Baca Juga



A.  LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Banyak yang sepakat bahwa demokrasi Indonesia telah mengalami perkembangan pesat, khususnya sejak era reformasi menggantikan rejim otoritarian Orde Baru, 1997. Paling tidak -- dalam bahasa yang lebih netral -- telah terjadi sederet perubahan cepat dan signifikan dalam perjalanan demokrasi negeri ini, jauh melampaui apa yang mungkin dibayangkan setiap orang sebelumnya.

Awal 1990-an, di tengah keprustrasian panjang memandang stagnasi demokrasi dan pembusukan politik yang berlarut di Indonesia, seorang Indonesianisasal Amerika R. William Liddle, dalam sebuah artikel yang diterbitkan Harian KOMPAS, sempat melontarkan analisa pesimistik tentang kemunculan kelompok civil society baru yang bakal mengawali demokrasi negeri ini, paling cepat dalam kurun waktu 25-30 tahun. Dan ternyata hanya butuh waktu kurang dari tiga tahun untuk membuktikan semua prediksi itu salah!

Faktanya, perubahan telah bergulir cepat. Tak terkecuali dalam penyelenggaraan kepemiluan, sebagai salah satu instrument penting demokrasi. Setidaknya dalam tiga kali pemilu (sekarang dalam proses yang ke-empat) berbagai perubahan penting layak dicatat. Mulai dari tatanan sistem pemilu secara umum,  disain organisasional dan tekhnis kelembagaan, sampai pada aturan main penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu. Yang semuanya bermuara pada – paling tidak munculnya harapan -- terciptanya pemilu yang lebih menjamin prinsip-prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi.

Tulisan ini ingin memetakan garis besar perubahan yang terjadi dalam kepemiluan Indonesia pasca reformasi, dengan menyoroti beberapa “prestasi” penting yang layak dicatat – terlepas dari silang sengketa pendapat yang tentunya pasti selalu ada. Dan pada bagian yang lebih utama, tulisan ini ingin mengetengahkan pemikiran bahwa, ketika demokrasi disepakati menjadi sebuah pilihan, maka ruang dialog antara fakta dan ide, antara realitas objektif dan realitas subjektif, harus tetap terbuka untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran konstruktif bagi perubahan yang lebih baik, secara terus menerus.  Untuk kepentingan itu, di bagian akhir tulisan ini dicoba mengajukan beberapa focus perhatian yang sekiranya layak diagendakan sebagai “pekerjaan rumah” selanjutnya bagi perbaikan demokrasi bangsa ini.

Demi kejujuran intelektual, harus dikatakan bahwa tulisan ini masih jauh dari standar ilmiah. Berbagai keterbatasan, membuat upaya penelusuran ilmiah yang lebih lengkap tidak dapat dilakukan. Karena itu, kritik dan masukan dari pembaca akan sangat berguna bagi perbaikan.

B.  SEDERET CATATAN POSITIF

Sesungguhnya perjalanan demokratisasi Indonesia – yang kita sebut era reformasi – baru melewati tiga periodisasi pemilu. Yang pertama tahun 1999, pemilu dengan masa persiapan yang sangat singkat, hanya 11 bulan, setelah baru saja lepas dari cengkeraman 30 tahun lebih otoriterisme Orde Baru. Lalu pemilu yang kedua tahun 2004, disusul pemilu yang ketiga tahun 2009, dan sekarang – saat tulisan ini dibuat -- masih dalam persiapan menuju pemilu yang keempat tahun 2014. Sebuah usia yang masih sangat muda dan pengalaman yang sangat minim dalam menjalankan pemilu yang demokratis.

Namun demikian, kita bisa mencatat sejumlah prestasi dan kemajuan yang mengesankan, khususnya dalam konteks prestasi kepemiluan, bahkan dalam takaran negara demokrasi maju. Sebuah pemilu yang lebih menjamin kompetisi yang sehat (antar peserta pemilu), partisipasi yang dinamis (bagi rakyat pemilih), derajat keterwakilan yang lebih tinggi (dalam lembaga perwakilan yang dihasilkan), serta mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas (dalam penyelenggaraan dan oleh penyelenggara pemilu).

Berbagai perubahanpun tampak dilakukan. Mulai dari penyempurnaan desain induk system pemilu, perbaikan dan penyelarasan berbagai sub-sub system dan komponen pendukung, sampai pada pembangunan kelembagaan dan organisasional, serta “aturan-main” penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu yang lebih professional, mandiri, dan  akuntabel. Keseluruhannya dapat dimaknai dalam satu paket agenda besar, yakni “upaya membangun sebuah tatanan pemilu yang lebih kondusif bagi perwujudan negara demokrasi.” Berikut ini petikan beberapa kemajuan dan prestasi dimaksud.

1.  Sistem Pemilu yang Memuliakan Suara Rakyat

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu di Indonesia, tepatnya dimulai pada pemilu kedua di era reformasi tahun 2004, pemilu Indonesia mencatat sejarah penting dengan berhasil diberlakukannya system proporsional dengan daftar calon terbuka.

Secara konsepsional, ini adalah varian system pemilu yang menggabungkan kekuatan dua system utama pemilu, yakni system proporsional dan system mayoritarian/pluralitas. Dengan tetap menggunakan nama besar system proporsional, mengisyaratkan bahwa pembagian kursi wakil rakyat di parlemen pada pokoknya tetap didasarkan pada suara pemilih secara proporsional. Namun dengan penambahan embel-embel “daftar calon terbuka,” ia mengadopsi sebagian dari metoda system mayoritarian (atau di Indonesia biasa disebut dengan sistem distrik) dalam penentuan calon terpilih, yakni atas dasar suara terbanyak (peringkat tertinggi dari daftar calon).

Pilihan terhadap system proporsional tentu dimaksudkan agar kelemahan utama system mayoritarian -- dimana banyak suara rakyat yang terbuang sia-sia dan tidak terwakili di lembaga perwakilan -- akan bisa dihindari. Sebaliknya, dengan menyandingkan system proporsional dengan daftar terbuka, akan bisa menghilangkan image pemilu “seperti membeli kucing di dalam karung” (dari suaranya bisa diketahui bahwa isinya adalah kucing, tapi tidak bisa dikenali “belangnya”).

Karena itu, banyak orang setuju – termasuk tulisan ini -- bahwa system proporsional dengan daftar terbuka, adalah pilihan system pemilu yang paling ideal untuk Indonesia saat ini. Ia lebih menjamin asas representasi dan rasa keadialan, sehingga diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas dan legitimasi lembaga perwakilan yang dihasilkan.

Selain itu, sesungguhnya hal paling prinsif lainnya dari pilihan terhadap system ini adalah bagaimana mengembalikan hakikat hubungan wakil dengan yang diwakili. Antara penerima mandat dengan pemilik kedaulatan (baca: rakyat) yang memberi mandat kepadanya. Dalam system lama dengan daftar tertutup, rakyat hanya memilih partai dan partai kemudian menunjuk wakilnya yang akan duduk di kursi perwakilan. Buruknya adalah wakil tidak merasa bertanggungjawab kepada rakyat, karena ia duduk di lembaga perwakilan bukan karena pilihan rakyat, tapi lebih karena berkah “pemberian” partai. Akibatnya, dalam praktek kesehariannya wakil-wakil di parlemen lebih merupakan wakil partai dari pada wakil rakyat, dan loyalitasnya pula lebih kepada partai bukan kepada rakyat. Ini tentu mengaburkan hakikat dan tujuan pembentukan lembaga perwakilan itu sendiri.

Karena itulah, tulisan ini berpendirian bahwa “sistem proporsional dengan daftar calon terbuka” adalah pilihan terbaik. Sebuah pilihan cerdas dalam membangun kompetisi yang fair dan sekaligus memuliakan suara rakyat. Kewenangan partai tetap terjaga, tetapi aspirasi rakyat juga dihargai tinggi.

Adapun munculnya kembali suara-suara belakangan ini untuk kembali kepada system lama (proporsional daftar tertutup) sepertinya itu hanya romantika elit partai yang masih merindukan nostalgia kekuasaan oligarkhi partai di masa lalu. Argumentasi bahwa system daftar terbuka hanya menghasilkan wakil-wakil rakyat yang popular tapi tidak berkualitas (sedangkan melalui system daftar tertutup partai politik bisa lebih fokus memilih wakil atas dasar bobot dan kualitasnya) sepertinya salah alamat. Sebab, dengan system pemilu yang berlaku saat ini, kewenangan sepenuhnya untuk menentukan daftar calon masih tetap ada di tangan partai. Rakyat hanya memilih di antara daftar pilihan-pilihan yang (sudah) disodorkan oleh partai. Artinya, fungsi dan kewenangan partai (sebagai lembaga rekrutmen politik) tetap dihargai, tapi di sisi lain suara dan kehendak rakyat juga termuliakan.

2.   Pemilu Langsung Presiden dan Kepala Daerah:
Mewujudkan Pemimpin Pilihan Rakyat

Pemilu Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah juga salah satu prestasi kepemiluan Indonesia era reformasi yang sangat melegakan. Ini adalah juga bagian dari akar paradigma yang sama, yakni memuliakan suara rakyat. Pemilu secara langsung Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah jalan tepat untuk menghindari terjadinya distorsi dan bias kehendak rakyat dalam memilih pemimpinnya.

Pemilihan Presiden oleh MPR dan pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD seperti yang dilakukan puluhan tahun di negeri ini, sering membuat bias suara rakyat karena terdistorsi oleh berbagai hal dan beragam kepentingan di parlemen. Di sisi lain, setali dua uang dengan pemilu legislatif system daftar tertutup, penentuan kursi eksekutif lewat parlemen juga akan berdampak tidak baik pada psikologi pertanggungjawaban politik seorang pemimpin.  

Gubernur terpilih lewat pemilihan di DPRD provinsi misalnya, akan memiliki loyalitas tersendiri terhadap kelompok-kelompok pendukungnya di DPRD. Begitupun sebaliknya, kepala daerah terpilih harus bersiap-siap untuk menjadi mesin ATM pribadi bagi kelompok-kelompok di Dewan, karena tentu tidak ada “makan siang gratis.” Dan bukan rahasia umum lagi, berbagai bentuk dan keperluan pemilihan yang diselenggarakan di Dewan, sangat akrab dengan politik transaksional. Pilihan politik ditransaksikan menjadi sekedar angka-angka dalam bentuk tender dan uang, baik cash money maupun pembayaran menyusul.

Contoh buruk system pemilihan lewat parlemen yang paling nyata terjadi pada pemilihan Presiden 1998. Kala itu, Soeharto yang baru saja terpilih di parlemen dengan sangat meyakinkan (aklamasi), akhirnya – hanya dalam 2 bulan 10 hari -- dipaksa turun dari kursi presiden oleh kekuatan di luar parlemen (baca: rakyat). Ini adalah contoh paling nyata betapa suara rakyat sering tidak “nyambung” dengan suara wakil-wakilnya di Parlemen. Lembaga Perwakilan – dengan beragam sebab dan kepentingan di dalamnya -- sering gagal dalam menerjemahkan aspirasi dan kehendak rakyat.

Karena itu, tulisan ini berada pada posisi mengapresiasi sangat tinggi system pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung, sebagai sebuah prestasi kepemiluan yang patut dicatat dan dijaga. Penekanan ini dirasa perlu, karena faktanya masih saja ada suara-suara yang menginginkan untuk kembali ke system lama, khususnya untuk pemilihan Gubernur. Alasannya, pemilihan Gubernur secara langsung menghabiskan biaya lebih besar ketimbang pemilihan lewat DPRD. Sebuah argumentasi pembenaran, tetapi bukan “kebenaran.”
  
3.  Calon Independen : Memotong Jalur Berat Parpol

Masih soal pemilihan kepala daerah, terobosan lain yang tidak kalah penting adalah dimunculkannya alternatif pencalonan kepala daerah lewat jalur non-partai, atau yang biasa kita kenal dengan jalur independen. Setelah sebelumnya pemilihan kepala daerah ditarik dari meja DPRD, giliran monopoli parpol pula dalam pencalonan kepala daerah direvisi.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebelum perubahan), pasal 59 (1) disebutkan, peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Karena itu, tidak ada jalan lain bagi calon kepala daerah, kecuali membeli mahal “tiket” partai jika ingin tampil sebagai kontestan dalam panggung Pilkada. Di sinilah kembali sering muncul “ruang gelap” transaksi politik itu. Hampir sama dengan pemilihan kepala daerah lewat DPRD, monopoli parpol dalam pencalonan kepala daaerah syarat dengan isu transaksional.

Terlepas dari itu, kehadiran jalur independen yang kemudian dikukuhkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tentu sangat positif untuk memberi jalan alternatif menuju kursi kepala daerah. Terutama bagi calon-calon berkualitas -- yang secara substantif mendapat dukungan rakyat, tetapi kemudian terhadang oleh banyak sekat dan rintangan-rintangan,  politik maupun non-politik.

4.  DPD : Mengisi Kekosongan Wakil Daerah

Di era reformasi, mengikuti perubahan ketiga UUD 1945, satu lembaga perwakilan baru dimunculkan. Seperti namanya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lembaga ini diisi oleh wakil-wakil atas nama daerah. Ia dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilihan umum, namun dengan menggunakan sistem yang berbeda, sistem distrik berwakil banyak. Jumlah wakil setiap distrik (daerah provinsi) ditetapkan sama, yakni  4 orang wakil yang berasal dari calon perseorangan (non-parpol).

Selain menjalankan tugas sehari-hari DPD yang ditentukan dalam undang-undang, anggota Dewan Perwakilan Daerah juga otomatis menjadi anggota dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama-sama dengan anggota DPR. Lembaga ini di zaman Orde Baru mirip dengan Utusan Daerah, meski dengan fungsi dan cara pemilihan yang berbeda.

Secara teoritik, DPD sesungguhnya juga adalah bagian dari wakil rakyat. DPD merupakan wakil rakyat atas dasar pengelompokan wilayah, sedangkan DPR merupakan wakil rakyat atas dasar pengelompokan politik. DPD mewakili rakyat untuk dan atas nama kepentingan komunitas wilayah, sedangkan DPR mewakili rakyat untuk dan atas nama kepentingan komunitas politik.

Terlepas dari fungsi dan perannya yang masih banyak diperdebatkan, kehadiran lembaga DPD dalam demokrasi Indonesia era reformasi, paling tidak telah memberi wadah bagi kepentingan rakyat yang bersifat “daerah.” DPD juga menjadi “jembatan” yang penting antara rakyat dan pemerintah daerah di satu sisi, dengan pemerintah pusat di sisi yang lain. DPD dapat menjadi “corong” bagi kepentingan otonomi daerah dan daerah otonom di tingkat pusat (nasional).

****

Sesungguhnya masih banyak capaian keberhasilan yang diraih dalam perjalanan kepemiluan Indonesia era reformasi, namun tidak memungkinkan dibahas satu persatu dalam tulisan singkat sini.

Sebut saja misalnya suasana demokrasi multipartai sejak pemilu 1999, yang memberi kesegaran kembali setelah 30 tahun lebih bangsa ini sulit bernafas dalam dominasi satu partai. Soal netralitas birokrasi dalam pemilu yang berhasil kembali ditegakkan. Ini penyakit kronik dalam sejarah politik Indonesia, yang satu setengah dasa warsa yang lalu, hampir semua orang yakin tidak ada obatnya. Dan sekarang ternyata “sembuh” nyaris sempurna.

Kemudian keberhasilan membangun dan membudayakan sebuah kelembagaan dan manajemen penyelenggara pemilu yang lebih profesional dan akuntabel. Penanganan sengketa hasil pemilu yang lebih terpercaya. Serta tidak kalah pentingnya keberhasilan “membudayakan” proses penyelenggaraan pemilu yang bebas demokratis, namun tetap tertib, aman, sportif, tanpa kekerasan dan huru-hara. Meski bukan tanpa cacat, adalah prestasi luar biasa (dan mendapat pujian internasional), selama tiga kali pemilu era reformasi dengan “keramaian” sistem multipartai, berhasil dilalui tanpa catatan “merah” yang berarti.

Tulisan ini hanya mengangkat beberapa poin, sebagai bentuk apresiasi penulis atas keberhasilan demokratisasi – khususnya dalam bidang pemilu – sejak era reformasi.

C.  MASIH BANYAK PEKERJAAN RUMAH YANG TERSISA

Seperti dijanjikan sebelumnya, pada bagian yang lebih utama, tulisan ini ingin menggali beberapa topik yang relevan sebagai bahan diskusi politik dalam rangka sumbangsih pemikiran untuk perbaikan terus menerus demokrasi dan kepemiluan kita ke depan.

Masih banyak kritik konstruktif yang patut didengar. Di wilayah manajemen pemilu misalnya, sejumlah cacatan seperti masih rendahnya derajat keakurasian daftar pemilih (dalam hal ini kita ambil kasus pemilu 2009 sebagai indikator paling mutakhir). Tekhnis konversi suara rakyat ke dalam surat suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara, sampai pada ruang-ruang bagi manipulasi dan kecurangan pemilu yang belum sepenuhnya teratasi. Ini semua penting karena pada akhirnya akan ikut menentukan hasil akhir, yakni seberapa besar pemilu bisa mewujudkan kedaulatan rakyat (menentukan kursi penyelenggara negara), dan seberapa besar lembaga politik yang dihasilkan oleh pemilu representatif dan legitimate.

Kemudian di wilayah lain, yang terkait dengan sistem demokrasi (atau sistem politik secara umum), termasuk soal sistem kepartaian dan penghargaan terhadap aspirasi politik yang bersifat lokal. 

1.  Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan Kedaulatan Rakyat

Di balik keberhasilan seperti dibeberkan di bagian awal tulisan ini, kita menemukan beberapa data berikut. Berdasarkan hasil penelitian Komnas HAM,  sejumlah LSM Pemerhati Pemilu, dan Panitia Angket DPR tentang Penggunaan Hak Pilih (sebagaimana dilansir oleh “Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan”), diperkirakan derajat cakupan pemilih yang masuk dalam DPT baru mencapai 85 persen, derajat kemutakhiran DPT sekitar 80 persen, dan derajat akurasi DPT sekitar 80 persen. Kemudian, dari jumlah pemilih terdaftar sekitar 171 juta, 30 persen di antaranya tidak menggunakan hak pilih (nonvoters), dan 14,41 persen (sekitar 16 juta) dari jumlah pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilih, dinyatakan tidak sah (invalid votes).

Secara sederhana ini berarti hampir setengah dari rakyat Indonesia yang memiliki hak memilih (atau sekitar 98 juta lebih rakyat) tidak “berdaulat” dalam pemilu 2009 karena berbagai sebab. Di antaranya, sebanyak 30 juta lebih rakyat tidak berdaulat karena tidak terdaftar dalam DPT (tidak dapat menggunakan hak pilihnya). Kemudian 51 juta lebih rakyat tidak berdaulat karena meski terdaftar dalam daftar pemilih, tapi tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai sebab. Dan 17 juta lebih rakyat tidak berdaulat karena salah (tidak sah) dalam menggunakan hak pilihnya.

Angka-angka tersebut masih jauh dari tingkat yang bisa ditoleransi. Belum lagi dari jumlah suara sah, masih banyak kejadian yang membuat suara pemilih akhirnya menjadi tidak berdaulat karena praktek manipulasi dan jual beli suara “di tengah jalan.” Tidak ada data pasti soal ini, tapi masih santer terdengar adanya praktek pengalihan perolehan suara seorang calon kepada calon yang lain – baik antar partai yang berbeda maupun (dan terutama) antar sesama calon dalam satu partai. Ini biasanya melibatkan persekongkolan oknum-oknum calon, oknum pengurus parpol, dan oknum penyelenggara pemilu – dengan atau tanpa imbalan.


2.  Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat

Sejatinya, setelah pemberlakuan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, dimana wakil yang duduk di kursi parlemen ditentukan langsung oleh suara pemilih,  maka harapan utamanya adalah orientasi loyalitas wakil rakyat akan berpaling kembali kepada rakyat. Seorang wakil yang sedang menjabat akan berupaya dengan segala daya untuk “mengambil hati” rakyat. Memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Sebab kalau tidak, resikonya jelas! Ia harus bersiap-siap turun dari kursi wakil, karena ia tidak akan mendapatkan suara rakyat dalam pemilu berikutnya.

Tapi apa yang terjadi saat ini, ternyata tidak demikian. Keberhasilan memutus oligarkhi partai dalam penentuan wakil terpilih, belum dengan sendirinya berhasil “menggiring” balik wakil rakyat kita untuk menghadapkan loyalitasnya kepada rakyat.  Tampaknya skema sederhana soal hitam-putih loyalitas wakil – antara berkiblat kepada partai atau berkiblat kepada rakyat – tidak berlaku di sini.

Yang terjadi adalah, wakil rakyat kita seperti lepas dari cengkeraman harimau, tapi tidak kembali ke kandangnya. Dia justru lepas-bebas mencari kandang sendiri. Wakil rakyat kita saat ini memang tidak lagi tersandera oleh partai, tetapi nyatanya selama masa menjabat sebagai wakil rakyat, ia menghilang dan hanya sesekali datang menemui rakyat pemilihnya – khususnya saat menjelang pemilu. Wakil rakyat juga masing jarang terlihat sibuk memperjuangkan nasib pemilihnya di ruang-ruang sidang parlemen. Mereka lebih sibuk mengurusi urusan sendiri. Ringkasnya, belum terlihat perubahan signifikan dalam orientasi pertanggungjawaban wakil rakyat kita. Padahal, sejatinya itu adalah tujuan utama yang paling diharapkan dari perubahan system pemilu yang telah dilakukan.

Pengkajian tampaknya diperlukan untuk mengetahui sebab-sebab tidak berfungsinya asumsi-asumsi demokrasi di sini. Namun sekedar bahan diskusi, apakah mungkin karena rakyat pemilih kita terlanjur apatis? Rakyat terlanjur terbiasa (dengan system lama) untuk tidak berharap apa-apa terhadap wakilnya, sehingga ketika wakilnya tidak berbuat apa-apa, rakyatpun tidak berminat untuk “menghukumnya” lewat pemilu? Atau rakyat belum (banyak yang) memahami konsekwensi perubahan system pemilu, yang membuat setiap suara rakyat menentukan secara langsung terhadap terpilihnya seorang wakil?

Jika yang terakhir ini penyebabnya, maka jawabannya adalah diperlukan upaya sosialisasi dan pendidikan politik bagi pemilih yang lebih intens dan merata. Perlu menyadarkan pemilih bahwa setiap suara yang mereka berikan ikut menentukan terpilih atau tidaknya seorang wakil di parlemen, sehingga pemilih benar-benar harus berhati-hati dalam memberikan suaranya.

3.  Mencari Format Penggabungan Pemilu : Upaya Efisiensi

Ide untuk menggabungkan pelaksanaan pemilu sudah lama bergulir. Pada prinsifnya-pun, tidak ada pro-kontra yang terlalu ramai dalam soal ini. Karena memang tidak ada alasan yang terlalu prinsif untuk menolaknya. Dalam kalkulasi biaya, menggabungkan pelaksanaan pemilu pasti akan menghasilkan penghematan yang berarti. Dan bukan hanya soal anggaran sebetulnya, tapi efisiensi dalam banyak hal. Hanya saja, hingga kini belum ada keputusan final yang bisa dijadikan payung hukum untuk melaksanakannya.

Tidak terlalu jelas apa yang menyebabkan pemerintah dan DPR tidak terlalu berhasyrat menyeriusi masalah ini. Tapi terlepas dari itu, setidaknya ada beberapa opsi penggabungan penyelenggaraan pemilu yang bisa didiskusikan.

Pertama adalah pemilu serentak secara nasional untuk semua pemilu. Mulai dari pemilu untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD), pemilu presiden, pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati, dan pemilihan Walikota dilaksanakan secara serentak dalam satu waktu penyelenggaraan pemilu. Tentu saja kerumitan terutama dalam pengaturan tekhnis dan penjadwalan kampanye merupakan salah satu tantangan terberat untuk pilihan ini. Selain juga kemungkinan dampaknya terhadap “kebingungan” pemilih yang harus juga dipertimbangkan.

Pilihan lainnya adalah membagi pemilu ke dalam dua waktu penyelenggaraan terpisah. Pilihan ini paling tidak menghasilkan tiga opsi penggabungan yang bisa dipilih. Pertama, membagi dua pemilu antara sesi pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu eksekutif (Pileks). Pemilu legislatif dilaksanakan seperti saat ini, dan pemilu eksekutif menggabungkan penyelenggaraan pemilu Presiden dengan Pilkada (untuk semua tingkatan dan wilayah). Yang kedua, membagi dua pemilu antara Pemilihan Nasional (Pileg dan Pilpres) dan Pilkada (Gubernur, Bupati, Walikota). Dan yang ketiga, membagi dua pemilu antara pemilu legislatif plus Pilkada di satu sesi, dan Pilpres di sesi yang lain. Tampaknya ini hanya soal tekhnis keselarasan dalam penyelenggaraan.

Opsi penggabungan pemilu yang terakhir adalah menggabungkan pemilu dalam tiga sesi terpisah. Masing-masing Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pemilukada. Ini adalah opsi penggabungan minimum, karena hanya menggabungkan antara pemilihan gubernur, pemilihan bupati, dan pemilihan walikota di masing-masing daerah. Sedangkan pemilu legislatif dan pemilu presiden tetap dilaksanakan seperti biasa.

Apapun pilihan tekhnis penggabungan waktu penyelenggaraan Pemilu, bukan hal yang utama. Yang prinsif adalah bahwa penggabungan itu harus dilakukan dalam rangka efisiensi. Lagi pula, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk tidak melakukannya.

4.  Sudah Saatnya Migrasi Bertahap ke e-Voting

E-voting atau pemungutan suara dengan menggunakan dukungan tekhnologi on-line, adalah bentuk lain dari efisiensi penyelenggaraan pemilu.  Beberapa Negara telah membuktikan hasilnya : berupa penghematan biaya, waktu, dan tenaga, khususnya dari sisi penyelenggara pemilu. Sistem ini sangat relevan untuk Negara-negara dengan wilayah yang luas, terpencar dan terpisah-pisah oleh lautan seperti Indonesia.

Dapat dibayangkan jika pemungutan suara di Indonesia dapat dilakukan secara on-line. Yang jelas anggaran untuk pengadaan perlengkapan pemungutan suara akan terpangkas, mulai dari  kotak suara, segel, tinta hingga ratusan juta lembar surat suara berwarna. Penghematan luar biasa juga akan didapat dari pos biaya pendistribusian -- transportasi, upah angkut, dan pengawalan -- karena tidak diperlukan lagi pengiriman fisik perlengkapan suara hingga ke  pelosok dan seluruh penjuru pulau-pulau, dari sabang hingga merauke.

Apa mungkin? Tentu saja tidak mudah. Sebab, daya dukung daerah-daerah untuk pemberlakuan system ini juga belum merata. Karena itu migrasi secara bertahap dari system konvensional ke system e-voting, barangkali adalah jawaban yang paling tepat. KPU dan Pemerintah Daerah bersama-sama dengan mitra IT, bisa bekerjasama untuk memetakan daya dukung masing-masing wilayah. Lalu, daerah-daerah yang sudah dinyatakan memenuhi syarat, dapat menyelenggarakan pemilu dengan sistem e-voting lebih dulu. Dan daerah-daerah lainnya yang belum memungkinkan, tetap melaksanakan pemilu dengan sistem konvensional.

5.  Jalur Independen Masih Terlalu Mendaki

Seperti dicatat sebelumnya, dibukanya jalur alternatif non-parpol untuk calon Kepala Daerah (atau biasa disebut “jalur independen”) merupakan satu terobosan besar lainnya dalam sejarah pemilu di Indonesia. Dengan ini, bukan saja pemilihan kepala daerah tidak lagi dilakukan di Parlemen, tetapi pencalonannya juga tidak lagi semata harus lewat mekanisme usulan parpol.

Secara prinsif, ini melegakan. Tapi belum secara praktis. Dari persyaratan yang tetapkan untuk calon independen, terkesan kebijakan ini dibuat setengah hati. Ini mudah difahami. Undang-undang itu dibuat oleh orang-orang atau wakil dari partai politik yang ada di parlemen. Dan parpol tidak rela kehilangan lahan basahnya jika kemudian para calon kepala daerah lebih memilih mencalonkan diri lewat jalur independen, karena mahalnya ongkos pencalonan lewat kendaraan parpol.

Provinsi dengan jumlah penduduk 9 juta misalnya, seseorang bisa mengajukan diri untuk calon gubernur hanya apabila mampu memenuhi syarat yakni mengumpulkan tanda tangan dukungan (dilengkapi KTP) minimal 4% atau sama dengan 360.000 KTP. Apabila diasumsikan biaya per-KTP sebesar Rp 2.000 saja (untuk fotocopy, honor, dan transport pengumpul), maka calon perseorangan sudah harus mengeluarkan biaya Rp720.000.000.- Itu baru sampai tahap awal persiapan untuk pencalonan. Belum biaya kampanye dan sebagainya apabila ia lolos dalam verifikasi dukungan.

Ada ide yang layak untuk dipertimbangkan sebagai pengganti persyaratan daftar dukungan minimal dalam rangka “menyaring” calon independen. Yakni, menyelenggarakan semacam pemilu penjajakan atau “pemilu pendahuluan” untuk bakal calon kepala daerah. Ide ini relevan khususnya apabila rencana pilkada serentak berhasil dilaksanakan. Untuk menghindari tambahan biaya, pemilu pendahuluan bisa “ditumpangkan” bersamaan dengan penyelenggaraan pemilu nasional yang terdekat (pemilu legislatif atau pemilu presiden). Maksudnya, bersamaan dengan pemilu Presiden misalnya, para pemilih juga disodorkan semacam daftar bakal calon Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Dan beberapa nama bakal calon dengan perolehan suara paling tinggi – misalnya 5 atau 3 besar – ditetapkan sebagai calon Kepala Daerah dari jalur independen, dan berhak mengikuti pilkada tanpa harus mengumpukan daftar dukungan sebagai syarat  pendaftaran. Dengan cara ini, persoalan biaya tinggi jalur independen akan bisa terselesaikan.

6.  Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan Aspirasi Lokal

Dalam kepustakaan demokrasi diyakini bahwa kehadiran partai politik yang kuat sangat penting sebagai wadah bagi partisipasi politik rakyat. Parpol yang kuat sejatinya akan mengefektifkan kehendak rakyat. Parpol yang kuat juga akan menstabilkan pemerintahan konstitusional, karena parlemen semakin terkonsolidasi. Perdebatan dan bargainingpolitik yang lama dan menguras energi dalam pembuatan kebijakan di parlemen dapat dihindari. Karena itu, penyederhanaan sistem kepartaian memang penting. Tentu saja dengan catatan, sepanjang tidak mengarah pada sistem partai tunggal atau dominasi satu partai (single majority) yang bisa mematikan fungsi oposisi dan mekanisme check and balance di parlemen.

Namun demikian, penyederhanaan jumlah partai yang bernilai positif dan kondusif bagidemokrasi biasanya hanya didapat dari proses penyederhanaan yang berjalan secara alamiah. Proses penyederhanaan yang mengikuti kehendak rakyat. Dan bukan penyederhanaan partai yang dipaksakan. Penyederhanaan partai yang dipaksakan identik dengan mobilisasi, bukan partisipasi. Dan konsolidasi parlemen yang diciptakan lewat mobilisasi, justru akan sangat rentan menjadi sumber “penyakit” bagi demokrasi itu sendiri. Pengalaman buruk terjadinya “pembusukan” politik antara lain akibat sistem penyederhanaan partai yang dipaksakan di era Orde Baru, seharusnya menjadi pelajaran berharga bangsa ini.

Sesungguhnya, pemberlakuan electoral threshold (ET) 3,5% secara nasional (mengikuti ET DPR) dalam menentukan partai politik yang berhak duduk di semua tingkatan lembaga perwakilan, adalah malapetaka besar dan kemunduran demokrasi negeri ini. Untungnya, judicial review di Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut dari UU Pemilu No. 8 Tahun 2012, dan menetapkan ET 3,5% hanya berlaku untuk DPR. Bahkan “usulan” kompromistis dari pihak-pihak yang menginginkan pemberlakuan berjenjang ET 3,5% (per masing-masing lembaga perwakilan) pun tidak dikabulkan oleh MK. Ini sebuah keputusan yang melegakan.

Tapi ibaratnya itu adalah persoalan di hilir. Sesungguhnya, UU Pemilu masih menyisakan persoalan penyederhanaan partai di bagian hulu. Persyaratan faktual partai politik peserta pemilu yang mengharuskan adanya kepengurusan di seluruh (100%) provinsi di seluruh Indonesia, kemudian 75% di kabupaten/kota, dan minimal 50% di tingkat kecamatan, adalah sebuah persyaratan (dalam rangka pembatasan partai) yang cukup berat. Dan persyaratan yang luar biasa berat ditambah lagi dengan kewajiban memiliki anggota paling sedikit 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di tingkat kepengurusan Kabupaten/Kota.

Semua persyaratan itu dengan gamblang ingin mengatakan bahwa partai politik yang boleh hidup di negeri ini hanya parpol yang berskala nasional. Tidak ada tempat bagi rakyat satu daerah atau beberapa daerah yang ingin mewadahi aspirasinya secara khas. Bahkan meski sekedar untuk mengisi lembaga perwakilan tingkat lokal. Jika persyaratan itu hanya diperuntukkan khusus bagi parlemen nasional (DPR RI), tentu sangat diterima akal dan sangat wajar. Dimana parlemen nasional hanya dapat diisi oleh wakil rakyat yang berasal dari parpol yang juga berbasis nasional. Sangat logis, karena lingkup tugasnya juga bersifat nasional. Tapi untuk tingkat parlemen lokal (DPRD), juga diharuskan hanya boleh diisi oleh wakil rakyat yang berasal dari partai politik berskala nasional, rasanya justru tidak demokratis dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah.

Esensinya, kebijakan kepartaian seperti ini, mematikan aspirasi politik yang bersifat lokal. Artinya, seberapa banyakpun rakyat suatu daerah – bahkan hingga 100% -- mendukung sebuah parpol untuk mewadahi aspirasi politiknya di tingkat daerah, itu tidak akan cukup untuk kemudian diwujudkan ke dalam bentuk kursi lembaga perwakilan daerah, apabila parpol yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan “standar nasional.” Jadi, tidak ada tempat bagi wadah partisipasi politik yang bersifat khas dan lokal, bahkan untuk lembaga perwakilan lokal dengan lingkup tugas dan kewenangan yang juga bersifat lokal (DPRD) sekalipun.

Tentu saja argumen ini tidak dimaksudkan untuk kemudian membiarkan menjamurnya ribuan partai-partai kecil di berbagai daerah yang sudah pasti juga tidak kondusif bagi demokrasi. Suara rakyat akan terpecah banyak dan bisa berimbas pada pemerintahan daerah menjadi tidak stabil. Yang kita maksudkan hanyalah untuk memberi jalan bagi sebuah arus aspirasi rakyat yang besar tetapi bersifat lokal. (lokal di sini dapat kita terjemahkan dalam skala provinsi).

Karena itu, persyaratan “standar nasional” yang berlaku sekarang misalnya, bisa diganti dengan persyaratan yang ketat pada tingkat lokal. Contoh, sebuah partai politik dapat mengikuti pemilu untuk legislatif daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dengan syarat harus memiliki 100% kepengurusan tingkat kabupaten/kota (dalam provinsi bersangkutan), 75% kepengurusan tingkat kecamatan, serta minimum anggota (sekedar contoh) 20.000 atau 20/1.000 penduduk pada kepengurusan tingkat kabupaten/kota. Tentu dengan catatan, parpol yang lolos persyaratan “nasional” secara otomatis (tetap) menjadi peserta pemilu legislatif daerah, tanpa harus memenuhi persyaratan “lokal” tadi.

Dengan ketentuan seperti ini, kekhawatiran munculnya banyak partai kecil yang tidak memenuhi persyaratan kecukupan dan persebaran kepengurusan maupun anggota  (dalam provinsi), dengan sendirinya tetap terseleksi.  Tapi bagi parpol yang memiliki pendukung signifikan, atau rakyat yang memiliki aspirasi politik khas (dalam jumlah besar) di satu daerah (provinsi) diberi kesempatan – dan memang sudah selayaknya berhak -- untuk menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan lokal, sekalipun ia tidak memiliki kepengurusan dan anggota di provinsi lain.  Sebab tujuannya memang hanya untuk mengisi lembaga perwakilan lokal yang akan mengurusi urusan lokal pula, tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan kepengurusan parpol di daerah lain.

Usulan ini sudah pasti tetap dalam kerangka prinsif sebuah negara kesatuan. Sebuah negara kesatuan yang menghargai otonomi dan keberagaman aspirasi daerah. Karena itu, kebijakan kepartaian dalam UU Pemilu dapat tetap menjadi pokok kebijakan kepartaian nasional. Adapun usulan kebijakan yang kita bahas, lebih dimaksudkan sebagai sisipan “pengecualian.” Sebagai sebuah alternatif dalam hal terdapat kondisi-kondisi khas sebagaimana dimaksud.

Rumusan sederhananya bisa dibuat demikian. “Partai politik peserta pemilu untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD adalah partai politik yang memenuhi persyaratan kepengurusan 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan, dengan minimum anggota 1.000 atau 1/1.000 jumlah penduduk pada kepengurusan tingkat kabupaten/kota (sama dengan rumusan UU no.8 / 2012). Parpol yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, tidak dapat mengikuti pemilu anggota DPR, tetapi dapat mengikuti pemilu DPRD dengan persyaratan khusus (seperti dibahas sebelumnya).”

Dengan demikian, aspirasi khas rakyat daerah tetap tersalurkan. Di sisi lain, upaya untuk konsolidasi dan penguatan kelembagaan parlemen tingkat nasional, juga tetap dapat diteruskan.

******