Baca Juga

Dominasi Amerika Serikat Dalam Perdagangan Kedelai Impor Indonesia 
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, yakni mencapai 237,6 juta jiwa. Dengan angka pertumbuhan yang tinggi, yakni mencapai 1,49 % per tahun, menjadikan negara agraris tersebut sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Banyaknya jumlah penduduk di Indonesia pada akhirnya mempengaruhi besarnya sumber-sumber pangan yang harus disediakan.

Guna memenuhi ketersediaan pangan negara, Pemerintah Indonesia, selain mengusahakan pertumbuhan produktivitas pertanian nasional juga mendatangkan bahan-bahan pangan dari pasar internasional. Hal ini dikarenakan adanya beberapa komoditas sumber pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia namun mempunyai tingkat produksi yang rendah dan bahkan sulit tercukupi jika hanya mengandalkan produktivitas dalam negeri. Selain itu, impor yang dilakukan Pemerintah Indonesia antara lain juga dikarenakan masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima diversifikasi pangan dengan begitu mudah dan cepat.

Salah satu bahan pangan yang masih didatangkan dari pasar luar negeri hingga saat ini karena tingginya permintaan kebutuhan dalam negeri adalah kedelai, meski kedelai bukan merupakan salah satu bahan pangan utama dan bukan pula tanaman asli Indonesia. Kebutuhan kedelai Indonesia pada periode akhir 1990 hingga tahun 2000 rata-rata mencapai sekitar 2,1 juta ton pertahun. Kebutuhan tersebut sebagian besar digunakan untuk mencukupi sumber bahan pangan protein nabati masyarakat, dan sisanya dimanfaatkan untuk memenuhi protein nabati peternakan. Sama halnya dengan manusia yang selalu membutuhkan sumber-sumber makanan, ternak, terutama ternak unggas, juga membutuhkan kedelai untuk mencukupi kebutuhan gizinya.

Besarnya kebutuhan kedelai di Indonesia pada kenyataannya tidak diimbangi dengan jumlah produksi kedelai nasional, yang hanya mencapai 1,2 juta ton per tahun, dengan rata-rata produktivitas kedelai yang hanya sebesar 1,19 ton per hektar. Oleh karena itu, impor kedelai merupakan solusi terakhir yang digunakan pemerintah untuk menutup kekurangan kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia. Banyaknya kedelai impor yang masuk di pasar Indonesia secara umum menyebabkan penurunan produksi kedelai lokal dan turunnya daya saing kedelai lokal.

Grafik Volume Impor Kedelai Indonesia

Sumber: Diolah dari BPS, http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?eng=0, 2012.

Berdasarkan pada Grafik di atas, jumlah kedelai yang masuk ke pasar domestik Indonesia mengalami peningkatan tajam setelah tahun 1998, dan mencapai titik tertinggi pada tahun 1999, seiring dengan besarnya permintaan pasar akan kedelai. Rata-rata impor kedelai pada periode tersebut adalah mencapai 1,3 juta ton pada tahun 1999. Kondisi tersebut antara lain dipengaruhi oleh adanya krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997, yang kemudian menyebabkan produksi kedelai nasional menurun, serta kekeringan di Indonesia sehingga masyarakat cenderung memanfaatkan lahan tidur untuk menanam jagung dan kalah bersaing dengan kedelai impor.

Di pasar kedelai dunia, perdagangan biji-bijian tinggi protein dikuasai oleh negara-negara dengan produktivitas besar seperti Amerika Serikat (AS), Brazil, Argentina, Cina, India. Selama kurun waktu empat tahun, yakni tahun 1999 hingga tahun 2003, kelima negara tersebut telah menyumbangkan tidak kurang dari 97% produksi kedelai dunia. AS menjadi negara produsen utama dengan share hasil kedelai ke pasar internasional yang mencapai 47%, yang kemudian diikuti oleh Brazil sebesar 20%, Argentina 13%, Cina 9%, dan lainnya 11%.

Di pasar Indonesia, pasokan kedelai impor antara lain diperoleh dari beberapa negara seperti AS, Argentina, Brazil, Malaysia, dan India. Pasokan kedelai impor Indonesia paling banyak didominasi oleh kedelai yang berasal dari AS. Negara tersebut menguasai lebih dari setengah dari keseluruhan perdagangan kedelai di Indonesia dengan share sebesar 72%, diikuti oleh Argentina 11%, Brazil 6%, Malaysia 4%, India 1% dan lainnya sebesar 6%.

AS merupakan salah satu negara yang selalu konsisten mengekspor pasokan kedelainya ke luar negeri, tanpa terkecuali ke pasar Indonesia. Hal ini diperkirakan oleh besarnya produksi kedelai AS, sementara kebutuhan dalam negeri tergolong rendah. Perbandingan jumlah produksi kedelai di AS dengan kebutuhannya dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel Perbandingan Jumlah Produksi dan Kebutuhan Kedelai AS (1000 ton)

Sumber: diolah dari http://www.soystats.com (diakses pada 3 September 2012).

Merujuk pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata produksi kedelai AS setiap tahunnya sebesar 72 juta ton. Sementara itu, setiap tahunnya, AS hanya membutuhkan sedikitnya 43 juta ton kedelai. Besarnya produksi AS akan kedelai yang berbanding terbalik dengan kebutuhan domestik mendorong negara tersebut untuk mengekspor hasil produksinya, termasuk ke pasar Indonesia. Share ekspor kedelai AS yang begitu besar ke Indonesia, yang mencapai 72% dari seluruh kedelai impor yang ada di Indonesia, mampu membantu Pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebutuhan kedelai di negaranya. Selain mampu mendominasi dari eksportir negara lainnya.

Dari segi kualitas, kedelai AS pada dasarnya berbeda dengan kedelai lokal, di mana keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Menurut Maman Suparman, salah seorang ahli pertanian, kedelai lokal unggul dari kedelai AS dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya pun lebih tinggi. Selain itu, resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik, berbeda dengan kedelai AS. Meski demikian, sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal memiliki kelemahan, terutama untuk bahan baku tempe. Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih. Selain itu, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, dan proses peragiannya pun lebih lama. Setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya, bahkan bisa kurang empuk.

Sejalan dengan Maman Suparman, seorang ahli gizi dan pengamat tempe Indonesia asal Inggris, Jonathan Agranof, menyatakan bahwa secara umum produk kedelai dari Indonesia lebih baik daripada kedelai impor asal AS.

“Keunggulan kedelai Indonesia adalah tidak modifikasi genetik, organik, rasa kedelainya enak, dan air rendaman kedelainya pun jernih. Australia dan negara-negara di Eropa enggan mengimpor kedelai dari AS karena faktor genetik modifikasi (GM), yang mempunyai dampak negatif pada kesehatan.”

Kedelai dari AS kendati memiliki beberapa kekurangan akan tetapi pasar kedelai impor di Indonesia masih didominasi oleh AS. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan-kenyataan yang telah diungkapkan di atas. Fakta-fakta tersebut juga mendorong munculnya pendapat terkait kapabilitas negara Indonesia sebagai negara agraris yang masih mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya, khususnya peningkatan tajam impor kedelai pada tahun 1999. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis pada akhirnya terdorong untuk melakukan penelitian mengenai dominasi kedelai impor asal AS di Indonesia. Melalui penjelasam, maka timbulah pertanyaan mengapa AS mendominasi perdagangan kedelai di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan pendekatan merkantilisme. Asumsi dasar pemikiran merkantilisme menyatakan bahwa aktivitas ekonomi seharusnya tunduk pada tujuan utama dalam pembangunan negara yang kuat, yang berarti ekonomi sebagai instrumen politik bagi negara. Merkantilisme memandang perekonomian internasional sebagai arena konflik antar kepentingan nasional yang bertentangan, tidak menentu dan tidak aman, daripada sebagai wilayah kerjasama yang saling menguntungkan dan berlaku prinsip zero-sum game, di mana keuntungan bagi negara satu merupakan kerugian bagi negara lain.

Menurut merkantilisme, negara merupakan aktor utama yang memiliki wewenang dalam menentukan arah dan melaksanakan kebijakan perekonomian sepenuhnya. Menurut The Political Economy of International Relations karya Gilpin (1987), terdapat dua macam bentuk merkantilisme dalam hal persaingan ekonomi antarnegara. Pertama adalah merkantilisme agresif (malevolent merchantilism) yang bermakna bahwa eksploitasi perekonomian negara dilakukan dengan kebijakan ekspansi keluar. Sebagai contoh adalah imperialisme yang lebih menekankan pada aspek politik-militer guna meningkatkan perekonomian negara.

Merkantilisme yang kedua adalah merkantilisme bertahan atau dikenal pula dengan merkantilisme ramah (benign merchantilism), di mana negara memelihara kepentingan ekonomi nasionalnya dikarenakan hal tersebut berkaitan dengan keamanan nasionalnya. Benign mercantilism berkembang dalam lingkungan ekonomi internasional yang tidak aman dan percaya bahwa interdependensi berbeda-beda diantara negara-negara. Ide merkantilisme tersebut diadaptasi kembali oleh negara-negara kapitalis dewasa ini, yang kemudian dikenal sebagai merkantilisme baru (neomerkantilisme). Ciri utama negara neomerkantilis adalah menjaga surplus perdagangan internasional semaksimal mungkin dari transaksi internasional dalam bentuk proteksi, untuk mempertahankan kekayaan dan bertahan dari perilaku neomerkantilis jinak bangsa lain.

Proteksionisme merupakan salah satu upaya suatu negara untuk merumuskan kebijakan ekonomi sedemikian rupa dalam rangka melindungi perekonomian domestik dari dominasi produk-produk asing. Menurut Frederich List (1789-1846), seorang ekonom Jerman, bahwasannya kepentingan negara-negara industri maju sangat sesuai dengan prinsip perdagangan bebas yang mengharuskan negara lain untuk berdagang dengan meraka, namun bagi negara-negara yang belum maju industrinya, proteksionisme merupakan kebijakan yang sangan diperlukan untuk memacu industri di dalam negeri dalam berkompetensi dengan pihak asing.

Berdasarkan penjelasan di atas, AS menempatkan bidang pertanian sebagai bidang yang belum tumbuh, sehingga pemerintah AS dengan berbagai upaya melindungi petani domestik dari aliran produksi pertanian negara lain. Salah satu contoh proteksi pertanian yang dilakukan AS pada Indonesia saat ini adalah pemberian subsidi ekspor bagi para importir kedelai dari AS di Indonesia dalam bentuk GSM-102. AS menggunakan instrumen subsidi kredit ekspor GSM-102 dalam bentuk bunga rendah, dan periode pembayaran yang lebih lama, termasuk di dalamnya penjaminan kredit dan asuransi kredit ekspor. Subsidi tersebut diberikan guna menjaga stabilitas kedelai domestik AS dari kerugian mengingat produksi kedelai AS yang sangat besar.

Negara merkantilis ramah berupaya untuk meminimalisasi ketergantungan pada negara lain, namun berupaya membuat negara lain bergantung padanya. Ketergantungan terhadap negara lain diminimalisasi dengan melakukan proteksi yang bertujuan untuk menjaga keuntungan yang telah didapatkan sebelumnya. Tindakan tersebut pada akhirnya menyebabkan negara lain yang telah mendapatkan produk hasil komoditas bersubsidi akan selalu ingin mendapatkan barang murah tersebut.

Modal (capital) dalam ilmu ekonomi mempunyai konsep dan pengertian yang berbeda-beda tergantung dari penggunaan dan aliran pemikiran yang digunakan. Menurut Baker dalam Bambang Riyanto, modal ialah barang-barang kongkrit yang masih ada dalam rumah tangga perusahaan yang terdapat di neraca sebelah debit, maupun berupa daya beli atau nilai tikar barang-barang itu yang tercatat disebelah kredit.

Susan Irawati (2006) mengartikan modal sebagai kumpulan dari barang-barang modal, yaitu semua barang yang ada dalam rumah tangga perusahaan dalam fungsi produktifnya untuk membentuk pendapatan. Sementara itu, menurut pengamat akuntansi, Munawir (2004), modal adalah hak atau bagian yang dimiliki perusahaan yang ditujukan dalam pos modal (modal saham), surplus dan laba ditahan. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum modal merupakan seluruh sumber daya, khususnya dana, yang dimiliki suatu badan usaha atau perusahaan dan digunakan untuk membiayai seluruh aktivitas ekonomi dalam menghasilkan produk barang maupun jasa.

Aktivitas perekonomian yang dinamis membutuhkan modal. Sumber modal menjadi sangat penting untuk memenuhi operasi perusahaan. Secara umum, modal dapat dikelompokkan berdasarkan asalnya menjadi dua sumber. Pertama adalah sumber modal intern, yaitu modal yang berasal dari laba yang tidak dibagikan atau retained earning, antara lain modal dari pemilik, cadangan-cadangan dan sumber dana insentif yang berasal dari penyusutan-penyusutan aktiva tetap. Kedua, sumber modal ekstern, yang merupakan modal yang berasal dari luar perusahaan seperti hasil penjualan saham di pasar modal, pinjaman bank atau dari lembaga lain dan atau dari bantuan pemerintah dalam bentuk subsidi.

Suatu perusahaan yang ingin mendapatkan modal tambahan dan melakukan pinjaman kepada suatu lembaga atau badan penyedia modal secara nyata membutuhkan suatu jaminan. Proses tersebut dikenal dengan istilah penjaminan kredit. Ketika suatu perusahaan melakukan peminjaman dana untuk pembayaran produksinya dengan menggunakan program penjaminan kredit dari pemerintah, misalnya, maka secara tidak langsung perusahaan tersebut telah memiliki pemasukan dana dalam sisi aktivanya. Dari pemikiran tersebut dan dari ranah pembiayaan ekspor komoditas pertanian, penggunaan program penjaminan kredit ekspor dapat dipahami sebagai subsidi ekspor yang diberikan oleh pemerintah negara pengekspor.

Negara maju mempunyai karakter individualistik dan dicirikan perekonomian yang modern dengan sistem pasar yang baik yang mana setiap hubungan dilakukan melalui kontrak transaksi. Sementara negara berkembang maupun negara terbelakang masih didominasi oleh sifat paternalistik dan kerjasama sosial yang tinggi, dengan perekonomian yang bersifat tradisional yang mana sistem pasar belum berjalan dengan baik. Hal ini kemudian mendorong munculnya fenomena ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju.

Teori ketergantungan pertama kali muncul di kalangan ahli ekonomi Marxis dari Amerika Latin, seperti Raul Prebisch, Paul Baran, Andre Gunder Frank, Celso Furtado, Theotonio dos Santos dan F.H. Cardoso. Tesisutama teori ini merupakan antithesis dari kemunculan teori modernisasi dan teori pertumbuhan ekonomi yang dilandasi oleh aliran ekonomi neo-klasik. Teori ini menggunakan asumsi dasar struktural yang menjadikan perekonomian dunia menjadi dua kutub, yaitu perekonomian negara maju dan negara terbelakang.

Komponen utama teori ketergantungan adalah sifat dasar dan dinamika sistem kapitalisme, hubungan antara negara kapitalis yang maju dengan negara yang kurang berkembang dan karakteristik internal negara yang bergantung itu sendiri. Keterbelakangan negara-negara berkembang dan kurang berkembang disebabkan oleh proses eksploitasi dan dibatasi perkembangannya sebagai akibat dari hubungan ekonomi kapitalistik yang tidak adil.

Ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang bukan dikarenakan tidak adanya integrasi dalam tatanan ekonomi kapitalisme, namun akibat adanya monopoli modal asing dalam berbagai bentuk, umumnya dalam bentuk bantuan luar negeri yang sebenarnya itu adalah hutang, pembiayaan pembangunan dengan modal asing, serta pembangunan teknologi maju pada tingkat internasional dan nasional mampu mencapai posisi menguntungkan dalam interaksinya dengan negara maju yang menjadikan negara-negara berkembang menjadi terbelakang, sengsara dan termarjinalisasi sosial dalam batas wilayahnya sendiri.

Menurut Ruccio dan Simon, terdapat dua kelompok pemikiran ketergantungan. Pertama adalah aliran Marxis dan Neo-Marxisme yang didukung oleh Paul Baran, Andre Gunder Frank, Samir Amin, Theotonio Dos Santos, Rudolfo Stavenhagem dan F.H. Cardoso. Aliran pertama ini banyak menggunakan kerangka analisis teori Marxis dan Neomarxis. Mereka tidak terlalu membedakan struktur intern dan ekstern, karena keduanya dipandang sebagai faktor endogen sistem kapitalisme dunia, di mana struktur intern daerah periferi sudah ratusan tahun dipengaruhi faktor eksogen sehingga seluruh strukturnya sudah terbuka bagi faktor ekstern. Struktur intern daerah periferi menjadi bagian yang tergantung dari struktur kapitalisme dunia.

Kelompok kedua adalah aliran Non-Marxis, yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Celso Furtado, Helio Juuaribe, Anibal Pinto, dan Osvaldo Sunkel. Kelompok ini lebih melihat ketergantungan dari perspektif nasional atau regional dengan melihat keadaan di dalam dan di luar wilayah negara. Struktur dan kondisi intern dilihat sebagai faktor endogen, meskipun struktur intern ini baik di masa lalu maupun masa sekarang dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.

Secara umum, terdapat tiga persamaaan atas definisi yang disepakati oleh para ahli ketergantungan. Pertama, ketergantungan membentuk sistem internasional yang terdiri dari dua negara yang digambarkan sebagai dominan-tergantung, pusat-periferi atau metropolitan-satelit. Negara-negara dominan adalah negara maju yang mempunyai kemajuan industri dan tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Sementara itu, negara-negara tergantung adalah Amerika Latin, Asia dan Afrika yang memiliki pendapatan per kapita yang rendah serta bergantung sepenuhnya kepada ekspor satu jenis komoditi untuk memperoleh devisa (foreign exchange).

Persamaan yang kedua, memiliki asumsi yang sama bahwa adanya kekuatan (dorongan) dari luar merupakan satu-satunya aktivitas ekonomi yang penting di dalam negara-negara yang bergantung. Kekuatan luar ini termasuk Perusahaan Multi National (MNC), pasar komoditi internasional, bantuan luar negeri, komunikasi dan berbagai bentuk lainnya yang oleh negara-negara maju digunakan untuk kepentingan ekonomi mereka di luar negeri.

Persamaan ketiga, pengertian ketergantungan menunjukkan bahwa hubungan antara negara yang mendominan dan yang bergantung adalah dinamis, karena interaksi antara dua negara bukan hanya untuk saling menguatkan, tetapi juga untuk meningkatkan pola atau corak yang tidak merata dalam pembagian ekonomi.

Dalam kerangka liberalisasi perdagangan, kegiatan ekspor-impor barang dan jasa menjadi lebih terbuka, dengan pengurangan proteksi di setiap bidang perdagangan memungkinkan produktivitas yang lebih tinggi. James Levinsohn (1993) menguatkan hal tersebut melalui hipotesisnya yang dikenal hipotesis import-as-marke-discipline. Asumsi dasar pendekatan ini adalah: 

“…the hypothesis that increased competition on the domestic market as trade barriers and other subsidies to domestic producers are reduced may lead to lower price-cost margin and improved allocative efficiency or to lower costs and improved productive efficiency or both.”

Melalui pendekatan di atas, suatu perusahaan domestik akan dituntut lebih kompetitf dan efisien agar dapat mampu menguasai pasar. Sehingga, peningkatan pangsa impor akibat adanya kebijakan liberalisasi perdagangan akan menghilangkan excess profit dari perusahaan domestik yang bersifat oligopolistik, sehingga perusahaan tersebut menjadi lebih kompetitif dan dengan sendirinya akan menghilangkan sifat oligopolistik dalam suatu perekonomian. Hal tersebut mengakibatkan keuntungan yang dinikmati oleh oligopolis akan berkurang sehingga menyisakan normal profit di mana harga akan sama (atau mendekati) biaya marjinal. Sementara itu, perusahaan yang tidak efisien sebelumnya hanya menggantungkan perusahaan pada regulasi-regulasi proteksi, memungkinkan menjadi tidak bertahan sehingga hanya sektor yang efisien yang akan terus bertahan.