Baca Juga

Pengertian Pemberdayaan Masyarakat 
Istilah pemberdayaan masyarakat yang sering digunakan sebagai terjemahan dari “empowerment” mulai ramai digunakan dalam bahasa sehari-hari di Indonesia bersama-sama dengan istilah “pengentasan kemiskinan” (poverty alleviation) sejak digulirkannya Program Inpres No. 5/1993 yang kemudian lebih dikenal sebagai Inpres Desa Tertinggal (IDT). Sejak itu, istillah pemberdayaan dan pengentasan-kemiskinan (poveerty alleviation) merupakan “saudara kembar” yang selalu menjadi topik dan kata-kunci dari upaya pembangunan

Hal itu, tidak hanya berlaku di Indonesia, bahkan World Bank dalam Bulletinnya Vol. 11 No.4/Vol. 2 No. 1 October-Desember 2001 telah menetapkan pemberdayaan sebagai salah satu ujung-tombak dari Strategi Trisula (three-pronged strategy) untuk memerangi kemiskinan yang dilaksanakan sejak memasuki dasarwarsa 1990-an, yang terdiri dari: penggalakan peluang (promoting opportunity) fasilitasi pem-berdayaan (facilitating empowerment) dan peningkatan keamanan (enhancing security).

Menurut definisinya, oleh Mas’oed (1990), pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strengthening) kepada masyarakat. 

Sehubungan dengan pengertian ini, Sumodiningrat (1997) mengarti-kan keberdayaan masyarakat sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dengan keberdayaan yang tinggi, adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti sifat-sifat kekeluargaan, kegotong-royongan, dan (khusus bagi bangsa Indonesia) adalah keragaman atau kebhinekaan.

Keberdayaan masyarakat, adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya. Karena itu, memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk (terus menerus) meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat “bawah” yang tidak mampu melepaskan diri dari perang-kap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pember-dayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan meningka-kan kemandirian masyarakat. Sejalan dengan itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin) untuk berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung-gugat (accountable) demi perbaikan kehidupannya 

Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) alternatif perbaikan kehidupan yang terbaik . 

Karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan. Dasar pemikiran suatu obyek atau target group perlu diberdayakan karena obyek tersebut mempunyai keterbatasan, ketidakberdayaan, keterbelakangan dan kebodohan dari berbagai aspek. Oleh karenanya guna meng-upayakan kesetaraan serta untuk mengurangi kesenjangan diperlukan upaya merevitalisasi untuk mengoptimalkan utilitas melalui penambahan nilai. 

Penambahan nilai ini dapat mencakup pada ruang bidang aspek sosial, ekonomi, kesehatan, politik dan budaya. Tentang hal ini, World Bank (2001) memberikan beberapa alternatif dalam fasilitasi pemberdayaan (facilitating empowerment) yang dapat dilakukan pemerintah, melalui:
  1. Basis politik dan hukum yang transparan, serta memberikan ruang gerak bagoi demokratisasi dan mekanisme partisipatip dalam pengambilan keputusan, dan pemantauan implementasi kegiatan.
  2. Peningkatan pertumbuhan dan pemerataan administrasi publik yang bertanggung-gugat (accountability) dan responsif terhadap penggunanya.
  3. Menggerakkan desentralisasi dan pengembangan-masyarakat yang memberikan kesempatan kepada “kelompok miskin” untuk melakukan kontrol terhadap semua bentuk layanan yang dilak-sanakan. Desentralisasi itu sendiri harus mampu bekerjasaman dengan mekanisme lain untuk menggerakkan partisipasi serta pemantauan lembaga pemerintah oleh setiap warga-negara.
  4. Menggerakkan kesetaraan gender, baik dalam kegiatan ekonomi maupun dalam kelembagaan politik.
  5. Memerangi hambatan-sosial (social barrier), terutama yang me-nyangkut bias-bias etnis, rasial, dan gender dalam penegakan hukum.
  6. Mendukung modal-sosial yang dimiliki kelompok-miskin, terutama dukungan terciptanya jejaring agar mereka keluar dari kemiskinannya.
Dalam hubungan ini, lemabaga pemerintah perlu meningkatkan aksesibbilitas kelompok miskin terhadaop: organisasi-perantara, pasar global, dan lembaga-lembaga publik.

Bentuk, jenis dan cara pemberdayaan masyarakat atau penguatan masyarakat (strengthening community) sangat beragam, yang hanya berwujud jika ada kemauan untuk mengubah struktur masyarakat (Adam Malik dalam Alfian, 1980). 

Karena itu, usaha untuk mengentaskan masyarakat dari lembah kemiskinan secara hakiki sama sulitnya dengan usaha memberdaya-kan mereka. Tugas itu bukanlah pekerjaan mudah yang bersifat instant (segera dapat dilihat hasilnya). 

Pengalaman menunjukkan, upaya-upaya pengentasan kemiskinan seringkali menghadapi kendala-kendala yang sangat besar, yang berupa:

1) Usaha-usaha untuk menghambat usaha-usaha untuk membela orang-kecil atau orang miskin, yaitu:
a) lemahnya komitmen (khususnya) aparat pemerintah untuk memihak dan membela orang miskin.
b) rendahnya kepedulian untuk memperhatikan orang miskin
c) ketidak-mampuan memahami (kehidupan) orang miskin, ter-utama yang terkait dengan persepi dan asumsi-asumsi tentang “karakteristik” orang-miskin.

2) Kendala yang ada di (lingkungan) orang-miskin, yaitu:
a) kendala fisik alamiah, yang menyangkut kondisi sumberdaya-alam tempat mereka (orang miskin) tinggal, seperti: kesuburan lahan, rawan bencana-alam, dll.
b) Kendala struktural yang bersumber (terutama) pada struktur sosial dalam masyarakatnya; dan kendala-kultural yang (seolah-olah) menyerah terhadap nasib (Alfian, 1980).
c) Kendala sistemik dari kemiskinan, yaitu berlang-sungnya suatu pola-pola (pengontrolan) tertentu terhadap sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berlaku dalam masyarakat, yang disadari atau tidak, justru tidak selalu menguntungkan pihak-pihak yang telah berada pada posisi diuntungkan, seperti:
  • Kebijakan swa-sembada pangan (beras)
  • Kebijakan “pangan murah”
  • Prioritas pembangunan perkotaan
  • dll.
Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam praktek pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh banyak pihak, seringkali terbatas pada pemberdayaan ekonomi dalam rangka pengentasan kemismkinan (poverty alleviation) atau penang-gulangan kemiskinan (poverty reduction). 

Karena itu, kegiatan pemnberdayaan masyarakat selalu dilakukan dalam bentuk pengembangan kegiatan produktif untuk peningkatan pendapatan (income generating).

Pemahaman seperti itu tidaklah salah, tetapi belum cukup. Sebab hakekat dari pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan, mendorong kemauan dan keberanian, serta memberikan kesempatan bagi upaya-upaya masyarakat (setempat) untuk dengan atau tanpa dukungan pihak luar mengembangkan kemandiriannya demi terwujudnya perbaikan kesejahteraan (ekonomi, sosial, fisik dan mental) secara berkelanjutan

Mandiri di sini bukan berarti menolak bantuan ”pihak-luar” tetapi kemampuan dan keberanian untuk mengambil keputusan yang terbaik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan: 
  1. Keadaan sumberdaya yang dimiliki dan atau dapat diman-faatkan
  2. Penguasaan dan kemampuan pengetahuan teknis untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi
  3. Sikap kewirausahaan dan ketrampilan manajerial yang dikuasai
  4. Kesesuaian sosial-budaya dan kearifan tradisional yang diwariskan serta dilestarikan secara turun-temurun
Untuk mewujudkan perbaikan kesejahteraan tersebut banyak upaya yang dapat dilakukan. Tetapi untuk mewujudkan ide men-jadi aksi mutlak diperlukan adanya legitimasi, baik dari jajaran birokrasi maupun tokoh-tokoh masyarakat (Beals and Bohlen, 1955). Sayangnya, dalam kehidupan masyarakat sering dijumpai ketidak-konsistenan dan ketidakpastian kebijakan yang lain (inconsistency and uncertainty policy), baik karena perubahan-perubahan tekanan ekonomi. maupun perubahan kondisi sosial-politik. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya terbatas pada pening-katan pendapatan (income generating). Tetapi juga diperlukan advokasi hukum/kebijakan, bahkan pendidikan politik yang cukup untuk penguatan daya-tawar politis, kaitannya dengan pemberian legitimasi inovasi dan atau ide-ide perubahan yang akan ditawarkan melalui kegiatan penyuluhan (Gambar 13).

Artinya, tugas kegiatan penyuluhan pertanian sebagai proses pember-dayaan masyarakat tidak cukup hanya berbicara tentang inovasi teknis, perbaikan manajemen dan efisiensi usaha, tetapi harus juga mampu dan berani menyuarakan hak-hak politik petani (kecil) dan pemangku kepentingan yang lain, yang selama 40 tahun terakhir terus menerus dimarjinalkan oleh kebijakan dan kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini penting, karena selama ini petani serta masyarakat kelas bawah yang lain lebih sering dijadikan kendaraan politik. Dengan kata lain, tanpa adanya upaya penyadaran dan penguatan daya saing politik, semua upaya penyuluhan/pem-berdayaan akan sia-sia belaka, karena tidak memperoleh legitimasi jajaran birokrasi ataupun elit/tokoh masyarakat.

Terkait dengan tugas penyuluhan/pemberdayaan masyarakat tersebut, harus diakui bahwa masyarakat lapisan bawah pada umumnya, sepanjang perjalanan sejarah selalu menjadi ”sub-ordinat” dari aparat birokrasi yang didukung dan atau memperoleh tekanan dari para politikus dan pelaku bisnis (Gambar . 
Gambar  Proses Pemberdayaan Masyarakat
Gambar  Masyarakat Kelas-bawah

Sebagai Sub-ordinat Politisi dan Pelaku Bisnis
Oleh sebab itu, ide-ide atau program dan kegiatan penyuluhan/ pemberdayaan masyarakat yang akan ditawarkan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat harus mampu mengakomodasikan kepentingan politikus (pilkada, pemilu, dan visi-misi pemerintah) dan pelaku bisnis (Gambar 15). 

Hal ini disebabkan karena antara politikus dan pelaku bisnis sebenar-nya ada kepentingan yang saling membu-tuhkan, yaitu: politikus membutuhkan ”biaya perjoangan”, sementara pelaku bisnis memer-lukan dukungan politik. Dengan kata lain, ide-ide, program dan kegiatan penyuluhan yang ditawarkan bukanlah sesuatu yang bebas nilai, melainkan harus mampu meyakinkan politikus maupun pelaku bisnis.tentang manfaat ekonomi dan politis yang kuat. 

Gambar Target Bisnis dan Politik Program Pembangunan

Aspek-aspek Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang tersirat dalam definisi yang diberikan, ditinjau dari lingkup dan obyek pemberdayaan mencakup beberapa aspek, yaitu:
  1. Peningkatan kepemilikan aset (sumberdaya fisik dan finansial) serta kemampuan (secara individual dan kelompok) untuk meman-faatkan aset tersebut demi perbaikan kehidupan mereka.
  2. Hubungan antar individu dan kelompoknya, kaitannya dengan pemilikan aset dan kemampuan memanfaatkannya.
  3. Pemberdayaan dan reformasi kelembagaan.
  4. Pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja, baik di tingkat lokal, regional, maupun global
Unsur-unsur Pemberdayaan Masyarakat
Upaya pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan sedikitnya 4 (empat) unsur pokok , yaitu:
  1. Aksesibilitas informasi, karena informasi merupakan kekuasaan baru kaitannya dengan: peluang, layanan, penegakan hukum, efektivitas negosiasi, dan akuntabilitas.
  2. Keterlibatan atau partisipasi, yang menyangkut siapa yang dilibat-kan dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan. 
  3. Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas segala kegiatan yang dilakukan dengan mengatas-namakan rakyat.
  4. Kapasitas organisasi lokal, kaitannya dengan kemampuan bekerja-sama, mengorganisir warga masyarakat, serta memobilisasi sumberdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Syarat Tercapainya Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan masyarakat terdapat tiga jalur kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu :
  1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Titik-tolaknya adalah, pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakatnya memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan.
  2. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembang-kannya.
  3. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini, diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin dalam berdaya memanfaatkan peluang.

Memberdayakan mengandung pula arti melindungi, sehingga dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah agar tidak bertambah lemah. Karena itu, diperlukan strategi pembangunan yang memberikan perhatian lebih banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Srtrategi ini perlu lebih dikembangkan yang intinya adalah bagaimana rakyat lapisan bawah (grassroots) harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan masyarakat dengan memanfaat-kan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemam puan ekonomi nasional (Sumodiningrat, 1995) 

Upaya pemberdayaan masyarakat perlu mengikut-sertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan kebutuhan masyarakatnya.

Penguatan Kapasitas Masyarakat
Penguatan kapasitas adalah proses peningkatan kemampuan indiividu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan.

Dalam pengertian tersebut, terkandung pemahaman bahwa:
  1. Yang dimaksud dengan kapasitas adalah kemampuan (indiividu, kelompok, organisasi, dan kelembagaan yang lain) untuk menunjukkan/memerankan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.
  2. Kapasitas bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan proses yang berkelanjutan.
  3. Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia merupakan pusat pengembangan kapasitas.
  4. Yang dimaksud dengan kelembagaan, tidak terbatas dalam arti sempit (kelompok, perkumpulan atau organisasi), tetapi juga dalam arti luas, menyangkut perilaku, nilai-nilai, dll.
Penguatan kapasitas untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat tersebut, mencakup penguatan kapasitas setiap individu (warga masyarakat), kapasitas kelembagaan (organisasi dan nilai-nilai perilaku), dan kapasitas jejaring (networking) dengan lembaga lain dan interaksi dengan sistem yang lebih luas. 

Sejalan dengan pemahaman tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat, strategi pembangunan yang memberikan perhatian lebih banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi ini perlu lebih dikembangkan yang intinya adalah bagaimana rakyat lapisan bawah (grassroots) harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.

Upaya pemberdayaan masyarakat perlu mengikutsertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan kebu-tuhan masyarakatnya. 

Terkait dengan upaya penguatan kapasitas masyarakat yang dilakukan, keberhasilan proses dalam pemberdayaan masyarakat bukan merupakan keberhasilan pengelola atau fasilitator program, melainkan harus diakui oleh masyarakat sebagai keberhasilan usaha mereka sendiri, sebagaiama yang dikemukakan oleh Lao Tsu.

Gambar  Kredo Pemberdayaan Masyarakat

Obyek Pemberdayaan Masyarakat
Obyek atau target sasaran pemberdayaan dapat diarahkan pada manusia (human) dan wilayah/kawasan tertentu.

Pemberdayaan yang diarahkan pada manusia dimaksudkan untuk menaikkan martabatnya sebagai mahluk sosial yang berbudaya dan meningkatkan derajat kesehatannya agar mereka dapat hidup secara lebih produktif. Upaya ini dilakukan melalui serangkaian program penguatan kapasitas. 

Dalam kerangka perencanaan, penentuan kelompok sasaran pember-dayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pendekatan umum (universal) dan pendekatan khusus (ideal). 

Secara universal, pemberdayaan diberikan kepada semua masyarakat. Keuntungan dari penedekatan ini mudah untuk diterapkan, namun kejelekan pendekatan ini adalah adanya disparitas atau kesenjangan pemahaman yang cukup tinggi. Sedangkan pendekatan ideal, menekankan bahwa pola pemberdayaan yang sesuai dengan klasifi-kasi strata masyarakat. Sedang syarat yang harus dipenuhi adalah kelengkapan indikator dan kejelasan mengenai kriteria materi pemberdayaan.

Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
Indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat mencakup:
  1. Jumlah warga yang secara nyata tertarik untuk hadir dalam tiap kegiatan yang dilaksanakan.
  2. Frekuensi kehadiran tiap-tiap warga pada pelaksanaan tiap jenis kegiatan.
  3. Tingkat kemudahan penyelenggaraan program untuk memper-oleh pertimbangan atau persetujuan warga atas ide baru yang dikemukakan.
  4. Jumlah dan jenis ide yang dikemukakan oleh masyarakat yang ditujukan untuk kelanaran pelaksanaan program.
  5. Jumlah dana yang dapat digali dari masyarakat untuk menunjang pelaksanaan program kegiatan.
  6. Intensitas kegiatan petugas dalam pengendalian masalah.
  7. Meningkat kapasitas skala partisipasi masyarakat 
  8. Berkurangnya masyarakat yang menderita 
  9. Meningkatnya kepedulian dan respon terhadap perlunya pening-katan mutu-hidup
  10. Meningkatnya kemandirian masyarakat.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pemberdayaan pada dasarnya mempunyai tiga arah. Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pemba-ngunan yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur sosial eko-nomi, budaya dan politik yang bersumber pada partisipasi masya-rakat.