, dan sebagainya. Di mana smua kegiatan itu dapat menghambat kegiatan ekonomi domestik yang pada akhirnya dapat mematikan usaha ekonomi dalam negeri.
Adanya kesepakatan negara yang mengacu pada prinsip perdagangan bebas, serta tindakan persaingan usaha yang bebas ternyata hanya dapat dirasakan oleh sebagian negara saja. Persaingan usaha di dunia dinilai hanya menguntungkan negara besar. Kerjasama Negara semata-mata ditujukan kepadanegara kecil sebagai pengguna barang dan jasa. Akibatnya bagi negara kecil akan sulit bersaing sebagai produsen, dan hanya sebagai konsumen semata.
Di sisi lain peluang-peluang usaha yang tercipta dapat menyebabkan munculnya persaingan di antara sesama pelaku usaha yang mengakibatkan peluang usaha yang dibangun akan mati suri karena kesulitan distribusi, kesulitan modal, kesulitan produksi karena pelaku usaha tidak sanggup untuk menghadapi persaingan yang tidak sehat sehingga peluang usaha belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi.
Apabila ditelaah lebih mendalam maka fenomena di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan ekonomi nasional melupakan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945). Para pelaku usaha, termasuk elit kekuasaan yang bertindak sebagai pengusaha mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Hal ini dapat dilihat pada banyaknya pelaku usaha perorangan yang memiliki kekayaan luar biasa, sebaliknya dapat dilihat pula banyaknya masyarakat yang sangat miskin. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Akibatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tidak dapat terpenuhi secara maksimal.
Seharusnya, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap warga negara berhak untuk menjadi pelaku usaha sesuai kemampuannya sebagai suatu pekerjaan untuk memperoleh kehidupan yang layak, namun talenta sebagai pelaku usaha juga memerlukan kemampuan dan pengetahuan untuk bersaing dalam dunia usaha. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tidak memberikan kesempatan dan peluang pekerjaan apabila pelaku usaha tidak memiliki talenta yang sesuai dengan kemampuannya itu.
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas menuntut kita untuk menata kembali kegiatan usaha. Penataan kembali kegiatan dunia usaha diharapkan akan membantu dunia usaha untuk tumbuh dan berkembang secara baik dan benar. Karena dengan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat bdan dinamis, dunia usaha akan terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang dilakukan dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Untuk mewujudkan perekonomian nasional dan kesejahteraan social yang dapat menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan maka Pasal 33 UUD 1945 mengisyaratkan bahwa: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Amanat ini menginginkan agar dunia usaha perekonomian itu seyogianya dijalankan layaknya suatu mekanisme yang teratur antara penawaran dan permintaan dalam sistem kekeluargaan, saling menguntungkan dan pelayanannya layaknya melayani keluarga sendiri. Paham ini tentunya sangat sulit untuk dimengerti karena antara penjual dan pembeli terkadang tidak saling kenal dan bukan merupakan keluarga seperti yang dimaksud di atas. Namun yang jelas esensi ayat ini menginginkan dan mengutamakan rasa kekeluargaan dalam tata perekonomian nasional. Ayat (2) yaitu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Amanat ini mengisyaratkan akan adanya monopoli Negara terhadap cabang-cabang produksi yang ditujukan untuk memberi jaminan kehidupan rakyatnya. Artinya untuk perorangan sebagai pelaku usaha tidak dibenarkan menguasai cabang-cabang produksi tersebut. Ayat (3) Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Secara khusus negara mengatur tentang sumber daya alam baik yang berada di atas bumi, dipermukaan tanah ataupun di dasar bumi adalah dalam penguasaan negara. Penguasaan negara dapat diartikan sebagai penguasaan absolut terhadap sumber daya alam yang tidak bisa dikuasai oleh orang perorang dalam rangka kesejahteraan rakyat.
Ayat (4) dikatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Bahwa pelaku usaha harus mengedepankan asas demokrasi ekonomi. Negara dan pelaku usaha harus menghindarkan diri dari eksploitasi usaha manusia yang dapat menyebabkan terjadinya struktur ekonomi nasional yang lebih memerosotkan posisi Indonesia dalam perekonomisn dunia. Lain daripada itu negara harus menghindarkan diri dari upaya untuk mendominasi kegiatan ekonomi yang dapat mematikan potensi serta daya kreasi masyarakat. Dan sesungguhnya dalam ayat ini telah diisyaratkan agar dalam kegiatan ekonomi harus dihindarkan persaingan yang tidak sehat serta harus dihindari pemusatan kegiatan ekonomi pada seseorang atau kelompok orang dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Terakhir ayat (5) UUD 1945 mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Dalam ayat ini tergambar akan kewenangan presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat sesuai isi Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 21 UUD 1945.
Melalui perjalanan panjang, Pasal 33 UUD 1945 tersebut di atas melahirkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat UU No.5/1999) yang secara umum mengatur bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Karena demokrasi dalam bidang ekonomi sesungguhnya menghendaki akan adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan jasa, berpartisipasi dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga kegiatan usaha dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Dengan demikian UU No.5/1999 ini dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.8 Lebih lanjut UU No.5/1999 secara normatif mengatur bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang dilaksanakan oleh Negara RI terhadap perjanjianperjanjian internasional.
Agar implementasi undang-undang ini serta peraturan pelaksananya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya, maka perlu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain, yang berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang pengadilan.
Secara umum, materi dari peraturan perundang-undangan yang melarang praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, penegakan hukum, ketentuan lain-lain.
UU No.5/1999 disusun berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan normanorma dasar Undang-Undang Dasar 1945, yaitu berasaskan ,demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Negara mempunyai tujuan untuk menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian hukum. Negara menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Saat ini berkembang pesat kegiatan ekonomi masyarakat yang melakukan penawaran dan permintaan akan barang dan jasa di pasar-pasar. Pasar merupakan pertemuan antara penjual dan pembeli. Pasar merupakan tempat terjadinya transaksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rakyat, sehingga dalam praktiknya terdapat pasar-pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional diselenggarakan masyarakat dalam bentuk yang sederhana di tempat yang sederhana pula.
Berbeda dengan pasar tradisional, dalam pasar modern tidak ditemukan penawaran barang, tidak ada percakapan antara pembeli dengan penjual akan harga yang diinginkan. Biasanya harga telah ditentukan dan tidak ada tawar menawar. Pasar-pasar bentuk ini dikatakan sebagai tokotoko modern karena mekanisme penawaran dan pembelian telah ditentukan dengan label-label harga sepihak oleh pemilik toko. Bahkan tempat toko itu berada lebih nyaman dan menyenangkan jika dibandingkan dengan pasarpasar tradisional yang bersesakan, becek, kotor dan sebagainya.
Pengaturan pasar di Indonesia adalah sesuai Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (selanjutnya disingkat Perpres No.12/2007). Perpres tersebut diterbitkan karena semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan.
Untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan took modern, serta norma-norma keadilan, sebagai kegiatan yang saling menguntungkan. Pedoman itu mengatur hubungan yang harmonis dan tanpa tekanan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen.
Untuk lebih mengoperasionalkan Perpres No.112/2007 di atas, maka Menteri Perdagangan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (selanjutnya disingkat Permendag No.53/2008). Namun Permendag ini sesungguhnya hanya merupakan penegasan kembali Perpres No.112/2007, artinya secara substansial hal yang diatur dalam Perpres No.122/2007 juga tercantum Permendag No.53/2008. Hanya saja Permendag No.53/2008 lebih rinci dalam mengaplikasikan aturan hukum yang yang secara umum telah diatur dalam Perpres No.112/2007.
Misalnya menyangkut pendirian pasar, pada Pasal 3 secara rinci telah diatur tentang analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap pasar tradisional dengan toko modern. Namun dalam kenyataannya Pasal 3 Permendag ini banyak menimbulkan masalah. Ada Toko Modern yang berdiri berdekatan dengan Pasar Tradisional karena jarak antar keduanya tidak diatur dalam Perpres maupun Permendag.
Untuk lebih memasyarakatkan aturan hukum tentang pasar modern dan pasar tradisional ini maka Walikota Makassar menerbitkan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 15/2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Kota Makassar (selanjutnya disingkat Perda No.15/2009). Perda ini sesungguhnya merupakan copy paste dari Permendag No.53/2008 menyangkut Toko Modern sehingga secara hukum Perda ini tidak mengatur secara baik lokasi, jarak serta asesoris toko modern yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat di antara sesama toko modern.
Menyangkut lokasi, terdapat beberapa toko modern yang berdampingan satu sama lain, bahkan berdampingan dengan toko/warung tradisional. Karena berdampingan maka secara psikologis keduanya akan bersaing untuk menarik pelanggan, apakah dalam bentuk persaingan harga, kualitas maupun persaingan pelayanan. Persaingan-persaingan tersebut secara otomatis melahirkan persaingan tidak sehat dan yang sangat merasakan akibat persaingan itu adalah toko/warung tradisional.
Fenomena tersebut mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial di antara masyarakat sehingga banyak penolakan masyarakat terhadap keberadaan toko modern. Oleh karena itu pengaturan dan mekanisme perijinan terhadap operasionalisasi toko modern dipermasalahkan oleh masyarakat. Bahkan di daerah-daerah tertentu toko modern dilarang beroperasi. Kalaupun diijinkan beroperasi maka pemberian ijin harus melalui persetujuan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat.
Terlihat ada pertentangan hukum dalam arti ada ketidaksesuaian di antara aturan yang mengatur pengoperasionalan toko modern dengan UU No.5/1999. Penolakan masyarakat menandakan bahwa hukum dianggap kurang efektif, hukum tidak dilaksanakan sesuai aturan yang ada dalam dirinya.
Kegiatan toko modern yang biasa dikenal dengan mini market operasionalisasinya dipermudah dengan melibatkan pemodal. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (selanjutnya disingkat PP No.42/2007). Dan menurut Pasal 50 huruf b UU No.5/1999, perjanjian waralaba ini dikecualikan dari ketentuan UU No.5/1999 karena berkaitan dengan lisensi dan hak kekayaan intelektual. Dengan demikian kegiatan usaha toko modern yang berbentuk waralaba sangat berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Karena dikecualikan menurut UU No.5/1999, maka peluang untuk melanggar aturan sangat memungkinkan dilakukan. UU No.5/1999 mengatur tentang perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang. Kalau perjanjian dan kegiatan yang dilarang itu dilakukan maka norma hukum persaingan usaha dilanggar. Sebaliknya apabila kedua norma itu dilaksanakan dengan baik sesuai amanat UU No.5/1999 maka kedua norma itu akan mempengaruhi pengembangan toko modern bentuk waralaba. Pengaruh itu akan mewujudkan kondisi sehat terhadap toko modern yang pada akhirnya cita-cita Pasal 33 UUD 1945 menjadi kenyataan.
Pemodal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri berlombalomba menanamkan modalnya, memberikan lisensi merek, memberikan pelatihan manajemen dan pelayanan prima kepada karyawan sehingga14 dimana-mana toko modern bermunculan. Keindahan kota menjadi symbol kemajuan perdagangan dan hal ini merupakan perkembangan kota yang modern, juga menandakan adanya masyarakat modern. Ternyata, modernisasi itu tidak menyentuh toko/warung tradisional, apalagi menyentuh pasar-pasar tradisional yang becek dan kotor. Apalagi terjadi persaingan di antara sesama toko modern menyangkut penetapan harga, lokasi, monopoli, penguasaan pasar sampai pada kegiatan jual beli. Indikator-indikator ini mempengaruhi kegiatan bisnis toko modern bentuk waralaba.