Baca Juga
Paskamodernisme Dalam Sejarah Filsafat Indonesia
Dalam tulisan Modernisme dalam Sejarah Filsafat Indonesia, penulis telah mengkaji fenomena ‘Modernisme’ dalam lintasan sejarah pemikiran di Indonesia, dan menyinggung pula keberadaan beberapa ‘modernist’ yang pada akhirnya mengritik ‘Modernisme’ yang dulu mereka puja-puja suatu gejala yang dalam tulisan itu penulis namakan ‘Paskamodernisme’. Dalam esei ini, penulis mencoba mengkajinya secara lebih lengkap dan luas dan mencoba memperjelas apa yang dimaksud dengan fenomena ‘Paskamodernisme’ itu. Penulisan ini sangatlah penting, terutama untuk melengkapi kajian Sejarah Filsafat Indonesia yang penulis pelopori itu, yang kelak, jika Sang Waktu mengijinkan, akan diteruskan dengan kajian-kajian sejenis terhadap fenomena kefilsafatan yang lain di Indonesia, sehingga generasi Indonesia mendatang dapat memetik banyak manfaat; meneruskan kajian ini ke tingkat yang lebih kritis, kreatif, dan inovatif.
Secara simplistis, kata ‘Paskamodernisme’ merujuk pada gerakan atau aliran filsafat yang memiliki program untuk melampaui ‘Modernisme’. Kata seorang penulis dalam Encarta Encyclopedia, ‘…the literal meaning of postmodernism is “after modernism,” and in many ways postmodernism constitutes an attack on modernist claims…’ (makna harafiah dari kata paskamodernisme adalah “setelah modernisme’, dan dalam banyak hal paskamodernisme merupakan serangan terhadap klaim-klaim filsuf modernist).[1] Namun, setelah berpikir panjang, kata ‘Paskamodernisme’ bisa membingungkan para pengkaji Filsafat Indonesia, sebab fenomena kefilsafatan di Indonesia sungguh jauh berbeda dari fenomena yang di Barat. Karena itu, kata ‘Paskamodernisme’ di sini harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. ‘Paskamodernisme’ yang dipahami di Barat adalah suatu aliran filsafat baru yang mulai tumbuh sejak paruh pertama abad 20, dipelopori oleh Michel Foucault (1926-1984) dan Jacques Derrida (1930-…), yang mencoba untuk melampaui ‘Modernisme’ dan body of knowledge yang dihasilkannya. Jadi, ‘Paskamodernisme’ lahir secara alamiah menurut hukum sejarah budaya orang Barat sendiri yang sudah ‘muak’ dengan Modernisme dan berupaya mencari alternatif-alternatif baru. Sementara ‘Modernisme’ di Indonesia adalah ‘anak haram jadah’ kolonial dan ‘pembangkang Adat’, yang lahir karena pelacuran sejarah kolonialist. Karena ‘Modernisme’ di kedua dunia itu disebabkan oleh sebab-sebab historis yang berbeda, maka kritik-kritik dan reaksi-reaksi terhadapnya tentu saja juga berbeda. Perbedaan inilah yang hendak dijelaskan dalam esei ini.
1. Paskamodernisme di Barat
Sebagaimana telah disinggung di muka, ‘Paskamodernisme’ yang dipahami di Barat adalah suatu aliran filsafat baru yang mulai tumbuh sejak paruh pertama abad 20, dipelopori oleh Michel Foucault (1926-1984) dan Jacques Derrida (1930-…), yang mencoba untuk melampaui ‘Modernisme’ dan body of knowledge yang dihasilkannya. Sesudah ‘Modernisme’ menghapus segala mitos-mitos papacy di masa lalu, maka kini, pada gilirannya, ‘Modernisme’ pun dikritik, dihujat, dan dicoba hapuskan oleh ‘Paskamodernisme’. Mitos-mitos Modernisme mau ditaklukkan oleh Paskamodernisme. Pandangan filsuf-filsuf Modernisme mau dikritik secara pedas oleh filsuf-filsuf generasi baru yang bersatu dalam satu naungan Paskamodernisme. Michel Foucault, misalnya, mulai menggoyang-goyang dan merontokkan konsep base-superstructure yang digagas Karl Marx. Karl Marx mengatakan bahwa superstructure dibentuk dan dilahirkan oleh economic base suatu masyarakat. Jika economic base nya ialah kapitalisme, maka superstructure masyarakat itu juga akan bersifat kapitalistik. Foucault mengritik pandangan Marx sebagai pandangan simplistik dan berdimensi-tunggal. Menurut Foucault, superstructure bisa saja dihasilkan oleh economic basenya, tapi economic base pun bisa pula dihasilkan oleh faktor-faktor lain. ‘Faktor-faktor lain’ yang plural, kompleks, acak, sulit diidentifikasi ini tidak disadari oleh masyarakat Barat pada umumnya karena tidak pernah diekspos oleh Modernisme. Adalah tugas ‘Paskamodernisme’ untuk menjelaskan ‘faktor-faktor lain’ yang disembunyikan penyingkapannya oleh Modernisme itu.[2]
Bukan hanya Marxisme menjadi obyek kritik Foucault, tapi juga struktur pengetahuan yang dibangun Modernisme sejak era Renaissance dan era Pencerahan. Menurut Foucault, alih-alih untuk membebaskan manusia (humanistik dan liberal), struktur pengetahuan Modernisme dibangun untuk menindas manusia lewat pendekatan politik kekuasaan. Konsep-konsep era Pencerahan tentang reason (akal), madness (kegilaan), responsibility (tanggungjawab), punishment (hukuman), dan power (kekuasaan) yang nampaknya hormat akan kemanusiaan, dalam studi sejarah alternatif yang dilakukan Foucault, terbukti mengangkangi kemanusiaan. Dalam bukunya Madness and Civilization (1960), Foucault menelusuri bagaimana konsep madness (kegilaan) di Barat berubah dari pemahaman sebagai keadaan yang terinspirasi Ilahi menjadi sejenis penyakit mental, lewat koersi dan hegemoni penguasa. Dalam buku Discipline and Punish (1975), Foucault menelusuri sejarah berdirinya penjara suatu sarana orang modern untuk mendisiplinkan individu—dan berhasil menunjukkan bahwa disiplin yang dihasilkan sistem penjara merupakan mitos disiplin yang justru mendehumanisasi manusia.[3] Agar Manusia Modern terbebas dari koersi kekuasaan atas pengetahuan yang mendehumanisasi manusia, Foucault mengusulkan untuk menolak segala definisi absolut, definisi simplistik, definisi parsial, definisi struktural dari pengetahuan manusia yang pernah digagas filsuf Barat Modern sebelumnya, lalu mendefinisi-ulang pengetahuan tanpa terjebak pada definisi monolitik dengan metode Paskamodernisme.
2. Aliran-Aliran dalam Paskamodernisme Barat
Untuk mengritik Modernisme yang sedang mengalami krisis tersebut, beberapa generasi filsuf Barat baru membangun apa yang disebut ‘Paskamodernisme’. Walaupun definisi aliran ini masih diperdebatkan antar filsuf yang terlibat di dalamnya, namun terdapat satu benang-merah yang mempersatukan definisi yang berlawanan tentang Paskamodernisme itu, yakni, bahwa Paskamodernisme adalah after modernism (setelah modernisme, melampaui modernisme). Mission sacre Paskamodernisme adalah melampaui Modernisme dengan cara apapun yang banyak dan bervariasi. W. Grassie membagi aliran filsafat yang tergabung dalam kelompok Paskamodernisme dalam 7 (tujuh) aliran: deconstructionism (Jacques Derrida), post-structuralism (Foucault), hermeneutics (Paul Ricouer), pragmatism (Richard Rorty), sociology of knowledge (Thomas Kuhn), perennialism (Frithjof Schuon, Syed Hossein Nasr, Rene Guenon), dan feminism (Sandra Harding, Linda J. Nicholson, Donna Haraway). Deconstructionism mencoba melampaui Modernisme dengan paham bahwa segala jenis teks (termasuk juga realitas) tidak memiliki makna tunggal, tapi bermakna-plural, ambigu, dan tidak memiliki kemutlakan alias relatif. Post-structuralism mencoba melampaui Modernisme dengan mengritik ontologi Modernisme yang diwakili oleh Marx, Darwin, Levi-Strauss, Freud, dan lain-lain yang memandang kenyataan sebagai satu struktur monolitik yang jelas dan terang. Sebaliknya, mereka berpandangan bahwa tidak ada struktur monolitik yang absolut; yang ada ialah ketiadaan struktur, acak-acakan, penuh carut-marut, kompleks. Hermeneutics melampaui Modernisme dengan menegaskan hermeneutic circle antara subyek-obyek-realitas luar, sehingga gambaran kenyataan merupakan dialektika antara ketiga matra itu. Pragmatism menolak Modernisme dengan menegaskan bahwa bukan ‘kebenaran’ (truth) yang menjadi kriteria utama segala tindakan manusia, tetapi ‘kegunaan’ (pragma, practice). Sociology of knowledge menolak Modernisme dengan menegaskan bahwa segala sistem pengetahuan yang dibangun Modernisme tidaklah ‘obyektif’ sebagaimana yang Modernisme klaim, tetapi dibangun secara ‘subyektif’, dipengaruhi oleh lingkungan kultural sistem pengetahuan itu berada. Perennialism menolak Modernisme dengan menyodorkan paham keagamaan baru yang lebih menekankan ‘kesatuan spiritual’ dari agama-agama formal yang dipahami secara formalistik-modern dan menolak dikotomi modern tentang agama-filsafat-sains. Sedangkan Feminism menolak Modernisme dari segi patriarki dalam segala bidang, termasuk filsafat dan sains, dan menegaskan bahwa filsafat dan sains modern harus bertanggung jawab dalam pelestarian patriarki manusia Barat yang merendahkan martabat wanita.[4]
1. Fenomena Paskamodernisme di Indonesia
Dari penelusuran terhadap Paskamodernisme di Barat di atas tadi, dapatlah diketahui bahwa Paskamodernisme di Indonesia memiliki perbedaan dan persamaan dengan yang di Barat. Persamaan yang fundamental ialah keduanya mencoba melampaui apa yang disebut ‘Modernisme’, yang tentunya dipahami secara berbeda oleh keduanya, karena sejarah historis-kongkrit keduanya juga berbeda. ‘Modernisme’ di Barat ialah penggunaan kembali warisan Barat asli di Yunani-Kuno yang telah dinodai oleh kaum papacy, sedangkan ‘Modernisme’ di Indonesia ialah adopsi dan adaptasi filsafat Barat yang asing, yang berkembang lewat pendidikan ala colonialist, untuk menggantikan Adat yang mapan. Karena perbedaan makna ‘Modernisme’ dalam kedua tradisi itu, maka itu menyebabkan pula perbedaan karakteristik Paskamodernisme dari kedua tradisi yang berbeda. ‘Paskamodernisme’ di Barat ialah upaya melampaui Modernisme dengan konstruksi filsafat baru dengan cara mengritik filsafat Modernisme menurut kondisi historis-kongkrit-alamiah di Barat sendiri, sedangkan ‘Paskamodernisme’ di Indonesia ialah upaya melampaui Modernisme dengan mengapresiasi kembali Adat dan mengadopsi kembali filsafat-filsafat asing dari Barat atau Islam untuk mengritik Modernisme. Dengan kata lain, ‘Paskamodernisme’ di Indonesia berdiri di antara tarik-menarik dua kecenderungan untuk melampaui Modernisme yang dekaden: (1) kecenderungan merevitalisasi Adat (yang saya sebut secara spesifik sebagai gerakan 'Neo-Adat), dan (2) kecenderungan mengadopsi kembali sumber-sumber asing yang mengritik Modernisme Barat, seperti Filsafat Barat Kontemporer, Filsafat Islam Kontemporer, serta Filsafat Agama Kontemporer. Agar perbedaan kritik atas Modernisme yang diusung oleh kedua jenis Paskamodernisme di atas menjadi jelas, akan dibahas di bawah ini pandangan atau isu-isu utama beberapa filsuf Paskamodernisme di Indonesia.
2. Pandangan Filsuf Paskamodernist Indonesia
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) adalah seorang modernist yang dalam banyak tulisan dan tindakannya membangkang Adat (lihat Modernisme dalam Sejarah Filsafat Indonesia). Sejak tahun 1935, beliau sudah melancarkan banyak kritikannya terhadap Filsafat Adat. Akan tetapi, mulai dekade 80-an, Takdir mulai melancarkan kritik-balik terhadap Modernisme yang dulu ia propagandakan dan mengapresiasi Adat nya kembali. Takdir menulis:
…masyarakat dan kebudayaan modern itu mengalami krisis justru karena sifat-sifat kemodernannya yang dikuasai rasio, individualisme, dan keduniaan. Kedudukan rasio yang terlampau kuat dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan telah mengancam membuat masyarakat dan kebudayaan modern menjadi kering, kaku dan kasar; individualisme membuat perhubungan sesama manusia kehilangan kemesraan, kerukunan dan tolong-menolong, dan menjadi terpecah-pecah dan penuh kesepian pribadi. Kehidupan dan cita-cita yang berlebih-lebihan akan harta dan nilai keduniaan membuat suasana masyarakat dingin berhitung, malahan menimbulkan persaingan yang sering melampaui batas kemanusiaan. Dalam krisis ini, yang makin lama makin meluas, terutama angkatan muda di seluruh dunia mulai mencari nilai-nilai modern. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia yang lama, seperti yang masih banyak dijelmakan oleh bahasa-bahasa daerah dalam rumusan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan, dapat memberi sumbangan…[5]
Dalam kritikan Takdir terhadap Modernisme, ‘…kebudayaan Indonesia yang lama…dalam rumusan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan, dapat memberi sumbangan…’ Walaupun dalam pemikiran Takdir sudah terdapat apresiasi terhadap Adat, Adat tetap saja masih sedikit berperan: hanya sebagai ‘penyumbang’, bukannya ‘pemain utama’. ‘Pemain utama’ tetaplah Modernisme, tapi Modernisme yang ekses-eksesnya telah dihilangkan oleh spiritualitas dan etika Adat.
Dalam tulisannya yang lain berjudul Socio-Cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts (1988), Takdir kian mempertegas apa yang dapat disumbangkan Adat untuk Modernisme yang telah dekaden. Bahkan, beliau sempat meramalkan di masa depan akan adanya ‘…a further development of human mind-spiritual life and its cultural realization…’ (perkembangan lebih lanjut dari kehidupan jiwa-spiritual manusia dan realisasi budayanya) yang dihasilkan oleh sintesa antara Adat dan Modernisme. Takdir menulis:
But in the face of the tremendously devastating modern weapons, product of the still fast progressing science and technology of our time, there is of course also the other possibility that the human race on this planet earth through the shortsightedness and narrowness of its mind and spirit, or Geist or Budi will beg down in its present insoluble, chaotic rivalries, conflicts, purposeless engine wars and commit suicide in a nuclear war. Then the human race will disappear from life on earth like formerly the mastodon and other extinct animal of prehistorical time. The evolution of human culture which started with the appearance of man on earth comes then to an end.
In the favorable and positive case, a further development of human mind-spiritual life and its cultural realization will take place. A new society and culture of the whole of humanity is then emerging, greater than any in the past…it is very likely that the great synthesizing and creative task of building up a new global society and culture of the whole of humanity will take place in Southeast Asia…which in the course of the history of the last 2,000 years has given evidence of its open-mindedness and assimilative power by accepting in its total cultural make-up not only the elements and traits of the great Chinese, Indian and Middle Age cultural tradition, but which with its native creativity has also been able to create out of this elements and traits great cultural monuments of lasting religious and aesthetic greatness…[6]
Dalam tulisan terakhir ini, Takdir lebih meninggikan status Adat. Dari sebagai ‘penyumbang’ berubah menjadi ‘pemain utama’ yang posisinya sebanding dengan Modernisme. Mana mungkin sintesa dilakukan antara dua hal, jika salah satu mendominasi yang lain? Yang patut disayangkan ialah Takdir tidak menjelaskan bagaimana sintesa kedua hal yang dulu berseteru itu dapat terjadi dan seperti apa hasil sintetis itu—suatu sintesa yang berhasil diwujudkan oleh generasi filsuf kemudian.
Soedjatmoko
Soedjatmoko (1922-1989) adalah seorang pemikir agung, cendekiawan, humanis, moralis, agamawan, dan begawan yang menjadi kebanggaan Indonesia. Semasa mudanya pernah aktif dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibangun oleh Sutan Syahrir, Soedjatmoko sangat kritis terhadap modernisasi yang diterapkan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Modernisasi, menurutnya, harus didasarkan pada ‘kearifan lokal’, agar ia tidak malah menghancurkan kebudayaan dan peradaban asli Indonesia.
Hampir seluruh daya pikir dan daya intelektualnya Soejatmoko curahkan untuk menjawab satu persoalan yang sangat fundamental: bagaimana kebudayaan asli Indonesia (Adat) menyikapi tuntutan dan aspirasi pembangunan bangsa yang berkarakter modern? Untuk menjawab persoalan itu, Soejatmoko menawarkan solusi, yakni ‘penyesuaian kreatif’. Apa itu ‘penyesuaian kreatif’?
Kita tidak dapat melepaskan mesin itu serta teknologi umumnya dari nilai-nilai suatu masyarakat, dari segala sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat itu. Dengan kata lain, mesin serta teknologi merupakan penjelmaan kebudayaan suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang menciptakannya. Jadi menghadapi masalah industrialisasi di negeri kita berarti juga menghadapi suatu proses perubahan social, suatu proses perubahan tanggapan jiwa, yaitu penyesuaian kreatif dari kebudayaan kita.
Penyesuaian kreatif ini berarti bahwa kita harus mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita sendiri asas-asas otonom, yang atas kekuatan sendiri, mengembangkan dinamika sosialnya sendiri, dan mampu mendorong dan menuntun ke arah satu jalan modernisasi kehidupan. Jika tidak demikian, maka segala penyesuaian kita akan bersifat pasif. Kita tidak akan dapat melampaui taraf imitasi, taraf tiruan belaka, dan kita hanya akan meningkat dari tingkat statis yang satu kepada tingkat statis yang lain, dan kita senantiasa akan terbelakang.[7]
Dalam pandangan Soedjatmoko, Adat harus menyesuaikan diri dengan tuntutan yang mendesak terhadap modernisasi. Modernisasi merupakan hal yang tak dapat lagi dicegah, jika kita masyarakat Indonesia mau berdiri dengan keberdirian yang sejajar di antara negara-negara dunia. Tapi, modernisasi harus berakar dan berkonteks pada keterusan sejarah kebudayaan lokal Indonesia sendiri.
Pada hakikatnya ciri pokok usaha pembangunan bukan proyek-proyek bantuan luar negeri, dan bukan investasi modal asing; hakikat pembangunan ialah gerak majunya suatu sistem sosial menghadapi tantangan-tantangan baru. Dan hal ini hanya mungkin jikalau ada perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan dalam masyarakat itu sendiri dan dalam sistem nilai tradisionalnya. Maka pembangunan bukan merupakan perpecahan dengan tradisi atau dengan sejarah, melainkan kontinuitas.[8]
Yang sangat menarik adalah optimisme Soedjatmoko bahwa Adat mampu memperbaharui dirinya sendiri, mampu menghadapi persoalan-persoalan baru yang dihadapkan padanya, dan mampu menemukan solusinya sendiri, yang dilandasi kenyataan historis tentang kemampuan orang Indonesia mencerna kebudayaan-kebudayaan asing yang mendatanginya.
Di Indonesia perkembangan kebudayaan Hindu dan kemudian pertemuannya dengan kebudayaan Islam, menunjukkan, betapa besar manfaat serta kemajuan yang dimungkinkan oleh pertemuan satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Nyatalah apa yang menjadi pokok dalam pertemuan dua kebudayaan itu, yaitu kemampuan kebudayaan yang satu untuk mencerna dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan yang lain kepada keperluan serta tujuan-tujuannya sendiri.
Memang vitalitas kebudayaan suatu bangsa dibuktikan oleh suatu kemampuannya untuk dirangsang oleh pengaruh-pengaruh luar, ke arah suatu kreativitas yang lebih besar. Vitalitas suatu bangsa juga dicerminkan dari keberaniannya untuk menjalankan eksperimen-eksperimen dan mencoba jalan-jalan baru yang belum terdapat dalam kebudayaan asli.
…tradisi bagi bangsa yang vital itu bukan sesuatu yang beku. Baginya ia bukan kulit kosong yang telah membatu: baginya tradisi merupakan warisan yang berharga dari pengalaman-pengalaman penting dalam sejarahnya, yang senantiasa perlu dicari dan ditentukan kembali makna dan artinya dalam rangka persoalan-persoalan baru yang dihadapi sekarang.
Demikianlah tradisi itu bagaikan rabuk untuk pertumbuhan selanjutnya. Lain halnya jikalau tradisi sudah membatu, menjadi aturan-aturan serta cara-cara yang tak dapat diubah, dan yang sudah hilang arti dan hubungannya dengan persoalan-persoalan yang menimbulkan aturan-aturan serta cara-cara itu. Kalau demikian adanya maka tradisi tak ubahnya merupakan kurungan yang erintangi suatu bangsa menghadapi persoalan baru.
Maka vitalitas sesuatu bangsa juga diukur dari kemampuannya untuk senantiasa mereinterpretasikan tradisinya dengan memberi arti dan makna baru kepada pengalaman-pengalaman lama itu, sesuai dengan keperluan-keperluan yang baru.[9]
Modernisasi memang perlu bagi Indonesia, tapi juga memerlukan banyak pengorbanan dan ‘ongkos budaya’. Masyarakat yang mengalami modernisasi akan juga mengalami akibat-akibat eksistensial yang buruk. Dengan ‘pembuahan silang’ antara modernisasi dan Adat (atau dalam ungkapan Soedjatmoko, kebudayaan tradisional) sajalah, akibat-akibat eksistensial yang buruk dari modernisasi dapat diminimalisir.
Hantu kehampaan eksistensial yang nampaknya menatap mereka yang sudah sepenuhnya terbenam dalam apa yang dinamakan kebudayaan kosmopolitan modern, dengan begini mungkin dapat disingkirkan oleh suatu proses pembuahan silang yang diperbarui dengan kebudayaan-kebudayaan serta agama-agama dunia tradisional. Kemungkinan terbesar adalah bahwa justru di dalam kerangka kebudayaan-kebudayaan serta agama-agama tradisionallah manusia dapat menanggulangi pertanyaan-pertanyaan tertinggi yang dihadapkan kepadanya, seperti kehidupan, maut, tujuan, dan makna. Dengan faktor ini maka lingkup sempit dari kecakapan manusia yang terlibat dalam peradaban modern dapat diperlebar. Isi pengalaman manusia modern dapat diperkaya, dan kreativitasnya dirangsang dengan cara yang baru.[10]
Nicolaus Drijarkara
Nicolaus Drijarkara (1913-1967), seorang romo Katolik dan filsuf, mencoba melampaui Modernisme dengan Filsafat Barat Paska-modernisme dan Adat. Artinya, beliau mereguk segalanya dari Paska-modernisme Barat tapi tidak melupakan Adat Jawanya. Adat Jawa justru tetap ia pertahankan, tanpa secara munafik ia menerima Paska-modernisme Barat. Beliau berusaha agar antara Adat dan Paska-modernisme Barat ada harmoni, bukan pertentangan. Dalam pandangan Drijarkara, Adat sama penting dan bermakna dengan Paska-modernisme Barat, untuk melampaui Modernisme.
Dalam karyanya yang amat klasik Pertjikan Filsafat (1962), Drijarkara mengintrodusir beberapa aliran Filsafat Paska-modernisme yang di Barat sendiri tengah berupaya melampaui Modernisme, seperti Filsafat Eksistensialisme dan Fenomenologi. Tidak hanya sekali-sekali, tetapi sering dalam banyak halaman dalam bukunya, Drijarkara banyak mengutip pendapat filsuf-filsuf Paska-modernist Barat itu. Bahkan, khusus untuk Filsafat Eksistensialisme dan Fenomenologi, ia menguntukkan dua bab yang membahas keduanya. Yang istimewa dari karyanya itu, ia bukan saja mengutip pendapat filsuf-filsuf tersebut, tetapi juga mengutip kata-kata hikmah dari Adat, seperti Serat Centhini, Suluk Ngasmara, tembang-tembang Jawa, Surat Bonang, Kakawin Arjuna Wiwaha, bahkan Bhagavadgita. Adat malah masih disebutnya sebagai ‘milik kita’. Hampir di setiap pokok bahasan filsafatnya mengenai Filsafat Barat yang memiliki kesamaan dengan Adat, ia mengutip pandangan Adat sebagai ‘pengimbang’. Baca, misalnya, ketika Drijarkara menjelaskan pendapat Max Scheler, seorang filsuf Fenomenologi, tentang hubungan antara moralitas dan ketuhanan:
Dalam pikiran Scheler ini kita melihat bagaimana seorang ahli pikir mencoba menerangkan, bahwa pelanggaran moral pada hakekatnya adalah pelanggaran kehendak dan hukum Tuhan. Dan menyesal atas kesalahan moral berarti kembali ke Tuhan. Pikiran semacam ini terdapat juga dalam kesusasteraan kita. Dengarlah misalnya kutipan ini: Gya patakur ing Hyang Suksma/nalangsa minta apura/saking kipa rating donya/akeh kang daya gigila/taksih langiping kawula/arale kang bangsa riah/kontrag karaos ing driyo/luput – tan ana sela//. Katelu pisan mangkana/ikraling nala nalangsa/dadya samya nenggok waspa/miseseg napas ducungan/ting salenggruk kawistara/karunu tanpa karana/keranane brangtanira/maring Hyang ingkang amurba//. (Demikianlah suatu kutipan dari serat Centini).[11]
Mengenai dekadensi Modernisme, Drijarkara melancarkan kritikannya. Dia menilai, bahwa banyak pandangan filsuf modernist yang menggambarkan manusia secara tidak sempurna, sehingga paham kemanusiaannya pun jadi tidak sempurna. Baginya, manusia adalah makhluk sempurna yang kemanusiaannya tidak boleh dihambat, melainkan harus diperkembangkan sehingga mencapai kesempurnaan. Drijarkara berupaya, dengan perangkat filsafat yang amat dia kuasai, mengarahkan manusia pada pemahaman yang sempurna tentang manusia. Tidak jarang beliau juga mengritik filsuf Eksistensialisme, seperti Sartre walaupun ia sangat terpukau oleh paham eksistensialismenya jika filsuf tersebut dianggapnya kurang sempurna penggambarannya tentang manusia.
Dalam karya itu pula, Drijarkara sungguh nampak hendak melampaui dekadensi Modernisme dari sisi kemanusiaannya. Dari semua bab yang dibahas dalam bukunya, Drijarkara nampak sangat menonjolkan pembelaannya terhadap kemanusiaan. Kemanusiaan sungguh merupakan tema sentral yang terus berulang-ulang di setiap bab yang dibahas. Dalam pandangan Drijarkara, Modernisme gagal menghormati kemanusiaan. Kapitalisme suatu sistem ekonomi yang menopang dan berdasarkan Modernisme—beserta teknologi ciptaannya telah merendahkan status manusia hingga sekadar sejenis mesin. Peradaban Barat-Modern, dalam pandangan Drijarkara, adalah peradaban hedonis, overmaterialistik, dan kurang mengindahkan agama.
…teknik itu bisa menjunjung manusia menjadi tuan besar, akan tetapi juga merendahkan manusia menjadi budak. Manusia bisa hanyut dalam perteknikan, sehingga dia menginjak-injak perikemanusiaan. Untuk memahami hal ini, ingatlah perindustrian modern, yang kapitalistis! Nampaklah di sini, bagaimana manusia dengan menyalahgunakan teknik, menjadi terjerumus: dia menjadi manusia yang rusak kesusilaannya dan merusak kesusilaan orang lain.[12]
Untuk melampaui ekses-ekses negatif Modernisme, Drijarkara nampaknya sengaja merujukkan banyak pembahasannya pada Filsafat Eksistensialisme (terutama Eksistensialisme-Theistik) dan Filsafat Pragmatisme dua aliran filsafat yang di Barat sendiri sedang melancarkan perlawanan terhadap asumsi-asumsi modernistik yang mapan untuk mengemansipasi kemanusiaan. Bahkan, beliau menyediakan satu bab khusus yang membahas psikologi agama (psychology of religion) yang berjudul ‘Ilmu Jiwa Agama’ (h.156-196), yang dimaksudkan untuk mengembalikan kembali gairah keagamaan yang telah (sengaja) diredupkan Modernisme-Barat.
Dengan demikian, jelaslah, bahwa Drijarkara ialah seorang humanist yang membangun humanisme nya dengan mengritik filsuf Barat-Modern yang dianggapnya memberikan pandangan tak sempurna tentang manusia. Apapun aliran filsafat Barat-Modern, akan dikritiknya jika aliran itu memandang manusia secara sempit dan tidak sempurna. Tak jarang Drijarkara mengritik beberapa pandangan filsuf Modernisme Barat yang dalam pandangannya tidak mengindahkan ‘kemanusiaan’, misalnya, Emile Durkheim. Kata Drijarkara:
Tak perlu kita sangkal, bahwa dalam perkembangan moral, masyarakat mempunyai peran yang penting. Dengan Durkheim, dapat juga kita akui, bahwa apa yang baik itu, baik juga untuk masyarakat. Akan tetapi kita tolak pendapatnya, bahwa masyarakat itu merupakan norma yang terakhir dari kesusilaan, bahwa hanya masyarakatlah yang menetapkan apakah sesuatu baik atau buruk.
Pendapat yang demikian itu merupakan depersonisasi dari manusia, artinya: memungkiri bahwa manusia itu pribadi. Kedua harus kita katakan, bahwa pendapat tadi tidak sesuai dengan fakta-fakta bahwa dalam masyarakat selalu ada perseorangan-perseorangan yang mengajukan kritik atau koreksi. Hal itu tidak mungkin, andaikata pendapat kita tentang moral sama sekali ditentukan oleh masyarakat. Sebagai keberatan ketiga, kita ajukan, bahwa teori seperti yang diajarkan oleh Durkheim itu akan membenarkan kolonialisme, penindasan lain bangsa dsb. Sebab dengan berdasarkan teori itu nanti suatu masyarakat dari suatu bangsa akan berkata: bagi kita baiklah jika kita merampas kemerdekaan dari tetangga kita…[13]
Studi Filsafat Indonesia
M. Nasroen (1907-1968), seorang Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia, mencoba menerobos tren di zamannya yang berkutat pada kajian Filsafat Barat dengan memelopori kajian baru, ‘Filsafat Indonesia’. Kajian baru tersebut mencoba menggali unsur-unsur filosofis dalam Adat suku-suku etnis Indonesia. Kajian ini menginspirasikan banyak pengkaji setelahnya. Sunoto (l. 1929), mantan Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, dan R. Parmono, mantan Sekjur Filsafat Indonesia di universitas yang sama, lalu Jakob Sumardjo (l.1939) , filsuf dan kolumnis di ITB Bandung, adalah beberapa penulis yang terpengaruh secara langsung maupun tidak langsung oleh kajian yang dipeloporinya itu.
Nasroen menulis secara produktif, terutama tentang Filsafat Adat Minangkabau. Beberapa karya jenuin lahir dari tangannya, seperti Dasar Falsafah Adat Minangkabau (1957), Falsafah Adat Minangkabau (1963), dan Falsafah Indonesia (1967).
Sunoto dan R. Parmono juga demikian. Karya-karya mereka banyak menggali khazanah Filsafat Adat Jawa. Sunoto menulis Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia (1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia (1983), dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan (1987). Sedangkan R. Parmono menulis Manusia Pendukung Pandangan Hidup: Pengantar Filsafat Anthropologi Indonesia, Beberapa Cabang Filsafat di Dalam Serat Wedhatama (1982-1983), Gambaran Manusia Seutuhnya di Dalam Serat Wedhatama (1983-1984), dan Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (1985).
Jakob Sumardjo menulis Arkeologi Budaya Indonesia (2002) dan Mencari Sukma Indonesia (2003). Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika strukturalist yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’. Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya, yakni, ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, artinya ‘…filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’[14]
Berkat semua pelopor di atas, Filsafat Adat menjadi kajian akademik yang pentingnya dan statusnya sejajar dengan kajian Filsafat Barat, Filsafat Islam, dan Filsafat Timur di perguruan tinggi dan universitas utama di Indonesia.
Wasito Poespoprodjo
Wasito Poespoprodjo (……), seorang dosen Filsafat Hermeneutika di Universitas Padjajaran Bandung, adalah seorang yang sudah kenyang dengan pemikiran Modernisme dan mencoba melampauinya dengan Hermeneutika suatu filsafat kritis yang di Barat sendiri sedang berjuang melampaui Modernisme. Modernisme, terutama yang diwakilkan oleh kecenderungan saintifiknya, telah ‘memesinkan’ manusia, sehingga merendahkan martabat manusia. Dengan hermeneutika, atau dengan kembali kepada filsafat, maka sains menemukan kembali realitas manusia yang utuh yang telah difragmentasikannya. Tulis Poespoprodjo:
Metode Galileo Galilei dan René Descartes (1596-1642) mematematikakan alam memang suatu prestasi cemerlang, tetapi juga destruktif. Konsepsi objektivitas berupa eliminasi total aspek noetik tahu manusia. Seluruh dunia kenyataan indera, rasa perasaan, keadaan batin, kejiwaan, semuanya itu tetap tidak diketahui, tidak digarap, bahkan diremehkan…
Demikianlah oleh Galileo, dunia ini dicukur habis dari segala emosi, segala kesan indera, dan dari segalanya yang membentuk dunia kita sehari-hari. Kemudian semuanya itu diganti dengan cirri-ciri matematis dunia ini yang dianggapnya lebih kaya karena memampukan manusia membaca semesta kenyataan yang senantiasa mengikuti prinsip-prinsip geometri…
Demikianlah pikiran Galileo dapat dikatakan merupakan tawaran pertama ke proses matematisasi ilmu. Lebenswelt atau dunia pengalaman prailmiah tertutup rapat oleh baju angka-angka, konsepsi-konsepsi, dan rumus-rumus…[15]
Konsekuensi pandangan matematis Galileo dan Descartes itu sangat destruktif, terutama dalam bidang Filsafat. Menurut Poespoprodjo, karena kecenderungan matematis, Filsafat tidak lagi bersifat ‘membebaskan’, tapi malah ‘mengikat’. Aktifitas berpikir tidak lagi berupa sikap tanggap yang terbuka terhadap dunia, tetapi berpikir menjadi usaha terus-menerus untuk menguasai alam dan manusia. ‘…berpikir tidak untuk mengawal dan menjaga, merawat alam, tetapi memakainya secara habis-habisan dalam rangka usaha membentuknya kembali untuk maksud-tujuan manusia. Sungai, alam, lingkungan tidak lagi memiliki arti intrinsiknya, tetapi diarahkan untuk memenuhi maksud-tujuan manusia…’ Akibatnya, lanjut Poespoprodjo:
Pemberontakan alam, lingkungan sebagaimana dapat diamati adalah akibat tidak digubrisnya alam dan lingkungan tersebut yang selama ini disuruh tunduk melulu pada kerangka pikiran homo-mensura, pada kesewenang-wenangan manusia, yang sikap pemikirannya adalah untuk menguasai…[16]
Setelah mengritik Galileo, Descartes, dan John Locke sebagai filsuf-filsuf saintis-empiris yang mereduksi realitas hanya sekadar realitas matematis-fisikal-empiris, Poespoprodjo mengusulkan agar Filsafat kembali kepada realitas menyeluruh dan pengalaman integral dan menolak segala dikotomi objek-subjek yang menurutnya fiksional:
…Dikotomi subjek-objek tidak terdapat di dalam pengalaman integral, di dalam pengetahuan sebagaimana de facto terjadi. Dikotomi subjek-objek adalah suatu fiksi yang mendistorsikan dan mendeformasikan dunia senyatanya di mana kita berada dan hidup…
Realitas hidup, kenyataan manusia sebagaimana dirancangkan oleh Sang Pencipta adalah jauh lebih kaya daripada yang dapat dinyatakan ke dalam kata-kata, daripada yang dapat disergap dengan konsep-konsep, kategori-kategori yang dipaksakan oleh manusia, daripada yang dapat dirumuskan dalam suatu sistem.[17]
Tapi untuk melampaui kecenderungan destruktif sains Modernisme, Poespoprodjo menyarankan agar Filsafat harus dilengkapi dengan ‘kritik ideologi’, sehingga Filsafat mampu melampaui segala ketentuan atau segala doktrin filsafat mapan yang telah menjelma atau diperlakukan sebagai ideologi tertutup atau sebagai dogmatisme-dogmatisme yang dijadikan orang sebagai kerangka berpikir, kerangka rumusan, serta kerangka kesimpulan. Hermeneutika, sebagai kritik idelogi, dapat berfungsi sebagai pembuka segala selubung ideologis yang hendak mereduksi pengetahuan manusia dengan reduksi fiksional-ideologis dan menjadi Filsafat yang ‘membebaskan’.[18]
Yusuf B. Mangunwijaya
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1998), seorang romo Katolik dan insinyur arsitektur lulusan Jerman, mencoba melampaui Modernisme tapi bukan dengan mengapresiasi kembali Adat, melainkan dengan ‘religiositas paska-Einstein’. Mangunwijaya membedakan antara modernist pra-Einstein yang sekuler dengan modernist paska-Einstein yang spiritual. Modernisme paska-Einstein yang spirituallah yang dapat melampaui Modernisme pra-Einstein yang masih picik dan sekuler.
Jika Modernisme kadung dipahami sebagai gerakan budaya minus agama, maka ‘Romo Mangun’, demikian ia kerap dipanggil, hendak menegaskan bahwa bahkan kaum modernist pun (yang diwakili oleh kalangan scientist, ‘ilmuwan’ paska-Einstein) memiliki ‘gaya beragama’ yang khas, yang tentunya berbeda dengan ‘gaya beragama’ yang diajarkan Adat. Jadi, misi intelektual Mangunwijaya ialah membangun religiositas ala modernist atau ala ilmuwan (scientist) paska-Einstein, seraya menegaskan secara implisit bahwa religiositas bukan satu-satunya otoritas milik Adat. Kaum modernist paska-Einstein pun punya religiositasnya sendiri yang khas. Tulis Mangunwijaya:
Kita harus menerima kenyataan, tanpa bernafsu mengadili, bahwa bagi manusia sains sungguh tidak mudah untuk menjadi pemeluk agama tradisional, yang diwariskan kepadanya dengan perbendaharaan bahasa pusaka sekian puluh abad. Bukan karena dia sombong, skeptis, atau kafir sesuka sendiri (ya, tentu saja ada yang begitu), melainkan karena dia terlanjur tahu banyak sekali. Orang-orang lain masih hidup tiga-dimensional, berpegang pada pancaindera, dan menghitung dengan abad atau hanya dasawarsa. Sedangkan sarjana sains sudah mampu melihat dengan sekian banyak dimensi, telah mahir menggunakan kemampuan-kemampuan khas daya inteligensi yang lebih kaya dan lebih canggih. Masih ditambah modal instrumen dan arus informasi padanya yang semakin meluas dan mendalam. Tentang seluk-beluk kosmos makro dan mikro, tentang rahasia kehidupan, ruang dan waktu, masa lampau dan hari depan, dan seluruh perjalanan evolusi, para sarjana sains tahu jauh lebih banyak daripada para pemimpin agama. Maka sungguh tidak mudah bagi mereka untuk setiap kali mengunyah ulang-alik ungkapan dan rumusan warisan tradisional…memang harus dimengerti apabila kaum cendekiawan sains pada umumnya lalu segan membicarakan Tuhan, dogma agama, dan postulat serta pengandaian mutlak tradisional lainnya. Sebab manusia pasca-Einstein memang secara prinsipial tidak mudah lagi main mutlak-mutlakan. Tetapi belum tentu itu harus menuju ke a-teisme atau anti-teisme. Bahkan jangan-jangan kita agamawankah yang sering terlalu obral dengan (kata) Tuhan dan (rumusan) agama, sehingga kentara sekali kedangkalan inflasi iman kita?[19]
Mustahil, menurut Mangunwijaya, bagi orang Indonesia-Modern untuk menghayati religiositas dan spiritualitas Adat dengan cara dan sarana kuno, yakni dengan bahasa dan pengertian yang kuno. Harus diperbaharui cara dan sarana itu. Harus dimodernisasikan cara dan sarananya, agar religiositas dan spiritualitas Adat dapat ditangkap kembali oleh otak-otak manusia Modern. Religiositas Adat harus dibahasakan dengan bahasa dan cara saintifik. Pendeknya, religiositas Adat harus disaintisasikan. Tapi jika religiositas Adat sudah disaintisasikan, ia bukan lagi religiositas Adat, tapi religiositas yang saintifik. Adat, dalam pandangan Mangunwijaya, tetap saja negatif. Lanjut Mangunwijaya:
Anak-cucu Galileo Galilei dan anak-cucu kita sendiri yang kendati tidak mudah, tetapi tetap mencari Tuhan, biarpun dengan cara dan bahasa yang lain sama sekali dari kita yang masih klasik antik zaman Euclides…
… Manusia pasca-Einstein pastilah sewajarnya lain sama sekali juga mentalnya dibandingkan dengan mereka yang masih pra-Einstein. Karena dimensi yang mampu diraihnya jauh lebih kaya, maka lebih dimungkinkan juga antara lain penghayatan dimensi Nur-Illahi yang dirasakan, disambut, dan diamalkan. Perkayaan ilmu pengetahuan mutakhir sungguh merupakan modal yang lebih mampu memperdalam religiositas manusia secara lebih sejati dan mendalam daripada yang diwariskan oleh adat-istiadat dunia lampau. Untuk manusia ‘universum Einstein’ yang sudah menghadap ke muka, Tuhan tidak lagi dihayati melulu dari gugusan rumus dan ritus belaka, melainkan juga antara lain dari karya riil semesta raya yang agung lagi indah, tiada tara jauh lebih harmonis dan meyakinkan.[20]
Jika kaum modernist pra-Einstein memahami dengan sungguh-sungguh hikmah dari ‘teori relativitas’ dan ‘dimensi empat’ Albert Einstein, maka, hemat Mangunwijaya, mereka akan menemukan kembali gairah religiositas yang telah lama hilang saat mereka berada di era pra-Einstein. Itu berarti, mereka telah melampaui Modernisme (pra-Einstein) yang picik dan sekuler. Adat mustahil melampaui Modernisme itu; hanya ‘religiositas Einsteinian’ yang mampu.
Armahedi Mahzar
Armahedi Mahzar, seorang dosen dan filsuf ITB, mencoba melampaui Modernisme dengan konstruksi filsafat yang ia bangun sendiri, yang dinamakannya sendiri dengan ‘Integralisme’. Dengan menggunakan metode Strukturalisme Claude Levi-Strauss dan apresiasi mendalam atas tradisi Sufisme Ibnu Arabi, Mahzar memeriksa anatomi Modernisme Barat, dan menyimpulkan bahwa Modernisme Barat sedang mengalami dekadensi, yang hanya bisa disembuhkan dengan pemahaman integral tentang realitas. Pemahaman integral tentang realitas inilah yang menjadi mission sacre dari ‘Integralisme’—kontruksi filsafat yang ia bangun itu. Kata Mahzar:
…di tahun tujuh puluhan, penulis melihat suatu gejala yang cukup aneh, yaitu berbondong-bondongnya banyak pemuda-pemudi Barat ke dunia Timur untuk mencari filsafat pegangan hidup, sementara pemuda-pemudi Timur mencari hal yang sama ke dunia Barat. Oleh karena itu penulis bertekad untuk memeriksa semua isme dunia Barat dan hasilnya justru tambah membingungkan. Soalnya, setiap isme Barat itu ternyata memang mengandung kebenaran tetapi terasa ada kekurangannya…
Filsafat-filsafat Barat modern, kalau diselidiki ternyata adalah pecahan-pecahan dari filsafat tradisional Islam yang kemudian dibesar-besarkan, oleh karena itu semua filsafat Barat tidak akan pernah bisa digunakan sebagai pegangan hidup karena ketaklengkapannya. Muda-mudi Barat lari ke Timur karena di sana filsafat tradisional yang utuh masih tetap hidup…[21]
Mahzar memeriksa Modernisme Barat, lalu menemukan kelemahan dan kekurangannya. Kekurangan yang paling fundamental dalam Modernisme Barat ialah pemahaman akan realitas yang terpisah-pisah dan terpecah-pecah. Mahzar ingin mengoreksi kesalahpahaman Modernisme Barat itu dengan suatu pemahaman integral tentang realitas, yang dihimpunnya dalam Filsafat Integralismenya. Mahzar menerangkan sendiri tentang apa yang dimaksud dengan ‘Integralisme’:
…kerangka dasar Integralisme…intinya adalah integralita wujud atau kesatupaduan realitas, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Arab akan menjadi wahdatul wujud, yaitu inti pandangan satu aliran filsafat mistik tradisional Islam yang dianggap murtad, aliran wujudiah. Aliran wujudiah yang dasar-dasarnya diletakkan oleh filosof mistikawan Islam terbesar, Ibnu Arabi. Aliran ini dituduh sesat karena diinterpretasikan sebagai aliran Pantheisme oleh para ulama fiqih tradisionalis dan para pembaru fundamentalis Islam. Tetapi untunglah perasaan terkejut ini bisa lenyap seketika karena setelah merenungkan kembali langkah-langkah dan hasil-hasilnya secara mendalam, penulis yakin bahwa tak satu pun, dalam langkah dalam hasil perjalanan, upaya mengidentikkan Tuhan Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya. Yang diperoleh dalam perjalanan ini justru suatu gambaran indah di mana wujud Ilahi bersama semua wujud makhluk-Nya tersusun dalam suatu kesatupaduan realitas seperti dalam tradisi filsafat klasik Islam…
Filsafat Integralisme…dapat digunakan untuk menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam yang berkesinambungan dengan filsafat tradisional Islam, sebab Integralisme dapat dipandang sebagai perumusan kontemporer bagi esensi filsafat tradisional Islam yang sengaja dibuat untuk generasi muda Islam…
Integralisme adalah reinterpretasi atas esensi ajaran Filsafat Islam Klasik dengan pengertian dan ungkapan kontemporer, yang diyakini Mahzar dapat menyembuhkan dekadensi Modernisme Barat.
Kuntowijoyo
Kuntowijoyo (1943-2005), seorang novelis, sejarawan, dan filsuf, mencoba melampaui Modernisme dengan ‘Sosiologi Profetik’ dan ‘Sastra Profetik’ nya. Penguasaannya terhadap ilmu-ilmu sosial Barat dan Sufisme Islam mengantarkan Kuntowijoyo pada kritik atas Modernisme dan mendorongnya untuk membangun matra pemikiran yang disebutnya ‘Sastra Profetik’ dan ‘Sosiologi Profetik’. ‘Sastra Profetik’ bermain di bidang sastra, bidang ‘imajinasi sosial’, bidang ‘ideal’, sedangkan ‘Sosiologi Profetik’ bermain di bidang sosial-politik, bidang ‘realitas sosial’, bidang ‘riel’. Keduanya penting dimainkan untuk melampaui dekadensi Modernisme. Tapi, sebelum menjelaskan apa yang dimaksud Kunto dengan ‘Sastra Profetik’ dan ‘Sosiologi Profetik’ itu, simaklah dulu kritik Kunto terhadap dekadensi Modernisme:
Transendensi teistik adalah konsekuensi dari postmodernism yang menghendaki de-differentiation (tergabungnya kembali institusi agama dan institusi dunia), setelah Renaissance dahulu melakukan differentiation (pemisahan agama dan dunia, humanisme, sekularisme), demikian saya baca dari Scott Lasch, Sociology of Postmodernism.
Sekalipun zaman ini adalah zaman postmodernism, rupanya peradaban Barat tetap cenderung pada sekularisme… Ada perbedaan, tapi rupanya semua agama setuju bila dikatakan bahwa peradaban Barat dan praktis peradaban dunia, termasuk Indonesia sedang mengalami krisis. Dan krisis peradaban itu dapat diatasi melalui transendensi… Dalam Islam transendensi itu akan berupa sufisme…
Humanisasi kita perlukan, sebab ada tanda-tanda bahwa masyarakat kita sedang menuju ke arah dehumanisasi. Dehumanisasi ialah objektivasi manusia (teknologis, ekonomis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, perorangan, kriminalitas), loneliness (privatisasi, individuasi), dan spiritual alienation (keterasingan spiritual). Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai bawah sadarnya daripada oleh kesadarannya. Tanpa kita sadari dehumanisasi sudah menggerogoti masyarakat Indonesia, yaitu terbentuknya manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa.
Manusia mesin (l’homme machine) terjadi karena penerapan teknik meluas dalam masyarakat modern kita… Perilaku manusia mesin hanya berdasar stimulus and response, seperti digambarkan dlaam psikologi Behaviorisme. Perilaku manusia tidak lagi berdasar akal sehat, nilai, dan norma. Agresivitas, korupsi, selingkuh, tawur, dan semua kriminalitas adalah hasil dari manusia mesin itu…
Istilah manusia massa (l’homme mass) berasal dari Gabriel Marcel, filsuf Eksistensialis-Katolik. Menurut Marcel dalam masyarakat teknologis manusia tidak lagi memahami dirinya berdasar gambaran tentang Tuhan (the image of God) tetapi gambaran tentang mesin (the image of machine). Manusia massa itu memandang realitas tidak secara utuh, lebih banyak menekankan aspek emosional daripada intelektual…[22]
Untuk melampaui semua dekadensi Modernisme yang cenderung mendehumanisasi manusia, Kunto menawarkan solusi, yang disebutnya ‘Sastra Profetik’ dan ‘Sosiologi Profetik’. Baik Sastra maupun Sosiologi Profetik keduanya bertujuan untuk menerapkan ‘Firman Tuhan’ dalam Al-Quran 3:110, ‘kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah’. Dalam tafsiran Kunto, ‘umat terbaik dilahirkan untuk manusia’ berarti keterlibatan manusia dalam sejarah, ‘menyuruh kepada yang ma’ruf’ berarti humanisasi, ‘mencegah kemunkaran’ berarti liberasi, dan ‘beriman kepada Allah’ berarti transendensi. Diilhami oleh firman Tuhan tadi, ‘Sastra Profetik’ dan ‘Sosiologi Profetik’ hendak memberikan arahan pada Manusia Modern untuk melampaui dekadensi Modernisme lewat keterlibatannya dalam sejarah untuk memperjuangkan tiga hal tersebut: humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Modernisme melahirkan revolusi kapitalisme, dan revolusi kapitalisme menggoncangkan tata sosial lama bukan hanya di Barat, tapi juga di negara-negara yang ikut pola Barat. Dominasi kapitalisme ke segala bidang kehidupan menyebabkan nilai-nilai tradisional terpinggirkan, termarginalisasi. Paham makna hidup tradisional yang transendental berubah jadi paham makna hidup modern yang overmaterial, yang di kemudian hari cenderung mendehumanisasi manusia, meminggirkan ‘manusia-manusia kecil’ seperti petani dalam skema ekonomi kapitalistik multinasional, mengeksploitasi desa untuk kemakmuran industri kota, mendepersonalisasi manusia, dan dalam kasus pembangunan modernistik Indonesia, menghambat pemerataan hasil pembangunan.[23]
Andy Setiawan
Andy Setiawan (1972-…), seorang guru, penyair dan filsuf, mencoba melampaui Modernisme dengan Spiritualitas. Ia berjalan di jalur yang sama dengan para filsuf Perenialisme di Barat, seperti Frithjof Schuon dan Syed Hossein Nasr, dalam artian, bahwa ia meyakini ‘spiritualitas agama-agama’, yang dengannya ia dapat melampaui Modernisme. Modernisme, dalam pandangan Andy, harus bertanggungjawab atas kegagalan manusia untuk memahami dirinya secara utuh. Ungkap Andy:
Dari segi biologis, manusia berasal dari segumpal darah, dari campuran air mani, satu dari berjuta-juta sel sperma dan sel telur. Namun ketika pertanyaan manusia ‘dari manakah saya berasal?’ berkembang menjadi lebih filosofis, jawaban demikian tidak lagi mencukupi. Manusia datang ke dunia fisik atau lahir memang melalui kedua orang tuanya, tapi tidak dari mereka, seperti dikatakan Khalil Gibran dalam Sang Nabi, ‘Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah anak Sang Kehidupan… Mereka datang melalui kamu tapi bukan dari kamu’. Penekanan semacam ini perlu untuk melihat manusia secara lebih menyeluruh. Manusia gagal melihat manusia dan kemanusiaan karena cenderung pada aspek lahiriah. Kebudayaan manusia modern sangat bersifat dan berorientasi fisik. Pembangunan dan kemajuan diukur dengan banyaknya bangunan-bangunan, infrastruktur, produksi missal, yang berujung pada pola hidup konsumerisme. Manusia, tentu saja adalah wujud fisik biologis yang bisa dicitra dan diidentifikasi dari ciri-ciri biologisnya, seperti bangun fisik, warna kulit, wajah, ciri-ciri khusus, dan sebagainya. Namun jika sampai manusia mampu membangun stasiun luar angkasa, pencarian akan jati dirinya tetap sebatas pada wujud biologis yang, paling jauh, memiliki otak, tidakkah manusia tetap saja masih merupakan hanya segumpal darah? Dimanakah nilai kemanusiannya? Darimana asalnya?[24]
Agar dekadensi Modernisme dapat dilampaui, jelas Andy, tak ada cara lain kecuali bahwa Manusia Modern harus menemukan kembali ‘saudara kembar’ aspek lahiriahnya, yakni, aspek ke-batin-an nya, dan aspek ke-batin-an manusia ini baru dapat disadari dan dipahami secara penuh lewat Spiritualitas. Dengan spiritualitas, penyakit-penyakit Manusia Modern dapat dieliminir. Apa yang dimaksud dengan penyakit-penyakit Manusia Modern? Kecenderungan Modernisme untuk memandang segalanya dari aspek lahir, aspek material, aspek ‘luar’, aspek ‘kulit’, aspek formal. Kecenderungan tersebut mengakibatkan Manusia Modern memandang realitas secara dualistik: benar-tidak benar, sehat-tidak sehat, Islam-bukan Islam, kita-bukan kita, agama-bukan agama. Serba dualitas, dan karenanya serba bertentangan dan berlawanan. Menurut Andy, dualitas tersebut harus dilampaui, sehingga tercapai unitas. Dualitas Islam-bukan Islam, misalnya, dapat dilampaui dan mencapai unitas dalam bentuk Spiritualitas. Dualitas agama-bukan agama juga dapat dilampaui menjadi unitas di dalam Spiritualitas, sebab, menurut Andy, ‘spiritualitas: inti universal keberagamaan’ dan ‘benang merah semua agama’.
Akibat dualitas yang dianut Modernisme, terjadi pula problem-problem Manusia Modern, seperti dikotomi agama-sains, kebingungan akibat perbedaan penafsiran agama, masalah pindah agama, masalah perkawinan antar-agama, terorisme religius, perang suci yang ironis, politisasi agama, dan lain-lain. Jika dualitas modernistik tadi dapat dilampaui dengan unitas yang diajarkan Spiritualitas, maka segala ‘problem modern’ tersebut dapat diatasi. Tentang unitas sains-agama, Andy menerangkan:
Harapan baru yang bersinar ke arah ini kita temukan di masa lalu dan di masa depan. Di masa lalu, belum ada pemisahan yang definitif antara agama, filsafat, sains dan cabang-cabang ilmu yang lain. Filsuf-filsuf awal seperti Plato, Socrates dan Phytagoras adalah juga ilmuan sekaligus tokoh spiritual. Dalam Phaedo, Socrates menjelaskan dengan sangat gamblang perjalanan ruh di alam kematian dan proses kelahirannya kembali ke dunia fisik. Phytagoras dan Plato adalah para filsuf Yunani yang menerima inisiasi spiritual dan tradisi mistik tertua di India. Di kemudian hari, konon Yesus pada saat berusia 19 tahun pergi ke India tepatnya ke Biara Essene di gunung Serbal, untuk mendapatkan inisiasi, belajar teknik penyembuhan kuno dan meditasi. Barangkali Phytagoras adalah orang pertama yang menggabungkan filsafat agama (atau spiritualitas) dan sains sekaligus ketika mengatakan bahwa setiap benda adalah angka-angka; memberikan sentuhan mistis pertama kepada sains dan sekaligus menjembatani agama dengan kebenaran logika.
Cahaya baru yang menyala di masa depan sesungguhnya telah dimulai ketika bangunan fisika klasik mulai runtuh dengan ditemukannya teori relativitas dan teori kuantum, memulai paradigma sains baru yang subtil, holistik, dan organik tentang alam…[25]
Ferry Hidayat
Ferry Hidayat (1973 -…), seorang pengkaji Filsafat di UPN ‘Veteran’ Jakarta, mencoba melampaui Modernisme dengan ‘Perenialisme Adat’ atau ‘Adat Kosmik’ (the Cosmic Adat). Dipengaruhi oleh ‘Studi Filsafat Indonesia’ yang dipelopori M. Nasroen, serta didukung oleh Filsafat Perenialisme (terkenal pula dengan sebutan ‘Tradisionalisme’) Frithjof Schuon dan Syed Hossein Nasr suatu aliran Filsafat yang mengritik Modernisme dengan kritikan yang amat pedas, ia percaya bahwa dengan kembali kepada Adat, manusia Indonesia-Modern dapat melampaui Modernisme yang telah dekaden. Tapi, karena Adat pun telah lebih dulu dekaden, maka Adat harus pula diperbaharui sebelum dipakai kembali oleh orang-orang modern. Pembaharuan Adat, menurut Ferry, tidak boleh dilakukan lewat metode-metode Modernisme yang justru menolak dan merendahkan keberadaan Adat, tapi harus digali dari Adat itu sendiri, yang disebutnya ‘metodologi Adat’.
Lewat beberapa studinya tentang Adat, ditemukanlah resep-resep pembaharuan Adat dalam khazanah Adat Suku Melayu-Riau. Suku Melayu-Riau membagi Adat dalam 3 (tiga) kategori: Adat sebenar adat, Adat yang diadatkan, dan Adat yang teradat. Ketiga pembagian Adat di Riau itu, hemat Ferry, menunjukkan sumber asalnya, yakni Adat yang bersumber dari ‘Yang Abadi’ dan Adat yang bersumber dari ‘Yang Sementara’. Adat sebenar adat adalah Adat yang abadi karena bersumber dari ‘Yang Abadi’, sedangkan kedua Adat yang disebut terakhir adalah Adat yang sementara karena bersumber dari ‘Yang Sementara’. Karena keabadiannya, Adat sebenar adat tak boleh diubah-ubah dan tetap, sebagaimana peribahasa Adat mengatakan ‘adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan’, sedangkan adat yang diadatkan dan adat yang teradat dapat saja berubah, digonta-ganti menurut kepentingan historis-temporal setempat, sebagaimana peribahasa Adat mengatakan ‘rusak taro datu’, ten rusak taro ade’ (hukum raja boleh saja rusak, tapi hukum adat tak boleh rusak).
Dengan dikotomi Adat itu, Ferry berupaya ‘memperbaharui’ Adat yang dekaden, dengan pemikiran bahwa Adat yang dekaden itu sebenarnya adalah ‘Adat temporal’ yang telah kehilangan maknanya yang abadi. Agar ‘Adat temporal’ yang dekaden itu menemukan lagi maknanya yang esensial-abadi, maka ia harus dirujukkan kembali pada ‘Adat yang abadi’ (adat sebenar adat). Lalu, apa itu ‘Adat yang abadi’?
Menurut Ferry, Adat yang abadi adalah esensi-esensi universal abadi berupa ajaran abadi yang diajarkan oleh leluhur (nenek moyang) dari semua suku etnis lokal Indonesia yang jumlahnya banyak itu, yang ajarannya secara esensial menyerupai ajaran guru-guru mistikus sedunia, guru-guru agama sedunia, bahkan guru-guru primitif dari suku primitif sedunia, yang dalam bahasa filsuf Perenialisme atau Tradisionalisme disebut sophia perennis (kebijaksanaan abadi) atau religio perennis (agama abadi) atau the Tradition (tradisi abadi). Tulis Ferry:
In the traditionalists’ view, the eternal aspect of Adat is like primordial wisdom, primordial tradition, perennial philosophy, primordial revelation, or sacred science which always exists in every culture in everywhere in the world, since ‘…there has never been a time without God, nor a place into which He has failed to descent. His eternal power and Godhead have always been manifest in the things that are made, and the particular traditions are so many palimpsests of a script written into the substance of creation itself. It is not surprising, therefore, that we should find signs of tradition wherever and whenever we look…’
All the temporal manifestations of Adat, such as architecture, religious ceremonies, divinations or prophecies, musical instruments, dances, armistice, ceremony ornaments, motifs, arts, social organization and social relationship, must be based on the Sacred Principle which can be assumed as eternal, since its manifestations found almost everywhere in each ethnic groups in Indonesia and it always echoes some perpetual, recurrent themes in their cosmologies.[26]
Dekadensi Adat, menurut Ferry, dapat diatasi dengan merujukkan kembali ‘Adat temporal’ kepada ‘Adat abadi’ lewat pembaharuan interpretasi atau pembaharuan manifestasi luar ‘Adat temporal’ di dalam sejarah-aksidental. Lanjut Ferry:
Untuk menghindari kehilangan makna Adat, hemat penulis, harus dilakukan pembaharuan, revitalisasi, serta refreshment (penyegaran-ulang), dalam bentuk reinterpretasi (tafsir-ulang) atas Adat. Telah diterangkan di muka, bahwa Adat memiliki ‘aspek abadi’ dan ‘aspek sementara’. ‘Aspek abadi’ Adat disebut adat sebenar adat, sementara ‘aspek temporal’ Adat disebut adat yang diadatkan dan adat yang teradat. Yang harus direinterpretasi dalam kaitannya dengan kasus hilangnya makna Adat, ialah ‘aspek temporal’ nya, bukan ‘aspek abadi’ nya. Upacara cabut gigi dan tari ekstase kecak di Bali, upacara tepung tawar dan seni silat di Melayu, kesenian debus di Banten, upacara mengayau kepala di Nias, tari saman di Aceh, atau upacara perkawinan dan tari kuda lumping di Jawa adalah aspek temporal Adat yang dapat direinterpretasi, tapi makna-makna esensial, ‘isi-isi’ kesakralan, kandungan-kandungan spiritual dari upacara tersebut, seperti keserasian kosmik, kepatuhan pada hukum kosmik sakral-abadi, serta kesadaran akan totalitas realitas sakral adalah aspek universal Adat yang tak boleh diubah-ubah dan bersifat aksiomatik. Misalnya, jika makna sakral-spiritual upacara cabut gigi di Bali telah hilang dalam ingatan manusia Bali Modern dan yang tinggal dipahami hanyalah upacara glamor dengan atribut-atributnya yang profan demi keuntungan material bidang pariwisata, maka, dengan mengikuti logika tadi, upacara tersebut dapat direinterpretasi dengan cara diganti dengan upacara lain yang sedianya dapat membangkitkan kembali makna spiritualnya yang abadi, walaupun upacara itu harus berubah bentuk secara drastis dan dramatis. Jika tari saman dari Aceh rupanya tidak menyebabkan penarinya serta penontonnya mengalami ‘kesadaran kosmik’ sedangkan tari whirling dervishes dari Persia dan tari belly dance dari Mesir bisa, maka tidak ada salahnya kita memilih dua tari yang disebut terakhir itu.[27]
Dengan pembaharuan Adat sebagaimana yang diusulkannya itu, manusia Indonesia-Modern dapat melampaui Modernisme yang dekaden. Lalu, bagaimana sikap Ferry terhadap Modernisme? Dulu ia adalah pendukung setia Modernisme-Barat, namun disebabkan oleh etnosentrisme filsuf-filsuf Barat yang menurutnya keterlaluan dan ketertarikannya pada ‘proyek filsafat jangka-panjang’ Filsafat Indonesia yang dipelopori M. Nasroen, serta rintisan kajian yang dipeloporinya ‘Sejarah Filsafat Indonesia’, ia melepaskan Modernisme dan mengritiknya dengan hebat, lantaran, menurut studi sejarah yang dilakukannya, Modernisme di Indonesia adalah ‘…’anak haram jadah’ kolonialisme Belanda’, yang harus bertanggung jawab atas terjadinya Krisis Nasional 1998 di Indonesia dan terjadinya chaos di segala bidang kehidupan pada aftermath krisis tersebut, hingga detik ini.[28]
SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
[1] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005
[2] William Grassie, “Postmodernism: What One Needs to Know”, dalam artikel online http://www.voicenet.com/~grassie
[3] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005
[4] William Grassie, “Postmodernism: What One Needs to Know”, dalam artikel online http://www.voicenet.com/~grassie
[5] Sutan Takdir Alisjahbana, ‘Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia’, dalam Halim, Amran. Politik Bahasa Nasional 1: Kumpulan Kertas Kerja Praseminar, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), h. 44.
[6] Sutan Takdir Alisjahbana, ‘Socio-Cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts’, dalam Majalah Bulanan Ilmu dan Budaya, Tahun X, No.10, Juli 1988, Jakarta, Universitas Nasional, hh. 730-731.
[7] Muhidin M. Dahlan & Mujib Hermani (ed.), Kebudayaan Sosialis: Kumpulan Tulisan Soedjatmoko, (Jakarta: Penerbit Melibas, 2004), cet-2, hh- 140-141
[8] Soedjatmoko, “Menjelang Suatu Politik Kebudayaan”, dalam Agus R. Sarjono (ed.), Pembebasan Budaya-Budaya Kita: Sejumlah Gagasan, (Jakarta: Gramedia & TIM, 1999), h. 53
[9] Ibid., hh. 73-74
[10] Ibid., hh. 207-208
[11] Nicolaus Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1978), cet-3, h. 43
[12] Ibid., h. 12
[13] Ibid., hh. 23-24
[14] Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di Tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, (Yogyakarta: AK Group, 2003), h. 116
[15] Wasito Poespoprodjo, Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya, (Bandung: Rosda Karya, 1987), hh. 17-18
[16] Ibid., h. 7
[17] Ibid., h. vii & 24
[18] Ibid., h. 2
[19] YB. Mangunwijaya, Putri Duyung yang Mendamba: Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern, (Jakarta: YOI, 1987), h. 5
[20] Ibid., hh. 7-17
[21] Armahedi Mahzar, Integralisme, (Bandung: Pustaka, 1983), hh. 1-3
[22] Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”, dalam Majalah Sastra HORISON, Tahun XXXIX, No. 5/2005, Mei 2005, hh. 11-12
[23] Ibid., hh. 104-112
[24] Andy Setiawan, Kuantum Keimanan, belum dipublikasikan.
[25] Ibid.
[26] Ferry Hidayat, Some Studies in Indonesian Philosophy.
[27] Ferry Hidayat, Modernisme dalam Sejarah Filsafat Indonesia.
[28] Ferry Hidayat, Return to ‘the Cosmic Adat’ to Solve ‘the Chaotic Present.